Model Ecofarming Untuk Mewujudkan Sistem Usahatani Berkelanjutan Di Lahan Dataran Tinggi Yang Telah Dimanfaatkan Oleh Masyarakat (Kasus di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek)

(1)

DRAFT DISERTASI

MODEL

ECOFARMING

UNTUK MEWUJUDKAN SISTEM

USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN DATARAN

TINGGI YANG TELAH DIMANFAATKAN OLEH

MASYARAKAT

(Kasus di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek)

RACHMI WIDIRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul:

MODEL ECOFARMING UNTUK MEWUJUDKAN SISTEM

USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN DATARAN TINGGI

YANG TELAH DIMANFAATKAN OLEH MASYARAKAT

(Kasus Di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat Dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek)

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan arahan dari Komisi Pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi mana pun.

Bogor, 2009

Rachmi Widiriani NIM P061060101


(3)

ABSTRACT

RACHMI WIDIRIANI. An ecofarming Model for Sustainable Farming System on

Upland Agricultural Landuse Area. Supervised by SUPIANDI SABIHAM (Main Supervisor), SURJONO HADI SUTJAHJO and IRSAL LAS (Co-Supervisors).

The main objective of this study was to design an ecofarming model for sustainable farming system on upland agricultural landuse areas, both in Lembang, West Java and Dongko, East Java. The slopes of the land in both areas study were vary between 15%-45%. The first step of the study is aimed to analyze sustainability index of the research areas, using Multi Dimensional Scalling (MDS)-Rapfarm. For the second study, the dynamic system simulation is used as an approach to solve the complexity problem of upland agriculture which is threatened by erosion. The model was constructed by dominant variables as the result of leverage analysis and by five sub models analysis: LEISA (low external input for sustainable agriculture), sustainable agriculture practices, agribusiness-marketing, social capital and government rules.

The result of the MDS analysis showed that sustainable multi-dimension index of Lembang district was 35,47 and Dongko district was 24,16. These values indicated that the environmental condition of both study areas were categorized as not sustainable. Estimation of actual erosion rate in Lembang was 147,29 ton/ha/year and in Dongko was 245,95 ton/ha/year. The results of each sub model revealed if LEISA sub model is being implemented, so that the farmers of Lembang district will get benefit from organic matter processing up to Rp 6.844.278.833/year on average, meanwhile the farmers of Dongko distric will get Rp,1.298.287.172/year approximately. The sustainable land management required an integrated management on land conservation, ideal ratio of perennial to annual vegetation as 25%:75%, and minimum livestock per acre for organic matter supply (8 cows/ha or 22 goats/ha). Alternative core-plasma cooperation between agro supplier and farmer is chosen to help the farmers in product marketing, as the market structure is olygopsony. The Government is required to provide more operational policies that clearly distinct the border of protected area and the area that used for agricultural activities such as farming and pasture. Social capital can be conducted by strengthen the local values as a basis for building component of trust, network relationship, and community co-operation. Thus, there were three recommended scenarios of eco-farming model created based on government decision, real condition in the field, and the limitation of community capabilities. Application of this model should be accompanied by an understanding of each sub-model that built the model, including a deep understanding on local values that applied in the communities.

Key words : upland farming system, erosion, dynamic model, eco-farming, sustainability


(4)

RINGKASAN

Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menunjukkan kecenderungan (trend) yang meningkat, seiring dengan meningkatnya konversi lahan pertanian produktif ke pemanfaatan non pertanian di dataran rendah. Selain memberikan manfaat ekonomi bagi jutaan petani, lahan dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Dengan berubahnya penutupan lahan (vegetasi) dari hutan menjadi lahan pertanian, kemiringan lereng yang curam dan kondisi tanah yang kurang stabil serta diiringi curah hujan yang tinggi, maka peluang terjadinya erosi dan kerusakan lingkungan sangat tinggi.

Pada batasan-batasan tertentu dan jika dikelola berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan, sebenarnya lahan dataran tinggi berpotensi sangat besar sebagai penghasil pangan yang ramah lingkungan. Tentu saja terdapat beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan, seperti: kesesuaian jenis pemanfaatan dengan kondisi lahan dan peraturan yang berlaku, pengendalian terhadap sumber utama penyebab lahan menjadi kritis, budidaya konservasi demi keberlanjutan fungsi-fungsi dalam ekosistem, kondisi sosial-ekonomi-budaya petani pengelola lahan, jenis tanah dan agroklimat setempat serta prospek pengembangan kawasan sebagai sistem produksi pangan.

Tujuan utama penelitian ini adalah membuat model ecofarming di lahan dataran tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya.

Penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan di Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Ke dua wilayah tersebut memiliki karakterisitik agroecological zone yang relatif berbeda. Meskipun sama-sama memiliki curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi, wilayah Kecamatan Dongko lebih kering dibandingkan kecamatan Lembang. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan sistem. Tahapan pendekatan yang digunakan dalam penelitian meliputi tahap identifikasi kebutuhan dan analisis kondisi saat ini, pemodelan dan simulasi dinamis, analisis skenario prospektif dan rekomendasi strategis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani lahan dataran tinggi di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko termasuk dalam kategori tidak berkelanjutan ditunjukkan dengan nilai indeks keberlanjutan rata-rata untuk


(5)

lima dimensi < 50 (pada skala 1-100). Untuk Kecamatan Lembang berturut-turut adalah nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi yaitu sebesar: 35,47; 38,14; 56,42; 34,49; dan 17,30, sedangkan untuk Kecamatan Dongko sebesar: 24,16; 47,13; 63,78; 64,78 dan 41,55.

Struktur model ecofarming dibangun oleh variabel pengungkit dan variabel dominan yang diperoleh berdasarkan data real condition, untuk meminimalkan penggunaan asumsi dan terjadinya bias yang dapat mempengaruhi mekanisme model. Hasil validasi struktur model terhadap data empirik menunjukkan bahwa model yang dihasilkan penelitian ini valid dan dapat merefleksikan sistem yang sebenarnya. Simulasi menggunakan model dinamis dihasilkan 3 skenario model ecofarming sebagai alternatif disesuaikan dengan kondisi biofisik lahan, ketersediaan dana, prioritas perbaikan dan kesiapan stakeholders terkait. Untuk melaksanakan skenario 1 diperlukan dana sekitar Rp. 88.560.000/ ha, skenario 2 sebesar Rp. 70.431.000/hektar sedangkan untuk skenario 3 sebesar Rp. 54.285.500/ha.

Model ecofarming hanya direkomendasikan untuk lahan dataran tinggi yang memiliki kemiringan lereng < 40% dan status kepemilikan lahan tersebut adalah milik masyarakat (bukan lahan sengketa) yang selama ini telah dimanfaatkan pertanian. Areal hutan yang belum dibuka harus tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi dan areal yang memiliki kemiringan > 40% (curam) seluruhnya harus ditanami dengan tanaman tahunan. Penegasan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya tindakan pembenaran terhadap pembukaan hutan/kawasan koservasi di dataran tinggi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang baru.

Model ecofarming dipandang perlu sebagai sebuah rekomendasi kebijakan karena akan memberikan keuntungan antara lain:

1. Penghematan biaya yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi dataran tinggi sebagai fungsi lindung. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya sosial yang timbul akibat reaksi penolakan petani lokal terhadap relokasi lahan pertanian mereka.

2. Menjaga stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat setempat, karena bagi petani kegiatan bertani adalah way of life sehingga tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan yang baru.


(6)

3. Aspek pengendalian dan perbaikan dalam pengelolaan lingkungan menjadi bagian dalam model ecofarming, dengan demikian keberlanjutan sistem usahatani masyarakat dapat dipertahankan.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB


(8)

MODEL

ECOFARMING

UNTUK MEWUJUDKAN SISTEM

USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN DATARAN

TINGGI YANG TELAH DIMANFAATKAN OLEH

MASYARAKAT

(Kasus di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek)

RACHMI WIDIRIANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Sudi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Judul : MODEL ECOFARMING UNTUK MEWUJUDKAN SISTEM USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN DATARAN TINGGI YANG TELAH DIMANFAATKAN OLEH MASYARAKAT(Kasus di Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek) Nama : Rachmi Widiriani

NRP : P 061 060 101

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr Ketua

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. (R). Dr. Ir. Irsal Las, MS Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pasca Sarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari hingga Nopember 2008. Latarbelakang penelitian ini dilandasi keinginan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan pertanian melalui alternatif perbaikan model pengelolaan sistem usahatani di lahan dataran tinggi yang selama ini dianggap tidak tepat sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan seperti erosi, longsor dan banjir. Karya ilmiah berjudul Model Ecofarming Untuk Mewujudkan Sistem Usahatani Di Lahan Dataran yang Telah Dimanfaatkan Oleh Masyarakat ini dilaksanakan berdasarkan studi kasus di wilayah Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek.

Dari lubuk hati yang paling dalam penulis menghaturkan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr, Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS dan Bapak Prof. (R). Dr. Ir. Irsal Las, MS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan serta senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk tetap istiqomah dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.

Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Menteri Pertanian R.I dan Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Departemen Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa untuk menjalankan tugas belajar di IPB.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Suryana selaku Kepala Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, atas ijin dan dukungan yang diberikan.

3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian yang telah memberikan dukungan sehingga penulis dapat ikut serta dalam kegiatan kerjasama penelitian KKP3T 2008.

4. Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS, Dr. Ir. Hermano, MS dan Dr. Ir. Ardi Jayawinata, MEc untuk kepercayaan dan rekomendasi yang diberikan sehingga penulis dapat diterima di Program Doktor, Sekolah Pasca Sarjana IPB.

