Menulis Drama Pendek Penutup

Menegakkan Keadilan 191

D. Menulis Drama Pendek

Setelah mengikuti pembelajaran ini, kalian diharapkan dapat menulis drama pendek berdasarkan penggalan novel. Kalian tentu pernah berlatih menulis drama saat di SMP, bukan? Menulis naskah drama memang bukan hal yang mudah. Namun, bila kita mau berlatih, berlatih dan berlatih pasti dapat menulis naskah drama dengan baik. Suatu cerita baik cerpen maupun novel ternyata dapat digubah menjadi naskah drama. Caranya, pahami terlebih dahulu cerpen atau novel yang akan kalian gubah, kemudian lakukan beberapa hal berikut: 1. Tentukan tema cerita yang akan kalian kembangkan menjadi naskah drama. 2. Kutiplah percakapan-percakapan tokoh dialog dalam cerpen atau novel sebagai dialog utama. Seharusnya, tokoh sudah ditentukan terlebih dahulu. 3. Kembangkan dialog utama berdasarkan tema sesuai dengan kreativitasmu. Perhatikan alur cerita, sebaiknya gunakan alur cerita sederhana. 4. Lengkapi dengan bloking posisi aktor di atas pentas. Alangkah baiknya kalau kalian langsung praktik membuat naskah drama berdasarkan penggalan novel berikut Berdiskusilah dengan teman sebangkumu dan mintalah bimbingan gurumu Hanya Secarik Kertas itu Bagaimana kabarmu?”Alwan bertanya di seberang sana. “Baik. Lukaku sudah mulai sembuh,” jawab Irfan, lalu sebentar melihat ke arah perutnya. Dari balik pakaian, luka itu masih terbalut perban. Sudah hampir tiga bulan merawat luka jahitan ini. “Bagaimana dengamu?” tanyanya kepada Alwan. “Masih seperti yang dulu, kucel dan kurang tidur. Apalagi lusa aku ujian akhir semester, mau ngaak mau, ya begadang juga akhirnya.” 192 Bahasa Indonesia XI Program Bahasa “Bukannya Alawan dah ambil semua pelajaran?” “Yang dulu dapat E alias gagal total, semester ini mata kuliah perbaikan. Nggak banyak, cuma ada enam buah.” Dari telepon genggam itu Irfan bisa mendengar tawa lepas Alwan. “Biasalah mahasiswa malas, 14 kali tatap muka 15 kali bolosnya,” Alwan masih melanjutkan gurauannya. “Betul pula kata orang tentang mahasiswa di Indonesia,” timpal Irfan memancing. “Loh, memangnya kenapa?” selidik Alwan penasaran. “Kalau di Indonesia, banyak mahasiswa yang mendapatkan gelar MA. Mahasiswa Abadi,” kata Irfan menjawab diiringi dengan tawa tertahannya. Tak kalah serunya, Alwan yang sudah menyisakan tawanya tadi jadi ikutan terbahak-bahak lagi. “Hai, kau sudah ke Sanggau?” tanya Alwan beberapa saat kemudian. “Belum. Mudah-mudahan dalam beberapa minggu ini lukaku akan sembuh dan kalau sembuh, aku akan langsung ke sana.” Hmmm... maaf Fan, aku nggak bisa membantu, nih. Maklum, persediaanku sangat menipis banget akhir-akhir ini.” “Jangan begitu, kiriman uang darimu bulan lalu saja sudah cukup banyak menolong. Entah bagaimana aku membalasnya.” “Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang, kau harus banyak istirahat untuk kesembuhan lukamu. Aku tidak ingin kau meringis-ringis saat bertemu dengan ibu kandungmu kelak.” “Aku pun berharap demikian.” “Kau tidak mengajak Helmi, Fan?” “Tidak. Sampai saat ini, aku belum mengatakan alasan kedatanganku ke sini.” “Aku mengerti. Kalau begitu, aku tinggal menunggu kabar darimu.” “I will tell you, Wan.” “Sudah ya, habis pulsa, nih. Titip salam untuk Helmi. