252
Bahasa Indonesia XI Program Bahasa
L atihan
10.3
Setelah memahami cerita bagian pertama hikayat Puti Zaitun, sekarang ceritakanlah kembali di depan teman-temanmu
menggunakan bahasamu sendiri Gunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahami
D. Menyadur Cerpen ke dalam Bentuk Drama
Satu Babak
Melalui pembelajaran ini, kamu diajak berlatih: 1.
menentukan isi cerpen dan karakter tokoh-tokohnya dan 2.
mengubah cerpen ke dalam bentuk drama sesuai dengan kerangka pengembangan drama.
Drama adalah karangan yang berupa dialog atau percakapan sebagai bentuk alurnya. Dialog atau percakapan itu tidak jauh berbeda dengan
dialog atau percakapan yang kita lakukan sehari-hari. Perbedaannya, dalam drama, dialog atau percakapan itu dipersiapkan terlebih dahulu
melalui teks yang tertulis oleh penulis skenario dan pelaksanaan dialog atau pementasannya diatur oleh sutradara.
Dalam menulis naskah drama, kita harus menyadari bahwa drama itu merupakan gabungan dari dua cabang kesenian, yaitu seni sastra dan
seni pentas. Oleh karena itu, dalam penulisan naskah drama harus diperhatikan sifat-sifat kesastraan dan karakter seni pentas. Sifat-sifat sastra
itu meliputi latar, alur, dan penokohan, sedangkan karakter seni pentas berkenaan dengan tata panggung, tata lampu, tata suara, dan tata gerak.
Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam menulis naskah drama ialah sebagai berikut.
1. Plot atau alur, yang meliputi pemaparan babak awal, penggawatan
atau pemunculan konflik, klimaks atau puncak kritis, peleraian atau antiklimaks, dan penyelesaian atau babak akhir. Perhatikan bagan
berikut ini
Lika-Liku Kehidupan
253
KlimaksPuncak kritis
Penyelesaianbabak akhir Pemaparan babak awal
2. Penokohan, yang meliputi protagonis atau tokoh utama, antagonis
atau tokoh penentang, dan tokoh figuran atau tokoh pembantu. 3.
Latar atau setting, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya
peristiwa, serta sosial atau budaya yang melatarbelakangi. Untuk dapat mentransformasikan cerita pendek ke dalam naskah
drama, terlebih dahulu kita harus mengenali unsur-unsur intrinsik cerita pendek tersebut. Jadi, bagaimana tokoh dan penokohannya, bagaimana
latar dan suasananya, bagaimana alur atau plotnya, bagaimana tema dan amanatnya, harus kita kuasai terlebih dahulu. Sesudah itu kita baru dapat
memikirkan bagaimana mengubah teks yang berbentuk dialog drama. Dalam mentransformasikan naskah cerpen menjadi naskah drama kamu
diperolehkan secara kreatif menciptakan kalimat-kalimat baru tanpa mengubah garis besar isi cerpen.
Adapun langkah-langkah yang harus kamu lakukan dalam mengubah cerpen menjadi naskah drama adalah:
1. Menentukan tokoh cerpen yang dijadikan tokoh utama protagonis
dalam naskah dan mengidentifikasi perwatakannya. 2.
Menentukan tokoh cerpen yang dijadikan tokoh penentang antagonis dalam naskah drama dan mengidentifikasi perwatakannya.
3. Menentukan siapakah tokoh cerpen yang kamu jadikan tokoh figuran
dalam naskah drama dan kamu identifikasi pula perwatakannya. 4.
Mengidentifikasi latar cerita yang dapat dimanfaatkan sebagai latar dalam naskah drama.
5. Menentukan bagian cerpen yang dapat diubah dan digunakan
sebagai babak pemaparan atau babak awal dalam naskah drama. 6.
Menentukan bagian cerpen yang dapat diubah dan digunakan sebagai babak penggawatan atau pemunculan konflik dalam naskah
drama. Penggawatan
Pemunculan konflik Peleraiananti klimaks
254
Bahasa Indonesia XI Program Bahasa
L atihan
10.4
7. Menentukan bagian cerpen yang dapat diubah dan digunakan
sebagai babak klimaks atau puncak kritis dalam naskah drama. 8.
Menentukan bagian cerpen yang dapat dapat diubah dan digunakan sebagai babak peleraian atau anti klimaks dalam naskah drama.