5. Ketua Program Studi PSL-IPB, Sekretaris Eksekutif PSL-IPB, para Dosen dan seluruh staf PSL-IPB yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama menempuh pendidikan di program studi PSL sehingga semua dapat terlaksana dengan baik.


(11)

6. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS selaku dosen penguji luar komisi dalam ujian tertutup untuk semua saran dan perbaikan yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan disertasi ini.

7. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MS selaku dosen penguji luar komisi dalam ujian tertutup untuk seluruh saran dan informasi yang diberikan, sehingga disertasi ini menjadi lebih baik.

8. Bupati Bandung Barat dan Bupati Trenggalek yang telah memberikan ijin melaksanakan penelitian di wilayahnya.

9. Prof. Dr. Ir. Aziz Azirin Asandhi yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan saran yang sangat bermanfaat.

10. Para pakar, pejabat pemerintah pusat dan daerah serta praktisi pertanian atas informasi, saran dan pendapatnya untuk menyempurnakan penulisan disertasi ini.

11. Kepala Bagian Kesbangpolinmas Kab. Bandung Barat dan Kepala Bagian Kesbangpolinmas Kab. Trenggalek, atas ijin dan informasi yang telah diberikan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.

12. Bapak Camat Lembang dan Bapak Camat Dongko untuk ijin, data dan informasi yang telah diberikan.

13. Kepala Desa Cibogo dan Kepala Desa Sumberbening beserta seluruh staf desa untuk semua bantuan yang diberikan selama penulis melakukan pengumpulan data di lapangan.

14. Kepala Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan, Kab. Trenggalek beserta seluruh jajarannya yang telah banyak memberikan kemudahan. 15. Ir. Nana “AA” Sutrisna, MS untuk setiap bantuannya yang sangat berarti

sehingga masa-masa sulit di lapangan dapat terlewati dengan baik.

16. Bapak Ir. Eko Wahyu, MS, Bapak Dwi Sudarsono, SP dan teman-teman PPL Kecamatan Dongko yang telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian di wilayah Dongko.

17. Bapak dan Ibu Supardy di Dongko yang telah dengan tulus menerima penulis menjadi bagian dari keluarga besarnya.

18. Bapak Dr. Ir. Tjoek Eko Hari Basuki, MSc, Ir. Agus Widodo, Ir. M. Hamzah, MM, Drs. Slamet dan Ibu Ir. L. Irianti, MM untuk dukungannya selama ini. 19. Orang tua yang selalu saya homati dan banggakan Bapak H. Soewito, Ibu


(12)

20. Suami tercinta Ir. Afga Sidik Tasauri, MEc serta anak-anak tersayang Kakak Rayhan dan Adik Dinda atas pengertian dan keikhlasannya karena perhatian yang tersita oleh tugas-tugas selama mama sekolah.

21. Para sahabat mas Nano, mas Haryono, mas Warsito, mas Raharjo, pak Sandy, Pak Fuad, Iwan, Thomas, Intan, Bunga yang selalu siap membantu. 22. Teman-teman PSL 2006 untuk dinamika persahabatan kita yang indah.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat, terutama bagi masyarakat di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko untuk memperbaiki kualitas sumberdaya alam dan lingkungannya.

Bogor, 2009 Rachmi Widiriani


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1970 merupakan anak kedua dari pasangan Bapak H.Soewito dan Ibu Sri Hidayati (Alm). Sebagai anak seorang serdadu yang sering berpindah tugas, maka pendidikan dasar dan menengah ditempuh oleh penulis di berbagai kota di tanah air. Pada tahun 1989 penulis diterima di Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB melalui jalur tanpa test (USMI) dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian tahun 1994. Pendidikan Strata 2 diselesaikan dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) – IPB pada tahun 1996 atas dukungan beasiswa dari URGE-Dikti. Setelah bekerja selama 7 tahun di Sekretariat Pengendali Bimas yang kemudian berubah menjadi Badan Ketahanan Pangan Departemen, Pertanian penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar program doktor (S3) di Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2006. Beasiswa diperoleh dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian-Departemen Pertanian.

Selama bekerja di Badan Ketahanan Pangan penulis bertugas di Bagian Perencanaan, dan sejak tahun 2002 aktif membantu kegiatan di Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (DKP).

Penulis menikah dengan Ir. Afga Sidik Tasauri, MEc pada tahun 1997 dan dikaruniai 2 anak. Rayhansyah Haikal Wishnumurti lahir pada tahun 1998 dan Natasya Adinda Weninggalih yang lahir pada tahun 2001.

Bogor, Pebruari 2009

Rachmi Widiriani NIM P 061060101


(14)

Judul : MODEL ECOFARMING UNTUK MEWUJUDKAN SISTEM USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN DATARAN TINGGI YANG TELAH DIMANFAATKAN OLEH MASYARAKAT(Kasus di Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek) Nama : Rachmi Widiriani

NRP : P 061 060 101

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Komisi Pembmbing :

Ketua : Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS

2. Prof. (R). Dr. Ir. Irsal Las, MS

Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS

(Staf Ahli Menteri Bidang Sistem Informasi dan Pengawasan, Departemen Pertanian)

2. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS

(Dosen Tetap pada Fakultas Pertanian, IPB)

Ujian Terbuka Pada

Hari/Tanggal : Jum’at/13 Pebruari 2009 Waktu : 13.30 WIB - selesai


(15)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kerangka Pemikiran ... 7

1.5 Kebaruan Penelitian (Novelty) ... 11

II TINJAUAN PUSTAKA 12 2.1 Pertanian Berbasis Ekologi (Ecofarming) ... 12

2.2 Pendekatan Sistem dalam Model Ecofarming ...... 14

2.2.1. Proses Hirarki Analitik ... 15

2.2.2. Metode Perbandingan Eksponensial ... 17

2.2.3. Visual Basic 2005 ... 17

2.2.4. Struktur Pasar & Kelayakan Usahatani ... 18

2.3 Usahatani di Lahan Dataran Tinggi ... 19

2.3.1. Kawasan Budidaya ... 20

2.3.2. Rawan Erosi ... 21

2.3.3. LEISA ... 25

2.3.4. Social Capital ...... 28

2.3.5. Agribisnis-Pemasaran Produk Pertanian ... 30

2.3.6. Kebijakan Pemerintah ... 31

2.3.7. Pentingnya Kemampuan Antisipasi Petani terhadap Anomali Iklim ... 31

2.4 Pembangunan Berkelanjutan ... 32

2.4.1. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ... 34

2.4.2. Indikator Untuk Mengukur Keberlanjutan ... 35

III METODE PENELITIAN 36 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.2 Rancangan Penelitian ... 37

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 40


(16)

3.5 Variabel-Variabel Dominan Untuk Struktur Model Ecofarming ... 44

3.5.1. Sub Model LEISA ... 45

3.5.2. Sub Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan ... 46

3.5.3. Sub Model Agribisnis-Pemasaran ... 46

3.5.4. Sub Model Penguatan Modal Sosial ... 47

3.5.5. Sub Model Kebijakan Publik ... 48

3.6 Desain Model Ecofarming ...... 48

3.7 Simulasi Skenario ... 50

3.7.1. Simulasi ... 50

3.7.2. Verifikasi dan Validasi Model ... 50

3.8 Rekomendasi Kebijakan ... 52

IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 4.1 Kecamatan Lembang ... 53

4.1.1. Kabupaten Bandung Barat ... 53

4.1.2. Kecamatan Lembang dan Pengembangan Wilayah ... 54

4.1.3. Kondisi Tanah dan Agroklimat ... 56

4.1.4. Potensi di Sektor Pertanian ... 63

4.1.5. Kependudukan dan Mata Pencaharian ... 66

4.1.6. Kerjasama dengan Perhutani ... 71

4.2 Kecamatan Dongko ... 71

4.2.1. Kabupaten Trenggalek ... 72

4.1.2. Kecamatan Dongko dan Pengembangan Wilayah ... 74

4.2.3. Kondisi Tanah dan Agroklimat ... 75

4.2.4. Potensi Sektor Pertanian ... 84

4.2.5. Kerjasama Dengan Perhutani ... 88

4.3 Manajemen Pengendalian Sistem Usahatani Lahan Dataran Tinggi ... 90

V STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI SAAT INI 93 5.1 Keberlanjutan Multidimensi ... 93

5.2 Keberlanjutan Masing-Masing Dimensi ... 95

5.2.1. Keberlanjutan Dimensi Ekologi ... 95

5.2.2. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 97

5.2.3. Keberlanjutan Dimensi Sosial ... 98

5.2.4. Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan ... 99

5.2.5. Keberlanjutan Dimensi Teknologi ... 100

5.3 Pola Indeks Keberlanjutan Usahatani dalam Diagram Layang ... 104 VI VARIABEL DOMINAN DALAM MODEL ECOFARMING 108


(17)

iii

6.1 Sub Model LEISA ... 108

6.2 Sub Model Pengelolaan Lahan Berkelanjutan ... 116

6.3 Sub Model Kekuatan Modal Sosial ... 130

6.4 Sub Model Agribisnis-Pemasaran ... 135

6.5 Sub Model Kebijakan Publik ... 151

VII DESAIN MODEL ECOFARMING DAN SIMULASI ALTERNATIF SKENARIO 158 7.1 Desain Model Ecofarming ...... 158

7.2 Validasi Model ... 160

7.3 Simulasi Model ... 161

VIII REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 172

IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 175

DAFTAR PUSTAKA ... 177

LAMPIRAN ... 187


(18)