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Menegakkan Keadilan 193 Setelah itu Irfan termenung, seperti masih merekam ucapan terakhir sahabatnya yang berada di Bandung itu. “Aku tinggal menunggu kabar darimu.” Kabar apa yang akan disampaikan kepada Helmi? Ya, kabar apa yang hendak dia sampaikan? Tidak hanya kepada Helmi, tetapi juga kepada keluarganya di Johor sana? Sampai saat ini pun, dia tidak bisa menentukan keputusan apa yang akan diambil bila sudah bersua dengan ibu kandungnya di Sanggau sana. “...apa yang akan kau lakukan bila berjumpa dengan keluargamu? APakah kau akan tinggal dengan mereka atau kembali ke Johor?”. Kalimat pertanyaan Alwan itu kembali memenuhi benaknya. Irfan masih ingat, Alwan melontarkan pertanyaan itu saat mereka berada di atas dek kapal menuju Pontianak beberapa bulan lalu. Ketika itu, dia tidak menjawab dan ternyata setelah berlalunya waktu, benaknya tidak bisa menemukan jawaban yang pasti tentang pertanyaan Alwan. Mencari satu alamat di Kota Sanggau yang berjarak 267 km dari Pontianak, ternyata cukup mudah. Betul apa yang dikatakan Helmi sewaktu mengantarnya di terminal penumpang Batu Layang, “Awak turun di lapangan sepak bola dekat SMK 1 Sanggau, jalan Sudirman letaknya di antara lapangan dan sekolah itu. Tak usah khawatir tersesat, di sana kotanya kecil,”demikian pesan Helmi tadi pagi. Dan saat ini, remaja Irfan sudah berada di beranda depan rumah yang dituju. Duduk di bangku rotan sambil memandangi halaman rumah yang di tata dengan rapi serta asri. Tanah halaman rumah itu dipenuhi dengan rumput-rumput bak permadani, beberapa tanaman bunga yang dikenal Irfan tertanam di sana, sementara di pojok kanan halaman itu ada kolam ikan kecil. Halaman rumah ini begitu nyaman disaput dengan temaramnya lampau taman. Irfan melirik jam tangannya Pukul 18.45 WIB. Berarti, sudah hampir lima menit dia disuruh pembantu rumah ini untuk menunggu di beranda depan. Ah, hatinya kembali gelisah. Seharusnya, hatinya jauh sedikit lebih tenang karena alamat yang dicarinya sudah ditemukan dan 194 Bahasa Indonesia XI Program Bahasa itu berarti dia kan bertemu dengan seseorang yang sangat ingin dijumpainya, yang ingin dia cium punggung tangannya. Namun, entah mengapa rasa gelisah itu sempat-sempatnya menelusup di hati. Irfan meraba tangannya. Dingin. “...Apa yang akan kau lakukan bila berjumpa?” Sepenggal kalimat itu tiba-tiba hadir di benaknya. Membuat rasa gelisah yang sudah menyergap dirinya semakin menjadi-jadi. “Bisa saya bantu, Dik?” Irfan terkejut. Dia tidak menyadari seseorang sudah ada disampingnya.”Assalamu’alaikum, Bu” sapanya cepat, masih dengan jantung yang berdetak cepat. “Wa ‘alaikum salam. Ada yang bisa saya bantu?”setelah membalas salam, pertanyaan itu kembali dilontarkan. Irfan memandang sosok di depannya. seorang wanita yang diperkirakannya berumur hampir setengah abad, ada kerut-kertu di beberapa sudut wajahnya, rambutnya yang terlihat mulai memutih tampak dari selendang cokelat yang menutupi kepalanya, dan sebuah senyuman teduh. Inikah ibu kandungnya