9. Menentukan bagian cerpen yang dapat diubah dan digunakan
sebagai babak penyelesaian atau babak akhir dalam naskah drama. 10. Membuat kerangka naskah drama berdasarkan pembabakan yang
sudah dilakukan di atas. 11. Mengubah naskah cerpen menjadi naskah drama, babak demi babak
dengan mengubah naskah monolog menjadi naskah dialog.
Nah, sekarang ubahlah cerpen di bawah ini menjadi naskah drama satu babak
Ketika Mereka Pulang
Jamal membetulkan sarungnya. Keluar kamar, mengambil senter di meja panjang, membuka pintu belakang, dan menghilang
di kegelapan malam. Meninggalkan lmah, istrinya yang menggigil di kamar sempit pengap. Menjemput Mus. Hanya itu
yang bisa dilakukan Jamal jika penyakit lmah kambuh.
Oleh Susialine Adilia Mus membuka pintu. Dia telah hafal siapa yang mengetuk
pintu dini hari begini, dua tiga jam sebelum beduk subuh ditabuh. Seperti biasa, dua orang itu bergegas menuju rumah
Jamal, lima ratus meter dari rumah Mus, melintasi pematang yang memisahkan rumah mereka.
Saya sudah bilang biar mereka mengurus sendiri keperluannya. Mereka kan bukan tamu, Mbah. Ini rumah
mereka sendiri, kata Mus begitu mulai mengoleskan balsam kerik ke punggung Imah.
Imah menjawab dengan gumaman yang tak jelas. Ah, pasti juga jawaban yang sama seperti tahun-tahun lalu. Mereka
pulang hanya setahun sekali, masak dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Dan Mus tidak berkata-kata lagi.
Lika-Liku Kehidupan
255
Dulu, waktu Mus masih tinggal di sini, dialah yang mengurus rumah, sawah, sampai pengelolaan penggilingan
padi keluarga ini. Sejak kecil ia telah dilatih menjadi pengurus rumah tangga sekaligus petani. Emaknya dulu buruh di
keluarga Jamal ketika seperempat luas sawah di desa ini masih menjadi miliknya. Jamal pula yang menikahkan emak Mus
dengan buruh Penggilingan padi. Lalu membuatkan rumah mungil dan memberi pesangon sepetak sawah di selatan desa.
Tetapi, kemiskinan yang mendera membuat keluarga itu menyerahkan pengasuhan Mus kecil kepada Imah. Sejak itu
Mus menjadi bagian dan keluarga Imah.
Imah meringis menahan sakit setiap uang logam di tangan Mus menggerus kulit keriputnya. Pikirannya masih tertuju pada
anak-anaknya yang kemarin datang dan sekarang telah pergi lagi. Benar kata orang, tak ada bedanya punya banyak anak
atau sedikit. Setelah tiba masanya, anak-anak itu akan pergi mencari hidup mereka sendiri dan meninggalkan orangtuanya.
Begitu juga yang dirasakan Imah. Ia telah melahirkan dan membesarkan sembilan orang anak. Toh ia tetap merasa sepi
mengisi hari tua hanya bersama Jamal, suaminya.
Para tetangga sering berkata, enaknya menjadi orangtua seperti dirinya, punya banyak anak dan sudah jadi orang
semua. Tinggal duduk menunggu kiriman. Imah hanya akan menjawab dengan kata: Amin. Mungkin memang begitu
mestinya, batin Imah. Tetapi, sebentar kemudian pikiran itu diusir pergi. Agamanya mengajarkan bahwa orangt tua harus
tanpa pamrih mendidik anak-anaknya. Kewajiban itu harus dijalankan semata-mata untuk mencari rida-Nya karena anak-
anak adalah titipan dari-Nya.
Mendidik sembilan orang anak hingga menjadi orang seperti sekarang sudah merupakan karunia. Sembilan orang
anak Hingga dulu dia tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri. Memang pada masa itu suaminya anak tuan tanah
terkaya di desa ini. Mereka hidup dikelilingi buruh puluhan jumlahnya. Ada buruh yang mengerjakan sawah, ada pula
yang mengurus anak-anak dan rumah tangga. Tetapi, tetap
256
Bahasa Indonesia XI Program Bahasa
saja, mengandung dan menyusui mereka menguras habis tenaganya. Imah hampir tak pernah beristirahat dari tugas
reproduksi. Ketika seorang anak belum selesai disusui, dia telah hamil begitu seterusnya hingga sembilan orang anak lahir dari
rahimnya. Sekarang, ketika tenaga tuanya tinggal sisa-sisa, tak ada seorang anak pun di sampingnya.
