131
masyarakat  yang  tergabung  dalam  LMDH  atas  penanaman  tanaman  pinus sebagai tanaman utama di lahan LMDH. Masyarakat setempat menolak tanaman
pinus  sebagai  tanaman  utama  karena  untuk  pertumbuhannya,  pinus  muda membutuhkan  air  yang  banyak  sekaligus  menguapkan  air  dalam  jumlah  yang
tinggi, pada saat yang bersamaan daun pinus yang gugur ke tanah  sangat sulit mengalami pembusukan. Semua hal yang telah disebutkan di atas menyebabkan
permukaan tanah yang terdapat di sekitar tanaman pinus muda menjadi kering. Menurut Soedjoko et al., 1998, peran hutan terhadap pengendalian daur
air dimulai dari peran tajuk menyimpan air intersepsi. Di hutan klimaks intersepsi bisa mencapai angka 25 – 35 dari hujan tahunan yang jatuh, tetapi di hutan
Pinus  hanya  sekitar  16  -  20  dari  hujan  tahunan  yang  diintersepsi.  Peran penting  hutan  yang  ke  dua  dan  sering menjadi  sumber  penyebab  kekhawatiran
masyarakat adalah tingginya laju evapotranspirasi. Evapotranspirasi  punya  pengaruh  yang  penting  terhadap  besarnya
cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah. Sehubungan dengan  hal  tersebut  maka  evapotranspirasi  yang  terjadi  dari  suatu  kawasan,
sudah  mulai  banyak  mendapat  perhatian  dari  para  peneliti  terutama  untuk kawasan  dengan  vegetasi  tertentu.  Ditegaskan  kembali  bahwa  yang  paling
banyak  mendapat  perhatian  terkait  dengan  besarnya  evapotranspirasi  adalah kawasan  hutan  Pinus.  Untuk  menjawab  kekawatiran  tersebut  Perum  Perhutani
kemudian bekerja sama dengan UGM, IPB dan Unibraw dalam penelitian tentang neraca air kawasan hutan Pinus.
Selama  5  tahun  penelitian  yang  dilakukan  oleh  UGM  Soedjoko  et  al., 1998  diperoleh  informasi  bahwa  evapotranspirasi  yang  terjadi  di  hutan  Pinus
dalam  kisaran  sebesar  1.002 mmth  –  1.253  mmth  atau  29  -  69  dari  hujan tahunan  yang  jatuh.  Angka  tersebut  memunculkan  suatu  keputusan  untuk
merekomendasikan bahwa pinus dapat dikembangkan pada  suatu daerah yang mempunyai  curah  hujan  minimal  2.000  mmth.  Oleh  tim  peneliti  dari  PPLH
Unibraw    dikemukakan  bahwa  Pinus  disarankan  tidak  ditanam  di  daerah  yang curah hujannya  1500 mmth, sedang oleh tim peneliti dari Fak. Kehutanan IPB
Manan  et  al.,  1998  pinus  disarankan  ditanam  di  daerah  dengan  curah  hujan minimal 2000 mmth, supaya tidak mempengaruhi tata air kawasan.
6.3. Sub Model Kekuatan Modal Sosial
Masyarakat  desa  penelitian  masih  menggambarkan  budaya  masyarakat agraris.    Sebagian  besar  penduduknya    80  adalah  petani  dan  peternak.
132
Perkembangan  ke  arah  budaya  perkotaan  lebih  cepat  terjadi  di  Desa  Cibogo dibandingkan  Desa  Sumberbening.  Ketersediaan  transportasi  umum,  jarak  ke
Ibukota propinsi dan kegiatan pariwitasa  yang berkembang sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat desa.  Generasi muda lebih tertarik bekerja di luar
sektor  pertanian  karena  dianggap  pertanian  tidak  mampu  memberikan penghasilan  yang  cukup,  padahal  untuk  bertani  diperlukan  modal  dan  tenaga
yang  besar.    Usia  rata-rata  petani  di  Kecamatan  Lembang  terbanyak  pada kisaran 46 – 55 tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya lulus SD.