itu? Irfan terus bertanya-tanya. “Dik” panggil wanita di depan Irfan itu. “Adik cari siapa?” “Eh ...” Irfan tersadar. Buru-buru dia mengeluarkan kertas dari saku bajunya. “Saya mencari alamat ini,”kata Irfan samil menyerahkan kertas itu. Wanita itu memperhatikan secarik kertas pemberian Irfan. Sedetik kemudian, “Adik mencari Bu Naila?”tanyanya. Irfan mengangguk cepat. Berharap agar pencariannya berakhir. “Kalau begitu, Adik terlambat,”kata wanita itu lagi. Mulut Irfan hanya bisa melongo. “Baru empat bulan lalu, Bu Naila pindah tugas ke Rumah Sakit Otorita Batam,”lanjut wanita itu. Tiba-tiba saja, Irfan merasakan seluruh persendian lemas. “Adik ini siapanya Bu Naila? Keluarganya?” Irfan semakin lemas. Backpack cokelat itu dilemparkannya di sudut kamar. Tanpa sempat membuka sepatu, Irfan merebahkan diri di atas kasur tipis Menegakkan Keadilan 195 di kamar berukuran 2 × 3 meter. Perjalanan panjang di atas bus selama kurang lebih sepuluh jam sudah cukup untuk menerbitkan kelelahan yang menyedot seluruh sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Dia sangat perlu istirahat, melepaskan semua otot-ototnya yang tegang. Namun bukan itu yang diinginkannya kini. Keletihan yang menyerang tubuhnya tidaklah sebanding dengan pikiran yang tengah menggeluti langit-langit benaknya yang seakan tak bertepi itu. Mengumpulkan kepingan demi kepingan peristiwa dan mencoba untuk merangkainya menjadi sebuah gambar yang utuh. Hanya untuk kesekian kalinya, dia seperti ingin menyerah dan berhenti untuk merangkai kepingan-kepingan peristiwa itu. Jiwanya sudah terlalu letih. “Hai, sejak kapan kau datang?” Irfan menoleh sejenak, lalu katanya, “Baru saja.” “Sudah makan?” “Sudah, tadi di daerah Ngabang.” “Bagaimana dengan kopi?” “Terima kasih. Aku hanya perlu istirahat saat ini.” “Oke, aku tinggal dulu. Anak-anak Mapala sudah menunggu.” “Menyusuri pedalaman Kapuas Hulu?Hm ... seandainya aku bisa ikut dengan kalian,”sahut Irfan mencoba untuk ramah. Lelaki yang bernama Helmi itu tersenyum.”Kesempatan masih ada. Mau?”tawarnya. “Just joking. Waktu tak banyak,”potong Irfan cepat, “mungkin lain kali. Tapi, terima kasih sudah memberikan tawaran yang menarik itu dan juga untuk menggunakan kamar dengan gratis selama berbulan-bulan.” Helmi mengembangkan senyum, menampakkan susunan giginya yang putih itu. “Oh, ya, kapan kau mau meninggalkan Pontianak?” tanyanya kemudian. “Kalau tak salah...”Irfan membuka buku catatannya. “Besok malam ada kapal menuju Tanjung Priok.” “Kau mau ke Jakarta lagi?” “Tidak, hanya pelabuhan antara saja. Aku harus ke Batam.” 196 Bahasa Indonesia XI Program Bahasa Helmi yang tadinya sudah sampai pintu, langsung datang mendekat. Pulau Batam? Kalau begitu, kau mengambil jarak yang jauh dan belum tentu sesampainya di Tanjung Priok, kau akan mendapatkan kapal, kecuali tentu saja kalau kau mengambil rute pesawat.” “Maksudmu ada yang lebih dekat?” “Ya. Kau pergilah ke daerah Pemangkat, Sambas, di sana ada Pelabuhan Sintete. Biasanya, anak-anak yang mau bepergian ke Sumatera terutama Riau sering mengambil rute itu.” “Kapal penumpang atau kapal pengangkut?” “Pengangkut. Pokoknya cocoklah untuk