108
VI. VARIABEL DOMINAN DALAM MODEL ECOFARMING
Pada  bab  sebelumnya  telah  disampaikan  hasil  analisis  Leverage  yang menetapkan sebanyak 9 atribut sensitif mempengaruhi keberlanjutan sistem yang
dihadapi dan dapat digunakan sebagai variabel pengungkit.  Besarnya skor yang diberikan terhadap atribut digunakan sebagai indikator sensitifitas atribut tersebut
dalam  mempengaruhi  keberlanjutan  setiap  dimensi  yang  diamati.  Selanjutnya, pengelolaan secara tepat terhadap variabel pengungkit tersebut, dilakukan untuk
meningkatkan keberlanjutan sistem yang sedang dikaji. Dalam  penelitian  ini  sistem  yang  dikaji  adalah  sistem  usahatani  lahan
dataran  tinggi  yang  mengalami  permasalahan  yang  kompleks,  baik  dari  aspek ekologi,  sosial  maupun  aspek  ekonomi.    Tahapan  selanjutnya  yang  dilakukan
sebelum  membangun  sebuah  mental  model  ecofarming  sebagai  simplifikasi sistem usahatani berkelanjutan yang sesungguhnya, adalah menetapkan variabel
dominan  yang  akan  membangun  model  tersebut.  Hal  yang  dilakukan  adalah memperhatikan variabel pengungkit  yang telah dihasilkan dari analisis Leverage,
dan  melakukan  analisis  terhadap  sistem  berdasarkan  sub  sistem  yang  lebih spesifik.  Masing-masing sub sistem yang diamati akan menghasilkan sub model
tersendiri.  Tahapan  ini  bertujuan,  agar  model  ecofarming  yang  dibuat  dapat merepresentasikan sistem usahatani yang sesungguhnya bersifat rasional. Sub
model yang diamati tersebut meliputi : 1.  Sub Model LEISA Low External Input for Sustainable Agricultural
2.  Sub Model Pengelolaan Lahan Berkelanjutan 3.  Sub Model Kekuatan Modal Sosial
4.  Sub Model Agribisnis-Pemasaran 5.  Sub Model Kebijakan Publik
6.1. Sub Model LEISA
Sistem  LEISA  merupakan  gabungan  teknik  yang  dipilih  secara  cermat dalam  memanfaatkan  sumberdaya  lokal  secara  maksimal  untuk  mengurangi
ketergantungan terhadap input produksi dari luar dengan tetap berorientasi pada keberlanjutan.  Teknik  yang  digunakan  mempunyai  fungsi  produktif,  reproduktif
dan  sosial  yang  saling  melengkapi  satu  sama  lain.  Terdapat  bermacam  teknik yang dapat dilakukan petani dalam penerapan LEISA, sesuai dengan potensi dan
kendala serta kebutuhan setiap wilayah.  Oleh karena itu, perlu ditetapkan teknik yang tepat dan tetap berorientasi pada prinsip keberlanjutan.
109 Berdasarkan  potensi  dan  kendala  yang  dihadapi  di  wilayah  penelitian,
maka  di  bangun  model  manajemen  integrasi  pemanfaatan  limbah  pertanian- peternakan  sebagai  bentuk  model  LEISA.    Jika  model  ini  diaplikasikan  oleh
masyarakat  petani-peternak,  ketergantungan  terhadap  pupuk  dari  luar  akan berkurang,  dampak  negatif  limbah  terhadap  lingkungan  menurun  sedangkan
kesuburan tanah akan meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan petani di Kecamatan
Lembang  terhadap  pupuk  kandang  dan  pupuk  kimia  sangat  tinggi.    Rata-rata petani menggunakan 30 – 45 tonhath pupuk kandang yang dibeli dengan harga
Rp.  10.000karung  ukuran  50  kg.    Pupuk  kimia  seperti  Phonska,  Urea  dan Grand  K  digunakan  secara  intensif  untuk  mempertahankan  kapasitas  produksi
lahan  sayuran  mereka.  Selain  itu,  petani  membutuhkan  bermacam  jenis  obat- obatan  kimia  untuk  mengendalikan  serangan  hama  penyakit.  Seluruh  input
produksi  yang  dibutuhkan  diperoleh  dengan  cara membeli  dari  toko  pertanian  di Kecamatan atau berhutang kepada bandar.
