Biological Activity of Oligomer Chitin Hydrolyzate Produced Using Chitinase Enzymes from SSA2B4.1 (Bacillus cereus SW41) Isolate on Lymphocytes and Cancer Cells Lines.

(1)

SRI ANGGARINI RASYID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

SRI ANGGARINI RASYID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

SRI ANGGARINI RASYID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Oligomer Hidrolisat Kitin yang Diproduksi Menggunakan Enzim Kitinase dari Isolat SSA2B4.1 (Bacillus cereus SW41) pada Sel Limfosit dan Sel Lestari Kanker merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2012

Sri Anggarini Rasyid G851100011


(3)

Produced Using Chitinase Enzymes from SSA2B4.1 (Bacillus cereus SW41) Isolate on Lymphocytes and Cancer Cells Lines. Under direction of MARIA BINTANG and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.

Local chitin waste from crab industries can be used as a source for production of oligomer which has important biological activity. The aims of this research were to evaluate activities of oligomer produced by enzymatic hydrolysis upon proliferation of lymphocytes and cancer cells. the chitinase enzyme was obtained from thermophilic bacterium Bacillus cereus SW41 isolated from South Sulawesi. The medium for producing the enzyme contained 1% colloidal chitin and the enzyme was harvested after four days of incubation, the free cell supernatant were heated at 60oC for 20 minutes. The heat stable protein enzyme was coagulated with 30% saturated ammonium sulphate and purified using hydrophobic interaction chromatography with butyl sepharose gel. The enzyme of 0,005, and 0,0085 IU/mg chitinase were use on 1% chitin colloidal substrate. the reaction products were analyzed and fractionated using HPLC. Cytotoxic assay to determine the lethal concentration 50 (LC50) was done by BSLT method. The effect of oligomers hidrolyzate on lymphocyte proliferative activity and inhibition of cancer cells were conducted by MTT method. The oligomer hidrolyzate proceed by with or without lyophilization at concentration of 62,5 and 125 g/ml were able to increase lymphocytes proliferation (3-22%). Antiproliferation activity of oligomer chitin hydrolyzate was detected in all tested cancer cell lines with the highest activity occurred in MT2 cell ranging from 17-48% followed by Raji Cell (17-43%), and HeLa cell (5-33%). Based on cell mentioned above, we concluded that oligomer chitin hydrolyzate could be use as an anti cancer cell proliferation and farther study is needed to develop before commercially use. Keywords: chitinase enzyme, oligomer chitin hydrolyzate, cancer cell,


(4)

BINTANG dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.

Upaya pencegahan terhadap berbagai jenis penyakit termasuk penyakit kanker secara dini melalui pangan yang sehat meningkatkan konsumsi komponen bioaktif sebagai fungsional. Disamping itu penggunaan komponen bioaktif dari bahan-bahan alami dengan tujuan untuk pengobatan penyakit dalam bentuk

nutraceuticals kini sudah banyak dijumpai, termasuk senyawa-senyawa

kitooligomer yang berasal dari degradasi limbah bahan yang mengandung kitin saat ini mulai digunakan sebagai bahannutraceuticals.

Penggunaan enzim sebagai biokatalis dalam industri obat-obatan kosmetika, dan bioteknologi menjadi pilihan yang terbaik saat ini, karena bersifat ramah lingkungan, prosesnya mudah dikendalikan, dan produk akhirnya seragam. Penggunaan enzim termostabil dalam penelitian ini dimaksudkan karena sifat stabilitas enzim terhadap proses panas, selain itu enzim termostabil dari mikroba termofil lebih tahan terhadap berbagai senyawa atau keadaan penyebab denaturasi sehingga dapat lebih tahan disimpan.

Dalam penelitian ini dilakukan kajian produksi oligomer kitin yang bersifat bioaktif dengan menggunakan enzim kitinase yang dihasilkan oleh isolat SSA2B4.1(Bacillus cereus SW41) yang telah dikarakterisasi sebelumnya secara menyeluruh, dan uji bioaktivitas untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Selanjutnya penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan senyawa-senyawa oligomer kitin yang memiliki aktivitas bioaktif sebagai anti proliferasi sel-sel kanker, sehingga dapat memberikan informasi tentang alternatif peningkatan nilai dan daya guna limbah marine lokal menjadi produk yang diketahui memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga informasi yang diberikan dapat digunakan untuk usaha pengembangan industri, khususnya pangan dan nutraceuticalberbasis produkmarine, yang berpeluang menjadi produk eksport.

Berdasarkan pengujian kemampuan hidrolisis beberapa preparat enzim kitinase terhadap koloidal kitin 1%, diperoleh beberapa preparat enzim yang potensial untuk digunakan dalam memproduksi senyawa-senyawa oligomer. Untuk memantau produk reaksi berbagai preparat enzim tersebut pada berbagai parameter nilai konsentrasi enzim, konsentrasi substrat dan berbagai waktu inkubasi enzim dan substrat, sebagai tahap awal dilakukan pengukuran konsentrasi N-asetilglukosamin yang dapat memprediksi laju terbentuknya senyawa-senyawa oligomer dari berbagai reaksi yang dilakukan. Produksi N asetil glukosamin yang ada, di peroleh informasi bahwa penggunaan konsentrasi substrat yang lebih tinggi (dalam batas tertentu) akan menghasilkan jumlah N-asetilglukosamin lebih tinggi dengan waktu inkubasi yang lebih cepat dibanding menggunakan substrat dengan konsentrasi lebih kecil.


(5)

sebagai fase diam dan buffer ammonium sulfat sebagai fase gerak.

Berdasarkan deteksi kemurnian enzim, maka fraksi dengan aktivitas tertinggi diambil, kemudian diukur aktivitas dari fraksi tersebut sebagai dasar untuk digunakan dalam reaksi produksi senyawa-senyawa oligomer dengan konsentrasi enzim yang dituju sebesar 0,0085 unit permiligram kitin.

Senyawa-senyawa oligomer yang dihasilkan dari berbagai reaksi preparat enzim dan substrat dipantau dengan menganalisis komposisi dan konsentrasi senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat dengan menggunakan teknik kromatografi dengan alat HPLC. Hidrolisat reaksi enzimatik yang digunakan adalah yang banyak mengandung tetramer (FBS 6 Jam) dan pentamer (EM 12 Jam) yang selanjutnya akan dibuktikan dengan uji lanjut bioaktivitas. Komposisi dan konsentrasi senyawa-senyawa oligomer yang berbeda-beda dapat menjawab terjadinya perbedaan respon uji hayati berbagai hidrolisat pada pengujian proliferasi terhadap kultur sel limfosit dan sel kanker.

Data hasil uji BSLT ekstrak hidrolisat oligomer kitin merupakan data mortalitas yang dianalisis dengan probit analysis method untuk mendapatkan nilai LC50 (lethal concentration 50%). Data menunjukkan LC50 ekstrak oligomer kitin yang dihasilkan dari perhitungan, masing-masing sebesar 153 g/ml, 199 g/ml dan 107 g/ml Nilai tersebut menunjukkan bahwa ekstrak oligomer kitin termasuk dalam kategori toksik karena LC50 < 1000 g/ml, yang memiliki potensi bioaktivitas.

Salah satu parameter untuk melihat aktivitas imunomodulator suatu komponen adalah kemampuan menstimulasi proliferasi sel limfosit. Peningkatan indeks stimulasi dari sampel oligomer kitin, sebesar 3-22%. Sampel oligomer FBS 1% 6 (enam) jam yang diliofilisasi pada konsentrasi sampel 125 µg/ml memiliki proliferasi limfosit yang tertinggi sebesar 121,51% atau mempunyai nilai indeks stimulasi (IS) 1,22 (peningkatan 22%) hampir setara dengan mitogen LPS yang mempunyai IS 1,28 (peningkatan 28%). Hasil ini memberi implikasi bahwa telah terjadi peningkatan jumlah sel sebesar 1,22 kali dari jumlah sel awal 1 x 106 sel/ml.

Aktivitas penghambatan sampel oligomer hidrolisat kitin pada sel kanker memperlihatkan perbedaan secara signifikan, dengan menghambat proliferasi sel kanker HeLa (5-33%), sel Raji (17-43%), dan sel kanker MT2 (17-48%). Hidrolisat enzimatik yang mengandung unit monomer dari oligomer kitin, akan lebih baik menghambat proliferasi sel epitel jenis HeLa dan sel suspensi jenis MT2 daripada unit tetramer dan pentamer kitin.

Kata kunci : enzim kitinase, hidrolisat oligomer kitin, proliferasi sel limfosit, sel kanker.


(6)

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

SRI ANGGARINI RASYID

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biokimia


(8)

(9)

cereusSW41) pada Sel Limfosit dan Sel Lestari Kanker.

Nama : Sri Anggarini Rasyid

NIM : G851100011

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Maria Bintang, MS Prof. drh. Bambang Pontjo.P,MS,Ph.D.,APVet

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Biokimia Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Maria Bintang, MS. Dr.Ir. Dahrul Syah, M. Agr.Sc


(10)

penulisan tesis dengan judul Aktivitas Biologi Oligomer Hidrolisat Kitin yang Diproduksi Menggunakan Enzim Kitinase dari Isolat SSA2B4.1 (Bacillus cereus SW41) pada Sel Limfosit dan Sel Lestari Kanker dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, pembawa cahaya dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat mahasiswa pascasarjana program S2 untuk meraih gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Banyak pengalaman dan ide yang penulis peroleh sejak penyusunan proposal,pelaksanaan penelitian, hingga penulisan tesis ini. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak atas bantuan intelektual dan teknisinya dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada :

1. Tim komisi pembimbing yang terdiri : (1) Ibu Prof. Dr. Maria Bintang, MS sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, bantuan, dan meluangkan waktu untuk membimbing, dan berdiskusi. (2) Bapak Prof. drh. Bambang Pontjo Prosoeryanto, MS, Ph.D., APVet, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan beliau dalam membimbing, memberikan saran dan koreksi yang sangat berarti.

2. Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D yang telah meluangkan waktu dan berkenan menjadi penguji luar komisi serta memberi saran yang sangat bermanfaat bagi penulis.

3. Ibu Dr. Sri Wahyuni, M.Si yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk mengerjakan penelitian ini dan mendanai seluruh biaya penelitian ini.


(11)

keramahan dan kerjasama yang telah dijalin baik dalam bentuk bantuan sarana dan pengetahuan yang sangat penting bagi terlaksananya penelitian ini. 6. Ibu Silmi (teknisi laboratorium mikrobiologi dan imunologi, Pusat Studi Satwa Primata), penulis menghaturkan terimakasih yang sangat dalam atas segala keramahan dan bantuan sarana, keterampilan dasar dan pengetahuan teknis dalam pengujian kultur sel yang sangat penting bagi terlaksananya penelitian ini.

