Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

(1)

i

ANALISIS KELAYAKAN USAHA JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)

(Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

SKRIPSI

Oleh :

DEWI MULYAWATI H34104036

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

RINGKASAN

DEWI MULYAWATI. Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan POPONG NURHAYATI).

Jamur merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang dapat memberikan kontribusi yang besar sebagai penyumbang nilai Produk Domestik Bruto nasional dan dapat dikembangkan serta diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Jamur tiram putih memiliki kandungan gizi lebih bagus dibandingkan dengan jenis jamur lainnya maupun hewani, hal ini menyebabkan permintaan jamur yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah melakukan impor untuk menanggulangi ketimpangan penawaran dan permintaan jamur dalam negeri. Prospek pasar yang tinggi tersebut merangsang pengusaha salah satunya Kumbung Jamur D & D yang berada di Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor untuk menekuni atau meningkatkan produksi budidaya jamur tiram putih.

Saat ini pelaku usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D belum mampu memenuhi permintaan jamur tiram putih segar secara keseluruhan. Hal tersebut menyebabkan pelaku usaha akan melakukan pengembangan usaha dengan meningkatkan skala produksinya yaitu memperluas kumbung. Pengembangan usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan modal gabungan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial terhadap tiga skenario, yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III).

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek non finansial, menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek finansial, dan menganalisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar dan kenaikan harga serbuk kayu.

Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pemilik sekaligus manajer dan karyawan Kumbung Jamur D & D, serta masyarakat umum di sekitar lokasi penelitian. Data sekunder yang berguna untuk melengkapi informasi dalam penelitian ini diperoleh dari data internal di Kumbung Jamur D & D maupun diperoleh dari instansi-instansi yang terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner, konsultasi, dialog, dan pengamatan langsung serta melalui penelurusan pustaka ataupun literatur. Data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif yang diolah dengan menggunakan bantuan komputer, yakni program Microsoft Excel 2010. Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menilai kelayakan


(3)

iii pengembangan usaha jamur tiram putih secara finansial. Penilaian kelayakan secara finansial dilakukan dengan melakukan perhitungan kriteria investasi yang terdiri dari NPV, Net B/C, IRR, payback period dan Incremental Net benefit. Selain itu, dilakukan juga analisis sensitivitas untuk mencari perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar usaha masih dapat dilaksanakan dan masih memberikan keuntungan normal.

Aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek lingkungan menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Hal ini dikarenakan usaha jamur tiram putih ini memiliki peluang pasar yang tinggi, kondisi iklim lokasi yang cocok untuk usaha jamur tiram putih, sarana prasarana usaha yang memadai serta usaha jamur tiram putih ini memberikan dampak yang baik secara sosial ekonomi budaya dan lingkungan sekitar usaha.

Berdasarkan aspek finansial, kriteria kelayakan investasi usaha jamur tiram putih menunjukkan bahwa ketiga skenario yaitu yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III) layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan ketiga skenario memiliki nilai NPV lebih besar dari nol, nilai Net B/C lebih besar dari satu, IRR lebih besar dari discount rate yang digunakan dan payback period berada sebelum umur usaha berakhir. Pada skenario I (kondisi sebelum pengembangan) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 160.907.357,82, nilai Net B/C sebesar 1,87, nilai IRR sebesar 32 persen, dan DPP selama 2 tahun, 4 bulan, 17 hari. Pada Skenario II (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka bambu) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 732.608.064,89, nilai Net B/C sebesar 2,71, nilai IRR sebesar 56 persen, dan DPP selama 1 tahun, 7 bulan, 28 hari. Pada skenario III (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka kayu) menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 1.156.134.833,42, nilai Net B/C sebesar 2,85, nilai IRR sebesar 36 persen, dan DPP selama 1 tahun, 10 bulan 3 hari.

Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario-skenario yang digunakan diperoleh adanya penurunan harga jual jamur tiram sebesar 20 persen dan kenaikan harga serbuk kayu sebesar 10 persen tidak mempengaruhi usaha jamur tiram pada masing-masing skenario. Hasil analisis kelayakan finansial incremental net benefit menunjukkan manfaat bersih dari hasil kriteria investasi berupa nilai NPV pada penambahan kapasitas kumbung dengan menggunakan rangka kayu mendapatkan nilai yang lebih besar dan PP yang lebih cepat dibandingkan dengan yang diperoleh pada penambahan kapasitas kumbung dengan menggunakan rangka bambu.


(4)

iv

ANALISIS KELAYAKAN USAHA

JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)

(Studi Kasus: Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

DEWI MULYAWATI H34104036

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(5)

v Judul : Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus

ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Nama : Dewi Mulyawati NRP : H34104036

Disetujui, Pembimbing

Ir. Popong Nurhayati, MM NIP. 19670211 199203 2 002

Mengetahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002


(6)

vi

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2012

Dewi Mulyawati H34104036


(7)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 28 September 1988. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Samhudin dan Ibu Enah Heniawati.

Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Cijati dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan tingkat menengah diselesaikan penulis pada tahun 2004 pada SLTP Negeri 1 Situraja. Pendidikan tingkat atas diselesaikan penulis pada tahun 2007 pada SMU Negeri 1 Sumedang. Pada tahun 2007, penulis diterima di Universitas Padjadjaran, pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian dan selesai pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya jamur tiram putih pada aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek lingkungan, menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih pada aspek finansial dengan menggunakan kriteria investasi, yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), Payback Period (PP), dan Incremental Net Benefit pada tiga skenario yaitu sebelum pengembangan, dan setelah pengembangan menggunakan rangka bambu maupun dengan kayu, serta menganalisis sensitivitas pengembangan usaha untuk melihat dampak suatu perubahan keadaan pada hasil analisis kelayakan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Semoga skripsi ini dapat memberikan dukungan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Desember 2012


(9)

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagi pihak sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi.

2. Ir. Joko Purwono, MS selaku dosen penguji utama dan Rahmat Yanuar, SP, MSi selaku dosen penguji dari wakil Departemen Agribisnis pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

3. Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah memberikan koreksi dan saran demi perbaikan skripsi.

4. Bapak Ir. Burhanudin, MM yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis.

5. Orang tua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

6. Bapak Danang Widagdo beserta karyawan Kumbung Jamur D & D atas waktu, kesempatan, informasi dan dukungan yang diberikan.

7. Pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Direktorat Jenderal Hortikultura, dan Badan Pusat Statistik atas informasi yang diberikan kepada penulis berkaitan dengan penyusunan skripsi ini.

8. Astri Widiyawati selaku pembahas seminar, terima kasih atas masukan dan dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi.

9. Teman-teman seperjuangan di Alih Jenis 1 Agribisnis Merizka, Hairia, Zulfi, dan Rino atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya.

Bogor, Desember 2012 Dewi Mulyawati


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Karakteristik Jamur Tiram ... 10

2.2 Perkembangan Jamur Tiram Putih di Indonesia ... 11

2.3 Kriteria Tempat Budidaya Jamur Tiram ... 12

2.4 Rangka Bangunan Kumbung ... 13

2.4.1 Keawetan Bambu ... 13

2.4.2 Keawetan Kayu ... 15

2.5 Penelitian Terdahulu ... 17

2.5.1 Penelitian Mengenai Usahatani dan Pendapatan Jamur Tiram putih ... 17

2.5.2 Penelitian Mengenai Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 22

3.1.1 Studi Kelayakan Bisnis ... 22

3.1.2 Teori Investasi ... 23

3.1.3 Teori Biaya dan Manfaat ... 24

3.1.4 Aspek-aspek Studi Kelayakan Bisnis ... 25

3.1.4.1 Aspek Pasar ... 25

3.1.4.2 Aspek Teknis ... 26

3.1.4.3 Aspek Manajemen dan Hukum ... 28

3.1.4.4 Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 28

3.1.4.5 Aspek Lingkungan ... 29

3.1.4.6 Aspek Finansial ... 29

3.1.3 Analisis Sensitivitas ... 31

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 32

IV. METODE PENELITIAN ... 35

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

4.2 Data dan Instrumentasi ... 35

4.3 Metode Pengumpulan Data ... 35

4.4 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 36

4.4.1 Analisis Aspek Pasar ... 36

4.4.2 Analisis Aspek Teknis ... 37


(11)

xi

4.4.4 Analisis Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 38

4.4.5 Analisis Aspek Lingkungan ... 38

4.4.6 Analisis Aspek Finansial ... 38

4.4.6.1 Net Present Value ... 39

4.4.6.2 Net Benefit Cost Ratio ... 40

4.4.6.3 Internal Rate of Return ... 41

4.4.6.4 Payback Period ... 41

4.4.6.5 Incremental Net Benefit ... 42

4.4.5. Analisis Sensitivitas ... 42

4.4.6. Asumsi-Asumsi yang Digunakan dalam Penelitian ... 43

V. GAMBARAN UMUM ... 46

5.1 Profil Bojonggede ... 46

5.2 Sejarah dan Perkembangan Usaha ... 46

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

6.1 Analisis Aspek Non Finansial ... 49

6.1.1 Aspek Pasar ... 49

6.1.1.1 Permintaan dan Penawaran Jamur Tiram Putih 49

6.1.1.2 Strategi Pemasaran ... 50

6.1.1.3 Perkiraan Penjualan ... 51

6.1.1.4 Hasil Analisis Aspek Pasar ... 53

6.1.2 Aspek Teknis ... 53

6.1.2.1 Lokasi Usaha ... 53

6.1.2.2 Skala Usaha ... 56

6.1.2.3 Proses Produksi ... 56

6.1.2.4 Layout ... 59

6.1.2.5 Pemilihan Jenis Teknologi ... 60

6.1.2.6 Hasil Analisis Aspek Teknis ... 60

6.1.3 Aspek Manajemen dan Hukum ... 60

6.1.3.1 Manajemen ... 60

6.1.3.2 Hukum ... 61

6.1.3.3 Hasil Analisis Aspek Manajemen dan Hukum . 62 6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, Budaya dan Lingkungan ... 62

