136
Aspek  kepercayaan  trust  merupakan  komponen  utama  pembentuk modal sosial di perdesaaan.  Aspek lainnya seperti kerjasama cooperation atau
jaringan  kerja  net-work  menurutnya  tidak  akan  terbentuk  jika  landasan  saling percaya  diantara  anggota  masyarakat  mutual  trust  tidak  terbangun  dengan
baik.  Berdasarkan pengamatan selama penelitian,  mutual trust telah terbangun lebih  baik  di  masyarakat  Sumberbening  dibandingkan  masyarakat  Cibogo.
Berdasarkan  indept  interview  selama  penelitian,  terdapat  empat  hal  yang mencerminkan  ritme  kehidupan  petani  Sumberbening  yaitu  :  pertama,  tingkat
social  trust  masih  berjalan  sempurna.  Relasi  kekerabatan  yang  kuat  ditandai dengan  semangat  gotong  royong  dalam  pembangungan  fasilitas  umum,
penyelenggaraan pesta maupun dalam penanggulangan musibahduka.  Kedua, keterlibatan  kaum  perempuan  masih  sangat  tinggi,  tidak  hanya  dalam  proses
produksi,  pengolahan  hasil  bahkan  dalam  memutuskan  jumlah  anak  dan pendidikan mereka.  Ketiga, hilangnya sistem ijon dan rentenir di Sumberbening
digantikan  dengan  tabungan  kelompok  dan  arisan.  Keempat, norma  dan sanksi sosial  yang  masih  kuat  ditandai  dengan  keberhasilan  dalam  pemanfaatan
sumber mata air untuk keperluan rumah tangga dan kegiatan pertanian. Pada  masyarakat  Desa  Cibogo,  Lembang  yang  relatif  telah  terbuka
terhadap  pengaruh  dari  kota  besar,  jaringan  kepercayaan  yang  terbentuk umumnya relatif lebih sempit.  Kontradiksi sosial yang cukup tinggi menyebabkan
kepercayaan  yang  masih  tetap  terjaga  hanya  sebatas  dalam  keluarga  inti  saja. Keputusan  yang  akan  di  ambil  cenderung  memperhatikan  faktor  keuntungan
ekonomi oleh karena itu masyarakatnya cenderung menjadi individualis. Jika  tata  nilai  yang  dianggap  penting  tetap  dipertahankan  dan  menjadi
landasan  untuk  membangun  kekuatan  modal  sosial  masyarakat,  proses transformasi  sosial-ekonomi  akan  terus  berkembang  yang  diwujudkan  dalam
bentuk kegiatan pertanian yang berkelanjutan.  Tata nilai yang dianggap penting oleh responden di dua Desa pengamatan antara lain rasa maluharga diri, jujur,
empati terhadap sesama, dan menjaga amanah. Masyarakat juga beranggapan bahwa  untuk  memperbaiki  kualitas  hidup  dan  lingkungannya  diperlukan  kerja
keras,  rajin,  pendidikan  memadai,  sikap  hemat  dan  mengikuti  perkembangan informasi terbaru.
6.4. Sub Model Agribisnis-Pemasaran
Secara konseptual pasar merupakan kelembagaan  yang otonom. Dalam bentuknya  yang  ideal, maka mekanisme  pasar  diyakini  akan mampu mengatasi
137
persoalan-persoalan  ekonomi  dengan  pengawasan  politik  dan  sosial  yang minimal  dari  pemerintah  dan  komunitas.    Pasar  tak  lagi  bermakna  sebagai
tempat atau lokasi belaka, namun sudah meluas sebagai bagian penentu aspek moral  kehidupan  kolektif  ditingkat  desa  hingga  nasional.  Di  sektor  pertanian,
terlihat  fenomena  otonomnya  para  pedagang  hasil-hasil  pertanian,  mereka seakan-akan  membangun  dunianya  sendiri,  misalnya  timbulnya  pedagang  kaki
tangan dan pedagang komisioner Syahyuti, 2004. Berdasarkan  hasil  penelitian,  seperti  pada  umumnya  petani  di  daerah
yang  lain,  petani  di  wilayah  penelitian  dihadapkan  pada  struktur  pasar  yang oligopoli  dalam  pembelian  sarana  produksi.    Produsen  pupuk,  pestisida  dan
benih  didominasi  oleh  perusahaan-perusahaan  besar  yang  masing-masing jumlahnya  terbatas.    Harga  eceran  di  tingkat  petani  cukup  mahal,  namun    bagi
petani harga tersebut given. Bantuan berupa subsidi harga dari pemerintah tidak berpengaruh nyata apalagi pada saat awal musim tanam dan memasuki musim
penghujan.  Pada saat itu, kebutuhan petani terhadap pupuk, pestisida dan benih meningkat sehingga kios-kios sarana produksi menetapkan harga sesuai dengan
harga pasar. Pada sisi yang lain, petani juga menghadapi struktur pasar hasil pertanian
yang bersifat oligopoli.  Pada saat yang bersamaan petani-petani menghasilkan produk  yang  jenis  dan  kualitasnya  tidak  berbeda.  Mereka  juga  memiliki
kebiasaan  tidak  menjual  hasil  panennya  langsung  kepada  konsumen. Bandarpedagang  pengumpul  yang  selalu  siap  menampung  hasil  panen  petani
untuk  dijual  kembali  kepada  pedagang  besar,  pengecer  dan  konsumen  akhir. Sebagian  besar  para  pedagang  pengumpul  tersebut  bahkan  telah  membuat
perjanjian jual beli dengan petani beberapa minggu sebelum panen. Salah  satu  karakteristik  komoditi  pertanian  yang  sangat  penting  dalam
mempelajari  struktur  pasar  adalah  sifat  homogen  dan  massal.  Sifat  homogen mengindikasikan  bahwa  konsumen  tidak  bisa  mengindikasi  sumber-sumber
penawaran  disubstitusi  secara  sempurna  oleh  produsen  lainnya.  Sifat  massal memberikan  indikasi  bahwa  jumlah  komoditi  pertanian  yang  dihasilkan  seorang
produsen  dianggap  sangat  kecil  dibandingkan  jumlah  komoditi  total  yang dipasarkan,  sehingga  produsen  pertanian  secara  individual  tidak  dapat
mempengaruhi  harga  yang  berlaku  di  pasar  dan  bertindak  sebagai  penerima harga price taker.