DAFTAR TABEL

No Halaman

3.1 Tujuan, Sumber Data, Parameter/Variabel, Model Analisis

dan Output ... 39

3.2 Atribut yang Diberikan Skor Untuk Setiap Dimensi ... 43

3.3 Stakeholders dan Kebutuhannya ... 45

4.1 Penilaian Analisis Tanah Kec. Lembang ... 57

4.2 Prediksi Erosi di Lahan pertanian di Kecamatan Lembang ... 60

4.3 Data Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lereng di Kec. Lembang ... 60

4.4 Data Curah Hujan dan hari Hujan Bulanan Kecamatan Lembang 2003-2007 ... 61

4.5 Potensi Produksi Berdasarkan Jenis Komoditas ... 64

4.6 PDRB Kecamatan Lembang Atas Dasar Harga Berlaku 2005-2006 ... 65

4.7 Perkembangan Populasi Sapi Perah di Lembang Th 2005-2007 ... 65

4.8 Jumlah Penduduk Kec. Lembang 2008 ... 66

4.9 Kondisi Umum Petani dan Status Kepemilikan Lahan Petani Lembang ... 67

4.10 Karakteristik Pertanian Lahan Miring Desa Cibogo ... 69

4.11 Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kab. Trenggalek ... 74

4.12 Luas Wilayah Desa dan Hutan Negara di Kec. Dongko 2006 ... 74

4.13 Penilaian Analisis Tanah Kecamatan Dongko ... 74

4.14 Besarnya Erosi Hasil Prediksi di Wilayah Kec. Dongko ... 80

4.15 Data Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lereng di Kec. Dongko ... 81

4.16 Data Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan Kecamatan Dongko 2003-2007 ... 82

4.17 Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin ... 84

4.18 Kondisi Umum Petani dan Status Kepemilikan Lahan Petani Dongko ... 85

4.19 Produksi Padi, jagung dan Ubi Kayu Menurut Desa Tahun 2006 ... 86

4.20 Kondisi Spesifik Wilayah Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko ... 91

5.1 Hasil Analisis Ordinasi Untuk Lima Dimensi ... 95

5.2 Atribut Sensitif Mempengaruhi Keberlanjutan Sistem Usahatani Dataran Tinggi ...…... 103

5.3 Selisih Nilai Hasil Perhitungan Rapfarm dengan Monte Carlo Kecamatan Lembang ... 105

5.4 Selisih Nilai Hasil Perhitungan Rapfarm dengan Monte Carlo Kecamatan Lembang ... 105


(19)

v 6.1 Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Pertanian

(Lembang) ... 110

6.2 Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Peternakan (Lembang) ...…... 111

6.3 Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Pertanian (Dongko) ... 111

6.4 Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Peternakan (Dongko) ... 112

6.5 Manfaat Akumulasi Penghematan Jika Menerapkan Sub Model LEISA ... 116

6.6 Tipologi Konservasi Menurut Petani Lembang dan Dongko ... 118

6.7 Penilaian Alternatif Konservasi Mekanis di Kecamatan Lembang ... 120

6.8 Penilaian Alternatif Teknik Konservasi Vegetasi Lahan Kecamatan Lembang ... 121

6.9 Penilaian Alternatif Tanaman Buah di Kecamatan Lembang ... 122

6.10 Penilaian Alternatif Komoditas Sayuran di Kecamatan Lembang ... 123

6.11 Penilaian Alternatif Tanaman Rempah dan Obat di Kecamatan Lembang ... 124

6.12 Penilaian Alternatif Teknik Konservasi Mekanis di Kecamatan Dongko ... 125

6.13 Penilaian Alternatif Teknik Konservasi Vegetasi Lahan Kecamatan Dongko ... 126

6.14 Penilaian Alternatif Tanaman Buah di Kecamatan Dongko ... 127

6.15 Penilaian Alternatif Tanaman Semusim di Kecamatan Dongko ... 129

6.16 Penilaian Alternatif Tanaman Rempah dan Obat di Kecamatan Dongko ... 130

6.17 Harga Sayuran di Tingkat Suplier, Pasar Lembang dan Supermarket di Bandung 2008... 142

6.18 Analisis Usahatani Budidaya Sayuran Secara Monokultur ... 143

6.19 Analisis Usahatani Budidaya Sayuran Secara Tumpang Sari ... 144

6.20 Pendapatan Keluarga dari Pekarangan di Kecamatan Dongko ... 145

6.21 Harga Komoditas Pertanian di Kecamatan Dongko ... 146

6.22 Penilaian Alternatif Lembaga Pemasaran Hasil Pertanian ... 149

7.1 Validasi Nilai Aliran Permukaan Hasil Simulasi Terhadap Data Empiris ... 160

7.2 Validasi Nilai Alir Disimpan Hasil Simulasi Terhadap Data Empiris ... 161

7.3 Estimasi Biaya yang Diperlukan untuk Skenario 1 ... 162

7.4 Estimasi Biaya yang Diperlukan untuk Skenario 2 ... 162


(20)

7.6 Hasil Simulasi Skenario 1 Wilayah Lembang ... 165

7.7 Hasil Simulasi Skenario 2 Wilayah Lembang ... 165

7.8 Hasil Simulasi Skenario 3 Wilayah Lembang ... 166

7.9 Hasil Simulasi Skenario 1 Wilayah Dongko ... 166

7.10 Hasil Simulasi Skenario 2 Wilayah Dongko ... 167

7.11 Hasil Simulasi Skenario 3 Wilayah Dongko ... 167

7.12 Implementasi Skenario dan Kondisi Yang Diperoleh (Lembang) ... 169


(21)

vii

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1.1 Permasalahan dan Kondisi Umum di Lokasi Penelitian ... 6

1.2 Kerangka Pemikiran Model Ecofarming ...... 11

3.1 Peta Kabupaten Bandung ... 36

3.2 Peta Propinsi Jawa Timur ... 37

3.3 Diagram Alir Penelitian ... 38

3.4 Tahapan Analisis Keberlanjutan ... 44

3.5 Identifikasi Hubungan Antar Komponen dalam Ecofarming di Lahan Dataran Tinggi ... 49

3.6 Diagram Masukan Keluaran Model Ecofarming di Lahan Dataran Tinggi ... 50

4.1 Peta Pemanfaatan Ruang KBU ... 55

4.2 Peta Tutupan Lahan di Cekungan Bandung ... 63

4.3 Peta Penggunaan Lahan Kab. Trenggalek ... 73

5.1 Hasil Analisis Multidimensi Kec. Lembang dan Kec. Dongko ... 94

5.2 Hasil Analisis Keberlanjutan Ekologi dan Atribut Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan Dimensi Ekologi ... 96

5.3 Hasil Analisis Keberlanjutan Ekologi dan Atribut Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 97

5.4 Hasil Analisis Keberlanjutan Ekologi dan Atribut Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan Dimensi Sosial ... 99

5.5 Hasil Analisis Keberlanjutan Ekologi dan Atribut Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan ... 100

5.6 Hasil Analisis Keberlanjutan Ekologi dan Atribut Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan Dimensi Teknologi ... 102

5.7 Diagram Layang Analisis Keberlanjutan Sistem Usahatani Lahan Dataran Tinggi Kecamatan Lembang ... 106

5.8 Diagram Layang Analisis Keberlanjutan Sistem Usahatani Lahan Dataran Tinggi Kecamatan Dongko ... 106

5.9 Posisi Relatif Tingkat Keberlanjutan Usahatani di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko ... 107

6.1 Struktur Model LEISA (Lembang) ... 113

6.2 Struktur Model LEISA (Dongko) ... 114

6.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konservasi di Wiulayah Penelitian ... 119


(22)

6.5 Rantai Pemasaran Ubi Kayu di Kec. Dongko ... 148 6.6 Rantai Pemasaran Nilam di Kec. Dongko ... 148 6.7 Jalur Pemasaran, Informasi dan Sumber Permodalan ... 151 6.8 Hasil Teknik AHP Penetapan Alternatif Kebijakan yang Mendukung

Ecofarming di Kecamatan Lembang ... 155 6.9 Hasil Teknik AHP Penetapan Alternatif Kebijakan yang Mendukung

Ecofarming di Kecamatan Dongko ... 156 7.1 Struktur Model Ecofarming ... 159


(23)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 187 2 Hasil Analisis Tanah Kecamatan Lembang ... 188 2b Hasil Analisis Tanah Kecamatan Lembang ... 189 3 Hasil Analisis Tanah Kecamatan Dongko ... 190 4 Atribut dan Skor Keberlanjutan di Kecamatan Lembang ... 191 5 Atribut dan Skor Keberlanjutan di Kecamatan Dongko ... 195 6 Curah Hujan Maksimum Rerata Bulanan Tahun 1998 – 2007 Kecamatan

Dongko ... 200 7 Nilai R, H, RM dan EI 30 Wilayah Lembang ... 200 8 Penentuan Panjang Lereng dan Kemiringan Lereng (LS) Pada

Masing-Masing Titik Pengukuran ... 201 9 Curah Hujan Maksimum Rerata Bulanan Tahun 1998 – 2007 Kecamatan

Dongko ... 201 10 Nilai R, H, RM dan EI 30 Wilayah Dongko ... 202 11 Penentuan Panjang Lereng dan Kemiringan Lereng (LS) Pada

Masing-Masing Titik Pengukuran ... 202 12 Penentuan Faktor Erodibilitas ... 202 13 Profil dan Aset yang Dimiliki Desa Cibogo, Kecamatan Lembang ... 203 14 Profil dan Aset yang Dimiliki Desa Sumberbening,

Kecamatan Dongko ... 204 15 Karakteristik Komunitas Desa Cibogo, Kecamatan Lembang ... 205 16 Profil dan Aset yang Dimiliki Desa Sumberbening,

Kecamatan Dongko ... 207 17 Rumus Struktur Model LEISA Kec. Lembang ... 210 18 Rumus Struktur Model Ecofarming Kecamatan Lembang ... 211 19 Rumus Struktur Model LEISA Kec. Dongko ... 213 20 Rumus Struktur Model ecofarming Kecamatan Dongko ... 214


(24)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menunjukkan kecenderungan (trend) yang meningkat, seiring dengan meningkatnya konversi lahan pertanian produktif ke pemanfaatan non pertanian di dataran rendah. Dariah (2007) menegaskan bahwa 45% wilayah Indonesia adalah perbukitan dan pegunungan sehingga pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menjadi sangat strategis manakala lahan pertanian di dataran rendah tidak dapat dipertahankan lagi.

Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian, mampu menghasilkan berbagai jenis tanaman seperti hortikultura, perkebunan, pangan dan hasil peternakan. Selain memberikan manfaat ekonomi bagi jutaan petani, lahan dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Perubahan bentuk penutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau ke pemanfaatan lainnya seperti perumahan, menyebabkan peluang terjadinya erosi di wilayah ini sangat tinggi. Curah hujan, kemiringan lereng dan kondisi tanah yang tidak stabil sangat menentukan besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi (Truman et al., 2003). Oleh karena itu pemerintah menetapkan berbagai undang-undang dan peraturan agar laju perubahan fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di wilayah dataran tinggi tidak semakin meluas.

Penerapan teknik pengelolaan yang tidak tepat akan menyebabkan terjadinya eksploitasi lahan dataran tinggi secara berlebihan dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang meluas. Publikasi laporan mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi dan kesalahan dalam pengelolaan agroekosistem lahan dataran tinggi telah banyak beredar. Sebagian besar menegaskan bahwa telah terjadi degradasi kualitas lahan dan air yang cukup parah dan menimbulkan dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap kehidupan masyarakat setempat maupun masyarakat yang lebih luas di bagian hilir. Reed (2002) memperkuat hal tersebut dengan menyatakan bahwa masalah degradasi lingkungan telah menjadi gejala umum dalam masyarakat perdesaan di negara berkembang, terutama dalam masyarakat yang masih dihadapkan pada masalah pemenuhan kebutuhan dasar dan kemiskinan.


(25)

2 Sedikitnya terdapat empat hal yang mencerminkan kondisi pertanian di lahan dataran tinggi pada saat ini. Pertama, usahatani semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan. Ketiga, meningkatnya curah hujan bulanan pada waktu-waktu tertentu akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit (Anyamba et al., 2006). Keempat, hilangnya kemampuan masyarakat untuk membangun modal sosial (social capital) sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada modal usaha yang berasal dari luar.

Meskipun budidaya pertanian di lahan dataran tinggi menghadapi permasalahan yang kompleks, tetapi masyarakat lokal terutama petani tetap berusaha mempertahankannya. Upaya pemerintah untuk mengembalikan lahan dataran tinggi sebagai kawasan lindung dengan cara menghutankan kembali, menjadi alternatif penyelesaian yang sulit dilakukan. Bagi petani, bertani adalah cara hidup (way of life) dan bagi pemilik lahan, kepemilikan atas tanah adalah segalanya (harga diri) sehingga harus dipertahankan (Pranadji, 2006). Relokasi lahan membutuhkan biaya yang besar, yaitu biaya ganti rugi tanah dan biaya sosial yang ditimbulkan oleh penolakan masyarakat.

Pada batasan-batasan tertentu dan jika dikelola berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan, sebenarnya lahan dataran tinggi berpotensi sangat besar sebagai penghasil pangan yang ramah lingkungan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Dalam pelaksanaannya, tetap harus memperhatikan: kesesuaian jenis pemanfaatan dengan kondisi lahan dan peraturan yang berlaku, pengendalian terhadap sumber utama penyebab lahan menjadi kritis, budidaya konservasi demi keberlanjutan fungsi-fungsi dalam ekosistem, kondisi sosial-ekonomi-budaya petani pengelola lahan, jenis tanah dan agroklimat setempat serta prospek pengembangan kawasan sebagai sistem produksi pangan.

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, diperlukan satu model pengelolaan agroekosistem yang dapat memberikan kepastian penghasilan bagi peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitarnya, menjaga stabilitas sosial yang dinamis dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk itulah perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan model pengelolaan


(26)

agroekosistem yang berkelanjutan. Model pertanian berbasis ekologi (ecofarming) sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk kebijakan pembangunan pertanian lahan dataran tinggi yang saat ini sedang menghadapi permasalahan yang kompleks.

1.2. Perumusan Masalah

Dataran tinggi memiliki fungsi lindung utama sebagai daerah tangkapan air (water catchment area). Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan atau vegetasi hutan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang, berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan pemukiman. Masyarakat cenderung mengabaikan risiko kerusakan lingkungan yang dapat ditimbulkan akibat perlakuan tersebut.

Demikian halnya dengan lahan dataran tinggi yang terdapat di wilayah penelitian. Kawasan dengan kemiringan lereng < 40% sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Kondisi topografi wilayah yang berbukit-bergunung membuat masyarakat tidak memiliki alternatif lokasi lain untuk kegiatan pertaniannya. Budidaya secara intensif dalam jangka waktu yang lama seperti di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko telah menimbulkan masalah serius baik ditinjau dari aspek ekologi, sosial maupun ekonomi.

Dari aspek ekologi, permasalahan terjadi akibat pola usahatani yang dilakukan bersifat monokultur, didominasi oleh tanaman semusim dan jenis komoditas yang dibudidayakan sangat terbatas. Masyarakat juga belum melakukan tindakan konservasi yang memadai meskipun lahan pertanian mereka berlokasi di lahan yang miring. Bahkan ditemukan indikasi meluasnya kawasan budidaya di lahan dataran tinggi sejalan dengan dibukanya kerjasama Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan untuk memanfaatkan sebagian hutan untuk kegiatan pertanian. Sehingga tidak mengherankan jika laju erosi meningkat seiring dengan meluasnya areal terbuka di wilayah dataran tinggi.

Erosi dapat mengakibatkan degradasi lahan pertanian dataran tinggi, pendangkalan sungai dan terganggunya sistem hidrologi daerah aliran sungai (DAS) yang mendorong terjadinya banjir dan kekeringan di bagian hilir. Bencana banjir dilaporkan telah menenggelamkan sebagian besar wilayah Kabupaten


(27)

4 Trenggalek pada awal tahun 2006, 2007 dan 2008. Demikian pula kejadian banjir yang terjadi disekitar DAS Cikapundung dan DAS Citarum Jawa Barat. Fenomena ini menjadi peristiwa rutin yang selalu dihadapi masyarakat setiap musim hujan. Keadaan tersebut membuktikan bahwa erosi yang terjadi di bagian atas wilayah tersebut tidak hanya mengakibatkan terbentuknya lahan kritis, namun juga menimbulkan sedimentasi yang menghambat aliran air di sepanjang alur drainase sehingga mengakibatkan banjir (Siswanto dan Suharjono, 2006). Penelitian Poerbandono et al., (2006) menyebutkan laju sedimentasi di DAS Citarum hulu telah meningkat dua kali lipat selama satu dasawarsa, ditunjukkan oleh peningkatan laju sedimentasi tahunan dari sebesar 1,18 juta ton pada tahun 1993 menjadi sebesar 2,15 juta ton pada tahun 2003.

Erosi juga mengakibatkan hilangnya lapisan top soil yang subur sehingga menjadi pemicu meningkatnya penggunaan pupuk kimia di lahan pertanian. Untuk wilayah Kecamatan Lembang, pemakaian pestisida secara berlebihan diduga telah meninggalkan residu yang mencemari produk sayuran yang dihasilkan. Semua hal tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas daya dukung lingkungan.

Diperhatikan dari aspek ekonomi, keuntungan yang diperoleh pada saat panen seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan rendahnya margin keuntungan yang diterima oleh petani yaitu:

a. Karakteristik produk pertanian yang cepat rusak dan membutuhkan tempat yang luas (voluminous) menyebabkan harganya sangat fluktuatif tergantung musim.

b. Rantai pemasarannya yang panjang, melibatkan lebih dari satu tingkat pedagang pengumpul, pedagang grosir, prosesor dan pedagang pengecer menyebabkan harga sayuran di tingkat petani umumnya sangat rendah dibandingkan dengan harga di tingkat pengecer. Belum lagi biaya tak terduga yang timbul dari pengutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.

c. Penguasaan lahan yang sempit menyebabkan usaha tani dilakukan tanpa manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha ekonomis. Hal ini mengakibatkan terjadinya inefisiensi yang tinggi dan sulitnya menjaga kontinuitas produksi baik kuantitas maupun kualitasnya.


(28)

d. Budidaya intensif mengakibatkan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani untuk benih, pupuk, pestisida dan pengolahan tanah. Untuk mendapatkan modal usahanya petani seringkali harus menjual produksinya secara ijon.

Namun demikian, bagi petani di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko, bertani bukan semata-mata mencari keuntungan ekonomi. Bertani adalah suatu cara kehidupan, oleh karenanya tetap dilakukan meskipun tidak selalu memberi keuntungan materi. Ditinjau dari aspek sosial, hal ini juga menimbulkan beragam permasalahan. Seperti misalnya: munculnya konflik dalam kehidupan sosial masyarakat akibat lemahnya kualitas SDM (sumberdaya manusia) dan tidak berfungsinya kelembagaan lokal sebagai dasar kekuatan komunitas untuk membangun modal sosial masyarakat. Kondisi umum dan permasalahan yang dihadapi saat ini oleh masyarakat di lokasi penelitian secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.1.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah membuat model ecofarming di lahan dataran tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, dilakukan tahapan penelitian dengan pencapaian setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan indeks dan status keberlanjutan usahatani saat ini (existing). 2. Menetapkan variabel-variabel dominan model ecofarming berdasarkan

analisis 5 sub model.