Sementara  itu,    kegiatan  peternakan  yang  terdapat  di  wilayah  penelitian menghasilkan  limbah  feses  dan  urin  dalam  jumlah  sangat  banyak.    Limbah
tersebut  sebagian  besar  dibuang  melalui  saluran  air  sehingga  menimbulkan pencemaran bagi lingkungan disekitarnya.
Data KPSBU mencatat, terdapat 16.741 ekor sapi perah di Lembang yang menghasilkan  susu  sebanyak  37.425.742
lth.  Jika  setiap  liter  susu  yang dihasilkan juga disertai 2 kg feses, maka total jumlah feses yang dihasilkan tidak
kurang dari 74.851,484 tonth.  Selain feses, sapi menghasilkan urin sebanyak 5
lekorhr.    Perkiraan  total  urin  sapi  yang  dihasilkan  dalam  setahun  tidak  kurang dari  30  juta  liter.  Selama  ini  urin  dibiarkan terbuang  dan mencemari  lingkungan.
Limbah  feses  dapat  dimanfaatkan  sebagai  bahan  baku  kompos  dan  biogas sedangkan urin sapi dapat digunakan pupuk cair setelah difermentasikan terlebih
dahulu. Selain  limbah  dari  peternakan,  kegiatan  pertanian  sayuran  juga
menghasilkan limbah organik. Jumlah limbah sisa hasil panen biasanya sekitar 20 dari total produksi.  Selama ini limbah tersebut dibiarkan menumpuk di sekitar
lahan petani atau di tempat-tempat penampungan milik bandar. Limbah  feses  masiv  di  Kecamatan  Lembang  berpotensi  menghasilkan
pupuk kompos sebanyak 37.425 tonth. Perhitungan tersebut berdasarkan angka konversi  limbah  kotoran  segar  menjadi  kompos  sebesar  0,5.  Jumlah  kompos
110 yang dihasilkan, cukup untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik petani sayuran
di Lembang. Menurut  Masbulan  2004  urin  sapi  yang  difermentasikan  selama  2  –  5
hari,  dapat digunakan sebagai pupuk cair yang bermanfaat untuk berbagai jenis tanaman kecuali jagung.  Disebutkan pula bahwa zat-zat yang sangat bermanfaat
bagi  pertumbuhan  tanaman  terutama  hormon  auksin,  citoksin  dan  kalium terkandung di dalam urin yang telah difermentasi. Sebelum diolah, urin sapi tidak
ada harganya sehingga terbuang begitu saja. Namun setelah menjadi pupuk cair, harganya mencapai Rp. 15.000 per liternya.
Keadaan  yang  serupa  juga  terjadi  di  Kecamatan  Dongko.  Pemanfaatan limbah ternak dan sisa hasil panen belum dilaksanakan secara optimal.
Selanjutnya  pada  Tabel  6.1  dan  6.2  berikut  ini  lebih  merinci    besarnya potensi  limbah  yang  dapat  dimanfaatkan  dan  kebutuhan  faktor  produksi  para
petani  dan  peternak  yang  terdapat  di  Kecamatan  Lembang.      Data  yang tercantum  dalam  tabel  tersebut  merupakan  hasil  analisis  kebutuhan  para  petani
dan  peternak  setempat  serta  menunjukkan  permasalahan  yang  dihapai  dalam memperoleh  input  produksi  dan  mengelola  limbah  yang  dihasilkan  dari  usaha
mereka.  Selanjutnya  data  tersebut  digunakan  sebagai  input  untuk  membangun model  dinamisnya.    Penggunaan  data  real  ini  bertujuan  untuk  meminimalkan
penggunaan  asumsi  dan  mengurangi  timbulnya  kesalahan  yang  tidak  terduga pada saat model LEISA diterapkan di lapangan.