7. Teman seperjuangan menyelesaikan penelitian yang berhubungan dengan kultur sel in vitro, Ibu Dr. Yuszda K. Salimi, terimakasih atas bantuan yang tak kenal lelah dan saran yang sangat membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

8. Teman-teman Biokimia angkatan 2010, Lia, ibu Eliz, mba Martha, Izah, dan Boby serta teman-teman yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu, Terimakasih atas persahabatan yang indah semasa menjadi mahasiswa Biokimia.

9. Pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas pemberian beasiswa kepada penulis untuk menjalani pendididkan S2.

10. Dekan Faperta Unilaki dan Rektor Universitas Lakidende, Ketua STIKES Mandala Waluya Kendari, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 di program studi Biokimia SPs IPB.

11. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf pegawai Pascasarjana IPB, Ketua PS Biokimia atas perkenaan menerima dan membantu penulis selama menjalani pendidikan S2 IPB.

12. Dosen-dosen IPB, terutama pada program studi Biokimia, Terimakasih atas sumbangan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

13. Terimakasih yang khusus dan mendalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Abdul Rasyid Latief SKM (alm) dan Ibunda


(12)

Ibu Hasto Kirmani atas segala perhatian dan doanya, serta bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan S2 ini.

15. Suami tercinta Ridwan Adi Surya, S.Si, M.Si dan Ananda tercinta Zahra Althafunnisa, yang telah banyak berkorban, membantu dan dengan setia mendampingi dengan penuh pengertian selama penulis mengikuti pendidikan S2 ini.

16. Kakak tersayang Mariyatni Rasyid, SKM, Kakak dan Adik ipar, kemenakan-kemenakanku atas segala doa dan dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan Magister di IPB ini.

Akhirnya semua budi baik yang diberikan kepada penulis semoga diterima dan dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Tak lupa permohonan maaf bila penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Semoga tesis ini bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, Maret 2012 Sri Anggarini Rasyid


(13)

anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Abdul Rasyid Latief, SKM (Alm) dan Hj. Dahriaty.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Kendari dan pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Haluoleo melalui jalur Bebas Tes. Penulis memilih program studi Kimia, Fakultas MIPA, dan pada tahun 2005 penulis memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) dari Universitas Haluoleo Kendari. Pada Tahun 2010 penulis mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk melanjutkan Program Magister pada Program Studi Biokimia, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Lakidende dan pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala Waluya Kendari.


(14)

(15)

i

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR ..

DAFTAR LAMPIRAN ...

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tujuan Penelitian .

Manfaat Penelitian ...

Hipotesis Penelitian .

TINJAUAN PUSTAKA

Kitin .

Enzim-Enzim Pendegradasi Kitin ...

Larva Udang

Limfosit dalam Sistem Imun ...

Kultur Sel

Anti Kanker pada Siklus Sel

Mekanisme Anti Kanker pada Senyawa Alami dan Sintesis ... BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian ..

Bahan dan Alat Metode Penelitian

1. Produksi Enzim kitinase

2. Produksi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin ... 3. Identifikasi dan fraksinasi komponen oligomer hidrolisat kitin

4. Uji Toksisitas ...

5. Pengujian aktivitas senyawa oligomer terhadap proliferasi sel

limfosit ...

6. Pemeliharaan kultur sel kanker ..

7. Pengujian aktivitas anti proliferasi sel kanker secara ...

8. Analisis dan interpretasi data .

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Produksi Senyawa Oligomer secara Enzimatik ..

B. Fraksinasi Hidrolisat Senyawa-Senyawa Oligomer ...

C. Uji Toksisitas dengan Metode BSLT .

D. Aktivitas Senyawa-Senyawa Oligomer terhadap Proliferasi sel

iii iv vi 1 4 4 4 5 8 10 11 19 22 27 29 29 32 32 35 35 36 36 38 39 40 41 51 52


(16)

ii

DAFTAR PUSTAKA .

LAMPIRAN

83 92


(17)

iii

87 97 :7 ;7

<7 =7 >7 ?7

G 3-30C / -A1C A 0 /5IA ,

0AC A531/D3-A

JK LMNN OPLQRQOP@S:677 T 0CA UAC31V/ V/- 3W 3W-/ W 3-3C/5IA, ...

Data hasil uji BSLT ekstrak hidrolisat oligomer kitin ..

Pengaruh oligomer kitin terhadap proliferasi sel limfosit limfa tikus pada 2 variasi konsentrasi... Beberapa hasil Penelitian Proliferasi sel Limfosit... Penghambatan proliferasi sel Hela... Penghambatan proliferasi sel Raji... Penghambatan proliferasi sel MT2...

6 10 41 53 57 64 68 71 74


(18)

iv nm om pm qm rm sm tm um lvm llm lnm lom lpm lqm lrm

Jalur degradasi kitin oleh mikroba .

Mekanisme perlawanan terhadap antigen oleh limfosit... Mekanisme reaksi Reduksi MTT menjadi MTT formazan oleh enzim suksinat dehidrogenase

Mekanisme kerja obat antikanker pada siklus sel ..

Diagram alir proses produksi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin

Diagram alir uji toksisitas dengan|}~ € ‚ ...

Diagram alir aplikasi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat

kitin ...

Hidrolisis kitin tanpa enzim ...

Hidrolisis preparat enzim FBS dan EM pada koloidal kitin 1%... Hidrolisis preparat enzim FBSp dan AS pada koloidal kitin 0,5%... Hidrolisis preparat enzim FBS dan FBSp 0,005 pada konsentrasi koloidal kitin 0,5% dan 1%... Hidrolisis preparat enzim AS dan EM 0,005 pada konsentrasi koloidal kitin 0,5% dan 1%... Konsentrasi N asetil glukosamin berbagai hidrolisat enzimatik

Hasil pemurnian enzim kitinase menggunakan kromatografi kolom interaksi hidrofobik (HIC)

Hasil SDS PAGE dengan Pewarnaan silver dari kitinase SSA2B4.1... 8 14 17 23 30 31 31 42 43 44 45 46 48 50 51


(19)

v

ƒ‡…

ˆ‰…

ˆƒ…

ˆˆ…

ˆŠ…

ˆ‹…

ˆŒ…

ˆ…

ˆ„…

Profil sel limfosit pada pembesaran dengan ¡¢£§¥ ¤§ ¨ © ¡ª¥¦«ª¦¬§200 kali... Aktivitas senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat enzimatik pada penghambatan proliferasi sel Hela... Profil sel Hela pada perbesaran dengan lensa obyektif ¡¢£§¥ ¤§¨© ¡ ª¥¦«ª¦¬ §200 kali... Aktivitas senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat enzimatik pada penghambatan proliferasi sel Raji... Profil sel Raji pada perbesaran dengan lensa obyektif ¡¢£§¥ ¤§¨© ¡ ª¥¦«ª¦¬ §100 kali... Aktivitas senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat enzimatik pada penghambatan proliferasi sel MT2... Profil sel MT2 pada perbesaran dengan lensa obyektif ¡¢£§¥ ¤§¨© ¡ ª¥¦«ª¦¬ §100 kali... Perbandingan pengujian penghambatan proliferasi sel-sel kanker oleh senyawa oligomer hidrolisat kitin... Perkiraan model penghambatan sel kanker oleh komponen bioaktif oligomer kitin pada sistem kontrol selama siklus sel...

60

69

70

72

73

75

76

77


(20)

vi

ÅÄ

ÆÄ

ÇÄ

ÈÄ

ÉÄ

ÊÄ

ËÄ

ÌÄ

ÃÍÄ

ÃÃÄ

¿À¾ÖÁ½º ¸¹ÀѸ׺À¹¿ÎÙÚÔÀÓÀ¾ ÀÀÑÛºÀ½¾Ö À¾Ö¸ÁÖ׸¹¼º

½Ö ÑÖ ÂØØØØØØØØ ..

Pembuatan Oligomer

Tabel Probit ...

Contoh Perhitungan penentuan LC50 ..

Contoh Perhitungan Indeks Stimulasi Limfosit

Hasil Analisis sidik ragam (RAL) dan Uji Duncan pada

sel Limfosit ...

Hasil Analisis sidik ragam (RAL) dan Uji Duncan pada sel HeLa

Hasil Analisis sidik ragam (RAL) dan Uji Duncan pada

sel Raji ..

Hasil Analisis sidik ragam (RAL) dan Uji Duncan pada

sel MT2 .

Dokumentasi penelitian

94 99 100 101 103

104

107

109 111


(21)

(22)

ÜÝÞ ßà áâ ãâàÞ

àä ãatar Belakang

Masalah Food Security dan Food Safety di Indonesia memerlukan

pemikiran dan usaha terintegrasi dalam memanfaatkan semua potensi sumber daya lokal yang ada. Memperhatikan negara kita yang pada dasarnya merupakan

Negara Bahari, perlu dilakukan berbagai usaha penggalian potensi marine untuk

menunjang perkembangan industri produk pangan / bahan tambahan pangan yang berbasis bahan lokal, termasuk pemanfaatan limbah perikanan.

Pengolahan hasil-hasil perikanan yang ramah lingkungan dan menghasilkan limbah dalam jumlah minimal adalah suatu impian dimasa depan.

Konsep ini sering dikenal dengan istilah zero waste system. Pada industri

pengolahan (pembekuan) udang, bahan baku udang disortasi (diseleksi) dan biasanya bagian udang yang berupa kepala dan kulit dibuang. Hewan invertebrata

laut berkulit keras (Crustacea) seperti udang, kepiting dan rajungan, kulitnya

mengandung suatu senyawa yang dikenal dengan kitin. Kitin yang terkandung

dalam Crustacea berada dalam kadar yang cukup tinggi berkisar 20-60%

tergantung spesies (Rochima, 2004).

Banyak komponen bioaktif pangan saat ini diketahui mempunyai efek positif terhadap kesehatan, oleh karena itu penggunaan pangan yang diketahui mengandung senyawa bioaktif atau pangan fungsional merupakan hal yang sangat bermanfaat. (Elliot, 2002). Saat ini penggunaan pangan fungsional untuk kesehatan telah berkembang pesat, salah satu faktor pendukungnya adalah keinginan banyak orang untuk meningkatkan kesehatan dengan cara yang alami. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai efek samping yang merugikan dari konsumsi obat-obatan kimiawi yang telah banyak terbukti, sehingga timbul keinginan untuk menggunakan bahan-bahan dari alam untuk meningkatkan kesehatan. Selain faktor tersebut, konsumsi makanan yang tidak seimbang juga telah terbukti menjadi kunci dari faktor eksternal yang berpengaruh pada kejadian penyakit-penyakit kronis, termasuk terjadinya penyakit-penyakit kanker. Upaya pencegahan terhadap berbagai jenis penyakit termasuk penyakit kanker secara dini


(23)

melalui pangan yang sehat meningkatkan konsumsi komponen bioaktif sebagai fungsional. Disamping itu penggunaan komponen bioaktif dari bahan-bahan alami

dengan tujuan untuk pengobatan penyakit dalam bentuknutraceuticals kini sudah

banyak dijumpai, termasuk senyawa-senyawa kitooligomer yang berasal dari degradasi limbah bahan yang mengandung kitin saat ini mulai digunakan sebagai

bahan nutraceuticals . Senyawa kitooligomer ini telah menarik perhatian industri

karena berbagai manfaatnya untuk pangan dan medis, sehingga memiliki nilai ekonomi cukup baik untuk dikembangkan saat ini, dengan harga jual dipasaran internasional yang telah mencapai US$ 60.000 per ton (Sandford, 2003).