6.2 Analisis Aspek Finansial ... 63

6.2.1 Arus Penerimaan (Inflow) ... 64

6.2.2 Pinjaman ... 66

6.2.3 Nilai Sisa (Salvage Value) ... 67

6.2.4 Arus Biaya (Outflow) ... 70

6.2.4.1 Biaya Investasi ... 71

6.2.4.2 Biaya Reinvestasi ... 72

6.2.4.3 Biaya Operasional ... 72

6.2.4.4 Bunga ... 76

6.2.4.5 Pajak Penghasilan ... 78

6.2.5 Analisis Laba Rugi Usaha ... 79

6.2.6 Analisis Kelayakan Finansial ... 80

6.2.7 Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Tiram Putih dengan Penambahan Kapasitas Kumbung Jamur 45.000 Baglog (Incremental Net Benefit) ... 84


(12)

xii

6.2.8 Analisis Sensitivitas ... 86

6.2.9 Hasil Analisis Aspek Finansial ... 88

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

7.1 Kesimpulan ... 91

7.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Komoditas Hortikultura

Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun

2005-2009... 1

2. Perbandingan kandungan Gizi jamur dengan bahan Makanan Lain per 100 gram (dalam %) ... 2

3. Produksi dan Konsumsi Jamur di Indonesia Tahun 2008-2010 .. 2

4. Volume Impor Jamur Tahun 2008-2010 ... 3

5. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2010 ... 3

6. Posisi Demografi Budidaya Jamur Tiram Putih di Beberapa Wilayah di Kabupaten Bogor ... 4

7. Konsumsi Jamur Tiram pada Kota-kota Besar Tahun 2009 ... 5

8. Permintaan Jamur Pelanggan Kumbung Jamur D & D per Bulan 6 9. Kelas Awet Kayu ... 17

10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian 20 11. Perkembangan Produksi Jamur di Jawa Barat Tahun 2004-2009 51 12. Perhitungan Proyeksi Perkembangan Jamur di Jawa Barat ... 51

13. Kebutuhan Bahan Baku Kumbung Jamur D & D per 15.000 Baglog ... 54

14. Komposisi Substrat Tanaman Jamur Kumbung Jamur D & D .. 56

15. Penerimaan Skenario I (dalam Rp)... 64

16. Penerimaan Skenario II (dalam Rp) ... 65

17. Penerimaan Skenario III (dalam Rp) ... 66

18. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario I ... 68

19. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario II ... 69

20. Jenis Investasi, Penyusutan, dan Nilai Sisa Skenario III ... 70

21. Biaya Tetap Kumbung Jamur D & D Skenario I (dalam Rp) ... 73

22. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario I... 74

23. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario II ... 75

24. Biaya Variabel Kumbung Jamur D & D Skenario III ... 76

25. Konsep Perhitungan Pokok Pinjaman, Biaya Bunga, dan Sisa Pokok Pinjaman Skenario I ... 77


(14)

xiv 26. Konsep Perhitungan Pokok Pinjaman, Biaya Bunga, dan Sisa

Pokok Pinjaman Skenario II ... 77 27. Konsep Perhitungan Pokok Pinjaman, Biaya Bunga, dan Sisa

Pokok Pinjaman Skenario III ... 78 28. Pajak Penghasilan Kumbung Jamur D & D (dalam Rp) ... 78 29. Laba Bersih Kumbung Jamur D & D (dalam Rp) ... 79 30. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario I 81 31. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario

II ... 82 32. Kriteria Kelayakan Investasi Kumbung Jamur D & D Skenario

III ... 83 33. Hasil Kelayakan Finansial Pengembangan dengan Penambahan

Kapasitas Kumbung 45.000 Baglog Menggunakan Rangka

Bambu (Incremental Net Benefit) ... 85 34. Hasil Kelayakan Finansial Pengembangan dengan Penambahan

Kapasitas Kumbung 45.000 Baglog Menggunakan Rangka Kayu (Incremental Net Benefit) ... 86 35. Analisis Sensitivitas Kumbung Jamur D & D terhadap Penurunan Harga Jamur 20 persen ... 88 36. Analisis Sensitivitas Kumbung Jamur D & D terhadap Kenaikan


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 34 2. Saluran Distribusi Jamur Tiram Putih Kumbung Jamur D & D . 50


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Layout Lokasi Usaha ... 97

2. Kegiatan Produksi Jamur Tiram Putih Kumbung Jamur D & D 98 3. Siklus Produksi Jamur Tiram Putih Kumbung Jamur D & D ... 100

4. Analisis Laba Rugi Skenario I (dalam Rp) ... 101

5. Analisis Laba Rugi Skenario II (dalam Rp) ... 102

6. Analisis Laba Rugi Skenario III (dalam Rp) ... 103

7. Cashflow Skenario I (dalam Rp) ... 104

8. Cashflow Skenario II (dalam Rp) ... 105

9. Cashflow Skenario III (dalam Rp) ... 106

10. Analisis Sensitivitas Skenario I (Penurunan Harga Jamur 20%) 108 11. Analisis Sensitivitas Skenario I (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 109

12. Analisis Sensitivitas Skenario II (Penurunan Harga Jamur 20%) 110 13. Analisis Sensitivitas Skenario II (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 111

14. Analisis Sensitivitas Skenario III (Penurunan Harga Jamur 20%) 112 15. Analisis Sensitivitas Skenario III (Kenaikan Harga Serbuk Kayu 10%) ... 114

16. Incremental Net Benefit Penambahan Kapasitas Kumbung Menggunakan Rangka Bambu ... 116

17. Incremental Net Benefit Penambahan Kapasitas Kumbung Menggunakan Rangka Kayu ... 117


(17)

1 I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan berperan penting dalam perekonomian nasional dengan kecenderungan pertumbuhan yang naik atau meningkat. Komoditas tanaman hortikultura di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yaitu sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman biofarmaka. Kontribusi masing-masing komoditas hortikultura bagi perekonomian Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PBD) Komoditas Hortikultura Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2005-2009

Kelompok Hortikultura

Nilai PDB (Milyar Rp)

2005 2006 2007 2008 2009

Sayuran 22.629,88 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71

Trend (%) 9,12 3,62 10,23 8,16

Buah-buahan 31.694,39 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70

Trend (%) 11,84 19,51 11,09 2,93

Tanaman Hias 4.662,11 4.734,27 4.104,87 3.852,67 3.896,90

Trend (%) 1,55 0,14 7,25 1,15

Tanaman Biofarmaka 2.806,06 3.762,41 4.740,92 5.084,78 5.494,24

Trend (%) 34,08 9,10 -6,14 8,05

Total Hortikultura 61.792,44 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56

Trend (%) 11,08 11,88 9,65 4,91

Rata-rata Peningkatan PDB Hortikultura (%) 9,24

Sumber: Departemen Pertarnian, 2010

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1 dapat diketahui pada periode 2005 hingga 2009 menunjukkan peningkatan yang positif setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan PDB Hortikultura sebesar 9,24 persen yang disebabkan pembangunan pertanian di bidang pangan khususnya hortikultura pada saat ini ditujukan untuk lebih memantapkan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan masyarakat, memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman jenis bahan makanan.

Salah satu komoditas hortikultura yang telah memberikan kecenderungan peningkatan yang positif yaitu komoditas sayuran. Indonesia yang secara umum sebagai salah satu negara yang beriklim tropis mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengembangkan komoditas sayuran dan dapat memberikan


(18)

2 kontribusi yang signifikan bagi kemajuan perekonomian Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan PDB sayuran periode 2005 hingga 2009. Pada tahun 2005 nilai PDB sayuran adalah sebesar 22,629 milyar dan terus meningkat hingga mencapai 30,505 milyar pada tahun 2009.

Salah satunya produk sayuran yang dapat dikembangkan dan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman jenis bahan makanan yaitu jamur. Jamur tiram memiliki kandungan gizi lebih bagus dibandingkan dengan jenis jamur lainnya maupun sumber gizi pangan hewani (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006). Hal ini menyebabkan perkembangan produksi dan konsumsi jamur di Indonesia mengalami peningkatan yang dapat dilihat dari data pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Jamur di Indonesia Tahun 2008-2010

Tahun Produksi Konsumsi

Ton Trend (%) Ton Trend (%)

2008 43,047 - 45,151

-2009 38,465 -0.106 47,528 0.052

2010 61,370 0.595 52,281 0.100

Rata-rata 47,627 0.244 48,320 0.076

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012

Produksi jamur mengalami peningkatan rata-rata setiap tahunnya 0,244 persen walaupun pada tahun 2009 mengalami penurunan produksi, sedangkan konsumsi jamur setiap tahunnya mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan 0,076 persen, hal tersebut didorong dari kandungan gizi yang dimiliki jamur cukup bagus. Pada Tabel 3 terlihat bahwa jamur tiram memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang lebih tinggi daripada daging sapi, namun kandungan lemaknya jauh lebih rendah.

Tabel 3. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lain per 100 gram (dalam %)

Bahan Makanan Protein Lemak Karbohidrat

Jamur merang 1,8 0,3 4,0

Jamur tiram putih 27 1,6 58,0

Jamur kuping 8,4 0,5 82,8

Daging sapi 21 5,5 0,5

Bayam - 2,2 1,7

Kentang 2,0 - 20,9

Kubis 1,5 0,1 4,2

Seledri - 1,3 0,2

Buncis - 2,4 0,2


(19)

3 Adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi jamur yang diakibatkan permintaan jamur terus meningkat yang menyebabkan pemerintah melakukan impor jamur. Volume impor jamur setiap tahunnya mengalami peningkatan sebesar 0,099 persen (Tabel 4).