Tabel 6.1.  Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Pertanian Lembang
No  Keterangan Jumlah
Harga
1 Jumlah Petani
24.919 KK 2
Laju pertumbuhan petani 0,35
3 Luas lahan  pertanian
9.754,841 ha 5
Produksi sayuran 29.894 tonth
5000kg rata-rata 6
Persen sisa hasil panen 20  dari produksi
7 Kebutuhan pupuk kandang
30 - 45 tonhath 10.00050 kg
8 Kebutuhan pupuk kimia
Ponska : 600 Kghath Urea : 600 Kghath
Grand K : 30 Kghath 2.500 kg
1.20050 kg 10.000kg
Sumber : Kecamatan Lembang Dalam Angka 2007 dan Hasil Wawancara
111 Tabel 6.2.  Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Peternakan Lembang
No  Keterangan Jumlah
Harga
1 Jumlah sapi
16.741 ekor 2
Produksi susu 37.425.742 literth
3.200liter 3
Kebutuhan hijauan pakan 14,4 tonekorth
4 Total potensi Fesesthn
74.851,484 tonth -
5 Total potensi Urinethn
30.133.800 ltrth -
6 Potensi kompos
37.425,742 tonth 10.00050 Kg
7 Biogas
80 kg untuk 1 m
3
biogas 15.000m
3
8 Jumlah peternak
6.226 orang 9
Laju pertumbuhan peternak 1,02 th
Sumber : KPSBU 2008 dan Hasil Wawancara
Jika  di  Lembang  petani  hanya  memiliki  lahan  sayuran  dan  peternak memelihara  sapi  perah,  maka  di  Dongko  setiap  petani  adalah  juga  peternak.
Petani Dongko rata-rata memiliki 2 ekor kambing PE Peranakan Ettawa dan 10 ekor ayam.  Kepemilikan ternak akan memberi keuntungan bagi petani, terutama
dalam penerapan LEISA.  Ternak selalu menghasilkan limbah, Tabel 6.3 dan 6.4 menunjukkan  besarnya  potensi  limbah  yang  dapat  dimanfaatkan  dan  kebutuhan
faktor produksi petani dan peternak di Kecamatan Dongko. Tabel 6.3.  Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Pertanian Dongko
No  Keterangan Jumlah
Harga
1 Jumlah Petani
37.262 KK 2
Laju pertumbuhan petani 0,38 th
2 Luas lahan  pertanian dan LMDH
10.610,9 ha 3
Produksi pertanian 2.220,94 tonth
5000kg rata-rata 4
Persen sisa hasil panen 20  dari produksi
- 5
Kebutuhan pupuk kandang 30 – 45 tonhath
100.000ton 6
Kebutuhan pupuk kimia Urea : 400 Kghath
TSP : 400 Kghath KCl : 300 Kghath
1.250kg 1.600kg
1.650kg
Sumber : Kecamatan Dongko Dalam Angka 2007 dan Hasil Wawancara
Dari  ternak  kambing  PE,  petani  Dongko mendapatkan  hasil  berupa  anak kambing yang dijual sebagai bibit dan susu kambing. Kambing PE betina mampu
menghasilkan  susu  rata-rata  2  literhr.    Hingga  saat  ini,  produksi  susu  kambing masih sangat terbatas padahal permintaan terhadap susu kambing sangat tinggi.