138
Selain  itu,  sifat  produk  pertanian  yang  musiman,  mudah  rusak  dan memakan  banyak  tempat  membuatnya  sangat  sensitif  terhadap  sistem
pemasaran  yang  tidak  efisien.    Sistem  pemasaran  yang  konvensional  dan melibatkan  banyak  pihak  yang  selama  ini  dilakukan  dalam  pemasaran  hasil
pertanian,  terbukti  tidak  efisien  bahkan  menghambat  perkembangan  usaha petani.  Karena tidak ada kepastian mendapatkan keuntungan, maka bagi petani
tahapan pemasaran produk selalu menjadi titik kritis dalam rantai agribisnis yang dijalankannya.
Terdapat  empat  karakteristik  pasar  yang  perlu  dipertimbangkan  dalam menentukan  struktur pasar  :  1  jumlah  dan  besar  penjual  dan  pembeli, apakah
penjual  relatif  banyak  sehingga  tidak  terdapat  seorang  penjual  pun  yang  dapat mempengaruhi harga; 2 keadaan produk yang diperjualbelikan, apakah produk
tersebut  homogen,  berbeda  corak  ataukah  produk  tersebut  unik  sehingga  tidak ada  penjual  lain  yang  dapat  mensubstitusiikan  produk  yang  dijual  tersebut;  3
kemudahan keluar dan masuk pasar; 4 pengetahuan konsumen terhadap harga dan  struktur  biaya  produksi.  Pada  umumnya  karakteristik  jumlah  penjual  dan
keadaan  komoditi  yang  diperjualbelikan  merupakan  karakteristik  utama  dalam menentukan struktur pasar Sudiyono, 2001.
Hasil  kajian  terhadap  permasalahan  pemasaran  di  kedua  wilayah penelitian  menunjukkan  bahwa  sebagian  besar  petani    80  menjual  hasil
produksinya  kapada  pedagang  pengumpultengkulak,  sebanyak  15  menjual kepada  pedagang  besar  supplier  dan  sisanya  yaitu  sebesar    5  menjual
langsung  kepada  pasar  terdekat  atau  konsumen.  Selanjutnya  pedagang pengumpul  akan  membawa  dagangannya  ke  supplier  atau  langsung
mendistribusikan  barang  dagangannya  ke  pasar-pasar  besarpasar  induk  yang terdapat di luar Kecamatan.
Para  bandar  atau  pedagang  pengumpul  yang  terdapat  di  Lembang  dan Dongko  memiliki  kuasa  penuh  dalam  penentuan  harga.    Pedagang  pengumpul
menjadi  satu  bagian  dari  mata  rantai  sistem  pemasaran  hasil  pertanian  yang berpengaruh  kuat  terhadap  pembentukan  harga,  namun  paling  sedikit
menanggung risiko kerugian jika terjadi harga anjlok. Ketergantungan  petani  kepada  para  pedagang  pengumpul  sangat  kuat,
sebagai  sumber  permodalan  uang,  benih,  pupuk,  pestisida  dan  kebutuhan keuangan  untuk  kepentingan  mendesak  lainnya  seperti  biaya  pengobatan  dan
sekolah  anak.  Meminjam  di  pedagang  pengumpul  dianggap  lebih  mudah
139
dibandingkan  ke  lembaga  keuangan  Bank,  BPR  karena  tanpa  syarat  dan agunan  kecuali  kepercayaan  diantara  keduanya.    Cara  pelunasan  hutang  juga
dianggap mudah oleh petani, yaitu dengan memotong uang hasil penjualan yang seharusnya diterima oleh petani pada saat panen.
Masih kuatnya peran dan pengaruh dari pedagang pengumpul di wilayah penelitian seringkali memaksa petani hanya bisa menjual hasilnya kepada pihak-
pihak tertentu saja.  Petani terikat karena memiliki hutang yang harus dibayarkan pada  saat  panen.    Kondisi  seperti  ini  jelas  merugikan  petani  mengingat  harga
transaksi  harga  yang  harus  diterimanya  biasanya  lebih  rendah  dibandingkan harga  di  pasar  terdekat.    Tanpa  disadari  oleh  petani,  bahwa  harga  yang  harus
diterimanya telah dikurangi oleh bunga pinjaman yang harus dibayarkan. Sebagaimana  dinyatakan  oleh  Hutabarat  dan  Rahmanto  2004  petani-
petani umumnya tidak memiliki informasi yang memadai tentang keadaan pasar dan  teknologi  pascapanen  dan  pengolahannya  untuk  menampung  kelebihan
pasokan  sehingga  pada  saat  berikutnya  mereka  menyesuaikan  penyesuaian produksi.  Hal  ini  tentunya  menjadi  peluang  bagi  pedagang-pedagang  apapun
bentuknya,  untuk  menguji  kekuatannya.    Dengan  kekuatan  seperti  itu  mereka dapat menekan harga yang mereka bayarkan kepada petani serendah mungkin,
karena  petani  jumlahnya  relatif  banyak  dan  mereka  tidak  bersatu,  sehingga pasarnya  tidak  bersaing  sempurna  melainkan  bersifat  persaingan  oligopsoni.