Tabel 4. Volume Impor Jamur Tahun 2008-2010

Tahun Jumlah Impor

Ton Trend (%)

2008 3.432

2009 4.081 0.189

2010 4.120 0.009

Rata-rata 3.877 0.099

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012

Jamur tiram merupakan salah satu jamur yang cukup dikenal dan digemari oleh masyarakat karena dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah dan segar, dalam bentuk masakan maupun dalam bentuk olahan (Rahmat dan Nurhidayat, 2011). Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) Jamur tiram memiliki beberapa jenis yaitu jamur tiram putih, jamur tiram abu-abu, jamur tiram coklat, dan jamur tiram merah. Jenis yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jamur tiram putih, selain rasanya yang lebih lezat masyarakat juga lebih menyukai dan mengenal jamur tiram putih dibandingkan dengan jenis jamur tiram yang lain. Jamur tiram putih dapat diproduksi sepanjang tahun dalam areal yang relatif sempit, sehingga merupakan alternatif yang cukup baik dalam rangka memanfaatkan lahan pekarangan. Selain itu, budidaya jamur tiram tidak menggunakan bahan kimia atau pupuk anorganik sehingga tidak merusak lingkungan.

Tabel 5. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2010

No. Propinsi Luas Panen

(Ha) Produksi (Ton)

Produktivitas (kwintal/Ha)

1. Jawa Barat 324.67 19,623.16 60.4

2. Jawa Tengah 15.21 1,189.38 78.2

3. Daerah Istimewa Yogyakarta 7.46 804.96 107.9

4. Jawa Timur 330.84 39,472.91 119.3

5. Banten 1.50 116.70 77.8

Sumber : Kementrian Pertanian, 2012

Pulau Jawa merupakan salah satu sentra produksi jamur tiram putih di Indonesia. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa terdapat lima provinsi di


(20)

4 Pulau Jawa yang menghasilkan jamur tiram putih. Jawa Barat merupakan provinsi di pulau Jawa yang memiliki luas panen yang cukup besar dibandingkan beberapa daerah lainnya, tetapi memiliki tingkat produktivitas yang paling rendah. Kondisi tersebut diduga dikarenakan para petani dalam melakukan usahatani jamur tiram putih pada umumnya masih bersifat tradisional dan tergolong usahatani kecil.

Jawa Barat sendiri memiliki beberapa sentra penghasil jamur tiram salah satunya yaitu di Kabupaten Bogor karena wilayah Kabupaten Bogor sangat cocok dijadikan sebagai lokasi budidaya jamur tiram, menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) lokasi yang memenuhi syarat tumbuh jamur yaitu memiliki ketinggian 700 meter di atas laut dan memiliki temperatur ideal untuk pertumbuhan jamur tiram yaitu 22 sampai 28 derajat celcius. Pada ketinggian tersebut pertumbuhan jamur tiram tidak terpengaruh pada cuaca atau musim, baik musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini bisa dilihat keadaan di beberapa kecamatan penghasil jamur tiram segar yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel 6).

Tabel 6. Posisi Demografi Budidaya Jamur Tiram Putih di Beberapa Wilayah di Kabupaten Bogor

Wilayah

Bogor Kecamatan Keadaan Lokasi

Barat Pamijahan 750 sampai 1.050 meter di atas permukaan laut, dengan suhu 25 sampai 30 derajat celcius

Ciampea 600 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 280 derajat celcius dan kelembaban 70 persen

Tengah Cisarua 1200 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 26derajat celcius, dan curah hujan 2400 mm per tahun

Tamansari 700 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 25sampai 30derajat celcius Bojonggede 182 meter di atas permukaan laut, dengan

suhu rata-rata 24,9 sampai 25,8derajat celcius dan curah hujan 2500 mm per tahun.

Sumber : Diperoleh dari berbagai sumber, 2012

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat dari beberapa lokasi budidaya jamur tiram di dua kecamatan di Kabupaten Bogor terlihat bahwa lokasi tersebut sesuai dengan syarat tumbuh jamur, akan tetapi daerah Bojonggede berada di ketinggian 182 meter di atas permukaan laut, hal tersebut sangat jauh dengan syarat tumbuh


(21)

5 jamur. Di Kecamatan Bojonggede terdapat tiga pelaku usaha budidaya penghasil jamur tiram putih segar dan salah satunya yaitu Kumbung Jamur D & D yang baru berdiri pada bulan Mei 2011. Jika dibandingkan dua pelaku usaha lainnya Kumbung Jamur D & D memiliki jarak yang lebih dekat dengan pasar karena lokasinya yang berada di belakang Pasar Bojonggede. Dalam perkembangan usahanya Kumbung Jamur D & D memerlukan studi kelayakan usaha untuk pengembangan perusahaan kedepannya baik dari aspek non finansial maupun finansial.

1.2Perumusan Masalah

Kumbung Jamur D & D yang dimiliki oleh M. Danang yang baru berdiri pada bulan Mei 2011 didirikan berdasarkan permintaan jamur tiram yang terus meningkat setiap tahunnya. Kabupaten Bogor yang merupakan sentra jamur tiram dan memiliki banyak pelaku usaha budidaya jamur tiram yang sudah besar dan kebanyakan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan jamur di beberapa kota yang tingkat kebutuhan jamurnya tinggi dan belum memenuhi permintaan jamur di kabupaten Bogor sendiri. Beberapa daerah yang tingkat kebutuhan akan jamur tiram cukup tinggi terdapat pada kota-kota besar seperti Bogor, Tangerang, Cianjur, Bekasi, Tasikmalaya dan Jakarta seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Konsumsi Jamur Tiram pada Kota-kota Besar 2009

No Kota Konsumsi Per hari per kilogram

1 Bogor 150

2 Tangerang 3.000

3 Cianjur 200

4 Bekasi 3.000

5 Tasikmalaya 300

6 Jakarta 9.000

Sumber: AgroMedia (2011)

Awal memulai usaha Kumbung Jamur D & D hanya menjual jamur segarnya kepada pedagang sayur keliling, namun dalam perkembangannya permintaan justru datang dari pedangan sayur dari Pasar Bojonggede dan Pasar Induk Warung Jambu, permintaan dari kedua pasar tersebut terus meningkat sehingga pelaku usaha tidak menjual jamur segarnya ke pedagang keliling. Saat ini permintaan jamur tiram berasal dari dua pedagang sayur yang berada Pasar Bojongggede, masing-masing permintaan jamur dapat dilihat pada Tabel 8.


(22)

6 Tabel 8. Permintaan Jamur Pelanggan Kumbung Jamur D & D per hari

Pelanggan Rata-rata permintaan (kg)

Rata-rata permintaan yang biasa dipenuhi oleh Kumbung Jamur D & D

(kg) Bapak Aceng

(Pasar Bojonggede)

30 18

Ibu Yus

(Pasar Bojonggede)

25 15

(Pasar Induk Warung Jambu)

80 8

Pedagang Olahan Jamur Tiram

20 4

Sumber : Kumbung Jamur D & D

Dari data pada Tabel 8 terlihat bahwa Kumbung D & D baru bisa memenuhi sekitar 29 persen permintaan pasar. Tidak terpenuhinya permintaan tersebut dikarenakan keterbatasan kumbung yang dimiliki oleh Kumbung D & D. Ukuran kumbung yang dimiliki oleh Kumbung Jamur D & D saat ini yaitu 8 x 12 meter dan berkapasitas 15.000 baglog. Oleh karena itu untuk memenuhi kelebihan permintaan, pihak Kumbung D & D berencana untuk meningkatkan skala produksinya dengan memperluas kumbung menjadi 45.000 baglog. Rencana pengembangan usaha dengan memperluas kumbung tersebut didasarkan pada keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemilik usaha yaitu seluas 16 x 25 meter yang hanya bisa dibangun kumbung berkapasitas 30.000 baglog.

Rencana pembangunan kumbung dilakukan menggunakan modal gabungan antara modal sendiri dan modal pinjaman. Modal pinjaman diperoleh dari empat orang penanam modal, dimana 30 persen dari laba bersih yang dihasilkan nantinya akan diberikan sebagai imbalan kepada empat orang penanam modal tersebut. Rencana pengembangan usaha diharapkan dapat memenuhi permintaan yang berlebih.

Pengembangan usaha yang akan dilakukan pada Kumbung Jamur D & D dihadapkan pada pilihan rangka bangunan yang akan digunakan, antara menggunakan bahan yang sederhana dari bambu dan yang semi permanen dari kayu. Hal ini mengingat bahwa lokasi usaha berada di ketinggian 182 meter di atas permukaan laut yang kurang cocok dengan syarat tumbuh jamur sehingga diperlukan arsitektur rangka kumbung yang lebih tinggi dibandingkan kumbung yang berada di lokasi yang sesuai dengan syarat tumbuh jamur sehingga


(23)

7 memerlukan bahan rangka yang lebih banyak. Bahan yang digunakan untuk membangun rangka kumbung tersebut juga dapat menentukan umur teknis bangunan kumbung dan besarnya keuntungan yang akan diperoleh oleh Kumbung Jamur D & D. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial terhadap kedua jenis pilihan rangka bangunan kumbung.

Analisis finansial yang akan dilakukan yaitu membandingkan kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III). Analisis kelayakan yang dilakukan nantinya akan memberikan alternatif rencana pengembangan yang menghasilkan manfaat lebih baik.