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa senyawa-senyawa

kitooligomer yang berasal dari limbah berkitin memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai material anti kanker, antara lain senyawa heksa N-asetil kitoheksaosa dan kitoheksaosa yang berasal dari degradasi kitin. Senyawa-senyawa kitooligomer yang berasal dari degradasi kitosan telah dilaporkan memiliki pengaruh menghambat pertumbuhan dan proliferasi sel tumor. Oleh sebab itu kajian dalam penelitian ini dipandang sangat penting dilakukan untuk usaha peningkatan nilai tambah limbah berkitin melalui usaha produksi senyawa bioaktif kitooligomer yang dapat diaplikasikan sebagai pangan fungsional, sistem

imun dannutraceutical .

Penggunaan enzim sebagai biokatalis dalam industri obat-obatan kosmetika, dan bioteknologi menjadi pilihan yang terbaik saat ini, karena bersifat ramah lingkungan, prosesnya mudah dikendalikan, dan produk akhirnya seragam. Penggunaan enzim termostabil dalam penelitian ini dimaksudkan karena sifat stabilitas enzim terhadap proses panas, sebab sifat enzim yang stabil pada kondisi panas diminati oleh kalangan industri karena memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi, antara lain reaksi dapat berlangsung pada suhu tinggi sehingga mengurangi kontaminasi bakteri mesofil dan laju reaksi lebih cepat sehingga mengurangi biaya produksi. Selain itu enzim termostabil dari mikroba termofil lebih tahan terhadap berbagai senyawa atau keadaan penyebab denaturasi sehingga dapat lebih tahan disimpan. Sifat stabil yang dimiliki enzim termofil menekan peluang kehilangan aktivitas selama produksi dan penyimpanan, serta memudahkan para


(24)

teknolog dalam menangani proses produksi dan pemurniannya. Indonesia merupakan Negara yang kaya diversitas sehingga peluang menemukan mikroba termofil penghasil enzim yang unik cukup realistik.

Wahyuni et alå (2010) dalam penelitiannya tentang skrining bakteri

penghasil kitinase dari tempat pemeliharaan udang (tambak), penampungan udang, limbah pengolahan udang dan tempat pembuangan limbah padat udang yang terdapat di beberapa daerah industri perikanan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berhasil memperoleh 28 isolat bakteri kitinolitik. Dari 28 isolat ini yang menghasilkan aktivitas kitinase tertinggi yaitu isolat SSF2D5.3;

SSF2.E5.2 (tumbuh baik pada 28oC) dengan aktivitas enzim kitinase

berturut-turut sebesar 0,448 Unit/ml enzim dan 0,444 Unit/ml enzim dan isolat SSA2B4.1;

SSD2A7.1 (tumbuh baik pada 37oC) dengan aktivitas enzim kitinase

berturut-turut sebesar 0,452 Unit/ml enzim dan 0,449 Unit/ml enzim. Namun dari keempat isolat terdapat 2 isolat yang memiliki karakterisasi yang cukup baik yakni memiliki pH optimum 4-6 untuk isolat SSA2B4.1 dan isolat SSD2A7.1 pada pH 6-8. Hal ini menunjukkan kitinase dari isolat ini dapat bekerja optimum menghidrolisis substrat kitin pada pH asam dan pH alkali. Selain itu kitinase dari

isolat SSA2B4.1 dan SSD2A7.1 memiliki suhu optimum 70oC, dengan demikian

enzim kitinase yang diperoleh dari kedua isolat terpilih tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai enzim termostabil, namun dari hasil análisis HPLC, isolat SSA2B4.1 memiliki hasil komposisi dan konsentrasi senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat yang berukuran mono sampai pentamer.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan kajian produksi oligomer kitin yang bersifat bioaktif dengan menggunakan enzim

kitinase yang dihasilkan oleh isolat SSA2B4.1(æacillus cereus SW41)yang telah

dikarakterisasi sebelumnya secara menyeluruh, dan uji bioaktivitas untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Selanjutnya penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan senyawa-senyawa oligomer kitin yang memiliki aktivitas bioaktif sebagai anti proliferasi sel-sel kanker, sehingga dapat memberikan informasi tentang alternatif peningkatan nilai dan daya guna limbah

m a


(25)

sehingga informasi yang diberikan dapat digunakan untuk usaha pengembangan

industri, khususnya pangan dan nutraceutical berbasis produk marin e, yang

berpeluang menjadi produk eksport.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aktivitas biologi oligomer hidrolisat kitin yang diproduksi menggunakan enzim kitinase dari isolat

SSA2B4.1 (çèéillus cereus SW41) pada sel limfosit dan sel kanker.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dengan terlaksananya penelitian ini adalah

dapat memberikan peningkatan nilai dan daya guna limbahmarin e lokal menjadi

produk yang memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga informasi yang diberikan dapat digunakan untuk usaha pengembangan industri, khususnya pangan dan

n u tra ceu tica

l berbasis produkmarin e, yang berpeluang menjadi produk eksport.

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Enzim kitinase dari çê scereu SW41 dapat digunakan untuk memproduksi

senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin.

2. Senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin tidak bersifat toksik terhadap sel


(26)

TINJAUAN PUSTAKA A. Kitin

Kitin berasal dari bahasa Yunani yaitu chiton yang berarti lapisan kulit dan ditemukan pertama kali oleh Bradconnot pada tahun 1811. Pada tahun 1823, Odier menyebut kitin sebagai suatu zat yang sama seperti komponen di dalam

in

sect . Kitin mempunyai struktur kimia yang mirip dengan selulosa, yaitu suatu

polisakarida yang disusun oleh molekul-molekul gula sederhana yang identik. Kitin merupakan biopolimer rantai lurus yang disusun oleh monomer-monomer

N-asetil glukosamin yang dihubungkan oleh ikatan (1 4), seperti pada

gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul kitin (Liet al . 1997)

Kitin merupakan biopolimer alami yang berlimpah di alam, merupakan

biopolimer kedua terbanyak setelah selulosa dengan (1 4) berikatan dengan

glycan, tetapi disusun oleh 2-acetamido-2-deoxy- -D-glukosa

(N-asetilglukosamin), dan merupakan salah satu polisakarida yang paling berlimpah

diberi nama Poly (1 4)-2-acetamido-2-deoxy-D-glukosa. Kitosan adalah nama

yang digunakan untuk bentuk asetil yang tersubtitusi rendah pada kitin yang

penyusun utamanya adalah glukosamin, 2-amino-2-deoxy- -D-glukosa, yang


(27)

Pada saat ini aplikasi kitin dan turunannya mendapat banyak perhatian pada bidang pangan dan farmasi. Kitosan mempunyai tiga jenis kelompok fungsional reaktif. Modifikasi kimia pada kelompok ini jika dimanfaatkan mempunyai banyak kegunaan material dalam mengaplikasikannya.

Kitin adalah komponen lapisan kulit dari avertebrata berkulit keras

(crustac eae ), serangga, kerang, dan dinding sel beberapa mikroorganisme. Kitin

paling banyak terdapat pada kulit golongan crustaceae , dengan kandungan kitin

mencapai 40-60% (Goosen, 1997).

Kitin terdistribusi diberbagai organisme dalam bentuk beragam. Kitin selalu ditemukan terikat dengan komponen struktur lain seperti protein dan mineral. Kitin yang dihasilkan dari berbagai sumber, mempunyai struktur yang sama tetapi beragam dan berikatan dengan protein dan kalsium karbonat. Isolasi kitin melalui tiga tahap preparasi, yaitu deproteinase, demineralisasi, dan dekolorisasi. Deproteinase atau penghilangan protein dilakukan dengan pemanasan kitin di dalam larutan alkali. Demineralisasi dilakukan dengan penambahan HCl yang bertujuan untuk menghilangkan kalsium karbonat dan proses dekolorisasi bertujuan untuk menghilangkan pigmen (Goosen, 1997).

Kitin tidak larut dalam air, asam anorganik tanpa liofilisasi, asam organik, basa dengan liofilisasi dan pelarut organik. Kitin dapat larut dalam N,N-dimetilasetamida yang mengandung litium klorida. Kitin juga larut dalam asam

dengan liofilisasi seperti H2SO4, HNO3, asam fosfat dan asam format anhidrida.

Adapun sifat dan kriteria mutu kitin dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat dan mutu kitin

Sifat Nilai

Ukuran Partikel Butiran bubuk

Kadar air (% berat kering) 10%

Kadar abu (% berat kering) 2%

Derajat deasetilasi 15%

Kelarutan : - Air

- Pelarut organik

- LiCl2/dimetilasetamida

Tidak larut Tidak larut Sebagian larut

Biodegradasi organik profil Lisozim dan kitinase


(28)

Kitin dan turunannya, yaitu kitosan, oligomer kitin, dan oligomer kitosan memiliki kemampuan mengkelat dan mampu membentuk kationik (polielektrolit), yang diduga disebabkan oleh biofungsionalitas dari gugus amin dalam strukturnya. Sifat-sifat ini membuat kitin dan turunannya banyak dimanfaatkan

dalam industri pangan dan nutraceutical , kesehatan, pertanian, dan bahkan

industri kosmetik. Dalam industri pangan, kitin dan turunannya antara lain dimanfaatkan sebagai penguat rasa dan tekstur, pengawet, penstabil warna, pengemulsi dan penjernih minuman, bahkan sejak tahun 1992 Departemen Kesehatan Jepang telah menetapkan kitin dan turunannya sebagai pangan fungsional. Pemanfaatan kitin dalam industri medis dan obat-obatan antara lain sebagai material untuk plester, lensa kontak membran dialisis darah, dan untuk

pengontrol kadar kolestrol darah. (Kolodzeiesjka et alë 2000, Curroto dan Aros

1993).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui manfaat lain dari kitin dan turunannya. Kitin mampu mempercepat penyembuhan luka pada hewan uji, mengaktifkan makrofag, protein komplemen, dan sel limtosit T sitotoksik (Suzuki

et al .,1992), serta mampu melindungi hewan uji (mencit) dari infeksi bakteri

patogen (Tokoroet al ., 1989; Kobayashiet al ., 1990; Suzukiet al ., 1992).