Kondisi  ini  menyebabkan  harga  susu  kambing  mencapai  Rp.  20.000l  di  tingkat peternak.  Jika  35  saja  dari  total  kambing  PE  yang  terdapat  di  Dongko  adalah
112 betina  yang  produktif maka  sebanyak  1.644  liter  susu  per  hari  dapat  di  hasilkan
dari Kecamatan ini. Selain  bibit  kambing  dan  susu,  peternakan  kambing  PE  juga
menghasilkan limbah beripa feses dan urine. Limbah juga dihasilkan dari domba dan sapi yang dipelihara oleh beberapa peternak di  Kecamatan Dongko.
Data  monografi  Kecamatan  Dongko  mencatat  jumlah  ternak  besar kambing  PE,  domba  dan  sapi  yang  terdapat  di  wilayahnya  sampai  awal  2008
adalah  16.545  ekor.  Dari  jumlah tersebut diperkirakan  dapat menghasilkan  lebih dari
feses  setiap  tahunnya.  Jumlah  tersebut  dapat  menghasilkan kompos sekitar 5.600 ton yang sangat bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan
tanah  dan  menahan  laju  erosi.  Nilai  konversi  kotoran  kambingdomba  untuk menjadi kompos adalah 0,9, lebih tinggi dibandingkan kotoran sapi.
Tabel 6.4.  Potensi Limbah dan Kebutuhan Input Produksi Peternakan Dongko
No  Keterangan Jumlah
Harga
1 Jumlah kambing PE
13.033 ekor 2
Jumlah sapi 1.162 ekor
3 Jumlah Domba
2.350 ekor -
4 Produksi anakan kambing
2 ekortahun 2.500.000 ekor
5 Susu kambing
1.644 lhr 20.000l
6 Ayam kampung
55.047 ekor 7
Feses 8.509,7 tonth
1.000kg 8
Biogas 80 kg untuk 1 m
3
biogas 15.000m
3
9 Urine
10.675.314 ltth -
10 Potensi Kompos
5.650 tonth 100.000ton
11 Jumlah peternak
37.262 KK 12
Laju pertumbuhan peternak 0,38
Sumber : Kecamatan Dongko Dalam Angka 2007, Program Penyuluhan Kecamatan Dongko 2008 dan Hasil Wawancara
Selanjutnya  Gambar  6.1  dan  6.2  berikut  ini  menunjukkan  struktur  model model  LEISA  berdasarkan  variabel  dominan  dalam  sistem  usahatani  di  masing-
masing  Kecamatan.  Model  tersebut  dapat  dianggap  merefleksikan  sistem  yang sesungguhnya karena dibangun berdasarkan 2 kelompok variabel dominan yaitu
kelompok  pertanian  dan  peternakan  yang  saling  terkait  dan  tergantung  satu dengan  lainnya  berdasarkan  hubungan  kebutuhan  pupuk  dan  kemampuan
menyediakan  sumber  bahan  organik  seperti  yang  terdapat  dalam  sistem  yang sebenarnya.
113 Gambar 6.1.  Struktur Model LEISA Low External Input for Sustainable Agriculture di Kecamatan Lembang
Harga Pupuk Kandang Harga Pupuk Kimia
114 Gambar 6.2.  Struktur Model LEISA Low External Input for Sustainable Agriculture di Kecamatan Dongko
Harga Pupuk Kandang Harga Pupuk
Kimia
115
Pupuk  kompos  biasanya  diaplikasikan  dalam  jumlah  besar.  Hal  ini disebabkan  jumlah  nutrisi  yang  terkandung  di  dalamnya  garam-garam  mineral
terhitung  kecil  jika  dibandingkan  dengan  kebutuhan  tanaman.  Kompos mempunyai  tingkat  ikatan  antar  bahan  yang  sangat  buruk  jika  bandingkan
dengan tanah liat seperti yang terdapat di Kecamatan Dongko. Gumpalan  tanah    liat  yang  tidak mengandung  humus, sangat  padat  dan
mudah  sekali  mengeras.  Kondisi  ini  tidak  baik  untuk  pertumbuhan  tanaman. Untuk proses pertumbuhanya, tanaman memerlukan tempat berpijak yang kokoh
dan gembur.  Pada dasarnya akar tanaman menyerap air dari dalam tanah dan melakukan proses respirasi bernapas pada saat bersamaan.  Jika tanah tempat
tumbuh  tersebut  adalah  tanah  yang  keras  dan  mempunyai  tingkat  kepadatan tinggi, maka tidak ada celah yang dapat menjadi tempat sirkulasi udara.