kantong anak-anak seperti kita.” Irfan tertawa kecil. Ah, beruntung sekali memiliki banyak sahabat. Kadang, mereka bisa memberikan bantuan atau masukan yang sangat berharga baginya.”Di mana katamu tadi?” “Pemangkat. Jaraknya hanya empat jam, tapi kalau kau berangkat subuh, biasanya tidak sampai segitu.” “Oke. Jam berapa bus pertama kali menuju ke sana?” nada suara Irfan terdengar sangat bersemangat. Helmi melirik jam di tanganya. “Hm... paling awal biasanya jam setengah dua subuh.” Berarti masih ada tiga jam lagi untuknya beristirahat, pikir Irfan. “Tampaknya aku perlu rehat sebentar, Hel. Menyiapkan diri sebelum perjalanan jauh itu,”ujarnya. “Kupikir dirimu sudah terlalu letih untuk melanjutkan perjalanan,”ledek Helmi,”ternyata kakimu sudah gatal rupanya untuk berkeliling Indonesia.” Senyum kecil itu terlukis di mulut Irfan. Keliling Indonesia? Ah, itulah keinginannya sewaktu masih berada di Malaka. Namun, kini keadaan sudah berubah. Lelaki di depanya itu tidaklah mengetahui betapa berarti perjalanan yang sedang dilakukannya ini. Tanpa sengaja, matanya tertumbuk pada kalender yang tergantung di dinding sebelah kanannya. Ah, sudah enam bulan lebih dia berada di Indonesia. Tiba-tiba saja, hatinya seperti sedang menyulam benang-benang kerinduan, kerinduan akan rumah, kerinduan akan “keluarga” di negeri seberang sana. Sedang apakah Menegakkan Keadilan 197 kalian? Dan seketika itu, tiga wajah-mak, Salmah, Siti-bermain-main di depan matanya. Hanya, ada sesuatu yang sedang mengusiknya. mengusik ketenteraman hatinya? Kapankah semua ini akan berakhir? “Bagaimana lukamu?” tanya Helmi beberapa saat kemudian. Telapak kau bisa memikirkan kesehatanmu,”pesan Helmi. “Okelah, kalau kau mau istirahat, biar kutinggalkan dulu. Jam berapa mau kubangunkan?”lanjut Helmi sambil bersiap mau pergi. “Seperti katamu, tiga jam lagi,”jawab Irfan. Siti membongkar pakaian dari traveler bagnya. Malas. “Bagaimana?Meeting-nya lancar?”Mak tiba-tiba datang dengan membawa segelas air putih. Siti mengangguk. “Syukurlah,” kata Mak. “Apa khabar abangmu? Dah lama dia tak balik ke rumah?”lanjut mak. Mata Siti masih bisa menatap wajah wanita tua itu. Dia menangkap wajah yang terlihat sungguh memancarkan kesan rindu yang sangat kepada Irfan. Bagaimanapun kenyataannya, sejak kecil abangnya itu diasuh oleh mak sehingga tidak berlebihan memang bila mak sudah menganggap Irfan anaknya sendiri. Apa lagi Irfan adalah anak kemenakannya sendiri. Ah, Siti seperti merasai rindu yang menyentak-nyentak itu. Merasakan luka yang perih. Bahkan, merasakan tidak hanya sekadar genangan air mata di kelopak mata mak. Dik sungguh tidak tega mengabarkan apa yang sesungguhnya terjadi, juga tentang keberadaan Irfan kini. Mak tidak tahu apa-apa. Siti mendekati wanita itu. Tangannya meraih gelas air putih yang dipegang mak dengan gemetar. Menaruh gelas itu, lalu memeluk mak. Dia mencoba memberikan kekuatan, setidaknya menyadarkan mak bila masih ada dirinya di samping mak. Dua kehilangan sekaligus dalam waktu berdekatan memang bukan perkara yang mudah. Gadis itu semakin erat memeluk ibunya. Sebutir air mata jatuh dari matanya. Matahari tenggelam di selimuti gumpalan awan hitam kelabu. Sebentar lagi hujan akan turun dan karena itu, burung-burung camar berteduh dari guyuran hujan. 