Ciri-ciri  dari  pasar  seperti  ini  adalah  beranekaragamnya  mutu  produk  dan langkanya informasi lengkap, tetapi ciri yang paling utama yang membedakannya
dari  bentuk-bentuk  pasar  yang  lain  adalah  besarnya  proporsi  komoditas  yang dibeli oleh hanya beberapa pedagang besar.  Karena jumlah pedagang besarnya
sangat sedikit, maka terciptalah keadaan saling ketergantungan diantara mereka. Besarnya  volume  permintaan  pada  setiap  segmen  pasar  seharusnya
menjadi acuan bagi petani dalam merencanakan jenis komoditas dan banyaknya produksi yang harus dihasilkan menurut kualitasnya. Dengan kata lain informasi
tentang  segmen  pasar  yang  menyangkut  jenis  komoditas,  lokasi  pasar,  volume permintaan  dan  kualifikasi  mutu  yang  dibutuhkan  konsumen  sangat  diperlukan
petani  untuk  merencanakan  produksinya.  Namun  informasi  ini  pada  umumnya masih  sulit  diperoleh  petani  karena  belum  ada  lembaga  tertentu  yang
mengumpulkan dan mensosialisasikannya secara efektif kepada  petani. Informasi  mengenai  jenis  komoditas  dan  harga  merupakan  fungsi
kebalikan  dari  aliran  barang.  Sumber  informasi  bagi  petani  dapat  berasal  dari
140
PPL,  bandartengkulak,  pengurus  koperasi,  distributor  sarana  produksi  atau lembaga keuangan mikro yang memberikan pinjaman. Bagi petani di Kecamatan
Lembang  yang  tidak tergabung  dalam  kelompok  tani,  sumber  informasi  mereka yang  utama  adalah  bandar,  sedangkan  petani  Dongko  menjadikan  PPL  dan
bandar sebagai sumber informasi. Selain pedagang pengumpul, Supplier merupakan salah satu bagian dari
rantai pemasaran produk pertanian yang berperan memperluas pasar hingga ke luar KecamatanKabupaten bahkan Propinsi.  Supplier sayuran yang terdapat di
Kecamatan  Lembang,  mengirimkan  barang  dagangannya  ke  pasar  retail  besar supermarket  yang  terdapat  di  Ibu  kota  propinsi  atau  langsung  ke  Jakarta.
Berbeda  halnya  dengan  pemasaran  produk  pertanian  di  Kecamatan  Dongko, supplier  mengirimkan  biji  kakao,  kopi  atau  minyak  nilam  kepada  pabrik
pengolahan besar yang biasanya terdapat di ibukota propinsi. Di  Kecamatan  Lembang  setidaknya  terdapat  5  Supplier  sayuran  dan  1
koperasi  yang  telah  berbadan  hukum  yaitu  1  CV.  Bimandiri,  2  Kemfarm,  3 Putri  Segar,  4  Dewa  family,  5  KUT  Mekar  Tani  jaya  dan  6  PD.  Grace.
Masing-masing supplier
mendapatkan stok
barang sayuran
dari bandarpedagang  antara  ataupun  dari  petani-petani  tertentu  yang  telah  dibina
dalam kelompok.  Sedangkan KUT Mekar Tani Jaya mendapatkan barang hanya dari  petani  yang  telah  menjadi  anggotanya.    Jika  para  Supplier menjual  barang
dagangannya  ke  pasar  dalam  negeri,  maka  KUT  Mekar  Tani  Jaya  lebih memfokuskan  pada  pasar  ekspor  yaitu  ke  Singapura  dan  Jepang  melalui
eksportir rekanannya. Berbeda  kondisinya  dengan  Lembang,  yang  berlaku  sebagai  supplier  di
Kecamatan  Dongko  adalah  individu  yang  memiliki  modal  besar  dan  hubungan bisnis  dengan  perusahaan  pengolahan  seperti  pabrik  coklat,  pabrik  kopi  dan
pabrik pemurnian minyak nilam.  Petani di Kecamatan Dongko sebenarnya lebih mudah untuk mengkases langsung para supplier dibandingkan petani Lembang.
Persyaratan  yang  ditetapkan  oleh  supplier  adalah  mutu  produk  dan  kejujuran petani.  Pada  pelaksanaannya,  pedagang  pengumpul  lebih  gesit mengumpulkan
barang  dagangannya  dengan  mendatangi  petani  ke  lahannya  masing-masing. Pada  kondisi  demikian,  pedagang  pengumpul  menjadi  penentu  harga  produk
pertanian yang dihasilkan petani. Harga  produk  pertanian  terutama  sayuran  segar  ditingkat  petani  sangat
fluktuatif  dalam  jangka  waktu  yang  sangat  pendek,  akibat  cepatnya  penurunan
141
kualitas produk yang dipasarkan.  Selain karena tekanan dari bandar, preferensi konsumen  dalam  membeli  produk  pertanian,  terutama  sayur  dan  buah,  secara
umum lebih tinggi untuk produk segar karena dinilai memiliki nilai gizi yang lebih baik.  Namun  sebagaimana  sifat  produk  pertanian,  pada  umumnya  justru  relatif
cepat mengalami kebusukan, oleh karena itu penanganan pasca panen sebelum disalurkan  pada  konsumen  harus  dilakukan  secara  tepat.  Jika  tidak  dilakukan,
maka  penurunan  harga  akibat  penurunan  kesegaran  atau  mutu  produk  tidak dapat dihindari.