3. Menetapkan desain model ecofarming. 4. Mengetahui hasil simulasi model ecofarming.

5. Menetapkan alternatif rekomendasi skenario strategis ecofarming untuk rancangan kebijakan pembangunan pertanian.


(29)

6 Gambar 1.1. Permasalahan dan Kondisi Umum di Lokasi Penelitian

Lahan Dataran Tinggi Berlereng Pertanian

Ekonomi Sosial Ekologi

Penguasaan lahan sempit/sewa/buruh

Biaya input produksi tinggi Harga fluktuatif

Rantai pemasaran yang panjang Pungutan liar

Kelembagaan lokal tdk berkembang

Kualitas SDM rendah Konflik sosial

Fasilitas & infrastruktur terbatas

Tingginya angka pengangguran

Meluasnya konversi lahan Erosi

Pencemaran oleh residu pestisida di tanah, air dan produk

Pola usaha dan jenis komoditas terbatas

Tidak ada perlakuan konservasi lahan dan air

Menurunnya daya dukung lingkungan Anomali iklim yang sulit diprediksi

sehingga petani sering merugi Hilangnya kemampuan masy.

membangun modal sosial Usahatani tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan keluarga


(30)

1.4. Kerangka Pemikiran

Intensitas pemanfaatan lahan dataran tinggi di Pulau Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur pada saat ini sudah sangat tinggi. Padahal, kegiatan membuka lahan dataran tinggi dan memanfaatkannya untuk pertanian tanaman semusim sangat berisiko terhadap lingkungan. Tekanan jumlah penduduk yang membutuhkan pangan dan lapangan pekerjaan serta target pencapaian PAD (pendapatan asli daerah) seringkali menjadi penyebab sebagian besar lahan dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa berubah fungsi dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Sebagian besar berubah menjadi lahan pertanian tanaman semusim seperti yang terjadi di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko.

Karakteristik petani di wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl seperti di Kecamatan Lembang, biasanya menanam berbagai jenis sayuran. Pada wilayah yang ketinggiannya lebih rendah (< 900 m dpl) seperti di Kecamatan Dongko, petani menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti ubi kayu dan jagung.

Konversi daerah konservasi di dataran tinggi juga tidak terlepas dari tekanan semakin sulitnya mendapatkan tanah di dataran rendah untuk kegiatan pertanian. Pemerintah daerah menggunakan alasan kesesuaian lahan dan agroklimat, tingginya aktivitas pembangunan fisik di dataran rendah dan meningkatnya jumlah penduduk, serta kebutuhan pangan nasional dan peluang pasar komoditas pertanian sebagai penyebab meningkatnya konversi lahan dataran tinggi. Target pencapaian PAD juga berpengaruh terhadap tingginya laju konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah menjadi bentuk usaha lain yang dianggap lebih menguntungkan. Semua itu mengakibatkan peraturan daerah mengenai RTRW yang sudah dibuat sebelumnya untuk mengatur pemanfaatan ruang dan wilayahnya, tidak lagi dipatuhi.

Hal ini jelas bertentangan dengan UU Tata Ruang No 26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa pemerintah propinsi mempunyai wewenang melakukan perencanaan, pemanfaatan sekaligus pengendalian pemanfaatan ruang wilayahnya. Terkait dengan pemanfaatan lahan dataran tinggi, Departemen Pertanian juga telah mengeluarkan Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan tahun 2006. Buku tersebut dimaksudkan sebagai panduan cara berusahatani di lahan dengan elevasi minimal 350 m dpl


(31)

8 dan kemiringan lereng 15 % (disebut sebagai lahan pegunungan) agar laju erosi yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan dapat dikendalikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian di lahan dengan kemiringan 5% – 15% seperti halnya di Jasinga Bogor, berpotensi mengakibatkan erosi tanah sebesar 90,5 ton/ha/th (Kurnia et al., 1997). Dilaporkan pula bahwa erosi pada tanah Andisol di Pacet Cianjur dengan kemiringan lahan 9% - 22% telah mencapai 252,0 ton/ha/th. Kesalahan dalam mengelola lahan dataran tinggi berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan sekaligus menghilangkan sebagian dari multifungsi pertanian. Salah satu contoh multifungsi pertanian lahan dataran tinggi yang terkait dengan aspek lingkungan adalah dampak positif dari penerapan teknik konservasi di bagian hulu terhadap lingkungan di sekitarnya. Pengurangan laju sedimentasi di daerah hilir dari hasil penerapan konservasi di daerah hulu akan memberikan manfaat bagi pengguna air di sepanjang aliran sungai sekaligus berfungsi sebagai pengendali banjir. Oleh karena itu, keputusan memanfaatkan lahan dataran tinggi untuk kegiatan pertanian seharusnya berdasarkan pertimbangan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang akan diperoleh. Pemanfaatan lahan di dataran tinggi yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan jelas menimbulkan permasalahan yang kompleks.

Keberlanjutan pertanian di daerah peka terhadap erosi juga diragukan seiring dengan hilangnya kemampuan masyarakat setempat untuk membangun kekuatan modal sosial (social capital) untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam yang dimilikinya. Jika stakeholders yang terdapat di wilayah pengamatan enggan untuk berpartisipasi dalam upaya untuk memperbaiki lingkungannya, maka tidak seorangpun dapat menjamin keberlanjutan usaha pertanian yang selama ini menjadi andalan penghasil pangan wilayah. Stigma pertanian sebagai salah satu kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan akan semakin kuat melekat. Apalagi ketergantungan masyarakat terhadap input modal dari luar sangat tinggi, hal ini jelas menyebabkan lemahnya kekuatan agroekosistem sebagai sebuah kawasan produksi yang dikelola oleh masyarakat lokal. Salah satu acuan utama mengenai modal sosial adalah dari Bank Dunia (1988) menjelaskan bahwa :

” The social capital of a society includes the institution, the relationship, the attitudes and value that govern interaction among people and contribute to the economic and social development…It includes the shared values and rules for social conduct expressed in personal relationships, trust and a common sense of


(32)

“civic” responsibility, that makes society more than a collection of individuals. Without a degree of common identification with form of governance, cultural norms and social rules, it is difficult to imagine a functioning society”

Sesuai dengan prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan, maka aspek pengendalian tidak dapat dipisahkan dari usahatani lahan dataran tinggi. Dari aspek ekologi, pengendalian erosi tanah secara mekanis dan vegetasi dapat mempertahankan lapisan top soil yang subur, sehingga laju sedimentasi di sungai dan badan air bagian hilir akan berkurang demikian juga penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida sebagai input produksi. Konservasi yang disertai penerapan tekonologi LEISA (low external input for sustainable agriculture) akan mengurangi beban lingkungan untuk menerima limbah sekaligus meningkatkan kemampuan daya dukungnya (Reijntjes et al., 1992).

Dari aspek ekonomi, kesejahteraan petani yang diperoleh dari peningkatan pendapatan usahataninya dapat tercapai jika agribisnis dikelola berbasis kawasan yang didukung oleh pasar komoditas yang fair (Irawan, 2003). Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani sendiri-sendiri dan mengandalkan lahan yang sempit hanya akan membuat usahatani bersifat subsisten. Demikian halnya dengan sistem penetapan harga yang diberlakukan oleh tengkulak kepada petani, mengakibatkan sebagian besar dari margin keuntungan dimiliki oleh tengkulak sebagai pedagang pengumpul.

Dari aspek sosial, penguatan kelembagaan sosial masyarakat merupakan prioritas yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan lokal dalam mempertahankan kelestarian lingkungan dan membangun modal usaha secara bersama (Saptana et al., 2004). Pemerintah mendukung upaya tersebut dengan menerapkan kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan secara konsisten yang berpihak kepada petani selaku produsen.

Pembangunan pertanian berkelanjutan pada hakekatnya adalah memproduksi bahan pangan dan melestarikan basis sumberdaya pertanian (Reeve, 1990). Istilah yang digunakan untuk menjelaskan terminologi tersebut mengacu kepada pertanian berbasis ekologi (ecological agriculture), seperti: ecofarming, eco-development, low-external input agriculture (LEIA), dan site appropriate agriculture. Namun demikian, semua istilah yang digunakan masih dalam satu pemahaman yaitu “pertanian yang berkelanjutan”.

Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Meskipun Jerman menjadi negara pertama yang menemukan metodenya, namun pada


(33)

10 saat ini China yang paling berhasil mengembangkan pertaniannya dengan ecofarming (Public Medline Index Development , 1993).

Pengelolaan usahatani menggunakan model ecofarming memiliki ciri utama keanekaragaman, sehingga tidak dibatasi oleh jenis komoditas tertentu. Dalam ecofarming diperbolehkan menggunakan komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya, sehingga dapat disebut agroforestri. Unsur peternakan juga menjadi bagian dalam model ini, karena bermanfaat sebagai sumber bahan organik yang dapat diolah menjadi pupuk dan sumber energi. Petani sebagai pelaku utama dalam model ini, tetap diperbolehkan menanam tanaman semusim sebagai sumber bahan pangan dan pendapatan dalam waktu yang cukup singkat, namun harus dikombinasikan dengan tanaman tahunan sebagai tanaman konservasi.