Pelaku usaha Kumbung Jamur D & D harus memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi yang berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh dan kelayakan usahanya. Berdasarkan pengalaman pelaku usaha perubahan-perubahan yang perlu diperhatikan yaitu penurunan harga produk dan kenaikan serbuk kayu. Penurunan harga jamur tiram putih terjadi mengingat struktur pasar pada usaha jamur tiram putih merupakan pasar persaingan sempurna, yang tidak menutup kemungkinan munculnya pesaing-pesaing yang memasuki usaha budidaya jamur tiram putih yang akan berdampak pada penurunan harga produk. Kenaikan harga yang akan dianalisis yaitu harga serbuk kayu. Serbuk kayu merupakan media jamur tiram yang paling utama dalam budidaya jamur tiram putih, Kumbung jamur D & D yang memproduksi baglog sendiri sampai saat ini belum memiliki kontrak dengan penyedia serbuk kayu sehingga pelaku usaha harus mencari serbuk kayu ke beberapa tempat yang harganya ditentukan tempat penyedia serbuk kayu dan tidak menutup kemungkinan harga serbuk kayu naik. Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas terhadap kelayakan usaha Kumbung jamur D & D apabila terjadi perubahan harga.

Berdasarkan gambaran usaha yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah yang akan dibahas adalah:


(24)

8 1. Bagaimana kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek non finansial mengingat bahwa lokasi usaha berada di lokasi yang kurang sesuai dengan syarat tumbuh jamur?

2. Bagaimana kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek finansial, hal ini dikarenakan modal yang digunakan berupa modal gabungan, besarnya investasi dan umur usaha yang berbeda?

3. Bagaimana analisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar karena usaha ini berada di pasar persaingan sempurna dan kenaikan harga serbuk kayu yang disebabkan pelaku usaha belum bekerjasama dengan penyedia bahan baku serbuk kayu ?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek non finansial.

2. Menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek finansial.

3. Menganalisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar dan kenaikan harga serbuk kayu.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Pemilik usaha, dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam kelayakan pengembangan budidaya jamur tiram putih.

2. Investor diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan yang berguna apakah dana yang ditanamkan akan memberikan keuntungan atau tidak, dan dapat dijadikan dasar bagi investor untuk membuat keputusan investasi lebih objektif.


(25)

9 3. Akademisi, penelitian ini sebagai informasi dan bahan pembanding untuk

penelitian selanjutnya.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pelaku usaha jamur tiram putih di Kumbung Jamur D & D Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor, dengan manganalisis kelayakan usaha dari aspek-aspek non finansial, dan finansial meliputi kelayakan usaha Kumbung Jamur D & D sebelum pengembangan dan setelah pengembangan dengan menggunakan rangka bambu dan kayu.


(26)

10 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Jamur Tiram

Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) jamur merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di alam. Jamur sudah dikenal oleh masyarakat sejak dulu dan tumbuh liar di hutan-hutan pada musim hujan dikarenakan kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan jamur dapat tumbuh dengan baik.

Jamur tiram merupakan salah satu dari sekian jenis jamur kayu yang bisa dikonsumsi. Dinamakan jamur tiram karena bentuk tudung jamur ini sepintas menyerupai cangkang tiram. Orang Inggris pun menyebut jamur ini dengan nama osyster mushroom yang berarti jamur tiram. Jamur tiram sudah cukup dikenal di masyarakat luas, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Menurut catatan sejarah, jamur tiram sudah dibudidayakan di Cina sejak 1.000 tahun silam. Sementara di Indonesia, jamur tiram mulai dibudidayakan pada tahun 1980 di Wonosobo. Varietas yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), meskipun varietas jamur tiram yang lain ada akan tetapi pembudidayaannya kurang popular (Rahmat dan Nurhidayat, 2011)

Menutut Rahmat dan Nurhidayat (2011) jamur tiram terdiri dari beberapa varietas, diantaranya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram abu-abu (Pleurotus cystidius), jamur tiram merah (Flabellatus), dan jamur tiram coklat (Pleurotus umbellatus) atau dikenal juga sebagai jamur tiram raja karena bentuknya yang besar.

 Kingdom : Mycetea

 Divisio : Amastigomycotae

 Phylum : Basidiomycotae

 Kelas : Hymenomycetes

 Ordo : Agaricales

 Family : Agraricaeae

 Genus : Pleurotus

 Spesies : Pleurotus sp.

Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), jamur tiram merupakan jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan karena memiliki produktivitas yang relatif tinggi. Dari seribu gram substrat kering, 50-70 persen jamur segar


(27)

11 dapat dihasilkan bahkan saat ini sudah dapat ditingkatkan hingga 120-150 persen. Jamur tiram memiliki rasa yang lezat dan kandungan gizi yang cukup tinggi.

Menurut Suriawiria (2001), jamur tiram yang banyak dibudidayakan antara lain :

1. Jamur tiram putih (pleurotus ostreatus), dikenal pula dengan nama shimeji white (varietas florida), warna tudungnya putih susu sampai putih kekuningan dengan lebar 3-14 centimeter.

2. Jamur tiram abu-abu, dikenal dengan nama shimeji grey (varietas sajor salju), warna tudungnya abu kecoklatan sampai kuning kehitaman dengan lebar 6-14 centimeter.

3. Jamur tiram coklat, dikenal pula dengan nama jamur abalone (varietas cystidious), warna tudungnya keputihan atau sedikit keabu-abuan sampai abu- abu kecoklatan dengan lebar 5-12 centimeter.

4. Jamur tiram merah/pink, dikenal pula dengan nama shakura (varietas flabellatus), tudungnya berwarna kemerahan.

Dilihat dari aspek kesehatan, jamur tiram merupakan bahan pangan bergizi berkhasiat obat yang lebih murah dibandingkan obat modern. Beberapa khasiat jamur tiram putih yaitu sebagai anti kolestrol, mencegah kanker, mengurangi risiko cacat kelahiran dan cacat otak pada anak, serta banyak mengandung vitamin C dan sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis tubuh.

2.2 Perkembangan Jamur Tiram Putih di Indonesia

Jamur tiram merupakan jenis sayuran yang dapat dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Budidaya jamur tiram memanfaatkan limbah industri penggergajian kayu sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh rakyat. Usaha ini dianggap potensial dalam rangka memperbaiki tingkat ekonomi rakyat karena dengan modal relatif kecil dan dapat dikerjakan dengan melibatkan keluarga dan tetangga terdekat. Menurut Martawijaya dan Nurjayadi (2009), permintaan jamur tiram bukan saja datang dari pasar domestik, namun juga dari permintaan ekspor ke berbagai negara. Kesempatan inilah yang membuka peluang bisnis budidaya jamur tiram dan olahan yang berbahan baku jamur tiram.


(28)

12 Dewasa ini kecenderungan minat masyarakat terhadap sayuran terus meningkat, akibat dari pola hidup sehat yang telah menjadi gaya hidup masyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan bisnis jamur tiram, di mana sebagai tanaman sayuran berpotensi untuk dikembangkan dan mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Jamur tiram merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi dan dapat menjadi bahan pangan alternatif yang disukai oleh semua lapisan masyarakat.

Jamur tiram merupakan jenis jamur kayu yang memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Jamur tiram mengandung protein, lemak, fosfor, besi, thiamin dan riboflavin lebih tinggi dibandingkan jenis jamur lain (Djarijah, 2001). Kandungan asam amino pada jamur tiram mengidentifikasikan bahwa tingginya nilai gizi yang terkandung di dalam jamur tiram. Hal ini menjadi salah satu daya tarik untuk masuk ke dalam bisnis jamur tiram yang mengakibatkan tumbuhnya industri jamur tiram.

Indonesia selama ini hanya mampu memasok jamur sebesar 0,9 persen dari pasar jamur dunia. Angka tersebut kecil jika dibanding dengan China yang memasok 33,2 persen pasar jamur dunia. Dalam pengembangan usaha, ketidakberdayaan industri jamur nasional disebabkan berbagai hal seperti produsen benih yang terbatas, tidak adanya standarisasi dan jaminan kualitas bibit, belum adanya standarisasi proses produksi, serta penanganan pascapanen yang sederhana. Selain itu, terbatasnya permodalan petani, bank yang belum mendukung dan prosedur yang berbelit mengakibatkan penjualan jamur dikuasai oleh tengkulak (Departemen Pertanian, 2010).

2.3Kriteria Tempat Budidaya Jamur Tiram

Seperti halnya bidang agribisnis lainnnya, membangun usaha budidaya jamur tiram erat kaitannya dengan kondisi alam. Terlebih lagi aspek budidaya, pengaruh alama sangat nyata sekali. Menurut Redaksi Agromedia (2011) secara aspek agroklimatologi atau iklim lingkungan, beberapa aspek yang paling berpengaruh dalam budidaya jamur yaitu temperatur udara.

Setiap jenis jamur membutuhkan besar suhu yang bervariasi, tergantung pada fase pertumbuhannya. Karena itu, agar pertumbuhan jamur optimal, suhu


(29)

13 udara lingkungan budidaya jamur harus diatur sedemikian rupa, sehingga mencapai kondisi ideal. Besarnya suhu atau temperature udara pada suatu tempat erat kaitannya dengan ketinggian (elevasi) lokasi tersebut dari permukaann laut. Seperti yang terlah diketahui secara umum, lokasi yang mempunyai ketinggian rendah mempunyai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempat yang lebih tinggi, misalnya pegunungan.