Sebagian  besar  petani  Lembang    80  tidak  lagi  menganggap  perlu untuk menjadi anggota atau membentuk kelompok tani.  Menurut pendapat yang
disampaikan keberadaan bandartengkulak sudah dapat menyelesaikan masalah utama dalam usahatani mereka yaitu modal dan pemasaran.
Kehidupan  masyarakat  khususnya  petani  Desa  Sumberbening  relatif lebih  sejahtera  dibandingkan  Desa  Cibogo.    Indikator  fisik  yang  memperkuat
pernyataan tersebut adalah kepemilikan petani Sumberbening atas rumah tinggal dan lahan pekarangan yang lebih lebih luas dibandingkan petani Cibogo. Hal ini
terkait  dengan  keberhasilan  program  keluarga  berencana  KB  yang dilaksanakan  secara  sukarela.    Rasa  malu  jika  tidak  mampu  menyekolahkan
anak  minimal  sampai  SMA  membuat  setiap  keluarga  di  wilayah  Dongko  pada umumnya  membatasi  jumlah  anak  mereka  hanya  2.    Tingkat  pendidikan  yang
cukup dipercaya menjadi kunci bagi terbukanya pekerjaan bagi generasi muda. Meskipun  penghasilan  yang  diperoleh  jumlahnya  fluktuatif,  usaha
pertanian  tetap  menjadi  andalan  pendapatan  keluarga  petani  Cibogo.    Namun sayangnya, petani sayuran tidak mempunyai usaha lain selain bertani.  Rumah-
rumah  di  Desa  Cibogo  terletak  berdekatan  satu  sama  lainya  dan  tidak  ada pekarangan  yang  cukup  untuk  ditanami.    Jika  terdapat  lahan  tersisa  disekitar
rumah  biasanya  digunakan  untuk  kandang  sapi  atau  disewakan  kepada  orang lain.  Jumlah  anggota  keluarga  yang  ditanggung  oleh  keluarga  tani  di  Cibogo
ternyata cukup banyak, rata-rata terdapat 8 – 10 orang dalam keluarga. Program  KB  di  daerah  ini  tampaknya  tidak  berjalan  sesuai  dengan
harapan  Pemerintah.  Seluruh  keluarga  tinggal  dalam  rumah  orangtua.  Alasan kesulitan  untuk  mendapatkan  pekerjaan  yang  layak  dan  mahalnya  hargasewa
rumah menyebabkan anak dan cucu mereka masih tinggal di tempat yang sama. Beban  ekonomi  yang  ditanggung  oleh  kepala  keluarga  menjadi  sangat  berat.
133
Namun  kondisi  tersebut  tidak  menyebabkan  terjadinya  perselisihan  dalam keluarga, budaya saling membantu masih sangat kuat dalam satu keluarga inti.
Kebiasaan  meminjam  uang  atau  sarana  produksi  kepada  para  bandar sayuran dimiliki oleh petani Cibogo hingga saat ini.  Jumlah pinjaman per musim
tanamnya  bervariasi  antar  petani,  tetapi  jumlahnya  dapat  mencapai  5  juta. Selain  untuk  keperluan  modal  usahatani,  uang  pinjaman  juga  digunakan  untuk
membayar  uang  sekolah  anak-anak  mereka.    Ketergantungan  yang  tinggi terhadap pinjaman dari bandar tersebut membuat petani tidak memiliki alternatif
lain  untuk  menjual  hasil  produksinya.    Tidak  demikian  halnya  dengan  petani Sumberbening,  pada  umumnya  petani  tidak  memiliki  pinjamanhutang.    Jika
terpaksa  harus  berhutang,  petani  lebih  memilih  untuk  menjual  sebagian  harta yang dimilikinya atau menggadaikan sebagian tanahnya kepada saudara.