Dengan pola seperti itu, maka model ecofarming diyakini dapat menjamin berlangsungnya fungsi lindung dan fungsi budidaya di wilayah dataran tinggi. Model ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dalam bentuk produksi pertanian, namun juga manfaat sosial dan ekologi dalam bentuk jasa lingkungan yang disediakan oleh kawasan agroekosistem.

Model ecofarming diharapkan juga menjadi win-win solution bagi pemerintah daerah yang ingin mengembalikan fungsi wilayah dataran tinggi sebagai kawasan lindung dan bagi masyarakat yang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari usahatani di wilayah tersebut. Dalam jangka panjang, implementasi ecofarming secara konsisten dan didukung oleh seluruh stakeholders terkait, akan berperan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan wilayah dan nasional. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian keberhasilan pada indikator penting yang digunakan untuk menilai pembangunan ketahanan pangan yaitu keberlanjutan usahatani, peningkatan kesejahteraan petani dan kelestarian lingkungan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini seperti yang terdapat pada Gambar 1.2.


(34)

1.5. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penyatuan berbagai sub model yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pertanian di lahan dataran tinggi dalam satu grand design holistik yang mencakup aspek sosial, ekonomi dan ekologi serta memperhatikan karakteristik agroekosistem setempat dan prinsip pengelolaan sebuah kawasan.

Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Model Ecofarming Di Lahan Dataran Tinggi yang Dimanfaatkan untukPertanian

Perda RTRW

Ketahanan Pangan Nasional PAD

Pangan Pekerjaan Ekonomi

Kawasan Lindung di Dataran Tinggi

Kawasan Budidaya (Lembang dan Dongko)

Model Ecofarming di Lahan Dataran Tinggi

UUTR 26/2007

Konversi

Erosi Tinggi

Kesesuaian Agroklimat

Penerapan teknologi LEISA

Kebijakan publik yang mendukung Penguatan modal sosial

Pengelolaan lahan terpadu Agribisnis - Pemasaran

Fungsi Lindung

Tidak Berkelanjutan

Pengelolaan kawasan Fungsi Budidaya


(35)

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Berbasis Ekologi (Ecofarming)

Sebagian ahli menyebutkan ecofarming sebagai reasonable organic farming, karena pemanfaatan input produksi non organik masih diperbolehkan dalam jumlah terbatas dengan memperhatikan kapasitas daya dukung dan kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri dari pencemar. Berbeda dengan absolut organic farming yang sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan input produksi non organik. Menurut Gupta et al., (2005) konsep yang dikembangkan dalam pertanian organik murni adalah mengembalikan keseimbangan energi di alam tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Disebutkan pula bahwa pertanian organik sangat mengandalkan metoda/teknik tradisional dalam mengolah alam dengan memperhatikan aspek-aspek ekologis. Sistem pertanian organik memanfaatkan pupuk hijau, pestisida biologi, biosida dan pengolahan lahan secara manual namun bukan berarti sistem budidaya pertanian kembali seperti jaman batu dahulu. Beberapa konsep lain yang berkembang dari sistem pertanian organik disebutkan: Natural Farming, Rishi Krishi, Biodynamic Agriculture, Ecofarming, dan Do Nothing Agriculture.

Menurut PMID (1993), keberhasilan China meningkatkan kualitas lingkungannya diperoleh dengan cara menekan laju pertumbuhan penduduk dan mengembangkan ecofarming. Negara ini juga melindungi keanekaragaman hayati, mencari dan mengembangkan sumber energi baru, melaksanakan pola konsumsi yang aman dan berkelanjutan, melakukan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, menggunakan produksi dalam negeri untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan nasional, menerapkan manajemen bersih, mengatur arus migrasi, serta meningkatkan kerjasama internasional.

Keanekaragaman yang menjadi salah satu ciri ecofarming diyakini dapat mengurangi tingkat ketergantungan pertanian terhadap pupuk kimia. Becker et al., (2001) menguatkan pendapat tersebut, bahwa peningkatan jumlah mikro – meso fauna disekitar perakaran gandum yang ditanam secara multikultur akan meningkatkan aktivitas enzym dan ketersediaan hara tanah. Tanah di sekitar perakaran menjadi lebih subur, sehingga jumlah pupuk kimia dapat dikurangi penggunaannya.

Sebagian pakar menyebutkan aspek sosial dalam pengembangan ecofarming menjadi bagian yang sama pentingnya dengan aspek ekologi dan ekonomi dalam pengembangan sebuah sistem pertanian. Integrasi antara


(36)

kearifan lokal dengan teknologi modern akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukan pada pertanian di negara berkembang terutama yang terkait dengan erosi, degradasi lingkungan dan kerusakan ekologi (Rajasekaraan et al. 1991). Menurut Saptana et al., (2004), terdapat tiga pilar utama kelembagaan sosial yang harus ada untuk mendukung keberhasilan pengembangan kawasan produksi sayuran di Sumatera yaitu: kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) dan kelembagaan politik atau pemerintah (public sector).

Menurut Egger (1990), kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam (local ecological knowledge) seharusnya tetap dipertahankan meskipun teknologi pertanian berkembang pesat. Egger menambahkan, bahwa karakteristik sistem ecofarming meliputi:

1. Pemanfaatan sumberdaya lokal secara maksimal namun tetap memperhatikan keberlanjutannya.

2. Penggunaan input dari luar secara minimal, hanya sebagai pengganti jika sumberdaya lokal tidak tersedia

3. Penekanan pada budidaya tanaman pangan yang dikombinasikan dengan tanaman lain yang dapat dipanen sebelum tanaman utama dihasilkan.

4. Memastikan bahwa fungsi biologi dasar dari tanah, air, unsur hara dan humus dapat terjaga.

5. Memelihara keanekaragaman jenis tanaman dan binatang untuk keseimbangan ekologi dan stabilitas ekonomi dengan mengembangkan spesies dan varietas lokal.

6. Menciptakan suatu bentuk pengelolaan lahan yang menarik dan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

Rajasekaran et al., (1991) memperkuat pernyataan tersebut, bahwa kearifan lokal, stabilitas ekosistem, introduksi teknologi yang tepat dan skala usahatani yang menguntungkan merupakan syarat untuk mengelola sumberdaya alam melalui sistem pertanian yang berkelanjutan. Oleh karena itu, metode pendekatan RRA (rural rapid appraissal) digunakan untuk menemukan permasalahan lokal sekaligus menetapkan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat setempat.

Klein (2006) menambahkan bahwa ecofarming dan ecofallow, adalah sistem pertanian tanpa atau minimal olah tanah (no till or reduced tillage).


(37)

14 Ecofarming dijelaskan sebagai sistem pertanian dengan cara menekan laju pertumbuhan gulma melalui pengelolaan sisa/limbah pertanian dan menerapkan rotasi tanaman, serta melakukan pengolahan tanah secara minimal. Kemampuan mengendalikan erosi tanah dan pertumbuhan gulma, meningkatkan infiltrasi tanah dan menjaga kelembaban tanah akan menurunkan biaya produksi sekaligus meningkatkan produktivitas lahan.

Keberhasilan pengembangan ecofarming di Rwanda dilaporkan oleh Egger (1990) karena menerapkan:

1. Penanaman tanaman semusim yang diintegrasikan dengan tanaman tahunan spesifik lokal dan memiliki nilai eksotika tinggi. Selain mencegah terjadinya erosi tanah, pohon-pohon dapat menghasilkan buah, kayu dan energi. Pohon juga akan mengembalikan ketersediaan hara ke permukaan tanah dan menciptakan iklim mikro yang lebih baik. Kombinasi kedua jenis tanaman tersebut juga mampu meningkatkan kunjungan wisatawan untuk tujuan ekowisata.

2. Mengembangkan peternakan disekitar lokasi pertanian.

3. Penggunaan sisa-sisa tumbuhan semak untuk pupuk hijau. Lahan diberakan selama 1 – 2 tahun yang diikuti dengan pertanaman selama dua tahun akan menghasilkan 10 – 25 ton/ha bahan organik kering untuk pupuk dan mampu mengasimilasi 150 – 300 kg nitrogen per tahun. Tanaman semak terbukti meningkatkan akumulasi humus, menekan pertumbuhan gulma, mencegah terjadinya longsor dan meningkatkan kapasitas tanah mengikat air serta meningkatkan efisiensi pemupukan mineral. Penggunaan pupuk hijau dan pupuk mineral bukan bersifat alternatif, namun saling melengkapi.

4. Membuat parit-parit dan tanaman pagar untuk mencegah terjadinya erosi. 5. Menggantikan monokultur menjadi pertanian multikultur yang mengandalkan

kebutuhan dan kearifan lokal.

6. Menggunakan input luar (pupuk mineral dan pestisida) pada saat yang tepat, tergantung pada kondisi dan kebutuhannya.

7. Total ecodesign, dilaksanakan dengan komitmen tinggi dalam satu kawasan. 8. Didukung oleh penyuluhan dan pelatihan mengenai penerapan ecofarming

bagi petani.

2.2. Pendekatan Sistem dalam Model Ecofarming

Pendekatan sistem adalah pendekatan organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak. Oleh karena itu, pendekatan sistem dapat


(38)

memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004). Pendekatan sistem semakin diperlukan karena permasalahan yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh (Marimin et al., 2007).

Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), dalam mengkaji kompleksitas dari suatu perihal di dunia nyata diperlukan suatu metodologi yang secara filosofis dapat memberikan pedoman guna bertindak (action oriented) untuk menyiapkan informasi yang relevan pada kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Metode yang bersifat reduksi, seperti linierisasi, permodelan yang statis dan pengurangan faktor, sangat tidak efektif dalam menelaah sistem yang kompleks. Menurut Sterk et al., (2007), untuk menyusun model pengembangan pertanian berkelanjutan di suatu wilayah diperlukan (1) eksplorasi tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan tersebut, (2) eksplorasi alternatif untuk perubahan atau perbaikan yang akan dilakukan, dan (3) komunikasi dan ekstrapolasi output yang akan dihasilkan kepada masyarakat/pakar.