Besarnya temperature akan menurun ketika tempat semakin tinggi. Untuk lokasi budidaya jamur yang berada di dataran rendah temperature bisa diatur sedemikian rupa. Pengaturan temperature udara dapat dilakukan dengan dengan penyemprotan kabut air, penyediaan ventilasi udara dan meninggikan rangka bangunan kumbung. Jadi ketika suhu udara terlampau tinggi, bisa dilakukan penyemprotan kabut air dan membuka seluruh jendela ventilasi kumbung, selain itu dengan meninggikan rangka kumbung akan menyebabkan sirkulasi udara dalam kumbung menjadi lancar dan kelembapan udara dalam ruangan budidaya menjadi lebih lembab (Redaksi Agromedia, 2011)

2.4 Rangka Bangunan Kumbung

Tempat atau bangunan budidaya jamur lebih dikenal dengan nama kumbung. Bagian yang paling berperan dalam bangunan kumbung ini yaitu rangka bangunan dimana rangka bangunan ini akan mempengaruhi biaya investasi yang dikeluarkan, menurut Redaksi Agromedia (2011) rangka bangunan kumbung bisa terbuat dari bambu dan kayu. Rangka bangunan yang dipilih akan mempengaruhi umur usaha budidaya jamur sehingga perlu diperhatikan keawetan atau daya tahan rangka yang akan digunakan.

2.4.1 Keawetan Bambu

Menurut Sulistyowati (1996), walau memiliki banyak sifat menguntungkan, bambu rentan terhadap kerusakan. Proses kerusakan mempengaruhi keawetan bambu. Penyebab kerusakan bambu ada 2 yaitu: perusak biologis dan non-biologis. Perusak biologis yang sering menyerang bambu adalah jamur, rayap, kumbang bubuk dan mikroorganisme laut. Jamur menyebabkan kerusakan seperti : pengotoran, pelapukan dan perubahan warna.


(30)

14 Kerusakan bambu karena serangan kumbang bubuk biasanya terjadi setelah batang bambu ditebang. Kumbang ini hidup dalam jaringan serat bambu untuk mendapatkan patinya.

Penyebab kerusakan non-biologis yang terpenting adalah air. Kadar air yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam metode pengawetan bambu apapun adalah pengeringan. Penggunaan bambu yang benar-benar kering (kadar airnya tepat) dalam setiap metode pengawetan akan menghasilkan tingkat keawetan yang lebih baik dibanding penggunaan bambu yang masih basah (kadar air tinggi).

Keawetan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan lingkungan. Bambu tanpa perlakuan pengawetan, apabila dibiarkan bersentuhan secara langsung dengan tanah dan tidak terlindung dari cuaca, hanya mempunyai umur pakai sekitar 1 - 3 tahun. Bambu yang terlindung dari gangguan cuaca, umur pakainya dapat bertahan antara 4 - 7 tahun atau lebih. Dalam lingkungan yang ideal rangka (konstruksi) bambu dapat tahan selama 10 - 15 tahun. Jika berinteraksi dengan air laut, bambu cepat hancur oleh serangan mikroorganisme laut dalam waktu kurang dari satu tahun.

Keawetan bambu dipengaruhi juga oleh : kondisi fisik bambu, bagian ruas, spesis dan kandungan pati. Bambu yang telah dibelah lebih cepat rusak dibanding bambu yang masih utuh (belum dibelah). Ruas bambu bagian bawah mempunyai ketahanan rata-rata yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau bagian atasnya. Bagian sebelah dalam ruas biasanya lebih dulu terserang (serangga atau jamur) daripada bagian luar. Keawetan alamiah bambu bervariasi antara satu spesies dengan spesies lain. Variasi ini berkaitan dengan ketahanan spesis terhadap serangan rayap atau kumbang. Bambu yang kandungan patinya lebih tinggi lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk.

Keawetan alamiah bambu relatif lebih rendah dibanding kayu. Artinya, umur pakai struktur bambu relatif lebih pendek dibanding struktur kayu. Cara memperpanjang umur pakai bambu yaitu melalui pengawetan dan penerapan metode konstruksi tertentu. Metode ini bertujuan meminimalisir laju serangan jamur dan serangga. Meletakan tonggak bambu pada dinding batu atau semen merupakan cara sederhana yang lebih baik ketimbang membenamkan bambu


(31)

15 secara langsung ke dalam tanah. Pada konstruksi rumah bambu, sangat dianjurkan membuat pondasi dari beton atau batu. Pelapisan bambu dengan bahan penahan air dapat mengurangi serangan jamur.

2.4.2 Keawetan Kayu

Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaian. Kayu dikatakan awet apabila mempunyai umur pakai lama dan mampu menahan berbagai faktor perusak kayu. Dengan kata lain keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak dari luar kayu itu (Dumanauw, 1990 dalam Zibua, 2008). Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena bagaimana pun kuatnya suatu jenis kayu tersebut, penggunaan sebagai bahan bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah.

Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor karakteristik kayu dan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras), dan kecepatan tempat tumbuh. Sedangkan faktor lingkungan yaitu tempat dimana kayu tersebut dipakai, jenis organisme penyerang, keadaan suhu, kelembaban udara dan lain-lainnya.

Ketahanan kayu terhadap serangga dan perusak kayu khususnya yang bersentuhan dengan laut disebabkan oleh kandungan zat ekstraktifnya. Zat ekstraktif dalam kayu berfungsi sebagai racun bagi perusak-perusak kayu, sehingga perusak tersebut tidak bisa masuk dan tinggal dalam kayu tersebut (Panshin dan de Zeeuw, 1980 dalam Zibua, 2008).

Menurut Martawijaya et al, (1995), keawetan alami ialah ketahanan kayu terhadap serangan dari unsur-unsur perusak kayu dari luar: jamur, rayap, bubuk, cacing laut dan mahkluk lainnya yang diukur dengan jangka waktu tahunan. Keawetan kayu tersebut disebabkan oleh adanya suatu zat di dalam kayu (zat ekstraktif) yang merupakan sebagai unsur racun bagi perusak-perusak kayu, sehingga perusak tersebut tidak sampai masuk dan tinggal di dalamnya serta merusak kayu. Ada lima penggolongan kelas awet kayu yaitu sebagai berikut:


(32)

16 1. Kelas awet I

Lama pemakaian kelas awet I dapat mencapai 25 tahun. Jenis-jenis kayu yang termasuk dalam kelas ini adalah jati, ulin, sawo kecik, merbau, tanjung, sonokeling, johar, bangkirai, behan, resak, dan ipil.

2. Kelas awet II

Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet II yaitu waru, kapur, bungur, cemara gunung, rengas, rasamala, merawan, lesi, walikukun, dan sonokembang. Umur pemakaian dari kelas ini yaitu antara 15-25 tahun.

3. Kelas awet III

Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet III yaitu ampupu, bakau, kempas, kruing, mahoni, matoa, merbau, meranti merah, meranti putih, pinang, dan pulai. Umur pakai jenis kayu kelas ini mencapai 10-15 tahun.

4. Kelas awet IV

Jenis kayu ini termasuk kurang awet, umur pakainya antara 5 – 10 tahun. Kayu yang termasuk kelas awet ini yaitu agates, bayur, durian, sengon, kemenyan, kenari, ketapang, perupuk, ramin, surian, dan benuang laki.

5. Kelas awet V

Kayu–kayu yang termasuk kelas awet V tergolong kayu yang tidak awet karena umur pakainya hanya kurang dari 5 tahun. Contoh kayu yang masuk dalam kelas ini adalah jabon, jelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga, mangga hutan, dan marabung.

Fakta menunjukkan lingkungan Indonesia merupakan daerah tropis. Negeri ini mempunyai kehangatan, kelembaban dan bahan organik dalam tanah yang tinggi, di bawah kondisi tersebut perkembangan organisme khususnya organisme perusak kayu sangat baik. Hal tersebut tercermin dari apa yang disebut sebagai negara mega biodeversity, dimana Indonesia mempunyai 1.000.000 jenis serangga, 250.000 jenis jamur dan 200 jenis rayap. Kenyataan lain menunjukan bahwa 80 - 85 persen kayu-kayu Indonesia mempunyai keawetan yang rendah, atau dengan perkayaan kayu-kayu Indonesia mudah diserang oleh organisme perusak kayu (Muchlis, 2005).


(33)

17 Tabel 9. Kelas Awet Kayu

No. Keadaan Kelas Awet

I II III IV V

1 Selalu berhubungan dengan tanah lembab.

8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat Pendek Sangat pendek 2 Hanya dipengaruhi

cuaca, tetapi dijaga supaya tidak terendam air dan kekurangan udara.

20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa tahun

Sangat pendek

3 Di bawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kekurangan udara. Tidak terbatas Tidak terbatas Sangat lama Beberapa tahun Pendek

4 Seperti diatas tetapi dipelihara dengan baik dan di cat dengan teratur Tidak terbatas Tidak terbatas Tidak terbatas

20 tahun 20 tahun

5 Serangan rayap tanah. Tidak Jarang Cepat Sangat cepat

Sangat cepat 6 Serangan bubuk kayu

kering.

Tidak Tidak Hampir tidak

Tidak berarti

Sangat cepat

Sumber : Oey Djoen Seng, 1964 dalam Zibua, 2008

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai jamur tiram putih sampai saat ini sudah banyak dilakukan, penelitian tersebut baik dari segi budidaya maupun ekonominya. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terdiri dari : analisis usahatani dan pendapatan jamur tiram putih, analisis risiko produksi jamur tiram putih, serta analisis kelayakan usahatani jamur tiram putih.

2.5.1 Penelitian Mengenai Usahatani dan Pendapatan Jamur Tiram Putih Usahatani dapat diartikan kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Dalam usahatani, pelaku usaha harus memperhatikan proses produksi dan saluran pemasaran yang yang dapat memberikan informasi dalam peningkatan produksi dan pendapatan. Pentingnya untuk memperhatikan usahatani dari segi produksi dimanfaatkan oleh Sari (2008) untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani jamur tiram putih di Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.