Fluktuasi  harga  produk  pertanian  juga  disebabkan  oleh  perilaku-perilaku yang  bersifat  spekulatif  yang  dilakukan  oleh  hampir  semua  pihak  baik  petani
sendiri,  pedagang,  maupun  pengusaha  dengan  alasan  yang  relatif  bervariasi. Kondisi  ini  membawa  implikasi  pada  saat  harga  berada  pada  titik  terendah,
petani  yang  paling  dirugikan.    Namun  ketika  harganya  mencapai  puncak,  justru pedagang  yang  paling  diuntungkan.  Mekanisme  kontrol  dari  pemerintah  untuk
melindungi  petani  sebagai  produsen  tampaknya  belum  mampu  mengendalikan perilaku para spekulan tersebut.
Untuk  mengurangi  resiko  penerimaan  akibat  fluktuasi  harga  dan kegagalan  panen,  petani  sayuran  seharusnya  menghindari  pola  tanam
monokultur  dan  segera  menggantikannya  dengan  pola  tumpang  sari.  Pola tumpang  sari  akan  menghindarkan  petani  dari  penumpukan  hasil  panen  yang
mengakibatkan  harga  anjlok,  pemakaian  pupuk  dan  pestisida  lebih  efisien, stabilitas  harga  dan  pasokan  barang  kepada  supplier  terjaga  serta  perolehan
pendapatan dari penjualan hasil panen yang kontinu. Hasil  survey  terhadap  harga  produk  sayuran  di  beberapa  tingkat
penjualan  di  Kecamatan  Lembang  dan  sekitarnya  menunjukkan  bahwa  harga sayuran  ditingkat  pedagang  sangat  bervariasi.  Perlakuan  pasca  panen  yang
tepat  seperti  pembersihan,  pengelompokkan  dalam  kualitas  yang  seragam, kemasan  yang  rapi  dan  penempatan  pada  ruangan  yang  sejuk  terbukti  dapat
meningkatkan harga jual sayuran.  Supermarket dapat menjual sayuran dengan harga  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  pedagang  pasar  setelah  melakukan  sortir
berdasarkan  kualitas,  pembersihan  dan  pemberian  kemasan  plastik  berlabel. Pengelola  supermarket  berpendapat  bahwa  penilaian  konsumen  terhadap
produk  makanan  terutama  sayuran  segar  sangat  ditentukan  oleh  penampilan produk  dari  sisi  kebersihan  dan  kesegarannya.    Hasil  survey  harga  sayuran  di
wilayah Lembang dan sekitarnya terdapat pada Tabel 6.17.
142
Tabel 6.17.  Harga Sayuran di Tingkat Suplier, Pasar Lembang dan Supermarket di Bandung, Tahun 2008
Harga Rp
No  Jenis Sayuran Suplier   Pasar
Supermarket
1 Zukini
4.500 5.000
11.000 2
Seledri Besar Apium graveolens 8.000
- 29.000
3 Terung Jepang Solanum sp
9.000 -
12.200 4
Brokoli Brassica oleracea var asaparagodes
7.500 9.000
21.500 5
Lettuce Lactuca sativa sp 6.000
- 9.500
6 Kubis merah Brassica oleracea sp.
23.000 -
29.000 7
Cabe Rawit Besar Capsicum annuum 35.000
40.000 45.000
8 Cabe Merah Besar Capsicum sp
17.000 18.000
19.500 9
Cabe Hijau Besar Capsicum sp 9.500
12.000 13.950
10 Slada kriting Lactuca sp
4.500 5.000
6.600 11
Kubis bunga Brassica oleracea var Botrytis forma
5.500 6.000
8.700 12
Tomat Super Lycopersicon lycopersicum esculentum
4.000 6.000
8.000 13
Sawi putih Brassica rugosa 3.000
3.000 5.750
14 Paprika hijau Capsicum annuum
7.000 8.000
12.000 15
Paprika merah dan kuning 12.000
14.000 18.000
16 Lobak Raphanus sativus
17 Wortel Super Daucus carota
4.500 5.000
8.000 18
Bawang daun Allium fistulosum 5.000
3.000 13.500
19 Buncis Phaseolus vulgaris
500 1.000
4.000 20
Labu Siam Sechium edule 500
1.000 3.800
Sumber : Wawancara sejumlah responden
Berdasarkan  data  harga  sayuran  tersebut  di  atas,  maka  disarankan kepada  petani  untuk  menanam  sayuran  secara  tumpangsari.    Hasil  yang
diperoleh  dari  penjualan  beberapa  jenis  tanaman  sayuran  dalam  waktu  yang tidak  bersamaan  berguna  untuk  antisipasi  jika  harga  jenis  sayuran  tertentu
sangat  rendah.  Usahatani  menggunakan  pola  tumpangsari  juga  lebih  hemat biaya karena tingkat serangan OPTnya lebih rendah.
Tabel  6.18  dan  6.19  berikut  ini  menunjukkan  perbedaan  pendapatan petani berdasarkan hasil analisis usahatani terhadap petani yang melaksanakan
pola monokultur dan petani yang menanam sayuran secara tumpang sari.  Dapat dibuktikan  bahwa  penghasilan  yang  diperoleh  petani  yang  menanam  secara
tumpangsari lebih besar dibandingkan petani yang menanam secara monokultur. Dengan luas lahan yang lebih sempit, pola tumpang sari akan memberikan hasil
panen yang lebih banyak karena pemanfaatan lahan dan penggunaan pupuk dan pestisida yang lebih efisien.
