Agribisnis – Pemasaran Produk Pertanian Kebijakan Pemerintah

30 pemerintah dan masyarakat. Teknik pendekatan yang tepat sangat menentukan keberhasilan dalam penyampaian pesan yang diinginkan. Komunikasi yang efektif dengan bahasa yang mudah dipahami akan lebih efektif di dalam masyarakat. Selain itu diperlukan pula motivator yang mampu memberikan masukan dan saran kepada masyarakat mengenai masa depan program baru yang sedang dilaksanakan. Penyuluhan dan pendidikan mengenai cara dan ketentuan yang harus dilaksanakan sebaiknya dilengkapi dengan satu areal khusus untuk mempraktekannya. Hasil penelitian Pranadji 2006 membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat di daerah lahan kering seperti di desa Kedung Poh, Boyolali adalah karena kuatnya modal sosial yang terbentuk di wilayah tersebut. Kekuatan tersebut mampu mengurangi tekanan terhadap agroekosistem lahan kering yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penghasilannya. Meskipun berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, namun tidak semuanya dapat diterima, diadopsi dan dipraktekkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan dimana ia tinggal dan bercocok tanam, petani memiliki kearifan farmer wisdom tertentu dalam mengelola sumberdaya alamnya. Kearifan inilah yang menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat Sinclair dan Walker, 1998. Pemahaman yang dibangun dan dikembangkan oleh petani akan sangat berguna sebagai masukan yang melengkapi dan memperkaya model pengetahuan ilmiah scientific models. Pada saat yang bersamaan petani dapat menerima dan mengambil manfaat dari pengembangan model pengetahuan yang sudah ada tersebut sekaligus menularkannya kepada petani lain yang belum pernah mencoba menerapkannya Joshi et al., 2004.

2.3.5. Agribisnis – Pemasaran Produk Pertanian

Belum kuatnya sektor produksi di sisi hulu dari sistem agribisnis sayuran di lahan dataran tinggi, menyebabkan tersendatnya usaha yang ada di sektor sebelah hilir. Apalagi fragmentasi lahan terus terjadi disertai dengan pengelolaan lahan yang kurang tepat, sehingga menyebabkan terjadinya inefisiensi yang tinggi dalam usahatani sayuran dan kesulitan menjaga kontinuitas pasokan sayuran baik dalam kualitas maupun kuantitas Gunawan, 1998. Menurut Herman 2002, dalam mata rantai perdagangan produk pertanian perhitungan menggunakan teknik ISM menunjukkan bahwa petani 31 ternyata berada pada sektor dependent dan mempunyai kekuatan penggerak paling kecil serta ketergantungan paling tinggi. Pemasaran dilakukan melalui pasar kolektif dengan peran pedagang pengumpul yang relatif tinggi. Pasar produk pertanian di Indonesia masih kurang terintegrasikan, khususnya untuk sayuran dataran tinggi yang lebih cepat rusak. Hal ini menyebabkan perubahan harga di satu pasar tidak langsung mengubah harga di pasar yang lain, dan kenaikan harga di pasar tidak serta merta menaikkan harga di tingkat petani. Integrasi pasar terjadi lebih baik pada sayuran dataran tinggi yang mempunyai ketahanan simpan lebih lama, khususnya untuk wilayah-wilayah yang memiliki sarana transportasi memadai Munir et al., 1997.

2.3.6. Kebijakan Pemerintah

Menurut Napitupulu 2007, revitalisasi pertanian perlu ditekankan pada peningkatan kapasitas produksi dan pemasaran pertanian market driven dengan meningkatkan a akses terhadap teknologi dan pengetahuan, b akses pengusaha dan petani terhadap kapital, c kapasitas jaringan komoditi untuk memfasilitasi perluasan perdagangan. Kebijakan yang mempajak pertanian dalam rangka memperoleh surplus yang lebih besar secara implisit dan eksplisit akan menimbulkan “counter productive” terhadap pertumbuhan dan penyediaan kesempatan kerja. Demikian halnya dengan kebijakan yang mengharuskan harga pangan harus murah, akan berdampak buruk dalam jangka panjang. Untuk mengendalikan kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan miring yang peka terhadap erosi dan menyediakan pedoman melaksanakan pertanian konservasi di lahan pegunungan, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No 47 tahun 2006.

2.3.7. Pentingnya Kemampuan Antisipasi Petani Terhadap Anomali Iklim