(34)

18 Berdasarkan analisis yang dilakukan, faktor-faktor produksi yang berpengaruh langsung terhadap produksi jamur tiram putih yaitu faktor produksi serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik, dan cincin paralon.

Connie (2008), melakukan penelitian yang berhubungan dengan proses produksi dengan melihat titik impas yang nantinya bertujuan untuk melihat pendapatan usahatani jamur tiram putih. Penelitian yang berjudul “Analisis Pendapatan dan Titik Impas Usahatani Jamur Tiram Putih pada Perusahaan Trisno Insan Mandiri Mushroom (TIMMUSH) Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” membandingkan alat yang digunakan dalam proses sterilisasi berupa kompor semawar ke kayu bakar. Hasil analisis titik impas baik pada saat penelitian maupun setelah penelitian dilakukan menunjukkan bahwa pergantian alat sterilisasi dari kompor semawar ke kayu bakar membuat volume minimum penjualan jamur tiram putih menjadi lebih rendah dibandingkan menggunakan kompor semawar. Alat sterilisasi kayu bakar memberikan pendapatan atas biaya tunai lebih besar dibandingkan kompor semawar, selain itu penggunaan kayu bakar juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak tanah.

Pentingnya menganalisis saluran tataniaga pemasaran bertujuan untuk membandingkan saluran tataniaga mana yang memberikan pendapatan yang lebih besar, hal ini diperkuat oleh Sitanggang (2008) yang menganalisis usahatani dan tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor, dimana di perusahaan tersebut terdapat tiga saluran tataniaga jamur tiram putih, saluran I dan saluran II jamur yang dihasilkan petani dijual di wilayah Bogor, sedangkan saluran III dijual di wilayah luar Bogor. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa R/C atas biaya total lebih besar pada saluran III dibandingkan dengan saluran I dan II.

Ginting (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh risiko dalam kegiatan budidaya jamur tiram putih yang dapat berpengaruh terhadap pendapatan dan alternatif strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi risiko produksi yang terjadi. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor menunjukan bahwa Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32 yang bersumber dari perubahan cuaca, serangan hama dan penyakit, ketersediaan


(35)

19 tenaga kerja terampil, dan teknologi pengukusan yang digunakan. Strategi yang diperlukan untuk penanganan risiko adalah strategi preventif, yaitu strategi yang bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang dapat dilakukan yaitu, pertama meningkatkan kualitas perawatan dengan meningkatkan intensitas penyiraman, membersihkan area yang dijadikan kumbung untuk mencegah datangnya hama dan penyalit, mengembangkan sumberdaya manusia dengan mengikuti pelatihan maupun penyuluhan mengenai jamur tiram putih, dan menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam.

2.5.2 Penelitian Mengenai Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih

Studi kelayakan bisnis merupakan kegiatan untuk menilai besarnya manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha dan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai apakah suatu rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan atau mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan.

Dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait studi kelayakan usaha budidaya jamur tiram putih terkait permasalahan yang dihadapi yaitu menganalisis aspek non finansial, dan finansial dengan membandingkan berbagai macam skenario yang sudah dijalankan, serta analisis sensitivitas menggunakan switching value. Penlitian Masruri (2010) berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Studi Kasus: Yayasan Paguyuban Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) membandingkan skenario berupa membuat baglog sendiri atau membeli baglog untuk budidaya. Nasution (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Jamur Tiram Putih (Kasus Perusahaan X di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan, Bogor, Jawa Barat)" membandingkan tiga skenario proses sterilisasi menggunakan kayu bakar atau gas, dan perkembangan usaha menggunakan modal pinjaman. Herbowo (2011) menganalisis Kelayakan Pengembangan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dengan ketiga skenario yaitu menjual baglog jamur tiram putih, membeli baglog jamur tiram putih, dan menjual baglog


(36)

20 dan jamur tiram putih segar. Selain itu, dalam ketiga penelitian dilakukan juga analisis switching value usaha budidaya jamur tiram putih jika terjadi penurunan harga jamur tiram putih dan peningkatan biaya variabel.

Penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution (2010) dan Herbowo (2011), memperoleh hasil penelitian usaha budidaya jamur tiram putih layak dilakukan meskipun ada perbandingan dalam hasil perhitungan kriteria investasi skenario mana yang lebih layak untuk diusahakan. Analisis switching value yang dilakukan pada skenario-skenario tersebut diperoleh dua parameter yang menyatakan penurunan harga produk lebih sensitif dibandingkan kenaikan harga variabel.

Penelitian terdahulu juga memberikan informasi mengenai produktivitas antar pelaku usaha di beberapa daerah mengingat budidaya jamur tiram memiliki syarat tumbuh. Perbandingan produktivitas berdasarkan tempat budidaya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian

Nama Tempat Penelitian Keadaan Lokasi Penelitian Produktivitas per baglog (kg) Sari Kelompok Tani Kaliwung

Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor

1200 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 26derajat celcius, dan curah hujan 2400 mm per tahun

0,17

Sitanggang Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor, Jawa Barat

700 meter diatas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 25 sampai 30 derajat celcius

0,37

Connie Perusahaan Trisno Insan Mandiri Mushroom

(TIMMUSH) Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

600 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 28derajat celcius dan kelembaban 70 persen

0,5

Ginting Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor

1200 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 26derajat celcius dan curah hujan 2400 mm per tahun

0,5

Masruri Yayasan Paguyuban Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor

750 sampai 1.050 meter di atas permukaan laut, dengan suhu 25 sampai 30 derajat celcius

0,725

Nasution Perusahaan X di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan, Bogor, Jawa Barat

500 meter diatas permukaan laut, dengan rata-rata curah hujan 3.890 mm per tahun

0,5

Herbowo Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor

1200 meter di atas permukaan laut, suhu rata-rata 26derajat celcius, dan curah hujan 2400 mm per tahun


(37)

21 Berdasarkan penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa pada umumnya jamur tiram putih layak untuk dijalankan namun pada setiap skenario usaha yang dijalankan memberikan penerimaan yang berbeda. Penelitian ini menganalisis aspek-aspek non finansial dan finansial membandingkan tiga skenario yaitu sebelum pengembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik menggunakan rangka bambu (skenario II) maupun dengan rangka kayu (skenario III). Perbandingan sebelum pengembangan usaha dan setelah pengembangan usaha juga dianalisis incremental net benefitnya, serta berdasarkan pengalaman pelaku usaha penelitian ini menganalisis sensitivitas yang sudah ditentukan persentase penurunan harga produk dan kenaikan variabel produksinya.

Dari penelitian yang dilakukan Sari (2008), Sitanggang (2008) dan Connie (2008) penulis menggunakan informasi mengenai usahatani dan pendapatan. Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution (2010) dan Herbowo (2011) penulis menggunakan konsep dan informasi mengenai kelayakan usaha yang dianalisis secara finansial maupun non finansial serta skenario yang dilakukan. Penelitian Ginting (2009) dijadikan bahan untuk memperoleh informasi mengenai sumber risiko pada usaha jamur tiram putih serta tindakan preventif yang dapat dilakukan. Semua hasil penelitian terdahulu akan digunakan sebagai pembanding penelitian ini. Dengan mengetahui kelayakan usaha jamur tiram putih pada berbagai skenario, diharapkan akan memberikan informasi apakah perlu adanya pengembangan usaha dan alternatif pengembangan yang lebih menguntungkan.


(38)

22 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis

Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu tujuan penelitian. Pengetahuan dapat diperoleh dari ilmu yang telah dipelajari yang berasal dari sumber bacaan baik dari buku teks, jurnal, dan logika peneliti yang telah terbangun dari pengalaman penelitian sebelumnya (Rachmania & Burhanuddin, 2008). Berikut ini beberapa teori yang mendasari kerangka pemikiran yang penulis lakukan.

3.1.1 Studi Kelayakan Bisnis

Bisnis adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan tujuan dan target yang telah ditetapkan dalam berbagai bidang, baik dalam jumlah maupun waktunya (Kasmir & Jakfar, 2012). Secara umum bisnis merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan biaya untuk digunakan dalam menghasilkan barang dan atau jasa dengan harapan akan memperoleh hasil atau keuntungan di kemudian hari. Menurut Kasmir dan Jakfar (2012), agar tujuan suatu bisnis dapat dicapai hendaknya sebelum melakukan investasi didahului dengan suatu studi untuk menilai apakah investasi yang ditanamkan akan memberikan suatu manfaat atau tidak.

Menurut Umar (2007) studi kelayakan pada hakikatnya adalah suatu metode penjajakan dari suatu gagasan tentang kemungkinan layak atau tidaknya gagasan usaha tersebut dilaksanakan. Suatu proyek dikatakan layak apabila proyek tersebut diperkirakan akan dapat menghasilkan keuntungan yang layak apabila telah dioperasikan.

Menurut Ibrahim (2003), studi kelayakan bisnis adalah kegiatan untuk menilai besarnya manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha. Berdasarkan hal tersebut, studi kelayakan merupakan bahan pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai apakah suatu rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan atau mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan (Nurmalina et al. 2010).


(39)

23 Studi kelayakan bisnis bertujuan untuk mengetahui tingkat benefit yang dicapai dari suatu bisnis yang akan atau telah dijalankan, memilih alternatif bisnis yang menguntungkan, dan menentukan prioritas investasi berdasarkan pada alternatif bisnis yang menguntungkan tersebut. Selain itu, studi kelayakan bisnis juga dapat digunakan untuk menghindari pemborosan sumberdaya (Nurmalina et al, 2010).