143
Tabel 6.18. Analisis Usahatani Budidaya Sayuran Secara Monokultur
No  Komponen Produksi Satuan
Harga Rp Biaya Rp
1 Persiapan lahan
12 OH 15.000
180.000 2
Benih : Tomat 2 kantong
110.000 220.000
3 Mulsa plastik
2 gulung 400.000
800.000 4
Bambu 8 batang
5.000 40.000
6 Pupuk
a. Pupuk kandang b. Pupuk kimia
Urea KNO3
200 karung 120 kg
120 kg 6.000
1.200 2.000
1.200.000 144.000
240.000
7 Pestisida
a. Bazoka 80 WP b. Sumo 50 EC
c. Polystic 4 kg
3 kaleng 2 kaleng
40.000 30.000
15.000 160.000
90.000 30.000
8 Penanaman
3 OH 10.000
30.000 9
Pembersihan 5 OH
10.000 50.000
10 Panen
4 OH 15.000
60.000
Total Biaya  C 3.244.000
Penghasilan dari panen
Tomat R 4.000 kg
2.000 8.000.000
R - C 4.756.000
Keterangan: Sumber : Bp. Wijaya Mulya dusun Cilumber
Luas lahan : 2.000 m
2
Masa tanam = 120 hari Penghasilan rata-rata per bulan = Rp. 1.189.000 dengan penguasaan lahan 2.000 m
2
Berdasarkan  hasil  pengamatan  sedikitnya  terdapat  10  kombinasi  jenis sayuran yang ditanam oleh kelompok tani yang dibina CV Bimandiri dalam lahan
yang sama secara berurutan waktunya. Kombinasi tersebut adalah : 1.   Kombinasi 1: Slada keriting, Tomat, Bawang daun
2.  Kombinasi 2: Slada Lettuce, Seledri besar, Bawang daun 3.  Kombinasi 3: Jagung manis, Zukini, Kubis bunga
4.  Kombinasi 4: Kubis, Bawang daun, Brokoli 5.  Kombinasi 5: Cabe, Kubis merah, Bunga kol, Seledri
6.  Kombinasi 6: Brokoli, Bawang daun,Lobak 7.  Kombinasi 7: Lettuce, Bawang Daun, Brokoli, Zukini
8.  Kombinasi 8: Slada kriting, Bawang daun, Jagung manis 9.  Kombinasi 9: Slada lettuce, Seledri, Cabe rawit, Bawang daun, Zukini
10. Kombinasi 10: Bunga kol, Labu kuning kabocha, Zukini, Bawang daun
144
Tabel 6.19. Analisis Usahatani Budidaya Sayuran Secara Tumpang Sari
No  Komponen Produksi Satuan
Harga Rp Biaya Rp
1 Persiapan lahan
4 OH 15.000
60.000 2
BenihBibit a. Slada Lettuce
b. Bawang Daun c. Brokoli
d. Zukini 3000 tan
1000 tan 2 kantong
1 kantong 25
15 55.000
55.000 75.000
15.000 110.000
55.000
3 Pupuk
a. Pupuk kandang b. Pupuk kimia
Urea Phonska
Grand K 30 karung
70 kg 40 kg
10 kg 6000
1.200 2.500
10.000 180.000
84.000 100.000
100.000
4 Pestisida
a. Serpha b. Basoka
c. Promectin d. Foglam
100 ml 1 kg
50 ml 100 ml
46.000 15.000
46.000 40.000
80.000
5 Penanaman
4 OH 10.000
40.000 6
Pembersihan 8 OH
10.000 80.000
7 Panen
2 OH 15.000
120.000
Total Biaya C 1.158.000
Penghasilan Dari Panen Slada Lettuce
Bawang Daun Brokoli
Zukini 900 kg
450 kg 600 kg
400 kg 2.500
1.500 6.000
2.000 2.250.000
675.000 3.600.000
800.000
Penerimaan dari panen R 7.325.000
R - C 6.167.000
Keterangan: Sumber : Bp. Lili Carli dusun Ciburial
Luas lahan : 1000 m
2
Masa tanam = 60 hari Penghasilan rata-rata per bulan = Rp. 3.083.500 dengan penguasaan lahan 1.000 m
2
Usahatani  yang  dijalankan  oleh  petani  di  Kecamatan  Dongko  berbeda dengan petani di Kecamatan Lembang. Petani Dongko menanam berbagai jenis
tanaman  seperti  tanaman  pangan  dan  industri  di  pekarangan  maupun  kebun miliknya.  Meskipun  dari sisi  jenisnya  beragam,  namun  ubi kayu  dan  nilam  yang
paling  banyak  ditanam  oleh  petani.  Tabel  6.20.  berikut  ini  menunjukkan  hasil yang diperoleh petani dari pekarangan seluas 500 m
2
miliknya.