Dilihat dari tingkat kemampuan masyarakat desa untuk mengembangkan aktivitas  pasar  dan  mobilitas  ekonomi,  masyarakat  Desa  Cibogo  lebih  baik
dibandingkan masyarakat Desa Sumberbening. Keterbukaan masyarakat Cibogo terhadap  ekonomi  pasar  lebih  tinggi  sehingga  masyarakatnya  cenderung  lebih
konsumtif dibandingkan Sumberbening. Jika  pasar  di  Desa  Cibogo  dibuka  setiap  hari,  maka  pasar  di  Desa
Sumberbening buka 5 hari sekali. Mobilitas ekonomi masyarakat Sumberbening praktis  hanya  dilakukan  5  hari  sekali  tergantung  hari  pasar,  namun  demikian
mobilitas  sosial  masyarakatnya  tinggi  dibandingkan  masyarakat  Desa  Cibogo. Acara-acara  yang  bersifat  non  profit  seperti  kerja  bakti,  perkawinan,  kematian,
kesenian  tayub  dan  kelahiran  bayi  wajib  dihadiri  oleh  masyarakat  Desa Sumberbening.    Sanksi  sosial  yang  diterima  oleh  keluarga  yang  tidak  hadir
sangat  kuat,  hal  ini  juga  yang  membuat  ikatan  sosial  dalam  masyarakat  desa menjadi  kuat.  Nilai  kebersamaan  dalam  komunitas  yang  masih  terjaga  dengan
baik, memudahkan aparat desa untuk memobilisasi warganya jika ada kegiatan. Profil dan Aset Desa Cibogo, Lembang dan Desa Sumberbening, Dongko
terdapat pada Lampiran 13  dan 14. Karakteristik komunitas di Desa Cibogo dan Semberbening dapat jelas dilihat pada Lampiran 15 dan 16.
Secara  keseluruhan,    modal  alam  natural  capital  pada  ke  dua  wilayah penelitian  berupa  lahan  kering  dataran  tinggi.    Sebagian  besar  lahan  pertanian
masyarakat terletak pada tempat  yang memiliki kemiringan lereng antara 15 - 40. Petani di wilayah Lembang menanam sayuran, sedangkan petani Dongko
134
menanam  ubi  kayu  dan  beberapa  jenis  tanaman  industri  seperti  nilam,  kakao, dan cengkeh.
Hasil penilaian terhadap profil dan aset desa menggunakan skala Likert dan  teknik  penghitungan  Fuzzy  Semi  Numerik  Fumerik,  menunjukkan  bahwa
kedua  wilayah  penelitian  memiliki  fasilitas  dan  aset  yang  cukup  lengkap.  Skor yang  ditetapkan  untuk  wilayah  Lembang  sebesar  65,30  dan  untuk  wilayah
Dongko  sebesar  65,72  keduanya  termasuk  dalam  kategori  tinggi.  Keduanya termasuk dalam kategori tinggi.
Demikian  pula  dengan  hasil  penilaian  terhadap  karakteristik  komunitas yang  diukur  berdasarkan  8  karakter  yaitu:  kerjasama,  perasaan  aman  dan
percaya,  keberagaman,  nilai  dan  norma,  rasa  memiliki  terhadap  program, partisipasi,  masyarakat  pro  aktif  dan  hubungan  timbal  balik.    Hasil  perhitungan
menggunakan teknik Fumerik menetapkan skor untuk wilayah Lembang sebesar 61,01 tinggi sedangkan untuk wilayah Dongko sebesar 69,85 sangat tinggi.
Secara  umum  modal  fisik  dalam  bentuk  sarana  dan  prasarana constructed capital yang menunjang aktivitas masyarakat Desa Cibogo tersedia
lengkap.    Transportasi  umum  yang  menghubungkan  antar  Desa  ataupun  Desa dengan  Kecamatan  di  wilayah  Kecamatan  Lembang  beroperasi  24  jam.
Meskipun  tidak  seluruh  jalan  berada  dalam  kondisi  baik,  namun  hubungan masyarakat antar desa berlangsung dengan baik.