Tujuan melakukan studi kelayakan adalah untuk menghindari kerugian penanaman modal yang terlalu besar untuk kegiatan yang ternyata tidak menguntungkan. Studi kelayakan memerlukan biaya, namun biaya tersebut relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan risiko kegagalan suatu proyek yang menyangkut investasi dalam jumlah besar (Husnan dan Muhammad, 2000). Menurut Kasmir dan Jakfar (2012), lima tujuan studi kelayakan bisnis dilakukan yaitu untuk menghindari risiko kerugian, memudahkan perencanaan, memudahkan pelaksanaan pekerjaan, memudahkan pengawasan, dan memudahkan pengendalian.

3.1.2 Investasi

Investasi di dalam perusahaan adalah penggunaan sumber-sumber yang diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan di masa yang akan datang. Investasi pada prinsipnya adalah penggunaan sumber keuangan atau usaha dalam waktu tertentu dari setiap orang yang menginginkan keuntungan darinya. Dari sudut pandang jangka waktu penanamannya, investasi dibagi dalam dua yaitu investasi jangka pendek biasanya kurang dari satu tahun yang bertujuan untuk mendayagunakan atau memanfaatkan dana yang sementara menganggur serta bersifat marketable (mudah untuk diperjualbelikan) dan investasi jangka panjang yang ukuran jangka waktunya lebih dari satu tahun serta tidak bersifat marketable karena investasi ini menyangkut kelangsungan hidup usaha di masa yang akan datang (Suratman, 2002).

Menurut Suratman (2002), salah satu konsep investasi adalah penganggaran modal karena penganggaran modal merupakan suatu konsep penggunaan dana di masa yang akan datang yang diharapkan akan memberikan keuntungan. Investasi dalam usaha umumnya memiliki karakteristik berupa


(40)

24 sebagian besar investasi mencakup aktiva yang dapat didepresiasi dan keuntungan atas sebagian besar investasi meluas di atas periode waktu yang panjang. Aktiva yang dapat didepresiasi menunjukkan bahwa aktiva tersebut umumnya mempunyai nilai jual kembali yang murah atau tidak mempunyai nilai jual kembali pada akhir masa manfaatnya, sedangkan keuntungan atas sebagian besar investasi meluas atas periode waktu yang panjang menunjukkan bahwa perlu penggunaan teknik-teknik penilaian investasi yang mengakui nilai waktu uang.

Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas studi kelayakan diantaranya adalah besar dana yang ditanamkan, tingkat ketidakpastian proyek, dan kompleksitas elemen-elemen yang mempengaruhi proyek. Semakin besar dana yang tertanam dalam proyek investasi, semakin tidak pasti estimasi yang dibuat, dan semakin kompleks faktor-faktor yang mempengaruhinya maka semakin intens atau mendalam penelitian yang dilakukan. Dengan demikian apapun bentuk investasi yang akan dilakukan diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda. Hal ini dikarenakan masa mendatang mengandung penuh ketidakpastian.

3.1.3 Biaya dan Manfaat

Dalam menganalisis suatu proyek, penyusunan arus biaya dan arus manfaat sangat penting untuk mengukur besarnya nilai tambah yang diperoleh dengan adanya proyek. Biaya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang langsung maupun tidak langsung mengurangi tujuan proyek atau bisnis, sedangkan manfaat adalah segala sesuatu yang, baik langsung maupun tidak langsung, membantu tercapainya suatu tujuan dari suatu proyek (Gittinger, 2008). Biaya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Biaya modal, merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat jangka panjang. Contoh dari biaya modal adalah: tanah, bangunan dan perlengkapannya, pabrik dan mesin-mesinnya, biaya pendahuluan sebelum operasi, biaya penelitian, dan sebagainya.

2. Biaya operasional, disebut juga biaya modal kerja, merupakan kebutuhan dana yang dikeluarkan pada saat proyek mulai dilaksanakan. Biaya ini didasarkan pada situasi produksi, artinya biaya dibutuhkan sesuai dengan tahapan operasi.


(41)

25 Contoh dari biaya operasional adalah biaya bahan mentah, tenaga kerja, biaya perlengkapan, dan biaya penunjang.

3. Biaya lainnya, merupakan biaya yang terlibat dalam pendanaan suatu proyek, seperti pajak, bunga pinjaman, dan asuransi.

Di sisi lain menurut Nurmalina et al (2010), manfaat terdiri dari tiga macam, yaitu:

1. Tengible benefit, yaitu manfaat yang dapat diukur karena adanya peningkatan produksi, perbaikan kualitas produk, perubahan waktu dan lokasi penjualan, perubahan bentuk produk, mekanisasi pertanian, dan pengurangan biaya transportasi.

2. Indirect of secondary benefit, yaitu manfaat yang dirasakan di luar bisnis itu sendiri sehingga mempengaruhi keadaan eksternal di luar bisnis.

3. Intangible benefit, yaitu suatu manfaat yang riil ada tapi sulit diukur seperti bisnis pertamanan yang memberikan manfaat berupa keindahan, kenyamanan, dan kesehatan.

Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan suatu proyek yang dilaksanakan adalah kriteria investasi (Gittinger, 2008).

3.1.4 Aspek-Aspek Studi Kelayakan Bisnis

Dalam studi kelayakan bisnis memiliki berbagai aspek yang harus diteliti, diukur, dan dinilai. Menurut Nurmalina et al. (2010), dalam studi kelayakan bisnis terdapat dua kelompok aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek non finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Masing-masing aspek tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika salah satu aspek tidak dipenuhi maka perlu dilakukan perbaikan atau tambahan yang diperlukan (Kasmir & Jakfar, 2012).

3.1.4.1 Aspek Pasar

Menurut Gittinger (2008) pengajian aspek pasar harus dimulai paling awal karena ada tidaknya pasar yang cukup menarik dari produk yang dihasilkan merupakan faktor pokok dalam menentukan keputusan proyek. Pengkajian aspek


(42)

26 pasar harus mencakup hal-hal seperti : perkiraan penawaran dan permintaan produk, pangsa pasar, dan strategi pemasaran.

Analisis aspek pasar pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui berapa besar luas pasar, pertumbuhan permintaan, dan market share dari produk yang akan dihasilkan (Umar, 2007). Menurut Nurmalina et al. (2010), aspek pasar dan pemasaran mencoba mempelajari tentang:

1. Permintaan

Permintaan yang diamati baik secara keseluruhan maupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan besar pemakai serta memperkirakan proyeksi permintaan tersebut.

2. Penawaran

Penawaran dapat berasal dari dalam negeri maupun berasal dari impor. Bagaimana perkembangan di masa lalu dan bagaimana perkiraan di masa yang akan datang. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penawaran ini seperti jenis barang yang dapat menyaingi, kebijakan dari pemerintah, dan sebagainya.

3. Harga

Harga ditentukan berdasarkan perbandingan dengan barang-barang impor dan produksi dalam negeri. Apakah ada kecenderungan perubahan harga dan bagaimana polanya.

4. Program pemasaran

Program pemasaran mencakup strategi pemasaran yang akan dipergunakan bauran pemasaran (marketing mix).

5. Perkiraan penjualan yang dapat dicapai perusahaan

Market share yang bisa dikuasai perusahaan dapat dihitung dengan cara :

3.1.4.2 Aspek Teknis

Studi aspek teknis mengungkapkan kebutuhan apa yang diperlukan dan bagaimana secara teknis proses produksi akan dilaksanakan (Umar, 2007). Menurut Nurmalina et al. (2010), aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan bisnis secara teknis dan pengoperasiannya


(43)

27 setelah bisnis tersebut selesai dibangun. Aspek-aspek teknis dapat dianalisis dari beberapa faktor, yaitu :

1. Penentuan Lokasi Bisnis

Hal yang perlu diperhatikan untuk pemilihan lokasi bisnis antara lain ketersedian bahan baku, letak pasar yang dituju, ketersediaan tenaga kerja, dan iklim serta keadaan tanah (agroekosistem) dari lokasi bisnis

2. Luas Produksi

Berdasarkan proses produksi dikenal adanya tiga jenis proses, yaitu proses produksi yang terputus-putus, kontinu, dan kombinasi. Sistem yang kontinu akan lebih mampu menekan risiko kerugian akibat fluktuasi harga dan efektivitas tenaga kerja yang lebih baik dibandingkan dengan sistem terputus.

3. Layout

Layout merupakan keseluruhan proses penentuan bentuk dan penempatan fasilitas-fasilitas yang dimiliki suatu perusahaan. Pengertian layout mencakup layout site (layout lahan lokasi bisnis), layout pabrik, layout bangunan bukan pabrik, dan fasilitas-fasilitasnya.

4. Pemilihan Jenis Teknologi dan Equipment

Kriteria yang dapat digunakan dalam pemilihan jenis teknologi adalah seberapa jauh derajat mekanisasi yang diinginkan dan manfaat ekonomi yang diharapkan, disamping kriteria yang lain yakni:

a) Ketepatan jenis teknologi yang dipilih dengan bahan mentah yang digunakan. b) Keberhasilan penggunaan jenis teknologi tersebut di tempat lain yang

memiliki ciri-ciri yang mendekati dengan lokasi bisnis.

c) Kemampuan pengetahuan penduduk (tenaga kerja) setempat dan kemungkinan pengembangannya, juga kemungkinan penggunaan tenaga kerja asing.

d) Pertimbangan kemungkinan adanya teknologi lanjutan sebagai salinan teknologi yang akan dipilih sebagai akibat keusangan.