Hidup di desa terpencil membuat anak-anaknya harus pergi ke luar desa untuk melanjutkan sek olah mereka. Sebagian
bahkan ke luar kota, ke Pati, Rembang, atau bahkan lebih jauh lagi, Jombang. Kota-kota yang diyakini sebagai tempat mencari
ilmu dunia dan akhirat.
Selesai sekolah, sebagian anaknya pulang, tinggal beberapa lama di rumah sebelum kembali ke kota mencari kerja.
Sebagian tak sempat kembali karena segera mendapat pekerjaan. Ketika pulang lagi, anak-anak itu membawa
seseorang yang akan dipersunting menjadi istri atau suami. Begitu seterusnya. Hingga sembilan orang anak itu menikah
dan meninggalkannya. Mereka baru akan ke desa, ke rumah orangtua ketika lebaran tiba. Itu pun tak lama. Paling dua
malam saja. Bahkan sebagian tak pernah bermalam.
Sering Imah menghibur diri. Tugasnya sebagai orangtua yang mengasuh, mendidik hingga menikahkan anak telah
dilakukan. Meski ia dan Jamal tak lagi bisa mempekerjakan banyak orang karena sawahnya semakin berkurang, orang-
orang masih tetap menaruh hormat kepadanya. Salah satunya karena ia adalah orangtua yang telah mengantarkan
keberhasilan anaknya. Tentu Imah bangga. Apalagi saat lebaran tiba, sembilan orang anaknya datang bergantian atau
bersama-sama dengan mobil yang beraneka rupa. Mobil yang bagi orang desa dilihat sebagai lambang kesuksesan. Maka
pantas saja orang-orang mengira Imah tinggal ongkang- ongkang kaki karena segala kebutuhan terpenuhi.
Lika-Liku Kehidupan
257
Kenyataannya, Imah dan Jamal harus tetap membanting tulang mereka yang lapuk dimakan usia. Mereka tak mau
menadahkan tangan di depan anak-anak. Apa yang telah dilakukannya bukan untuk meminta balas jasa. Tetapi, apa
boleh buat. Kesehatannya tak memungkinkan lagi. Penyakit gula turunan yang diwariskan orangtua Imah membuatnya
semakin lemah. Jamal yang dulu tampak lebih sehat dari orang seusianya kini mulai sakit-sakitan juga. Tak ada pilihan kecuali
membagi petakan sawah itu untuk sembilan orang anaknya. Dan karena tak ada seorangpun anaknya yang tinggal di desa
ini, maka pilihannya adalah menjual atau menjual tahunan sawah itu kepada para tetangga. Kehidupan Imah dan Jamal
sepenuhnya menjadi tanggungan sembilan anaknya, begitu hasil rembukan anak-anak mereka saat berkumpul setahun
lalu. Maka, berakhirlah kisah Jamal sebagai tuan tanah.
Sudah Mbah, kata Mus sambil mengemasi perlengkapan kerik.
Imah membalikkan tubuh ringkihnya. Telentang memandang Mus di keremangan kamar. Untung ada kamu,
Mus, bisiknya lirih. Air matanya meleleh dari sudut-sudut mata. Saya pulang dulu ya, Mbah. Pagi nanti saya ke sini. Mus
berdiri memandang Imah, menunggu anggukan kepala yang akan mengantarnya pulang.
Perempuan muda itu pun meninggalkan rumah Jamal sendirian. Berjalan tenang, perlahan. Benaknya dipenuhi
beban. Ia dinikahkan Imah dua tahun lalu. Sampai lima bulan lalu Mus bersama suami dan anaknya masih tinggal bersama
Imah. Tetapi, seorang menantu Imah memperkarakan keberadaannya di rumah besar itu, maka ia nekat membangun
rumah dengan uang pinjaman. Tak ada pilihan. Rumah orangtuanya terlalu sempit untuk ditumpangi. Rumah
mertuanya yang juga sedesa pun tak jauh beda.
Sumber: Kompas, 8 April 2007
258
Bahasa Indonesia XI Program Bahasa
R angkuman L atihan
10.5
E. Mengidentifikasi Komponen Kesastraan dalam