Oligomer kitin dan oligomer kitosan memiliki aplikasi yang lebih luas. Hal ini disebabkan karena bobot molekulnya lebih rendah.Selama ini pemanfaatan

kitin dan kitosan secarain vivo terhambat oleh bobot molekul dan viskositas yang

tinggi dari senyawa tersebut (Shahidi et al ., 1999). Oleh karena itu, untuk

pemanfaatan lebih lanjut, kitin dan kitosan harus mengalami depolimerisasi menjadi oligomer atau monomer. Oligomer kitin dan kitosan dapat diaplikasikan sebagai pengatur kadar kolestrol, agen anti kanker, anti mikroba,

im m u n o en h a n

ci ng , serta dalam pengobatan penyakit osteoartritis dan gastritis.

Hidrolitas kitin yang mengandung oligomer dengan derajat polimerisasi 1-6 mampu menginduksi proliferasi dan sekresi lgM dari sel hibridoma manusia

HB4C5 secara in v itro , sedangkan secara in v ivo hidrolisat ini mampu


(29)

B. Enzim-Enzim Pendegradasi Kitin

Kitinase dihasilkan oleh sejumlah besar organisme. Pada bakteri kitinase diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, sementara pada tanaman kitinase digunakan untuk melawan jamur patogen maupun parasit. Untuk mendegradasi kitin menjadi monomer N-asetilglukosamin, diperlukan beberapa enzim. Gambar 2 menjelaskan bagaimana mikroba mendegradasi kitin dan berbagai enzim yang berperan dalam proses tersebut.

Keterangan : n = 2-5 monomer

Gambar 2. Jalur degradasi kitin oleh mikroba (Gooday, 1990)

Enzim kitinase (EC 3.2.1.14) adalah enzim yang memutuskan ikatan 1-4

pada kitin, atau enzim yang mampu menghidrolisis kitin menjadi monomernya

N-asetilglukosamin dan dapat dibedakan menjadi endo dan eksokitinase.

Endokitinase bekerja secara acak pada bagian tengah molekul kitin sehingga dihasilkan oligomer N-asetilglukosamin, sedangkan enzim eksokitinase bekerja secara berurutan dari ujung molekul, sehingga dihasilkan bentuk monomer dan dimer.

Karena molekul kitin sulit di pecah, degradasi kitin biasanya melibatkan lebih dari satu jenis enzim, dan terjadi dalam dua tahap, baik pada prokariot maupun eukariot. Endokitinase (EC. 3.2.1.14) bekerja memotong kitin menjadi kitooligomer, dan selanjutnya diubah menjadi monomer oleh eksokitinase ( -N-asetil glukosaminidase). Eksokitinase membuka molekul N--N-asetil glukosamin dari ujung non pereduksi dan cenderung memilih substrat yang lebih kecil dibandingkan dengan kitinase. Tipe pemotongan endokitinase menghasilkan

Kitinase

(GlcNAc)

n

Kitosanase

1,4 -N-asetilglukosaminidase Kitosanase

GlcNAc (GlcN)n

Deasetilase Glukosaminidase

GlcN

Kitin deasetilase Kitin


(30)

produk berupa oligomer kitin, sedangkan tipe pemotongan eksokitinase menghasilkan produk berupa monomer kitin (N-asetilglukosamin) dan oligomer kitin. Sebagai konsekuensi dari sifat ini, laju keseluruhan dari hidrolisis kitin dibatasi oleh kerja endokitinase, yang secara drastis meningkatkan konsentrasi substrat efektif bagi N-asetilglukosaminidase.

Proses pengubahan kitin menjadi turunan oligosakarida secara kimiawi oleh asam cenderung dihindari karena proses ini tidak dapat dikontrol, menghasilkan lebih banyak monomer D-glukosamin dan lebih sedikit kitooligomer, padahal yang memiliki aktivitas biologi penting adalah

senyawa-senyawa kitooligomernya (Kolodzeiesjkaet alì 2000, Curroto dan Aros 1993).

Aplikasi enzim yang menghasilkan oligomer dari kitin dengan ukuran spesifik jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan hidrolisis kimia kitin yang cenderung menghasilkan monomer, karena ukuran spesifik produk oligomer (trimer sampai heksamer) berkaitan erat dengan sifat fisiologis dan bioaktifnya. Aplikasi enzim-enzim pemodifikasi dan pengurai senyawa kitin dan turunannya sangat diperlukan untuk menghasilkan senyawa kitooligosakarida. Ukuran molekul produk akhir hidrolisis, yaitu senyawa oligomer kitin dan kitosan sangat penting diperhatikan, karena sifat fungsional bergantung pada berat molekulnya dan memiliki aktivitas biologi penting adalah senyawa oligomernya (Curroto dan

Aros 1993, Suzuki 1996, Kolodziejska et alì 2000). Berdasarkan hasil penelitian

Wahyuni (2006) oligomer kitosan yang diproduksi secara enzimatik

menggunakan enzim kitosanase dariíîïillus licheniformis MB2 yang berasal dari

sumber air panas Tompaso Manado, memiliki aktivitas imunostimulan dan penghambat proliferasi beberapa jenis sel kanker HeLa, A549, K562, dan KR-4

secarain vitroyang lebih baik dibanding kitosannya sendiri. Agustine (2005) juga

mendeteksi adanya kemampuan oligomer kitin yang dihasilkan dari Bacillus

licheniformisMB2 mengaktifkan proliferasi sel limfosit secarain vitro.

Depolimerisasi kitin menjadi oligomer kitin dapat dilakukan dengan asam organik atau dengan hidrolisis enzimatik. Penggunaan asam nitrat, asam fosfat, HCl, dan HF mampu memotong polimer kitin menjadi unit-unit yang lebih rendah, tetapi prosesnya memakan waktu dan mengakibatkan deasetilasi dari


(31)

produknya, selain itu lebih banyak monomer yang dihasilkan dibanding oligomer

(Defayeet alð 1989; Hasegawaet alð 1993). Sebaliknya hidrolisis kitin oleh enzim

sangat efisien karena prosesnya dapat dikontrol dengan tepat.

Biasanya bakteri menghasilkan beberapa kitinase untuk menghidrolisis berbagai bentuk kitin yang terdapat di alam dan dimanfaatkan oleh mikroba

sebagai sumber karbon (Wang dan Chang, 1997; Yanai et alðñ 1992). Kitinase

dihasilkan oleh bakteri, insekta, kapang, tanaman dan hewan. (Gooday, 1990,

Patil et al . 2000). Diantara bakteri penghasil kitinase tercatat òóôillus ,

õö ÷øùóöñudom Vibrios, Actinomycetes, dan Clostridia (Ueda dan Arai 1992,

Wang dan Chang 1997, Sakai et al. 1998, Patil et al. 2000). Keuntungan

menggunakan mikrob sebagai sumber enzim antara lain mikrob dapat tumbuh relatif cepat, bahan baku relatif murah, mudah diisolasi, dan terbuka peluang

untuk meningkatkan mutu enzim melalui rekayasa genetika (Madiganet al. 2000).

Informasi tentang mikroba penghasil enzim kitinase telah dilaporkan oleh

beberapa peneliti, antara lain kitinase dari Streptomyces cursanovii (37oC) telah

dilaporkan oleh Ilyina et al. (2000). Kitinase yang berasal dari fungi dilaporkan

oleh Kuranda dan Robin (1991), yang mengisolasi kitinase dari S.cerevisiae, M.

Rouxii oleh Meyer (1997), Benjaminiella poitrasii oleh Ghormade et al., (2000),

dan A. bisporus oleh Rast.,et al(2003)

Karakteristik enzim kitinase yang berasal dariBacillus cereus SW41dapat

dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik enzim kitinase dariBacillus cereusSW41

No Parameter Karakteristik

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Suhu optimum pH optimum Buffer optimum Berat molekul Aktivator

Spesifitas substrat

Tahan terhadap jenis denaturan

70oC

4.0 6.0

Buffer phosphate 0.05 pH 4 130,2 kDa

Mn dan Ca Koloidal kitin

Guanidin, urea dan NaCl Sumber : Wahyuni 2010

C. Larva Udang (Artemia salina)

Uji bioaktivitas adalah uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Prinsip uji bioaktivitas adalah suatu komponen


(32)

senyawa bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan pada dosis yang tinggi dan

menjadi obat pada dosis rendah. Oleh karena itu daya bunuh in vivo dari senyawa

dapat digunakan untuk menapis ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktivitas. Salah satu organisme yang sangat sesuai untuk uji tersebut adalah larva udang

atauúû üemia salina .

úû üemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylumúû ühropoda .

Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia

(kutu air). úûüemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada diseluruh

dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari hampir tawar hingga jenuh garam. Secara alamiah salinitas danau dimana mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang

terjadi. Apabila konsentrasi garam kurang dari 6% telur úû üemia akan tenggelam

sehingga telur tidak bisa menetas, hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk ke dalam danau dimusim penghujan. Sedangkan apabila konsentrasi garam lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan normal.

Metode ujiý ûþne ÿ ûþmpLethality Test (Uji BSLT) ini menggunakan larva

Artemia salina. Kemampuan bioaktivitas diketahui berdasarkan jumlah kematian

larva udang akibat pemberian ekstrak. Ekstrak bersifat sitotoksik bila harga

LC50-nya < 1000 ppm (Meyer et al. 1982). Metode ini mempunyai beberapa

keuntungan antara lain, waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, pengerjaan sederhana, tidak memerlukan teknik aseptik, tidak memerlukan peralatan khusus, menggunakan sampel dalam jumlah relatif sedikit dan tidak memerlukan serum

hewan seperti pada uji sitotoksik (Meyer, et al. 1982). Hasil bioassay terhadap

senyawa-senyawa tersebut menggunakan udangArtemia salinamenunjukkan sifat

sitotoksik yang tinggi (Ersam, et al. 2003). Artemia salina Leach merupakan

hewan coba yang digunakan untuk praskrining aktivitas antikanker di National

Cancer Institute, Amerika Serikat (Meyer,et al. 1982).

D. Limfosit Dalam Sistem Imun

Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit


(33)

(leukosit) berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 m), banyaknya 20-25% dan fungsinya membunuh dan memakan bakteri yang masuk ke dalam jaringan tubuh dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe dan timus. Terdapat dua kelas leukosit yaitu, yang mengandung granula dalam sitoplasmanya (granulosit) dan agranulosit yang tidak mengandung granula (Ganong, 1990). Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respons imun spesifik, mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri (Kuby, 1992).

Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan plasma yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Ada tiga grup sel darah, yaitu sel darah merah (RBC) atau eritrosit, sel darah putih (WBC) atau leukosit yang terdapat kurang dari 1% volume total darah, dan butir pembeku (platelets) atau trombosit.

Sistem imun merupakan sistem interaktif kompleks dari beragam jenis sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun dibedakan dalam dua kelas yaitu sistem imun non spesifik dan spesifik. Respon imun non spesifik timbul sebagai reaksi terhadap mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis dan monosit (makrofag), barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal, lisozim dalam mukus jaringan, air mata, laktoperoksidase dalam saliva, protein darah, interferon, sistem kinin dan komplemen, dan sel Natural Killer (NK) (Parslow dan Bainton, 1992). Sistem imun spesifik meliputi sistem imun seluler dan humoral. Sistem imun seluler memberikan pertahanan terhadap serangan mikroorganisme intra dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin. Sedangkan sistem imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi terhadap antigen spesifik (Roitt dan Delves, 2001).