Mesin dan peralatan meliputi yang bergerak dan tidak bergerak, yang secara umum digolongkan dalam mesin pabrik, peralatan mekanik, peralatan elektronik, peralatan angkutan, dan peralatan lainnya. Pemilihan mesin wajib mengikuti ketentuan jenis teknologi yang telah ditetapkan dan perlu mempertimbangkan berbagai macam faktor non teknologis seperti:


(1)

C. Bangunan Penunjang Kumbung untuk Budidaya Jamur Tiram Putih No Ruang Tahun

Pembuatan

Umur Produktif

Biaya Pembuatan

(Rp)

Luas (m2)

Kapasitas (log)

Biaya Perbaikan

(Rp) 1 Pengolahan

media …. tahun …x…

2 Pengukusan …. tahun …x…

3 Pembibitan …. tahun …x…

4 Inkubasi …. tahun …x…

5 Gudang …. tahun …x…

6 …. tahun …x…

D. Peralatan Penunjang untuk Budidaya Jamur Tiram Putih

No Peralatan Tahun

Pembelian

Umur Produktif

(Tahun)

Jumlah

Harga Satuan

(Rp)

Nilai (Rp) 1 Drum

2 Kompor 3 Tabung gas 4 Sendok makan 5 Sprayer 6 Pompa air

7 Keranjang panen 8 Ember

9 Cutter 10 Gunting 11 Pisau 12 Sekop 13 Terpal 14 Cangkul 15 Saringan 16 Nota bon 17 Stempel 18 Selang air 19 Plastik kukus 20 Sarung tangan 21 Masker 22 Sepatu boot 23 Timbangan 24 Sapu lidi 25 Sapu lantai 26 Tampah 27 …………. 28 …………. 29 …………. Total


(2)

BIAYA TETAP

No Variabel Jumlah Harga Satuan

(Rp)

Nilai (Rp) 1 Upah TK tetap (luar keluarga)

2 Upah TK tetap (dalam keluarga)

3 Biaya Transportasi 4 Listrik

5 Air 6 …………. 7 …………. 8 …………. Total Biaya Tetap BIAYA VARIABEL

No Variabel Jumlah Harga Satuan

(Rp)

Nilai (Rp) 1 Bibit

2 Serbuk kayu/gergaji 3 Dedak

4 Tepung jagung/menir jangung 5 Kapur

6 TSP 7 Urea 8 SP 36 9 Kapas 10 Gas

11 Kantong plastik 12 Alkohol

13 Karet

14 Plastik wrap 15 Kertas

16 Styrofoam

17 Cincin bambu 18 Bambu 19 Spirtus 25

26 27 28


(3)

KUESIONER PENELITIAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)

(Studi Kasus : Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Responden yang terhormat,

Saya Dewi Mulyawati, Mahasiswa Program Alih Jenis Agribisnis IPB yang sedang mengadakan penelitian sebagai bagian dari skripsi saya. Saya memohon kesediaan Anda untuk berpartisipasi dengan mengisi kuesioner ini secara lengkap dan benar. Semua informasi bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan akademik. Atas bantuannya, Saya ucapkan terimakasih

KUESIONER INI UNTUK DIISI OLEH KETUA RUKUN TETANGGA DESA BOJONGGEDE, KECAMATAN BOJONGGEDE,

KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

KUESIONER ASPEK SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA

IDENTITAS RESPONDEN

Nama :

Tempat, tanggal lahir :

Alamat :

Pekerjaan :

Keterangan : *) pilih salah satu

ASPEK SOSIAL EKONOMI

1. Menurut Anda, apakah dengan adanya Kumbung Jamur D & D kesempatan kerja untuk masyarakat sekitar menjadi bertambah?

Ya/Tidak *) Alasan :

2. Apakah Kumbung Jamur D & D merugikan masyarakat sekitar? Ya/Tidak *)

Alasan :

3. Apakah masyarakat merasa terbantu dengan adanya Kumbung Jamur D & D? Ya/Tidak *)


(4)

4. Apakah Anda tahu, kumbung jamur tiram Kumbung Jamur D & D yang sekarang digunakan menggunakan lahan apa sebelumnya? Bagaimana proses pembeliannya?

5. Setelah adanya kumbung sebagai usaha milik Kumbung Jamur D & D, adakah perubahan fasilitas lalu lintas dan penerangan di desa inni khususnya?

Ya/Tidak *)

Jika ada, fasilitas apa saja?

ASPEK BUDAYA

1. Apakah bercocok tanam menjadi budaya masyarakat Desa Bojonggede Ya/Tidak *)

Alasan :

2. Apakah keberadaan Kumbung Jamur D & D merubah kebiasaan bercocok tanam menjadi budidaya jamur tiram?

Ya/Tidak *) Alasan :

3. Apakah keberadaan Kumbung Jamur D & D bertentangan dengan budaya masyarakat?

Jika Ya, sebutkan alasannya!

ASPEK LINGKUNGAN 1. Apakah terdapat limbah dari Kumbung Jamur D & D?

Ya/Tidak *) Jika Ya, sebutkan!

2. Apakah limbah tersebut merugikan? Ya/Tidak *)

Jika Ya, sebutkan!

3. Apakah ada pihak-pihak yang dirugikan dengan beroperasinya Kumbung Jamur D & D?

Ada/Tidak *) Jika Ada, sebutkan!


(5)

ii

RINGKASAN

DEWI MULYAWATI. Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Kumbung Jamur D & D, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan POPONG NURHAYATI).

Jamur merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang dapat memberikan kontribusi yang besar sebagai penyumbang nilai Produk Domestik Bruto nasional dan dapat dikembangkan serta diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Jamur tiram putih memiliki kandungan gizi lebih bagus dibandingkan dengan jenis jamur lainnya maupun hewani, hal ini menyebabkan permintaan jamur yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah melakukan impor untuk menanggulangi ketimpangan penawaran dan permintaan jamur dalam negeri. Prospek pasar yang tinggi tersebut merangsang pengusaha salah satunya Kumbung Jamur D & D yang berada di Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor untuk menekuni atau meningkatkan produksi budidaya jamur tiram putih.

Saat ini pelaku usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D belum mampu memenuhi permintaan jamur tiram putih segar secara keseluruhan. Hal tersebut menyebabkan pelaku usaha akan melakukan pengembangan usaha dengan meningkatkan skala produksinya yaitu memperluas kumbung. Pengembangan usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan modal gabungan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial terhadap tiga skenario, yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III).

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek non finansial, menganalisis kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih Kumbung jamur D & D dilihat dari aspek finansial, dan menganalisis sensitivitas kelayakan usaha jamur tiram putih Kumbung Jamur D & D terhadap penurunan harga jamur tiram segar dan kenaikan harga serbuk kayu.

Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pemilik sekaligus manajer dan karyawan Kumbung Jamur D & D, serta masyarakat umum di sekitar lokasi penelitian. Data sekunder yang berguna untuk melengkapi informasi dalam penelitian ini diperoleh dari data internal di Kumbung Jamur D & D maupun diperoleh dari instansi-instansi yang terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner, konsultasi, dialog, dan pengamatan langsung serta melalui penelurusan pustaka ataupun literatur. Data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif yang diolah dengan menggunakan bantuan komputer, yakni program Microsoft Excel 2010. Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menilai kelayakan


(6)

iii pengembangan usaha jamur tiram putih secara finansial. Penilaian kelayakan secara finansial dilakukan dengan melakukan perhitungan kriteria investasi yang terdiri dari NPV, Net B/C, IRR, payback period dan Incremental Net benefit. Selain itu, dilakukan juga analisis sensitivitas untuk mencari perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar usaha masih dapat dilaksanakan dan masih memberikan keuntungan normal.

Aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek lingkungan menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Hal ini dikarenakan usaha jamur tiram putih ini memiliki peluang pasar yang tinggi, kondisi iklim lokasi yang cocok untuk usaha jamur tiram putih, sarana prasarana usaha yang memadai serta usaha jamur tiram putih ini memberikan dampak yang baik secara sosial ekonomi budaya dan lingkungan sekitar usaha.

Berdasarkan aspek finansial, kriteria kelayakan investasi usaha jamur tiram putih menunjukkan bahwa ketiga skenario yaitu yaitu kondisi Kumbung Jamur D & D sebelum perkembangan usaha (skenario I), dan setelah pengembangan usaha baik membangun kumbung menggunakan bahan bambu (skenario II) maupun menggunakan bahan kayu (skenario III) layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan ketiga skenario memiliki nilai NPV lebih besar dari nol, nilai Net B/C lebih besar dari satu, IRR lebih besar dari discount rate yang digunakan dan payback period berada sebelum umur usaha berakhir. Pada skenario I (kondisi sebelum pengembangan) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 160.907.357,82, nilai Net B/C sebesar 1,87, nilai IRR sebesar 32 persen, dan DPP selama 2 tahun, 4 bulan, 17 hari. Pada Skenario II (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka bambu) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 732.608.064,89, nilai Net B/C sebesar 2,71, nilai IRR sebesar 56 persen, dan DPP selama 1 tahun, 7 bulan, 28 hari. Pada skenario III (Rencana pengembangan kapasitas kumbung jamur tiram dengan menggunakan rangka kayu) menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 1.156.134.833,42, nilai Net B/C sebesar 2,85, nilai IRR sebesar 36 persen, dan DPP selama 1 tahun, 10 bulan 3 hari.

Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario-skenario yang digunakan diperoleh adanya penurunan harga jual jamur tiram sebesar 20 persen dan kenaikan harga serbuk kayu sebesar 10 persen tidak mempengaruhi usaha jamur tiram pada masing-masing skenario. Hasil analisis kelayakan finansial incremental net benefit menunjukkan manfaat bersih dari hasil kriteria investasi berupa nilai NPV pada penambahan kapasitas kumbung dengan menggunakan rangka kayu mendapatkan nilai yang lebih besar dan PP yang lebih cepat dibandingkan dengan yang diperoleh pada penambahan kapasitas kumbung dengan menggunakan rangka bambu.