145
Tabel 6.20.  Pendapatan Keluarga dari Pekarangan di Kecamatan Dongko
No  Jenis Komoditas Hasil
Nilai Rupiahtahun
Tanaman Perkebunan
1 Cengkeh Eugenia aromatica
4 kgbulan 2.400.000
2 Kakao Theobroma cacao
20 kgbulan 4.800.000
Tanaman Buah
1 Kelapa Cocos nucifera
150 buahbulan 4.500.000
2 Rambutan Nephelium lappaceum
60 kgtahun 1.080.000
3 Mlinjo Gnetum gnemon
30 kgtahun 60.000
4 Pete Parkia speciosa
60 kgtahun 1.200.000
5 Nangka Artocarpus heterophyllus
60 buahtahun 120.000
6 Kluwak Pangium edule
2 kgtahun 20.000
7 Alpukat Persea Americana
200 kgtahun 400.000
8 Kelengkeng Euphoria longana
50 kgtahun 300.000
Tanaman Kayu
1 Mahoni Swietenia macrophylla
6 pohon15 tahun 300.000
2 Mindi Melia azedarach
8 pohon10 tahun 240.000
Tanaman Rempah dan Obat
1 Empon-empon
15 kgtahun 75.000
Tanaman Pakan Ternak
1 Gliricidia Gliricidia sepium
300 kgbulan 3.600.000
2 Kaliandra Calliandra calothyrsus
300 kgbulan 3.600.000
Peternakan
1 Kambing PE peranakan ettawa
2 ekortahun 5.000.000
2 Ayam
6 ekortahun 300.000
Total Rptahun 27.995.000
Rata-rata Rpbulan 2.332.900
Sumber : Responden Petani
Hampir  setiap  keluarga  di  wilayah  Kecamatan  Dongko  memiliki pekarangan.  Luasnya  bervariasi  antara  300  m
2
–  5.000  m
2
.  Kepemilikan  lahan pekarangan menjadi suatu hal yang wajib bagi setiap keluarga, karena berbagai
jenis tanaman dan ternak yang terdapat di dalamnya menjadi sumber kebutuhan pangan  dan  perekonomian  keluarga.  Jika  dihitung  berdasarkan  potensi
produksinya, maka hasil yang diperoleh petani dari pekarangan selama ini belum optimal.  Penyebab  utamanya  adalah  penerapan  teknik  budidaya  yang  kurang
tepat, namun karena jenis komoditas yang diusahakan beragam, hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Selain  penerapan  teknik  budidaya  yang  perlu  diperbaiki,  kemampuan penguasaan  teknik  pasca  panen  yang  dimiliki  petani  pun  perlu  ditingkatkan.
Selama  ini,  petani  menjual  hasil  panen  kepada  pedagang  pengumpul  dalam bentuk  segar  atau  sekedar  dikeringkan  menggunakan  sinar  matahari.
Keterbatasan  penguasaan  teknologi  pasca  panen  yang  dimiliki  petani  juga mengakibatkan posisi tawar petani menjadi lemah.  Hal ini mengakibatkan proses
transmisi  harga  biasanya  menjadi  bersifat  asimetri.  Maksud  dari  pernyataan
146
tersebut adalah penurunan harga di tingkat konsumen diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya kenaikan harga selalu diteruskan secara
lambat  dan  tidak  sempurna.  Fenomena  ini  jelas  terlihat  pada  perdagangan komoditas  nilam,  kenaikan  harga  minyak  nilam  di  pasaran  tidak  selalu
meningkatkan  harga  pembelian  bahan  baku  berupa  batang  dan  daun  nilam kering ditingkat petani.
Petani  menerima  harga  yang  ditetapkan  oleh  pedagang  pengumpul given  dan  cenderung  tidak  peduli  terhadap  perolehan  harga  jual  yang  lebih
tinggi  jika  perlakuan  pasca  panen  yang  dilakukan  lebih  baik  atau  dilakukan pengolahan  lebih  lanjut  sebelum  komoditas  tersebut  dijual.    Padahal,
penanganan  pasca  panen  baik  yang  dilakukan  petani  ataupun  pedagang pengumpul  akan  sangat  menentukan  keberhasilan  dalam  pemasaran  produk
pertanian  hingga  ke  tangan  konsumen.    Tabel  6.21.  menjelaskan  perubahan harga beberapa komoditas utama di Kecamatan Dongko.
Tabel 6.21.  Harga Komoditas Pertanian di Kecamatan Dongko
Komoditas Petani
Pedagang pengumpul
Home industri 1
Home industri 2
Pasar
Ubi kayu Manihot
esculenta 500kg
600kg 3.300kg
tapioka 1.300150 gr
keripik 7.000kg tiwul
1.500150 gr keripik
7.500kg tiwul
8.000 – 10.000kg
kerupuk
Kakao Theobroma
cacao 20.000kg
biji kering 24.000kg biji
kering -
- -
Nilam Pogostemon
cablin 6.500kg
daun+ batang
12.000kg daun
7.500kg daun+batang
13.000kg daun
600.000 – 1.200.000 kg
minyak nilam 800.000 –
1.600.000kg minyak nilam
-
Kelapa Cocos nucifera
2.500btr 3.300btr
- -
3.500btr Kopi coffea
robusta 22.000kg
biji kering 28.000kg kopi
- -
30.000kg kopi
Cengkeh Eugenia
aromatica 56.000kg
63.000kg -
- 66.000kg
Sumber : Responden Petani, Konsumen dan Pedagang
Alasan  yang  dikemukakan  petani  terkait  dengan  penanganan  pasca panen  yang  seadanya  adalah  karena  tidak  ada  jaminan  terhadap  harga  dan
masih  kurangnya  pemahaman  terhadap  standar  kualitas  produk  pertanian  yang
147
berlaku.  Kehadiran  beberapa  perusahaan  yang  berteknologi  tinggi,  dengan fasilitas pendingin cold storage seperti di Lembang ternyata juga belum mampu
meningkatkan  nilai  tambah  produk  dalam  arti  keseluruhan,  hal  itu  disebabkan oleh keterbatasan kapasitas yang dimiliki perusahan itu sendiri.