1. Sel Limfosit

Semua sel darah (limfosit, granulosit, eritrosit dan megakariosit) berasal

dari sejenis sel (stem cell ) dalam sumsum tulang. Sebagian dari sel-sel limfosit


(34)

Dalam timus sel-sel limfosit ini akan mengalami semacam proses pematangan menjadi sel limfosit yang nantinya akan berfungsi dalam reaksi imunitas seluler (cellular immunity ). Sel limfosit yang telah diproses dalam kelenjar timus ini dinamakan sel limfosit T. Sel limfosit yang tidak mengalami proses pematangan dalam kelenjar timus, mengalami proses pematangan dalam sumsum tulang dan mungkin dalam kelenjar getah bening. Sel-sel yang disebut terakhir ini setelah mengalami proses pematangan akan mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi dalam reaksi imunitas. Sel ini dinamakan sel limfosit B. Sel lomfosit T dan limfosit B yang baru terbentuk akan mengalir dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Sebagian besar dari sel limfosit (T dan B) akan masuk ke dalam kelenjar getah bening dan menetap sementara di dalamnya, sedang sebagian lain akan meninggalkan kelenjar getah bening dan masuk kembali dalam sirkulasi. Begitu masuk ke dalam kelenjar getah bening sel limfosit ini akan langsung menempati tempat-tempat yang telah ditentukan untuk masing-masing sel T dan sel B. Limfosit B akan masuk ke dalam folikel sedang limfosit T menempati daerah para - cortex dan medulla. Jika ada antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi imunoblast. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas humoral"). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak lagi memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Sel-sel ini juga tidak memiliki reseptor terhadap komplemen, namun sebaliknya ia memiliki

imunoglobulin intraseluler (tracytoplasmic iminglouonmbulin ).

Sel limfosit terdiri dari 2 tipe sel yang mampu membuat kekebalan yaitu sel limfosit T, yang berfungsi dalam imunitas seluler, dan sel limfosit B yang berfungsi dalam imunitas humoral (Bellanti, 1993). Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi dalam jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10-15%. Setiap sel B

memiliki 105 cell ceptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua situs

pengikatan antigen yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein dengan struktur tiga dimensi. BCR dan antibody mengikat antigen dalam bentuk


(35)

aslinya. Hal ini membedakan sel B dengan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel (Kresno, 1996).

Sel B dan sel T sama-sama dihasilkan di sumsum tulang, tetapi pada kelanjutannya kedua sel ini berdiferensiasi dan memiliki mekanisme masing-masing dalam melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sel B bereaksi

terhadap antigen dengan cara berdiferensiasi menjadi sel plasma dan

memproduksi antibodi pada permukaan selnya, sehingga antigen terikat pada antibodi tersebut dan terjadi opsonisasi antigen pada permukaan sel B. Berbeda dengan sel B, beberapa sel T bereaksi terhadap antigen dengan berdiferensiasi

menjadi sel Th aktif yang menstimulasi produksi antibodi bebas serta

mengaktivasi makrofag. Antibodi yang dihasilkan sel T dapat bergerak bebas menghampiri antigen dan mengikatnya. Mekanisme ini digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme perlawanan terhadap antigen oleh limfosit (Roitt dan Delves, 2001).

Penanda permukaan membran atau antigen cluster of differentiation (CD)

adalah molekul yang digunakan untuk membedakan sel fungsional yang tidak

terdeteksi secara mikroskopis (Decker, 2001). CD ini dibedakan oleh

kemampuannya untuk mengikat antibodi yang mengenalinya. Penanda permukaan ini terdapat pada sel limfosit yang sudah matang dan sudah mengalami diferensiasi.

Sel limfosit dapat mengenali suatu antigen secara spesifik dan menerima sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu (a) berdiferensiasi menjadi

Limfosit B

Antigen


(36)

sel plasma yang menghasilkan immunoglobulin, dan (b) membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari sel-sel efektor dengan spesifisitas antigen yang sama (Decker, 2001).

Sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar terdapat dalam sirkulasi darah, yaitu sebanyak 65-85%. Sel T terdiri dari tiga subset yaitu

sel Tc atau sel sitotoksik, sel Th atau sel T helper dan sel Ts atau sel T

su p p resso

r (Roit dan Delves 2001). Sel Tc berfungsi untuk membunuh sel-sel

yang terinfeksi patogen intraseluler, dan sel Th berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mensekresikan molekul sinyal yang disebut sitokin. Sel Ts mampu menekan aktivitas sel imun. Sel T memiliki

molekul T ell igen ceptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu

antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada igen

sentingells (APC). Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga

terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut berpengaruh pada aktivasi sel B, Tc, dan sel-sel fagositik, sel NK dan sel lain yang terlibat dalam sistem imun (Roitt dan Delves 2001).

Sel natural killer (sel NK) adalah sel limfosit granular yang berukuran besar. Pada manusia normal, sel NK terdapat dalam jumlah 5-15% dari jumlah limfosit darah (Kresno, 1996). Sel ini merupakan garis depan pertahanan tubuh terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel tumor. Sel NK memiliki reseptor yang menyerupai lektin, yaitu reseptor yang dapat berikatan dengan senyawa karbohidrat pada sel sasaran sehingga menghasilkan pengiriman sinyal pada sel NK untuk membunuh sel tersebut. Populasi sel (sel NK) dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu. Menurut Roitts dan Delves (2001), ketika sel terinfeksi virus atau berubah bentuk menjadi sel yang termutasi, molekul permukaanya berubah. Perubahan ini dikenali oleh sel NK, lalu sel NK membunuh sel tersebut. Sel NK secara fenotip berbeda dengan sel

limfosit T maupun sel limfosit B, yaitu tidak memiliki CD3/TCR maupun ace


(37)

terinveksi virus menghasilkan interferon yang dapat member isyarat ke sel pada jaringan yang berdekatan. Sel NK diduga dapat mengenali sel tumor atau sel yang terinfeksi virus karena sel sasaran tersebut mengekspresikan molekul glikoprotein pada permukaan sel yang membedakannya dari sel normal. Glikoprotein tersebut kemudian bertindak sebagai lektin yang dapat mengikat sel NK melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel NK sehingga terjadi rangsangan (Kresno, 1996). Sitolisis terhadap sel tumor dapat terjadi karena dilepaskannya faktor sitotoksik, yaitu kondratin sulfat A, yang melindungi sel NK terhadap autolysis oleh substansinya sendiri (Kresno, 1996).

2. Pengujian Proliferasi Limfosit

Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proses prolifersi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem imun (Roit dan Delves, 2001). Limfosit merupakan sel tunggal yang bertahan baik saat di kultur dalam media sintetik lengkap. Respon proliferatif kultur limfosit dalam media sintetik dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan

status imun individu (Tejasari, 2000). Zakaria et al (1992) menyatakan bahwa

kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan.

Pengujian terhadap kemampuan fungsional limfosit dapat dilihat dari kemampuan memberikan respon terhadap mitogen (proliferasi sel), kemampuan membentuk immunoglobulin atau limfokin, dan kemampuan sitotoksisitas sel NK (Tejasari, 2000). Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang

mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen atau

mitogen (Valentine dan Lederman, 2000). Bila sel dikultur dengan senyawa mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik. Begitupula, bila limfosit dikultur dengan antigen spesifik maka limfosit akan berproliferasi secara spesifik.


(38)

Metode yang lebih sederhana untuk penghitungan jumlah sel yang berproliferasi adalah metode pewarnaan MTT (3-(4,5-Dimethyl-2-thiazoly)-2,5-diphenyl-2H-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim suksinat

dehidrogenase dari mitokondria sel hidup (Kubota et al . 2003). Reaksi yang

terjadi digambarkan pada Gambar 4. Jumlah senyawa formazan yang terbentuk adalah proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup. Selain dengan metode MTT, perhitungan sel dapat dilakukan dengan metode pewarna tripan biru, yang hanya dapat mewarnai jika membran sel telah rusak, sehingga dapat digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel yang mati atau rusak. Sel yang hidup tidak akan berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut (Bird dan Forrester, 1981).

Gambar 4. Mekanisme reaksi Reduksi MTT menjadi MTT formazan oleh enzim

suksinat dehidrogenase (Kubotaet al . 2003)

Beberapa senyawa yang telah diketahui mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit adalah : vitamin C dan E (Budiharto, 1997), ekstrak bawang putih (Lastari, 1998), ekstrak tanaman cincau hijau (Pandoyo, 2000) ekstrak air kayu

secang (aesalpinia sappan Linn) (Puspaningrum, 2003), teh daun dan serbuk gel

cincau (yclea ) (Setiawati, 2003), bunga kumis kucing (Orthosimphon stamineus

benth) dan bunga knop (Gomphrena globosa L.) (Aquarini, 2005), dan

kitooligomer kitin (Agustine, 2005). Senyawa-senyawa tersebut bekerja melalui mekanisme menginduksi proliferasi sel limfosit.


(39)

3. Mitogen sebagai Senyawa Pemacu Proliferasi Sel Limfosit

Mitogen adalah sumber ligand polipeptida yang dapat berikatan dengan reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Beberapa mitogen merupakan factor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Aktivasi tersebut diawali oleh mitogen yang mengakibatkan adanya urut-urutan sinyal yang berpengaruh terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di dalam sel (Decker, 2001).

Beberapa molekul pada patogen mampu berikatan dengan molekul permukaan limfosit yang bukan merupakan reseptor antigen. Jika pengikatan ini mampu menginduksi limfosit untuk membelah (mitosis), maka molekul tersebut disebut mitogen. Mitogen menginduksi proliferasi limfosit pada frekuensi tinggi tanpa memerlukan adanya spesifisitas antigen, disebut dengan aktivasi poliklonal. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel B, beberapa hanya berpengaruh pada sel T, dan ada juga yang mampu menginduksi keduanya. Beberapa mitogen disebut antigen T-independen, karena mampu menginduksi sel B untuk mensekresinantibodi tanpa ada bantuan dari sel Th (Decker, 2001).