Selanjutnya, teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk menetapkan urutan prioritas alternatif berdasarkan kriteria jamak akan dijelaskan dalam sub bab berkut ini.

2.2.1. Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)

Sumber kerumitan masalah pengambilan keputusan tidak hanya disebabkan oleh ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi, penyebab lain adalah banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan yang ada, beragamnya kriteria pilihan dan pengambilan keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan tersebut adalah beragamnya kriteria maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik yang tepat untuk menyelesaikannya (Mulyono, 1996).

Proses hirarki analitik ini memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Pada dasarnya metode ini adalah memecahkan situasi yang kompleks, tidak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki,


(39)

16 memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas yang paling tinggi dan bertindak mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1986).

Proses Hierarki Analitik (AHP) dikembangkan oleh Saaty (1993) dan dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek atau tidak berkerangka dimana data dan informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat sedikit. Secara umum hirarki dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Hirarki struktural, yaitu masalah yang kompleks diuraikan menjadi

bagian-bagiannya atau elemen-elemennya menurut ciri atau besaran tertentu. Hirarki ini erat kaitannya dengan menganalisa masalah yang kompleks melalui pembagian obyek yang diamati menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil.

b. Hirarki fungsional, menguraikan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagiannya sesuai hubungan esensialnya. Hirarki ini membantu mengatasi masalah atau mempengaruhi sistem yang kompleks untuk mencapai tujuan yang diinginkannya seperti penentuan prioritas tindakan, alokasi sumber daya.

AHP mempunyai banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah dengan AHP. Selain itu AHP juga menguji konsistensi penilai, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hirarki harus distruktur ulang (Marimin, 2004).

Terdapat beberapa prinsip yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan AHP yaitu: decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency (Mulyono, 1996).

1. Decomposition yaitu memecahkan persoalan menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat maka pemecahan dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut.

2. Comparative judgement berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh


(40)

terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan lebih baik bila disajikan dalam bentuk matrik yang dinamakan matrik pairwise comparison.

3. Synthesis of priority, dari setiap matrik pairwise comparison kemudian dicari eigenvectornya untuk mendapat local priority harus dilakukan sintesa diantara local priority.

4. Logical consistency, konsistensi mempunyai dua makna, yaitu pertama: obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi dan yang kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

2.2.2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Dalam menggunakan metode ini terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu: menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif (Marimin, 2004).

Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode MPE adalah:

Total nilai (TNi) =

(

)

TKKj m

j ij

RK

=1

... (1)

Keterangan:

TNi = total nilai alternatif ke-i

RKij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan ke-i

TKKj = derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0; bilangan bulat

m = jumlah kriteria keputusan 2.2.3. Visual Basic 2005

Visual Basic (VB) adalah salah satu development tools untuk membangun aplikasi dalam lingkungan Windows. Di dalam aplikasinya, Visual Basic menggunakan pendekatan visual untuk merancang user interface dalam bentuk form, sedangkan untuk kodingnya menggunakan bahasa basic yang mudah


(41)

18 dipelajari. Pada tahun 2005, Microsoft merilis versi terbaru dari Visual Basic, yang kali ini disebut dengan Visual Basic 2005. Untuk rilis 2005 ini, Microsoft mengembalikan beberapa fitur yang sebelumnya dihilangkan seperti: Edit and Continue (Mandel, 2006)

2.2.4. Struktur Pasar dan Kelayakan Usahatani

Struktur pasar merupakan gambaran imbangan kekuatan antara penjual dan pembeli dalam suatu wilayah pasar. Unsur-unsur struktur pasar meliputi jumlah dan ukuran penjual dan pembeli, deferensiasi produk, kebebasan keluar masuk dan derajat integrasi. Metode yang sering digunakan untuk mengetahui struktur pasar adalah konsentrasi pasar. Sedangkan alat derajat konsentrasi penjual yang ada pada suatu wilayah pasar adalah Indeks Hirschman-Herfindhal. Perhitungan Indeks Hirschman-Herfindhal dirumuskan (Ferguson, 1988; Martin, 1993; Carlton dan Perloff, 2000) sebagai berikut:

HHI = =

n

i i

S 1

2

... (2) Keterangan :

HHI = Indeks Hirschman-Herfindhal Si = pangsa pasar penjual ke-i

n = jumlah penjual pada suatu wilayah pasar

Nilai HHI pada persamaan (2) berada pada kisaran 0 – 1. Bila nilai HHI = 1 maka struktur pasar berada pada keadaan monopoli atau hanya terdapat satu penjual di dalam pasar. Indeks Hirschman-Herfindhal hanya menunjukkan kecenderungan struktur pasar apakah struktur pasar mengarah pada bentuk monopoli atau bersaing sempurna. Dengan menggunakan rasio konsentrasi lebih jelas memberikan batasan antara bentuk pasar bersaing sempurna dengan bentuk oligopoli (Martin, 1993). Apabila pangsa pasar empat penjual terbesar (CR4) dalam suatu wilayah pasar lebih besar atau sama dengan 40%, maka struktur pasar digolongkan ke dalam bentuk oligopoli. Perhitungan konsentrasi rasio dapat diformulasikan (Ferguson, 1988; Martin, 1993; Carlton dan Perloff, 2000) sebagai berikut:

CRx =

=

x

i i

S 1

... (3) Keterangan :


(42)

Si = pangsa pasar penjual ke-i

x = jumlah penjual pada suatu wilayah pasar

Penelitian Moon dan Kim (2008) membuktikan bahwa kemampuan sebuah perusahan perdagangan produk pertanian untuk menembus pasar global ditentukan oleh kualitas produk yang akan dipasarkan dan kekuatan modal yang dimilikinya. Oleh karena itu peran manajer sangat penting, karena tugasnya mengatur strategi dan memastikan setiap tahapan proses produksi berlangsung sebagaimana mestinya.

Alat ukur atau kriteria diperlukan untuk menentukan apakah suatu usaha tersebut menguntungkan atau layak untuk diusahakan. Alat ukur atau kriteria yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan NPV (Net Present Value), Net B/C (Net Benefit Cost ratio) dan IRR (Internal Rate of Return) (Gittinger, 1986; Gray et al., 1986; Kadariyah et al., 1999; Sutoyo, 2000).

Namun dalam usahatani yang dilakukan oleh petani biasanya tidak dilengkapi oleh pembukuan yang rapi, sehingga analisis laba-rugi menggunakan cara penghitungan selisih hasil penjualan dengan biaya yang telah dikeluarkan dalam satu musim tanam. Vossen (1992) juga menyimpulkan bahwa usahatani tanpa pembukuan seperti yang dilakukan oleh petani anggur di California, tidak pernah layak jika dihitung secara finansial. Oleh karena itu ia menyarankan kepada pemerintah untuk tetap memberikan insentif bagi petani, melindungi dari serbuan produk import yang murah dan menahan laju urbanisasi, agar keberlanjutan produksi pertanian dapat dipertahankan.

2.3. Usahatani di Lahan Dataran Tinggi

Menurut Altieri dan Nicholls (2004), usahatani bukan sekedar kumpulan tanaman dan hewan, tempat orang dapat memberikan input apa saja dan kemudian mengharapkan hasil langsung. Namun, usahatani merupakan suatu jalinan yang komplek yang terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Dengan demikian usahatani merupakan sebuah sistem. Oleh karena itu merancang sistem pertanian yang selaras dengan alam, berarti memanfaatkan secara optimal sumberdaya yang tersedia sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan untuk menghasilkan produksi pertanian secara berkelanjutan.

Sinukaban (1994) menyatakan bahwa pembangunan pertanian berkelanjutan dapat dilakukan dengan menerapkan Sistem Pertanian Konservasi


(43)

20 (Conservation Farming System). Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menekan kerusakan tanah dan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu.

Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun biasanya disebut sebagai lahan kering. Sedangkan yang dimaksud dengan lahan kering dataran tinggi/lahan dataran tinggi adalah hamparan lahan yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 m dpl (700 – 2500 m dpl). Departemen Pertanian (2006) bahkan mendefinisikan wilayah dengan elevasi minimal 350 m dpl dan/atau memiliki tingkat kemiringan lereng minimal 15 % sudah termasuk lahan pegunungan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan dataran tinggi/lahan pegunungan memiliki ciri khas tidak didukung oleh irigasi teknis yang memadai. Oleh karena itu disebut sebagai lahan kering, karena kebutuhan air bergantung pada curah hujan atau mata air yang ada disekitar areal pertanian.

Pada kenyataannya, pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk kegiatan budidaya pertanian tetap berlangsung. Aktivitas tersebut semakin meningkat seiring dengan menyempitnya lahan pertanian di dataran rendah. Berbagai jenis tanaman hortikultura baik sayuran maupun buah-buahan, perkebunan, dan pangan diusahakan di lahan tersebut. Selain memberikan manfaat bagi jutaan petani, lahan pegunungan juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan DAS dan penyangga daerah di bawahnya. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya berisiko terhadap erosi, longsor di bagian hulu hingga menimbulkan banjir di bagian hilir (Dariah, 2007). Selanjutnya, sub bab berikut ini akan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan sistem usahatani di lahan dataran tinggi.