Konsekuensi  dari  lemahnya  penguasaan  petani  dalam  pasca  panen adalah  tekanan  harga  yang  dialami  petani  pada  saat menjual  hasil  panen  serta
ketidakpastian  pendapatan  petani  akibat  fluktuasi  harga  yang  tinggi.    Irawan 2003 menyatakan akibat tidak adanya hubungan langsung secara institusional
di  antara  pelaku  agribisnis menyebabkan kaitan  fungsional  diantaranya  menjadi tidak  harmonis.  Setiap  pelaku  agribisnis  hanya  memikirkan  kepentingannya
sendiri,  tanpa  menyadari  bahwa  mereka  saling  membutuhkan  dan  saling tergantung  untuk  dapat  mengembangkan  usahanya.  Struktur  agribisnis  yang
demikian  menyebabkan  terbentuknya  margin  ganda  akibat  rantai  pemasaran yang panjang sehingga ongkos produksi yang harus dibayar konsumen menjadi
lebih mahal, sementara masalah transmisi harga dan informasi pasar yang tidak sempurna  tidak  dapat  dihindari  akibat  tidak  adanya  kesetaraan  posisi  tawar,
terutama antara petani dan pedagang. Lebih lanjut Syahyuti 1998 mengungkapkan, untuk meningkatkan posisi
tawar petani dapat dilakukan melalui reduksi perilaku pedagang yang merugikan petani  dengan  penetapan  standar  kualitas,  peningkatan  keterjangkauan  petani
terhadap  informasi  pasar,  dan  peningkatan  penyediaan  infrastruktur.  Perlakuan ini akan meningkatkan posisi tawar petani dalam hal penentuan nilai barang dan
penentuan  harga.  Sementara  itu,  untuk  mereduksi  perilaku  pedagang  yang merugikan  petani  karena  cara  pembayarannya,  dapat  digunakan  pendekatan
kemitraan  dengan  kontrak  kerja  yang  jelas.  Terdapat  pula  alternatif  lain  untuk mengurangi perilaku pedagang yang merugikan petani, yaitu dengan melibatkan
petani secara langsung dalam pemasaran.  Alternatif ini efektif dilakukan apabila pelaku pemasaran adalah lembaga petani itu sendiri kelompok tani.
Oleh  karena  itu,  sebelum  melaksanakan  alternatif  perbaikan  pemasaran perlu dilakukan identifikasi melalui analisis usahatani komparatif  mengenai jenis-
jenis  tanaman  mana  saja  yang  bernilai  ekonomi  tingi  yang  secara  signifikan mampu  meningkatkan  pendapatan  serta  eksperimentasi  jenis-jenis  tanaman
inovatif  yang  memiliki  potensi  untuk  dikembangkan  sesuai  dengan  kondisi agroekologi  masing-masing  wilayah.  Gambar  6.4,  6.5  dan  6.6  berikut  ini
menjelaskan rantai pemasaran komoditas utama di wilayah penelitian.
148
Gambar 6.4.  Rantai Pemasaran Sayuran di Kecamatan Lembang
Gambar 6.5.  Rantai Pemasaran Ubi Kayu di Kecamatan Dongko
Gambar 6.6.  Rantai Pemasaran Nilam di Kecamatan Dongko
Petani Bandar
Supplier Pasar Kecamatan
Pasar Induk HotelRestoran
Konsumen dalam negeri
KUDKelompok Eksportir
Konsumen Luar Negeri Supermarket
Petani daun dan batang nilam kering
Pedagang pengumpul Industri penyulingan minyak di
desakecamatan Pedagang pengumpul minyak di
Kecamatan Industri Besar di Kediri,
Surabaya Eksportir
Petani Pedagang
pengumpul Industri rumahan
tapioka Industri rumahan
makanan kecil Industri pengolahan tiwul
instant kelompok
Kelompok tani Pabrik kerupuk,
makanan dll Pasar
Eksportir
149
Peran  lembaga  pemasaran  dan  kemampuan  untuk  mendistribusikannya ke konsumen menjadi tolok ukur keberhasilan pengembangan fungsi pemasaran
dalam  agribisnis.  Hal  ini  dapat  dijelaskan  karena  fungsinya  sebagai  fasilitator yang menghubungkan antara defisit unit konsumen dan surplus unit produsen.
Serangkaian  aktivitasnya  menjadi  penentu  besarnya  margin  antara  harga ditingkat petani dan konsumen.  Fungsi pemasaran adalah kegiatan utama yang
khusus  dilaksanakan  untuk  menyelesaikan  proses  pemasaran.  Secara  umum, fungsi  pemasaran  diklasifikasikan menjadi  3  yaitu  fungsi  pertukaran, fungsi fisik
dan facilitating function. Pada dasarnya terdapat banyak  bentuk lembaga pemasaran yang dapat
dikembangkan di tingkat wilayah.  Namur berdasarkan data dasar yang diperoleh dari  wawancara  dengan  responden  petani,  terdapat  4  alternatif  yang  sesuai
dengan  kondisi  di  wilayah  penelitian  yaitu  lembaga  koperasi,  mekanisme kerjasama dalam bentuk inti-plasma, kelompok tani yang diperluas fungsinya dan
menggunakan peran bandartengkulakpedagang pengumpul. Berdasarkan  hasil  perhitungan  menggunakan  teknik  MPE  diketahui
bahwa mekanisme kerjasama melalui inti-plasma mendapatkan skor yang paling besar  yaitu  432,89  diikuti  oleh  koperasi  menempati  urutan  kedua  dengan  skor
151,43.  Hasil tersebut juga  berlaku  untuk  wilayah  Lembang  dan  Dongko.  Tabel 6.22 menjelaskan hasil selengkapnya.