Lektin pada umumnya adalah mitogen yang merupakan protein yang berikatan dengan senyawa karbohidrat. Concavalin A (Con A) dan Fitohemaglutinin (PHA) mempunyai struktur tetramer dengan setiap monomernya memiliki satu situs pengikat karbohidrat, sehingga dapat mengikat glikoprotein pada permukaan sel. Pokeweed (PWM) berasal dari tumbuhan pokeweed (tolacca ericana ). PMW mampu berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose dan mampu menginduksi baik sel B dan sel T (Kuby 1992). Lektin Con A adalah mitogen asal legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat meransang proliferasi limfosit. Menurut Kresno (1996) sebanyak 50-60% sel limfosit T mampu memberikan respon terhadap stimulasi dengan mitogen PHA dan Con A. Lipopolisakarida (LPS) juga mampu berfungsi sebagai mitogen, tetapi pengaruhnya hanya pada sel B (Kuby 1992). Respon terhadap mitogen tersebut dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji transformasi dengan ransangan mitogen tersebut banyak dipakai untuk menguji fungsi limfosit. Stimulasi limfosit dengan antigen maupun mitogen mengakibatkan berbagai


(40)

reaksi biokimia di dalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA, peningkatan metabolisme lemak dan lain-lain (Letwin dan Kuimby 1987).

Lektin dan fitohemaglutinin (PHA) adalah protein non enzimatik, berikatan dengan karbohidrat secara reversibel. Fungsi biologis dari lektin adalah kemampuan mengenal dan berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik, khususnya berikatan dengan oligosakarida. Lektin dapat berikatan dengan berbagai sel yang memiliki molekul permukaan berupa glikoprotein atau glikolipid. Beberapa gugus spesifik lektin telah didentifikasi seperti mannose, galaktosa, asetiglukosamin, asetilgalaktosamin, L-fruktosa, dan asam N-asetilneraminik. Sub unit lektin saling berhubungan satu dengan yang lain melaui ikatan non kovalen atau ikatan-ikatan disulfida. Beberapa lektin membutuhkan kation devalen seperti kalsium, magnesium dan mangan untuk berikatan dangan karbohidrat. Lektin terdiri dari enam famili yang telah dikenal yaitu: lektin legum, lektin sereal, lektin jenis P, C, S dan pentraxis (Letwin dan Quimby 1987).

E. Kultur Sel

Kultur secara in vitro merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan

atau menumbuhkan sel di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan atau bahan

makanan untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai keadaan

sel secara in vivo . Oleh karena itu, diperlukan suatu media pertumbuhan yang

berisi asam-asam amino, vitamin, mineral, garam-garam anorganik, glukosa dan serum. Peranan serum dalam medium biakan sangat penting yaitu sebagai nutrien untuk pertumbuhan sel serta fungsinya dalam pelekatan sel. Serum memberikan hormon-hormon penting, faktor penempel sel ke matriks tempat sel tumbuh, protein, lipid serta mineral-mineral yang diperlukan sebagian besar jenis sel untuk tumbuh dan berkembang. Sel yang dikultur dapat berupa suatu galur sel, yaitu populasi sel yang berasal dari suatu sumber jaringan tertentu yang mengalami pengkulturan lebih lanjut, hingga mencapai sub kultur.

Kultur sel dari jaringan sel kanker diperbanyak dibawah kondisi yang sesuai sampai sel dapat menggunakan semua substrat, menjadi sangat padat (terlihat dekat satu sama lain) atau mencapai konfluen. Setelah mencapai


(41)

konfluen, sel harus dipindahkan ke dalam wadah yang baru dengan medium yang baru untuk mendukung pertumbuhannya kembali, istilah ini disebut subkultur (passage ). ell lines adalah sel yang berasal dari kultur primer yang telah dibiakkan secara berkala, ditumbuhkembangkan, dipelihara, dan disimpan dalam

nitrogen cair. ell lines yang telah disubkultur umumnya mempunyai fraksi

pertumbuhan yang cukup tinggi (lebih dari 80%). Salah satu keistimewaan dari

ell lines ini adalah bersifat abadi (immortal ), sel ini masih dapat hidup dalam

kondisi media seminimal mungkin. ell line tertentu dapat mengalami

transformasi sehingga dapat berkembang secara immortal seperti sel tumor, ini

disebut continous cell line ontinous cell line yang diklon dan dikarakterisasi

akan menurunkancontinous cell strain (Freshnay, 2005).

Ada dua jenis kultur galur sel kanker yaitu kultur yang melekat membentuk selapis (monolayer) di atas substrat padat, atau sebagai suspensi di media kultur. Kedua jenis sel ini mempunyai sifat yang berbeda, dimana sel suspensi tidak memerlukan bahan pembantu untuk menempel, sebaliknya sel selapis memerlukan bahan pembantu. Sel suspensi biasanya dari hemopoetik, sel darah atau sel dari tumor malignant, sedangkan sel monolayer biasanya untuk sel-sel yang berasal dari jaringan (Freshnay, 2005).

Kultur galur sel kanker yang berasal dari manusia, seperti kultur sel Raji

(kanker lymphoma B), sel kanker lymphoma T dan sel K562 (chronic

m yelo g en o u

s leukemia ) merupakan jenis sel suspensi, sel HeLa (epithel carcinoma

cervix), dan sel HCT 116 (kanker kolon) merupakan jenis sel selapis (jaringan), dapat digunakan untuk menguji kemampuan bioaktivitas suatu senyawa sebagai anti kanker terhadap galur-galur sel kanker tersebut. Galur sel dapat dibentuk dari kultur sel langsung (primer) yang kemudian dikultur kembali (subkultur). Sel

yang dikultur ini dipelihara terus-menerus sampai immortal (tidak bisa mati).

Pembentukan sub kultur dapat menghasilkan sel-sel yang homogen dan tidak memiliki sifat-sifat diferensiasi. Menurut Freshney (2005) galur sel yang dihasilkan dari kultur sel primer akan mengalami perubahan antara lain : morfologi (sel lebih kecil, lebih bulat, kurang erat melekat, perbandingan inti dan sitoplasma lebih besar), cepat tumbuh karena waktu yang diperlukan untuk


(42)

tumbuh menjadi lebih pendek, ketergantungan terhadap serum berkurang, dan mampu berproliferasi. Berikut ini beberapa deskripsi dari galur sel lestari yang

digunakan dalam berbagai penelitian yang berasal dari erican type cell cultu re

(ATCC), dan diperoleh dariemell ancer nstitute Jakarta :

a). Sel Raji (ATCC CCL 86)

Sel Raji adalah sel yang berasal dari kultur cell line lymphoblastoid yang

diturunkan dari lymphoma ! "itt , namun memiliki kerusakan pada down stream

kaspase-3 yang menyebabkan sel tersebut tidak menunjukkan gambaran fragmentasi DNA. Burkitt merupakan sejenis kanker yang terdapat pada sistem limpa khususnya pada limfosit B. Sel raji telah ditemukan sejak tahun 1963 yang diperoleh dari rahang kiri anak lelaki dari Afrika yang saat itu mempunyai

limfoma Burkitt. Peristiwa ini merupakan pertama kalinya continuous human

h em a to p o

ietic cell line . Selanjutnya, sel limfoma ini sangat diperlukan untuk

penelitian haemotological limfoma, dan leukemia. Sel Raji ini memiliki banyak

reseptor untuk beberapa komponen komplemen dan cocok digunakan untuk mendeteksi kompleks imun. Sel ini mengekspresikan beberapa reseptor komplemen tertentu serta reseptor untuk Fc imunogloblin G. Sel Raji dikultur pada media RPMI 1640 dengan 2mM L-glutamin dan dipanen saat mencapai fase log (http://www.abcam.com/Raji-cell-line-ab30127.html)

b). Sel MT2 (NIH AIDS Reagent Repository)

Sel MT2 (T-limfoma) adalah sel T manusia yang diisolasi dari stem cell

limfosit darah dan di sub kultur dari sel pasien orang dewasa yang menderita leukimia sel T.

c). HeLa (ATCC CCL 2)

Berasal dari kata #enriettaLacks , yang berasal dari tumor serviks rahim

Helen Lane atau Helen Larson wanita berumur 30 tahun, dengan morfologi menyerupai epithelial. Sel HeLa secara morfologi merupakan sel epitelial yang

sudah dimasuki olehHuman Papiloma Virus(HPV) tipe 18. Sel bersifatimmortal


(43)

F. Antikanker Pada Siklus Sel

Siklus sel adalah suatu proses pertumbuhan sel yang teratur untuk berduplikasi (menggandakan diri) dan menurunkan informasi genetik dari satu generasi sel ke generasi sel yang berikutnya. Selama proses ini berjalan, DNA harus digandakan secara tepat dan salinan kromosom harus dibagikan tepat sama jumlah pada kedua sel anak yang terbentuk. Bagian yang penting dari siklus sel

adalah enzimcyclin -dependent kinases(Cdk). Ketika Cdk ini diaktifkan maka sel

berpindah fase dari satu fase ke berikutnya dalam siklus sel (G1 ke S atau G2 ke M) (Schwartz 2005). Siklus sel normal dikendalikan oleh protein siklin, protein siklin ini adalah kinase yang bekerja mengkatalisis transfer gugus fosfat dari ATP kepada protein target. Aktivasi kebalikannya atau defosforilasi merupakan mekanisme umum untuk mengatur aktivitas protein. Mekanisme inilah yang

digunakan berulang kali untuk mengatur siklus sel (Becker et al. 2000). Cdk

dalam siklus sel berperan penting dalam mengontrol siklus sel. Perubahan dalam pengontrolan terhadap proses siklus sel ditemukan pada mayoritas kanker ganas, oleh karena itu Cdk menjadi target yang menjanjikan untuk terapi anti kanker (Pennati, 2005).

Ketika sel distimulasi untuk tumbuh, mereka meninggalkan keadaan

diamnya (resting state) dan memasuki satu fase siklus sel yang disebut fase G1

(fase sintesis komponen seluler). Sel berada dalam fase ini kurang lebih 8 jam. Setelah itu, sel memasuki fase S (fase sintesis DNA), di dalam fase ini replikasi DNA dimulai dan terus berlangsung sampai terbentuk dua DNA baru. Sintesis DNA berlangsung lebuh kurang 6 jam. Fase selanjutnya adalah fase G2 yang berlansung selama 4-5 jam. Fase ini merupakan fase persiapan sebelum sel membelah. Periode pembelahan disebut fase M atau mitosis, yang berlangsung selama 1-5 jam dan menghasilkan dua sel baru. Sel-sel kanker pada umumnya tumbuh secara eksponensial lebih cepat dari sel normal (Slingerland dan Tannock, 1998).

Obat-obat antikanker yang berperan sebagai antipertumbuhan dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan targetnya, yaitu : Obat-obat antikanker yang berkaitan dengan siklus sel dibagi menjadi 2 macam, yaitu: 1) Sitostatika


(44)

yang mempengaruhi siklus sel spesifik, kerja dari obat golongan ini hanya membunuh atau menghambat terjadinya siklus sel tertentu dan pada fase tertentu saja. Obat-obat yang termausk golongan ini adalah: antimetabolit, alkaloid, dan

m iscella n eo u

s agents , 2) Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel non-spesifik.

