Sel Limfosit Limfosit Dalam Sistem Imun
Dalam timus sel-sel limfosit ini akan mengalami semacam proses pematangan menjadi sel limfosit yang nantinya akan berfungsi dalam reaksi imunitas seluler
cellu la
r im m
u n
ity . Sel limfosit yang telah diproses dalam kelenjar timus ini
dinamakan sel limfosit T. Sel limfosit yang tidak mengalami proses pematangan dalam kelenjar timus, mengalami proses pematangan dalam sumsum tulang dan
mungkin dalam kelenjar getah bening. Sel-sel yang disebut terakhir ini setelah mengalami proses pematangan akan mempunyai kemampuan untuk membentuk
antibodi dalam reaksi imunitas. Sel ini dinamakan sel limfosit B. Sel lomfosit T dan limfosit B yang baru terbentuk akan mengalir dalam pembuluh darah dan
pembuluh limfe. Sebagian besar dari sel limfosit T dan B akan masuk ke dalam kelenjar getah bening dan menetap sementara di dalamnya, sedang sebagian lain
akan meninggalkan kelenjar getah bening dan masuk kembali dalam sirkulasi. Begitu masuk ke dalam kelenjar getah bening sel limfosit ini akan langsung
menempati tempat-tempat yang telah ditentukan untuk masing-masing sel T dan sel B. Limfosit B akan masuk ke dalam folikel sedang limfosit T menempati
daerah para - cortex dan medulla. Jika ada antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi imunoblast. Sedangkan pada
limfosit B, rangsangan antigen menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi reaksi
immunitas humoral. Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak lagi memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Sel-sel ini juga tidak
memiliki reseptor terhadap komplemen, namun sebaliknya ia memiliki imunoglobulin intraseluler in
tra cyto
p la
sm ic im
m u
n o
g lo
b u
lin .
Sel limfosit terdiri dari 2 tipe sel yang mampu membuat kekebalan yaitu sel limfosit T, yang berfungsi dalam imunitas seluler, dan sel limfosit B yang
berfungsi dalam imunitas humoral Bellanti, 1993. Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi dalam jaringan ekivalen bursa.
Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10-15. Setiap sel B memiliki 10
5
cell cep
to r
BCR, dan setiap BCR memiliki dua situs pengikatan antigen yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein
dengan struktur tiga dimensi. BCR dan antibody mengikat antigen dalam bentuk
aslinya. Hal ini membedakan sel B dengan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel Kresno, 1996.
Sel B dan sel T sama-sama dihasilkan di sumsum tulang, tetapi pada kelanjutannya kedua sel ini berdiferensiasi dan memiliki mekanisme masing-
masing dalam melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sel B bereaksi terhadap antigen dengan cara berdiferensiasi menjadi sel
plasma dan memproduksi antibodi pada permukaan selnya, sehingga antigen terikat pada
antibodi tersebut dan terjadi opsonisasi antigen pada permukaan sel B. Berbeda dengan sel B, beberapa sel T bereaksi terhadap antigen dengan berdiferensiasi
menjadi sel T
h
aktif yang menstimulasi produksi antibodi bebas serta mengaktivasi makrofag. Antibodi yang dihasilkan sel T dapat bergerak bebas
menghampiri antigen dan mengikatnya. Mekanisme ini digambarkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Mekanisme perlawanan terhadap antigen oleh limfosit Roitt dan Delves, 2001.
Penanda permukaan membran atau antigen clu ster o
f differentiation CD
adalah molekul yang digunakan untuk membedakan sel fungsional yang tidak terdeteksi secara mikroskopis
Decker, 2001. CD ini dibedakan oleh kemampuannya untuk mengikat antibodi yang mengenalinya. Penanda permukaan
ini terdapat pada sel limfosit yang sudah matang dan sudah mengalami diferensiasi.
Sel limfosit dapat mengenali suatu antigen secara spesifik dan menerima sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan
mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu a berdiferensiasi menjadi
Limfosit B
Antigen
Antibodi dari sel T
sel plasma yang menghasilkan immunoglobulin, dan b membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit mampu
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari sel-sel efektor dengan spesifisitas antigen yang sama Decker, 2001.
Sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar terdapat dalam sirkulasi darah, yaitu sebanyak 65-85. Sel T terdiri dari tiga subset yaitu
sel Tc atau sel sitotoksik, sel Th atau sel T h elp
er dan sel Ts atau sel T
su p
p resso
r Roit dan Delves 2001. Sel Tc berfungsi untuk membunuh sel-sel
yang terinfeksi patogen intraseluler, dan sel Th berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mensekresikan molekul sinyal yang
disebut sitokin. Sel Ts mampu menekan aktivitas sel imun. Sel T memiliki molekul T
ell ig
en cep
to r
TCR yang dapat mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada
ig en
sen tin
g ells
APC. Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan
berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut berpengaruh pada aktivasi sel B, Tc, dan sel-sel fagositik, sel NK dan sel lain
yang terlibat dalam sistem imun Roitt dan Delves 2001. Sel n
a tu
ra l killer
sel NK adalah sel limfosit granular yang berukuran besar. Pada manusia normal, sel NK terdapat dalam jumlah 5-15 dari jumlah
limfosit darah Kresno, 1996. Sel ini merupakan garis depan pertahanan tubuh terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel tumor. Sel NK memiliki reseptor yang
menyerupai lektin, yaitu reseptor yang dapat berikatan dengan senyawa karbohidrat pada sel sasaran sehingga menghasilkan pengiriman sinyal pada sel
NK untuk membunuh sel tersebut. Populasi sel sel NK dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu. Menurut Roitts dan
Delves 2001, ketika sel terinfeksi virus atau berubah bentuk menjadi sel yang termutasi, molekul permukaanya berubah. Perubahan ini dikenali oleh sel NK,
lalu sel NK membunuh sel tersebut. Sel NK secara fenotip berbeda dengan sel limfosit T maupun sel limfosit B, yaitu tidak memiliki CD3TCR maupun
a ce
m m
u n
o g
lo b
u lin
SLG. Sel ini memiliki petanda CD56 dan CD16. Sel yang
terinveksi virus menghasilkan interferon yang dapat member isyarat ke sel pada jaringan yang berdekatan. Sel NK diduga dapat mengenali sel tumor atau sel yang
terinfeksi virus karena sel sasaran tersebut mengekspresikan molekul glikoprotein pada permukaan sel yang membedakannya dari sel normal. Glikoprotein tersebut
kemudian bertindak sebagai lektin yang dapat mengikat sel NK melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel NK sehingga terjadi rangsangan Kresno,
1996. Sitolisis terhadap sel tumor dapat terjadi karena dilepaskannya faktor sitotoksik, yaitu kondratin sulfat A, yang melindungi sel NK terhadap autolysis
oleh substansinya sendiri Kresno, 1996.