198 Bahasa Indonesia XI Program Bahasa Batam memang pulau industri. Pulau itu ibarat tambang emas yang berada di posisi strategis, bersentuhan langsung dengan negara- negara tetangga Malaysia dan Singapura. Ibarat buah yang ranum, Batam mengundang minat investasi kedua negara itu untuk memetik buahnya. Jelas, pulau industri itu menarik minat siapapun yang sedang mencoba mengadu peruntungan nasib di sana. Mencoba untuk mendapatkan selembar-dua lembar uang sambil menyusun impian untuk memiliki keluarga yang bahagia, pendidikan yang terjamin, kesehatan yang memadai, rumah tempat berteduh, kendaraan pribadi untuk mengantar ke mana-mana dan... sejuta impian lainnya yang coba dikejar oleh para pekerja harian itu. Begitulah, hujan adalah hujan. Dia akan menyiram siapa saja yang mencoba berada di alam terbuka. Tak peduli apakah orang itu buruh, manajer, bahkan pemilik pabrik-pabrik industri sekalipun. Jika mereka di luar dan tidak membawa jas hujan atau payung, tunggu saja rintiknya akan puas membasahi setiap bagian tubuh mereka. Namun, tidak demikian dengan remaja tanggung di ujung Pulau Batam sana. Berdiri terpaku seperti menghujamkan kakinya dalam- dalam di bibir Pantai Tanjung Pinggir. Membiarkan kakinya basah disapa ombak yang pelan menyapa pantai. Kepalanya tegak seperti sedang menantang gumpalan awan yang sempurna menutupi matahari di atas sana. Sejak matahari masih menampakkan keperkasaannya, matanya lekat-lekat memandang garis pulau yang jauh di seberang lautan sana. Memandang Negeri Singa--di sana ada Salmah--mencoba menerobos hingga ke belakang pulau itu, Malaysia. Tak sampai lima belas menit, dia berjalan menuju pelabuhan feri Batam-Singapura. Dan perjalanan tak sampai dua jam menuju Johor Baru, maka dia akan bertemu dengan keluarga yang dicintainya. Tapi ... ada sesuatu yang menahan keinginannya itu. Rambut lelaki yang mulai panjang itu bermain-main disapu angin. Menerbangkan hatinya entah menuju ke mana. Satu per satu rintik hujan itu datang menyapa bumi. Lelaki itu mengambil telepon genggamnya. Memencet sebuah nomor. “Alwan, aku akan kembali ke Bandung,”katanya pelan, lalu menutup percakapan itu. Menegakkan Keadilan 199 L atihan 8.2 Mengapa dia harus terombang-ambing? Mengapa pencariannya tak pernah berujung? Kemana lagi aku harus melangkah? Deretan pertanyaan itu menyentak hati Irfan. Harapannya untuk bertemu sang ibu perlahan mulai menguap. Ternyata, di pulau ini pun jejak ibunya hanyalah peninggalan yang ada. Wanita itu sudah berpindah tempat lagi, ke Jakarta. Sekali lagi, mata lelaki itu menatap barisan pulau di depannya. Rindu itu menyentak dengan setitik air mata dan ombak yang meyapa bibir pantai membawanya ke tengah lautan. Sendiri. Sumber: Senja yang Menghilang, Arul Khan, 2004 Carilah sebuah cerpen di koran atau majalah bacalah cerpen tersebut, kemudian gubahlah cerpen tersebut menjadi naskah drama pendek Optimalkan kreativitas kalian dan berdiskusilah dengan teman kelompokmu

E. Menganalisis Perkembangan Berbagai Bentuk