Obat golongan ini tidak hanya bekerja pada satu fase saja. Kerjanya adalah membunuh sel yang terlibat dalam siklus sel juga sel-sel di luar siklus sel dengan cara mengikat DNA dan merusaknya. Obat yang termasuk golongan ini adalah :

a lkila tin g

agents , antibiotik. Tahapan kerja obat antikanker pada siklus sel

ditampilkan pada gambar 5 berikut :

Gambar 5. Mekanisme kerja obat antikanker pada siklus sel (http://habib.blog.ugm.ac.id/files/2010/05/8)

Kanker berasal dari kata carcinos (Yunani), cancer (Inggris) atau kanker

(Belanda). Jaringan kanker atau neoplasma adalah suatu gangguan pertumbuhan dengan karakteristik sel yang berlebihan, abnormal dan merupakan proliferasi yang tidak terkontrol dari jaringan yang mengalami transformasi atau perubahan pada satu atau lebih tempat utama dalam tubuh inang dan umumnya disertai dengan metastasis atau penyebaran pada bagian lain tubuh inang (Priosoeryanto, 1994).

Agen mengikat DNA (menghentikan sintesisi DNA) agen mengalkilasi, anti tumor, antibiotik, senyawa platinum dan miscellaneous lainnya. Fase S Sintesis DNA komponen Sintesis untuk pembelahan sel

Fase G2

Inhibitor mikrotubulus (menghentikan sel membuat komponen yang diperlukan untuk pemisahan) Vinca alkaloid Fase S Sintesis DNA Fase G1 Komponen Sintesis DNA ANTI-METABOLIT

(menghentikan sel yang menghalangi pembentukan DNA)

3 Jam Fase M Pembelahan Sel 5 Jam 1 Jam 7 Jam


(45)

Kanker merupakan penyakit sel yang dicirikan dengan perubahan mekanisme yang mengatur proliferasi (pembelahan) dan diferensiasi sel, sehingga sel tersebut mengalami kelainan kromosom (mutasi) yang menyebabkan siklus sel berlangsung terus menerus (sel terus berproliferasi namun tidak berdiferensiasi). Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan materi genetika atau DNA sel. Satu sel yang mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk menghasilkan jaringan kanker atau neoplasma, sehingga kanker disebut juga penyakit seluler. Perubahan pada materi genetika atau disebut juga mutasi gen dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Pertama disebabkan oleh kesalahan replikasi yang terjadi pada saat sel-sel yang aus digantikan oleh sel-sel baru. Pada

saat pergantian satu sel, terjadi kopi DNA baru yang melibatkan 6 x 109pasangan

basa, yang memberikan peluang kesalahan replikasi. Penyebab kedua adalah

mutasi pada galur sel yang mengalami kesalahan genetika yang diturunkan dari gen orang tua, sehingga menghasilkan gen yang termutasi. Mekanisme kerusakan materi genetika sel yang ketiga disebabkan oleh adanya faktor dari luar, atau faktor eksternal yang dapat mengubah struktur DNA, yaitu virus, infeksi berkelanjutan, polusi udara, radiasi dan bahan-bahan kimia asing yang tidak diperlukan oleh tubuh (Zakaria, 2001). Beberapa karsinogen kimia, radiasi, virus dan hormon menginduksi terjadinya kanker, karena faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perubahan struktur DNA atau mutasi gen yang dapat menghasilkan sel kanker (Dalimartha, 1999)

Kanker dapat terjadi karena mutasi pada gen spesifik molekul DNA yang disebut sebagai onkogen. Onkogen terdiri atas dua kelompok yaitu gen yang mengontrol pertumbuhan dan gen yang menekan pertumbuhan tumor. Kelompok yang pertama bekerja untuk mengontrol pembelahan sel (perkembangan sel), yang kedua mempunyai kemampuan untuk menghentikan sel-sel kanker. Kanker terjadi ketika kedua jenis gen di atas mengalami mutasi dan tidak berfungsi dengan benar (Michael dan Doherty, 2005). Mekanisme yang mengatur pertumbuhan, diferensial dan kematian sel adalah fosforilasi protein. Proses fosforilasi protein diatur oleh golongan enzim kinase. Mutasi pada kinase yang disandikan dalam onkogen antara lain dapat menyebabkan terjadinya pembelahan sel lebih cepat.


(46)

Kinase dan fosfatase merupakan menjadi senyawa yang penting pada jalur metabolisme. Perubahan aktivitas enzim kinase yang tidak terkontrol berperan penting pada terbentuknya tumor (Michael dan Doherty, 2005).

Setiap sel tumor dilengkapi dangan molekul permukaan yang aktif, berfungsi antara lain sebagai reseptor berbagai ligan, misalnya reseptor faktor pertumbuhan, reseptor sitokin, dan molekul adhesi sel (Zeromski, 2002). Hasil interaksi logam dan reseptor tersebut menghasilkan perubahan pada pertumbuhan sel tumor dan penyebarannya. Reseptor ini bertindak sebagai komponen kimia yang diketahui sebagai faktor pertumbuhan dan keberadaannya menyebabkan pembelahan sel. Gen yang termutasi akan menghasilkan banyak reseptor-reseptor dan membran sel yang menyebabkan faktor pertumbuhan semakin banyak,kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pembelahan sel lebih cepat (Zeromski 2002).

Menurut Miller (2011), tahap-tahap penting pembentukan sel kanker adalah : a) inisiasi, yaitu terjadinya perubahan pada DNA atau mutasi gen yang di sebabkan oleh berbagai faktor, b) promosi yang meliputi perkembangan sel dan perubahan menjadi sel tumor premalignant, c) progresi dan invasi (penyusupan kejaringan sekitar), d) metastasis yaitu penyebaran melalui pembulu darah dan pembulu getah bening. Tahap penyebaran sel kanker dimulai ketika sel-sel individu dari lokasi asal memisah dan memasuki aliran darah untuk menemukan tempat baru untuk berkembang di dalam tubuh.

Zeromski (2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan yang malignant ditentukan oleh enam perubahan dalam fisiologi sel yang perkembangannya menghasilkan perubahan genotip sel, antara lain: a) sel kekurangan sinyal-sinyal untuk mengontrol pertumbuhan, b) sel tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal

penghambatan pertumbuhan, c) sel menghindari program kematian sel

(apoptosis), d) potensi replikasi yang tidak terbatas, e) angiogenesis yang berkesinambingan, dan f) invasi jaringan dan metastasis.

Pada sel normal, sel hanya akan membelah diri bila tubuh membutuhkannya, seperti mengganti sel-sel yang rusak atau mati. Sebaliknya sel kanker akan membelah diri meskipun tidak dibutuhkan sehingga terjadi kelebihan


(47)

sel-sel baru yang berlebihan yang tidak memiliki daya atur. Jika berhenti membelah, sel kanker melakukannya pada sembarang titik dalam siklusnya, bukan

pada checkpoint normal saja. Di samping itu, sel kanker dapat terus membelah

secara tidak terbatas jika sel tersebut diberi pasokan nutrient secara terus-menerus. Sel kanker memiliki beberapa ciri khusus yang membedakannya dengan sel normal. Sel kanker tidak mempunyai kontrol pertumbuhan dan daya lekat sel kanker berkurang atau bahkan tidak ada. Ketidak normalan sel kanker tersebut

disebabkan oleh hilangnya mekanisme DNA repair dalam sel. Dengan tidak

adanya kemampuan koreksi DNA sebelum sel tersebut membelah, sel

menganggap dirinya layak untuk direplikasi. $heckpoint yang merupakan titik

pengontrolan yang kritis dimana siklus berhenti dan sinyal terus dapat mengatur siklus sel, sudah tidak memiliki peranan lagi. Sehingga, walaupun sel membawa abnormalitas di dalamnya, tetapi sel tetap akan melewati fase-fase dalam siklus sel secara keseluruhan kemudian membelah. Sifat sel kanker berbeda dari sel tubuh normal karena mitosis sel kanker lebih cepat, tidak normal dan tidak terkendali. Sel itu kemungkinan membuat faktor pertumbuhannya sendiri atau memiliki abnormalitas pada jalur persinyalan yang menghantarkan sinyal faktor pertumbuhan ke sistem pengontrolan siklus sel tersebut. Dengan regulasi sel seperti itu, proliferasi akan terjadi tak terkendali hingga sel kanker berhasil membentuk klonal (kelompok). Dari klonal tersebut, terdapat kemungkinan akan ada sel yang lepas dari induknya dan mencoba hidup di jaringan lain. Sehingga dapat terbentuk kanker sekunder yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut kanker anakan.

Kanker dapat tumbuh di semua jaringan tubuh, seperti kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Jenis kanker yang berbeda memiliki perbedaan bagian tubuh yang ditempati, tergantung tempat yang memiliki afinitas baik untuk ditempati. Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam jenis sel kanker menurut sel atau jaringan asalnya. Dikenal beberapa jenis kanker seperti karsinoma, sarkoma, limfoma dan leukemia.


(48)

Secara umum kanker menyebabkan lemahnya tubuh karena nutrisi yang tersedia digunakan sel kanker untuk bermetastase. Secara spesifik, kanker dapat menyebabkan antara lain: a) malnutrisi, karena monopoli neoplasma terhadap zat gizi tertentu, b) kehilangan darah akibat erosi epitel atau permukaan-permukaan lain sehingga terjadi pendarahan, c) nekrosis jaringan akibat defisiensi gizi,rusaknya organ dan inflamasi, d) penyerangan tumor pada organ vital sehingga menurunkan fungsinya, e) gangguan saluran organ vital disertai menurunnya fungsi organ atau terjadinya infeksi, f) efek toksik,terutama pada sistem syaraf pusat atau periferal, g) efek sekresi, baik hormon yang sesuai maupun tidak (Braustein 1987).

G. MEKANISME ANTI KANKER PADA SENYAWA ALAMI DAN SINTESIS

Beberapa mekanisme anti kanker dari bahan-bahan alami telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Berbagai mekanisme yang berbeda dari beberapa jenis sel

kanker yang diteliti diuraikan berikut ini. Shunji et al . (2004) melaporkan

mekanisme anti kanker dari senyawa smenospongin yang berasal dari spong laut terhadap sel K562. Hasil analisis terhadap siklus sel menunjukkan pemberian smenospongin selama 24 jam mampu menghambat fase G1 pada siklus sel, smenospongin juga ditemukan dapat menghambat fosforilasi substrat tirosin kinase.

Park et al . (2004) melaporkan mekanisme anti kanker dari komponen kitosan larut air (WSCO) selama 6 dan 8 hari terhadap sel HL-60 yang menunjukkan terjadinya apoptosis pada sel HL-60 yang diuji dengan metode

elektroforesis gel agarosa. Hasil pengukuran dengan flow cytometry terhadap sel

dalam beberapa tahap siklus sel menunjukkan adanya peningkatan proporsi tahap

G (0)/G(1). Hasil flow cytometry juga menunjukkan telah terjadi diferensiasi sel

HL-60 menjadi sel serupa granulosit. Shen (2002) juga melakukan analisis flow cytometry untuk mengetahui persentase fase S pada siklus sel yang sangat direduksi ketika sel-sel kanker ASG diberikan kitosan larut air (WSC). Hasil penelitian ini juga menemukan protein pengatur metastasis (MMP-2 dan MMP-9) dapat dihambat pada sel-sel kanker ASG yang diberikan WSC.