2.3.1 Kawasan Budidaya

Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (UUTR, 2007). Meskipun dalam Undang-Undang dipisahkan antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya dan kawasan perdesaan, namun di daerah yang


(44)

berpenduduk padat seperti di Jawa, ketiga kawasan tersebut sulit untuk dipisahkan. Sehingga dalam pengelolaannya, aspek lindung, budidaya dan masyarakat menjadi tiga hal yang saling terkait dalam kesatuan harmoni pembangunan.

Pendekatan kawasan digunakan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi dan mengkoordinasikan program pembangunan yang akan dilaksanakan demi terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena pengembangan kawasan untuk pertanian di dataran tinggi terus meluas di Jawa. Wikantika dan Agus (2006), telah membuktikan bahwa berdasarkan Landsat ETM (Enhanced Thematic Mapper) terjadi perluasan pemanfaatan lahan kering di kawasan Puncak bagian barat seluas 7.411 ha hanya selama periode Mei – Desember 2001.

Kawasan budidaya yang dimanfaatkan untuk pertanian membentuk sebuah ekosistem buatan yang disebut sebagai agroekosistem. Agroekosistem merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan, serat, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi dan pengolahan manusia (Reijntjes et al., 1992). Studi mengenai agroekosistem secara holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia disebut agroekologi. Kamus bebas Wikipedia menegaskan bahwa agroekologi adalah ilmu yang menerapkan konsep dan prinsip ekologi untuk perencanaan/model, pembangunan, dan pengelolaan pertanian berkelanjutan. Sedangkan Francis et al., (2001) mendefinisikan agroekologi sebagai integrative study yang mempelajari sistem produksi pangan yang meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu di dalam mengelola sebuah kawasan budidaya untuk usahatani seharusnya memperhatikan ketiga aspek tersebut dalam kesatuan yang terintegrasi.

2.3.2. Rawan Erosi

Kegiatan budidaya tanaman semusim di dataran tinggi dengan kemiringan lereng yang cukup besar sangat rentan terhadap erosi dan longsor. Selain kemiringan lereng, erosi tanah juga dipengaruhi oleh hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah dan penutupan tanah (land cover). Permasalahan lain yang dihadapi lahan pertanian dataran tinggi di daerah tropis seperti halnya Indonesia adalah produktivitas lahan yang rendah, usahatani yang berisiko tinggi terhadap bencana alam dan rendahnya pendapatan rata-rata


(45)

22 petani. Semua faktor tersebut bekerja secara simultan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kondisi yang marginal seperti demikian menyebabkan kesulitan untuk petani mengadopsi dan mengembangkan teknologi pertanian konservasi (Gatot et al., 1999).

Kegiatan usahatani yang menerapkan budidaya intensif tanpa memperhatikan teknik-teknik konservasi tanah secara tepat semakin mempercepat terjadinya erosi. Erosi menimbulkan dampak yang sangat luas. Kerusakan dan kerugian tidak saja dialami oleh petani di daerah hulu, tetapi juga oleh masyarakat di daerah yang dilewati aliran air. Erosi tanah di lokasi usahatani (on-site) dapat menyebabkan hilangnya kapasitas produktivitas dan hilangnya kemampuan tanah untuk menyimpan air. Kerusakan di daerah hilir (off-site) ditandai dengan meningkatnya sedimentasi yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan sungai, situ, waduk dan merusak sistem tata air serta saluran irigasi (Papendick et al., 1986). Di Jawa hampir semua sungai, situ atau waduk mengalami sedimentasi yang tinggi.

Tanah ataupun lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki dua fungsi utama bagi produksi pertanian yaitu (1) sebagai sumber unsur hara bagi tanaman, dan (2) tempat akar tumbuh, tempat air tersimpan dan tempat unsur hara di tambahkan. Menurun atau hilangnya kedua fungsi tanah tersebut disebut sebagai degradasi tanah (Arsyad, 2006). Menurunnya fungsi tanah pertama dapat diperbaiki dengan pemupukan, tetapi menurunnya fungsi tanah kedua tidak mudah diperbaiki, memerlukan waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun untuk memperbaikinya. Salah satu penyebabnya adalah erosi.

Erosi adalah peristiwa pengikisan tanah oleh angin, air atau es. Erosi dapat terjadi karena sebab alami atau disebabkan oleh aktivitas manusia Penyebab alami erosi antara lain adalah karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Erosi yang disebabkan oleh aktivitas manusia umumnya disebabkan oleh adanya penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan (Wikipedia, 2007).

Menurut Hogarth et al., (2004) air hujan merupakan penyebab utama terjadinya erosi di lahan miring. Besarnya erosi ditentukan oleh lamanya waktu hujan, jumlah air hujan per satuan waktu dan kemiringan lahan. Menurut Ananda dan Herath (2003), erosi di negara berkembang disebabkan oleh interaksi


(46)

kompleks antara beberapa aspek seperti tekanan penduduk, kemiskinan, dinamika lingkungan dan lemahnya fungsi kelembagaan lokal.

Salah satu cara mengembalikan kesuburan tanah di bagian hulu adalah mengangkut kembali sedimen tanah yang terbawa melalui badan air ke tempat asalnya. Pengembalian kesuburan tanah dengan cara ini salah satunya dilakukan di Korea. Tingginya laju erosi di lahan pertanian “Alphine Belt” di bagian atas kota Seoul telah memaksa petani setempat untuk selalu menambahkan tanah subur bersumber dari sedimentasi erosi sedalam 10 – 15 cm setiap 3 – 5 tahun sekali sebagai pengganti lapisan top soil yang hilang (Choi et al., 2003).

Erosi tidak hanya berdampak pada degradasi lahan, melainkan juga berpengaruh terhadap ketersediaan air permukaan. Dampak buruk dari erosi ada dua yaitu dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan olah yang kaya hara dan bahan organik, meningkatkan penggunaan energi untuk berproduksi, menurunnya produktivitas lahan dan pemiskinan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site meliputi berkurangnya alternatif penggunaan lahan, timbulnya dorongan untuk membuka hutan untuk pertanian dan meningkatnya kebutuhan dana untuk konservasi. Dampak langsung erosi off-site adalah pelumpuran atau sedimentasi dan pendangkalan badan air, tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan, menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air, kerusakan ekosistem perairan, kehilangan nyawa oleh banjir dan longsor serta meningkatnya areal, frekuensi serta lamanya banjir di musim hujan dan meningkatnya ancaman kekeringan pada musim kemarau. Dampak tidak langsung erosi off-site adalah kerugian sebagai akibat memendeknya umur guna waduk dan saluran irigasi serta tidak berfungsinya badan air lainnya (Arsyad, 2006).

Hasil penelitian Ripa et al., (2006) menyimpulkan telah terjadi pendangkalan dan pencemaran danau Vico di Italia oleh fosfat yang berasal dari areal pertanian Hazelnut di bagian hulu. Untuk mengurangi laju erosi yang sangat tinggi di areal pertanian tersebut, peneliti kemudian membuat model GLEAMS (groundwater loading effect of agricutural management system) agar danau Vico tidak terus mengalami pendangkalan dan eutrofikasi.

Di Indonesia, dampak buruk dari proses erosi tanah tidak hanya dialami oleh lahan-lahan pertanian saja, melainkan dialami juga oleh kawasan hutan,


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRACT

RACHMI WIDIRIANI. An ecofarming Model for Sustainable Farming System on

Upland Agricultural Landuse Area. Supervised by SUPIANDI SABIHAM (Main

Supervisor), SURJONO HADI SUTJAHJO and IRSAL LAS (Co-Supervisors).

The main objective of

this study was

to design an ecofarming model for

sustainable farming system on upland agricultural landuse areas, both in

Lembang, West Java and Dongko, East Java. The slopes of the land in both

areas study were vary between 15%-45%. The first step of the study is aimed to

analyze sustainability index of the research areas, using Multi Dimensional

Scalling (MDS)-Rapfarm. For the second study, the dynamic system simulation

is used as an approach to solve the complexity problem of upland agriculture

which is threatened by erosion. The model was constructed by dominant

variables as the result of leverage analysis and by five sub models analysis:

LEISA (low external input for sustainable agriculture), sustainable agriculture

practices, agribusiness-marketing, social capital and government rules.

The result of the MDS analysis showed that sustainable multi-dimension

index of Lembang district was 35,47 and Dongko district was 24,16. These

values indicated that the environmental condition of both study areas were

categorized as not sustainable. Estimation of actual erosion rate in Lembang was

147,29 ton/ha/year and in Dongko was 245,95 ton/ha/year. The results of each

sub model revealed if LEISA sub model is being implemented, so that the farmers

of Lembang district will get benefit from organic matter processing up to Rp

6.844.278.833/year on average, meanwhile the farmers of Dongko distric will get

Rp,1.298.287.172/year approximately. The sustainable land management

required an integrated management on land conservation, ideal ratio of perennial

to annual vegetation as 25%:75%, and minimum livestock per acre for organic

matter supply (8 cows/ha or 22 goats/ha). Alternative core-plasma cooperation

between agro supplier and farmer is chosen to help the farmers in product

marketing, as the market structure is olygopsony. The Government is required to

provide more operational policies that clearly distinct the border of protected area

and the area that used for agricultural activities such as farming and pasture.

Social capital can be conducted by strengthen the local values as a basis for

building component of trust, network relationship, and community co-operation.

Thus, there were three recommended scenarios of eco-farming model created

based on government decision, real condition in the field, and the limitation of

community capabilities. Application of this model should be accompanied by an

understanding of each sub-model that built the model, including a deep

understanding on local values that applied in the communities.

Key words : upland farming system, erosion, dynamic model, eco-farming,

sustainability