Kondisi  yang  sedikit  berbeda  terdapat  di  desa  Sumberbening.    Seperti pada umumnya desa-desa lain di Kabupaten Trenggalek, alat tranportasi umum
hanya  beroperasi  pagi  hingga  sore  saja  dengan  jumlah  terbatas.    Masyarakat lebih  sering  menggunakan  motor  pribadi  atau  mobil  sewa  untuk  beraktivitas
sehari-hari dan membawa hasil panennya ke pasar. Meskipun  hasil  penilaian  menunjukkan  bahwa  aset  dan  karakteristik
komunitas  masyarakat  di  wilayah  penelitian  termasuk  dalam  kategori  tinggi, namun  kekuatan  modal  sosial  yang  telah  dimiliki  tersebut  belum  direfleksikan
dalam  bentuk  tindakan  untuk  mempertahankan  kelestarian  sumberdaya  alam terutama  lahan  dan  air.  Salah  satu  kejadian  penting  yang  menyangkut
kelestarian  sumber  air  di  Lembang  adalah  mengeringnya  sumber  air  yang terdapat  di  gunung  Putri,  Desa  Cibogo  sekitar  3  tahun  yang  lalu.  Masyarakat
setempat  tidak  melakukan  upaya-upaya  untuk  mengembalikan  sumber  air tersebut,  misalnya  dengan  menanam  tanaman  tahunan  di  sekitar  sumber  air,
135
namun lebih memilih membuat sumur bor jet pump atau menampung air hujan sebagai sumber air yang baru.
Masalah  kekurangan  air  juga  terjadi  di  Kecamatan  Dongko,  bahkan menimbulkan konflik antara masyarakat dengan Perhutani. Menurut masyarakat,
penanaman  kembali  lahan  Perhutani  yang  di  PHBM  kan  dengan  pinus  dinilai hanya  berorientasi  untuk  memperoleh  keuntungan  tanpa  memperhatikan  aspek
hidrologi. Tanaman pinus yang sedang tumbuh dianggap berpotensi mematikan sumber air karena daya evapotransoirasinya yang tinggi.  Selain itu, zat alelopati
yang  dikeluarkan  oleh  pinus  dapat  mematikan  tanaman  lain  disekitarnya.  Astuti et  al.,  1998  menguatkan  pernyataan  tersebut  dengan  menyebutkan  angka
evapotranpirasi  yang  terjadi  di  hutan  pinus  sebesar  29  –  69  dari  hujan tahunan yang jatuh.  Oleh karena itu pinus tidak direkomendasikan untuk daerah-
daerah  yang  curah  hujannya  kurang  dari  2000  mmth.  Namun  demikian, penanaman  tanaman  semusim  secara  monokultur  seperti  yang  dilakukan  oleh
masyarakat  juga  bukan  tindakan  yang  tepat,  mengingat  sifat  tanaman  tersebut yang menguras hara dan lapisan olah tanah.
Menurut Pranadji
2006,  masyarakat perdesaan
tidak hanya
mencerminkan  rajutan  vertikal,  melainkan  juga  rajutan  horisontal.    Kekuatan kolektifitas  masyarakat  Desa  Cibogo  dan  Desa  Sumberbening  lebih  banyak
ditopang  oleh  kolektifitas  horisontal  masyarakat  Dusun  daripada  kolektifitas vertikalnya  Dusun-Desa.  Masyarakat  yang  tinggal  dalam  satu  Dusun  memiliki
ikatan  emosional  yang lebih  kuat  dibanding  satu  desa. Walaupun  secara  hirarki pemerintah  Dusun  dikendalikan  oleh  Desa,  namun  perkembangan  tata  nilai
masyarakat  Dusun  sangat  kuat.    Kekerabatan  dan  ketetanggaan  merupakan wadah  yang  tepat  untuk  mempertahankan  tata  nilai  bahkan  mengembangan
aktivitas  ekonomi.    Kelembagaan  ekonomi  tingkat  Desa  dan  dan  Kecamatan seperti  KUD  tidak  mampu  menjadi  wadah  usaha  ekonomi  masyarakat  secara
kolektif di ke dua Desa yang diamati. Coleman 1988 berpendapat, untuk membangun modal kelompok secara
mandiri harus dibangun dari kekuatan modal sosial individunya yang terdiri atas network,  reciprocity  expectation  relationship,  trust-willingnes  to  take  initiative  or
risk,  social  norms,  personal  and  collective  efficacy.  Keberhasilan  masyarakat membangun  jaringan  sosial  yang  luas  hanya  berlandaskan  trust  dapat
dicontohkan  dari  suksesnya  penyelenggaraan  turnamen  voli  antar  kelompok pemuda di Desa Sumberbening.