Tabel 6.22  Penilaian Alternatif Lembaga Pemasaran Hasil Pertanian
Kriteria Bobot
Nilai Alternatif A1
A2 A3
A4
Informasi pasar 6
7 8
6 4
Jaminan pemasaran 5
8 9
7 6
Kontinuitas produk 4
8 9
7 4
Kemauan petani berkomitmen 7
6 8
7 3
Kualitas produk 3
7 9
8 6
Keanekaragaman produk 2
7 8
6 3
Pembinaan kepada petani 9
8 9
7 3
Akses terhadap faktor produksi 8
8 9
7 4
Skor 151,43
432,89 47,01
0,10 Rangking
2 1
3 4
Keterangan : A1
=  Koperasi A3
=  Kelompok tani A2
=  Inti-plasma A4
=  Sistem pedagang pengumpul
150
Kerjasama  dalam  bentuk  inti-plasma  untuk  sentra  produksi  sayuran seperti  di  Lembang  melibatkan  perusahaan  supplier  sayuran  sebagai  inti,  dan
para  petani  yang  tergabung  dalam  kelompok  binaannya  sebagai  plasma.  Pola kerjasama dalam bentuk koperasi mulai ditinggalkan karena kegagalan beberapa
koperasi  petani  sayuran  di  Lembang  akibat  kesalahan  dalam  manajemen ataupun kepengurusan yang tidak profesional.
Sejumlah  pakar  berpendapat  bahwa  kerjasama  antara  kelompok  tani secara  langsung  dengan  perusahaan  pengolahan  hasil  pertanian  lebih  efektif
untuk  meningkatkan  kuantitas  dan  kualitas  produksi  dibandingkan  dengan pembentukan  koperasi  di  tingkat  Desa  maupun  Kecamatan.  Hal  ini  terkait
dengan  diseminasi  teknologi  dan  informasi  yang  biasanya  lebih  cepat  sampai kepada  petani.  Aparat  pemerintah  daerah  setempat  juga  menyebutkan  bahwa
pembinaan  yang  langsung  dilakukan  oleh  para  supplier  kepada  kelompok  tani lebih berhasil. Supplier menetapkan peraturan yang tegas terhadap keanggotaan
kelompok,  melakukan  pembinaan  dan  kontrol  terhadap  teknik  budidaya  yang dilakukan  petani  serta  mengatur  jenis  dan  waktu  tanam  komoditas  yang
diinginkan.    Ketegasan  dan  pengaturan  manajemen  produksi  di  lapangan tersebut yang belum dapat dilaksanakan oleh koperasi-koperasi sebelumnya.
Peraturan  yang  terkait  dengan  hak  dan  kewajiban  para  petani  terhadap perusahaan  yang  menampung  hasil  panennya  biasanya  juga  lebih  tegas.
Demikian  pula  dengan  standar  mutu  yang  harus  dipenuhi  oleh  petani. Kerjasama dengan cara ini dianggap lebih dapat mendisiplinkan petani terhadap
pentingnya  tertib  administrasi  dan  menjalankan  usahataninya  sebagai  bisnis yang menguntungkan.
Selama  ini  kerjasama  dalam  bentuk  inti-plasma  seperti  yang  telah disebutkan  di  atas,  sudah  mulai  dikembangkan  di  wilayah  Lembang,  namun
masih  dalam  jumlah  terbatas.    Perusahaan  bekerjasama  dengan  petani  yang tergabung  dalam  kelompok  dan  hanya  ketua  kelompok  yang  dapat  mewakili
kelompok  untuk  bernegosiasi  dengan  perusahaan.    Peraturan  ini  ditetapkan untuk  memudahkan  koordinasi  dengan  petani  dan  menjaga  kontinuitas  dan
keragaman hasil produksi. Alternatif kedua adalah kerjasama petani dalam wadah koperasi.  Seperti
yang  telah  disebutkan  sebelumnya,  keberhasilan  KPSBU  Lembang  dapat menjadi  contoh  untuk  mengembalikan  kepercayaan  petani  kepada  koperasi.
Tidak  selamanya  cerita  tentang koperasi  yang  hanya mengurus  ekonomi  rakyat
151
selalu  gagal  dan  menyedihkan.    Bila  potensi  ekonomi  masyarakat  disatukan dengan  cara  yang  benar,  tidak  mustahil  bisa  menciptakan  kekuatan  ekonomi
yang  dahsyat.  Bukan  sebagai  perusahaan  besar,  tetapi  sebagai  koperasi  yang menghidupi dan menyejahterakan ribuan anggotanya
Pemahaman  terhadap  peran  para  pelaku  agribisnis  dan  hubungan  kerja di  antara  mereka  akan  memudahkan  pengambil  keputusan  untuk  memperbaiki
sistem  pemasaran  di  wilayah  masing-masing.  Gambar  6.7  berikut  ini menjelaskan  jalur  pemasaran  produk  pertanian,  informasi  produk  dan  sumber
permodalan yang dapat dikembangkan di wilayah penelitian.
Keterangan: Penjualan
Informasi Pinjaman modal dan informasi
Gambar 6.7.  Jalur Pemasaran, Informasi dan Sumber permodalan
6.5. Sub Model Kebijakan Publik