(49)

Makkar (2002) melaporkan mekanisme anti kanker dari pectin sitrus termodifikasi (MCP), yang merupakan jenis serat berkarbohidrat larut air yang berasal dari buah sitrus. MCP ini spesifik menghambat protein galektin-3 yang berkaitan dengan karbohidrat pada pertumbuhan tumor dan proses metastasis

secara in vivo . Pengujian dilakukan pada uji penghambatan pembentukan

pembuluh kapiler olehhuman ul veinilicabm endotheli al cells (HUVECs) didalam

Matrigel. Mekanisme anti kanker ditunjukkan dengan penghambatan terhadap karbohidrat yang memediasi pertumbuhan tumor, menghambat angiogenesis dan

metastasis secarain vivo %

Quersetin merupakan jenis senyawa flavonoid yang banyak ditemukan pada

buah-buahan dan sayuran. Hasil penelitian Yoshida et al . (2005) menemukan

bahwa quersetin memiliki aktivitas anti tumor terhadap sel HeLa. Fenomena anti tumor dilaporkan terjadi secara apoptosis pada sel HeLa yang dikultur bersama senyawa quersetin.

Pathya, et al (2004) melaporkan aktivitas anti tumor dari senyawa allisin

yang terdapat pada bawang putih. Allisin ditemukan menginduksi aktivasi sinyal ekstraselular terhadap enzim kinase pada sel-sel mononuklir sehingga dapat mengaktivasi dan memperkuat sistem imun.

Obat-obatan anti inflamsi non steroidal yang bekerja sebagai inhibitor siklooksigenase-2 (COX-2) cukup menjanjikan untuk digunakan sebagai obat anti kanker di masa depan, karena berdasarkan studi epidemiologi dan klinis terbukti dapat menstimulasi terjadinya apoptosis pada berbagai galur sel kanker dan menghambat terjadinya proses angiogenesis. Mekanisme kerja yang ditunjukkan tersebut membantu menekan pertumbuhan tumor dan proses transformasi tumor


(50)

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Juni Desember 2011. Penelitian

dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia pada Pusat Penelitian Ilmu Hayati dan Bioteknologi IPB dan Laboratorium Kultur Jaringan, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP) Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Satwa Primata IPB Bogor.

B. Bahan dan Alat

Alat yang digunakan adalah tabung analisis, erlenmeyer, neraca analitik,

sentrifuse, mikropipet, pipet ukur, tabung eppendorf, termometer, waterbath ,

hemositometer, sumur mikroplate, stirrer, kertas saring steril, time& ' vortex,

membrane dialysis (membran selulosa), mikroplate reader, filter membran 0,2

mikro, freez dryer, plat ELISA, aerator, tabung sentrifus.

Bahan yang digunakan adalah B. cereusSW41, Oligomer kitin

(N-asetil-D-Glukosamin, monomer sampai pentamer) yang digunakan sebagai standar dalam analisis dan fraksinasi HPLC. Identifikasi komponen oligomer dilakukan menggunakan HPLC, tepung kitin.

Media untuk kultur sel menggunakan RPMI-1640 bubuk, air deionisasi,

NaHCO3, glutamin, antibiotik penisilin streptomisin, FBS (Fetal Bovine Serum),

akuabides, pewarna tripan biru, untuk uji proliferasi sel menggunakan garam tetrazolium (MTT), formazan, isopropanol, sedangkan untuk pengujian aktivitas

anti kanker secara in vitro menggunakan media DMEM/F 12 (Dulbecco s

Modified Eagle Medium), larutan enzim tripsin 0,02% dan 0,5% EDTA-PBS dan

Doxorubicin sebagai kontrol positif anti kanker, concavalin A dan pokeweed


(51)

C. Diagram Alir Penelitian

+

Gambar 6. Diagram alir proses produksi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin

Keterangan : Bahan baku

Proses Hasil/Data

Pemanasan 60oC, 20 menit

Pemurnian dengan kolom hidrofobik

Analisis aktivitas dan

kadar protein enzim (SDS PAGE & silver staining)Deteksi kemurnian,

Hidrolisat Fraksi bebas sel (FBS)

Preparat enzim murni (EM) Pengumpulan fraksi enzim hasil pemurnian

Koloidal Kitin 1%

Senyawa-senyawa Oligomer Koloidal kitin

Produksi enzim

Enzim kasar

(nkubasi 4 hari & Sentrifugasi selama 10 menit pada 10.000 rpm

Inokulum Media


(52)

Gambar 7. Diagram alir uji toksisitas dengan)*+alina (McLaughlin 1998)

Gambar 8. Diagram alir aplikasi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin Senyawa-senyawa Oligomer

Pengujian Proliferasi Sel Limfosit

Fraksinasi dengan HPLC preparatif

Mono - Pentamer

Pengujian Proliferasi Sel Kanker

Sebanyak 20 mg telur)*salina

Pemasukan dalam 500 ml air laut dengan aerasi

Pencahayaan 48 jam

Pengamatan dan penghitungan

, -salina yang mati

han NaCl Penambahan NaCl

Pemasukan 10 ekor, - salina ke dalam

tabung reaksi yang berisi 3 ml air laut yang dicampur ekstrak oligomer 100, 125, 150, 200, 250 ppm dan kontrol

Pencahayaan 24 jam


(53)

D. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari empat bagian utama yaitu :

1. Kajian produksi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin yang bersifat bioaktif secara enzimatik, pada kegiatan ini dilakukan produksi enzim kitinase dari ./0illus cereus SW41, dilanjutkan dengan studi kondisi produksi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat dari kitin dengan menggunakan metode inkubasi langsung enzim dan substrat. Preparat enzim kasar, pemekatan dengan amonium sulfat dan enzim murni, masing-masing pada berbagai konsentrasi enzim dan waktu inkubasi digunakan sebagai preparat enzim dalam produksi senyawa-senyawa oligomer hidrolisat dari kitin.

2. Fraksinasi senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat hasil reaksi enzimatik dengan tujuan untuk memperoleh fraksi-fraksi oligomer hidrolisat dari kitin. 3. Uji toksisitas adalah uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi

senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin terhadap123/4ina .

4. Kajian bioaktivitas senyawa-senyawa oligomer hidrolisat kitin terhadap proliferasi sel limfosit dan sel kanker, melalui pengujian aktivitas proliferasi

limfosit dan proliferasi sel-sel kanker secarain vitro .

1. Produksi Enzim Kitinase

Enzim kitinase dihasilkan melalui beberapa tahap yang meliputi

pembuatan kolidal kitin sebagai substrat, persiapan media, persiapan isolat .2

cereu

s SW41 yang digunakan sebagai starter , dan produksi enzim pada kondisi

optimumnya. Enzim fraksi supernatan bebas sel diproses lebih lanjut dengan

pemanasan pada 60oC selama 20 menit. Enzim fraksi amonium sulfat dengan

konsentrasi 80% jenuh, sedangkan enzim murni dihasilkan melalui kolom kromatografi interaksi hidrofobik.

Pembuatan Koloidal Kitin. Kedalam Erlenmeyer dimasukkan 20 gram

kitin (practical grade sigma ) dilarutkan ke dalam 400 ml HCl dengan liofilisasi.

Campuran dibiarkan 24 jam pada suhu 4oC. Setelah disaring menggunakan kertas

saring, filtrat ditambah 200 ml akuades dingin dan pH larutan di atur menjadi 7.0 dengan menambahkan secara perlahan-lahan NaOH 10 N. Filtrat kemudian di sentrifugasi pada 7000 rpm selama 10 menit. Filtrat dibuang dan pellet


(54)

ditambahkan dengan akuades dingin kemudian di sentrifugasi lagi dengan kondisi

yang sama. Pelet koloidal kitin disimpan pada suhu 4oC (Arnold dan Solomon,

1986).

Produksi Enzim Fraksi Supernatan Bebas Sel (FBS). Isolat bakteri 56

cereu

s SW41 ditumbuhkan pada media cair yang mengandung koloidal kitin

0,5%, MgSO4.7H2O 0,01%, K2HPO4 0,1%, yeast extract 0,1%, Amonium sulfat

0,7% dan Bacto trypton 0,1%. Biakan diinkubasi pada inkubator berpenggoyang

(120 rpm) suhu 55oC selama empat hari (Wahyuni, 2008). Biakan disentrifugasi

pada suhu 4oC pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan

mengandung enzim ekstrak kasar dipisahkan dari endapannya untuk digunakan dalam tahap selanjutnya.

Produksi Fraksi Enzim Murni (EM). Enzim murni dihasilkan dengan teknik kromatografi kolom hidrofobik (Wahyuni, 2006). Proses pemurnian di awali dengan pemberian amonium sulfat 30% pada supernatant bebas sel, 75 ml supernatant tersebut dimasukkan pada kolom hidrofobik bermatriks butyl separose yang sebelumnya telah di ekuilibrasi dengan buffer fosfat 0,05 M (pH 4) yang juga mengandung amonium sulfat 30% (bufer A). Elusi gradient dilakukan menggunakan buffer fosfat 0,05 M (pH 4), dengan konsentrasi amonium sulfat 15% dan 0%, dengan laju alir 2 ml/jam. Volume fraksi yang ditampung masing-masing sebanyak 3 ml. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar protein pada panjang gelombang 280 nm dan aktivitas kitinase pada panjang gelombang 420 nm pada tiap fraksi. Penggunaan SDS-PAGE dengan pewarnaan perak dilakukan untuk mendeteksi kemurnian enzim. Fraksi dengan posisi pita yang sama kemudian dikumpulkan dan digunakan untuk produksi senyawa-senyawa oligomer.

Pengujian aktivitas enzim kitinase. Aktivitas kitinase diuji dengan metode Ueda dan Arai (1992) yang dimodifikasi. Koloidal kitin 1%, bufer fosfat 0,05 M (pH 4), dan larutan enzim kitinase (filtrat bebas sel) masing-masing

sebanyak 50 l di vortex dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 70oC. Reaksi

dihentikan dengan inkubasi pada suhu -10oC selama 15 menit. Jumlah gula


(1)

118


(2)

¶¯·²¸¹³º° ¯» º¼³¯°¶ ½®¾±¯¿¯·¯¯»À³¯¹·²´¯· ²º¸² ¼º° Á³¹ ²»²´


(3)

ÍÎÏ ÐÎÏÑÒÓ ÐÔÕÖ Ñ

ÝÞ ÚÛÜ ßÜÞ ÚÛÜ


(4)

à

6

áâã äâãåæç äèéêëå

òóïðñ ôñóïðñ ôðõñöïðñ


(5)

ùúûü úûýþÿü


(6)