136
Aspek  kepercayaan  trust  merupakan  komponen  utama  pembentuk modal sosial di perdesaaan.  Aspek lainnya seperti kerjasama cooperation atau
jaringan  kerja  net-work  menurutnya  tidak  akan  terbentuk  jika  landasan  saling percaya  diantara  anggota  masyarakat  mutual  trust  tidak  terbangun  dengan
baik.  Berdasarkan pengamatan selama penelitian,  mutual trust telah terbangun lebih  baik  di  masyarakat  Sumberbening  dibandingkan  masyarakat  Cibogo.
Berdasarkan  indept  interview  selama  penelitian,  terdapat  empat  hal  yang mencerminkan  ritme  kehidupan  petani  Sumberbening  yaitu  :  pertama,  tingkat
social  trust  masih  berjalan  sempurna.  Relasi  kekerabatan  yang  kuat  ditandai dengan  semangat  gotong  royong  dalam  pembangungan  fasilitas  umum,
penyelenggaraan pesta maupun dalam penanggulangan musibahduka.  Kedua, keterlibatan  kaum  perempuan  masih  sangat  tinggi,  tidak  hanya  dalam  proses
produksi,  pengolahan  hasil  bahkan  dalam  memutuskan  jumlah  anak  dan pendidikan mereka.  Ketiga, hilangnya sistem ijon dan rentenir di Sumberbening
digantikan  dengan  tabungan  kelompok  dan  arisan.  Keempat, norma  dan sanksi sosial  yang  masih  kuat  ditandai  dengan  keberhasilan  dalam  pemanfaatan
sumber mata air untuk keperluan rumah tangga dan kegiatan pertanian. Pada  masyarakat  Desa  Cibogo,  Lembang  yang  relatif  telah  terbuka
terhadap  pengaruh  dari  kota  besar,  jaringan  kepercayaan  yang  terbentuk umumnya relatif lebih sempit.  Kontradiksi sosial yang cukup tinggi menyebabkan
kepercayaan  yang  masih  tetap  terjaga  hanya  sebatas  dalam  keluarga  inti  saja. Keputusan  yang  akan  di  ambil  cenderung  memperhatikan  faktor  keuntungan
ekonomi oleh karena itu masyarakatnya cenderung menjadi individualis. Jika  tata  nilai  yang  dianggap  penting  tetap  dipertahankan  dan  menjadi
landasan  untuk  membangun  kekuatan  modal  sosial  masyarakat,  proses transformasi  sosial-ekonomi  akan  terus  berkembang  yang  diwujudkan  dalam
bentuk kegiatan pertanian yang berkelanjutan.  Tata nilai yang dianggap penting oleh responden di dua Desa pengamatan antara lain rasa maluharga diri, jujur,
empati terhadap sesama, dan menjaga amanah. Masyarakat juga beranggapan bahwa  untuk  memperbaiki  kualitas  hidup  dan  lingkungannya  diperlukan  kerja
keras,  rajin,  pendidikan  memadai,  sikap  hemat  dan  mengikuti  perkembangan informasi terbaru.
6.4. Sub Model Agribisnis-Pemasaran