Pemberian  pupuk  kandangkompos  dalam  jumlah  yang  cukup  di  lahan pertanian, akan meningkatkan porositas tanah dan terbentuk lapisan humus yang
kaya  akan  bahan  organik.  Kompos  membuat  ikatan  struktur  tanah  menjadi gembur.  Di  dalam  tanah  yang  gembur,  banyak  terdapat  celah  yang  dapat
ditembus udara gas yang berarti sirkulasi udara di tanah menjadi lancar.  Pada saat  musim  hujan,  celah  udara  yang  terdapat  dalam  tanah  akan  terisi  oleh  air
sehingga menurunkan laju aliran permukaan.  Proses ini sekaligus menjadi salah satu cara untuk menurunkan laju erosi tanah.
Dengan  demikian  maka  penerapan  model  LEISA  untuk  menyediakan pupuk  organik  berbahan  baku  lokal  akan  sangat  membantu  masyarakat
setempat  dalam  mengatasi  degradasi  lahan  pertanian  akibat  erosi.  Kegiatan tersebut juga memberikan manfaat ekonomi dalam bentuk penghematan.  Untuk
wilayah Kecamatan Lembang, potensi sumber bahan organik berupa feses sapi sebanyak  37.425,742  tonth  dengan  kebutuhan  pupuk  kompos  rata-rata  40
tonhath,  maka  pengolahan  kotoran  sapi  yang  tersedia  diperkirakan  dapat mencukupi kebutuhan lahan pertanian lebih dari 935 hektar.
Sedangkan untuk Kecamatan Dongko, potensi untuk menghasilkan pupuk kompos tidak sebesar Kecamatan Lembang.  Jumlah ternak di wilayah ini masih
sedikit,  sehingga  kapasitas  untuk  menghasilkan  feses  sebagai  bahan  baku kompos  juga  terbatas.  Dalam  satu  tahun  wilayah  Dongko  dapat  menghasilkan
5.650  ton  pupuk  kompos  yang  nilainya  mencapai  Rp.  565.000.000.    Nilai  yang tidak  sedikit  jumlahnya  jika  harus  dikeluarkan  dari  uang  kelompok  tani.  Namun
demikian,  model  LEISA  tetap  dianjurkan  untuk  dilaksanakan  di  Kecamatan
116
Dongko. Peningkatan jumlah ternak yang dipelihara akan semakin meningkatkan efektiifitas model yang dapat diukur berdasarkan akumulasi penghematan biaya.
Hasil  simulasi  sistem  dinamis  menunjukkan  keuntungan  yang  diperoleh petani berupa akumulasi penghematan biaya menunjukkan tren yang meningkat
secara  linier  Tabel  6.5.  Dalam  satu  tahun,  jika  seluruh  kotoran  ternak  feses dan  urine  diolah  lebih  lanjut  menjadi  kompos,  pupuk  cair  dan  biogas  maka
masyarakat mendapatkan keuntungan  dalam bentuk  penghematan  sebesar  Rp. 6.844.278.833  untuk  Kecamatan  Lembang  dan  Rp.1.298.287.172  untuk
Kecamatan Dongko. Selama suplai bahan baku berupa kotoran ternak dan urine dapat  dipertahankan,  maka  tren  akumulasi  penghematan  yang  diperoleh
meningkat  secara  linier  dari  tahun  ke  tahun.  Nilai  tersebut  belum  termasuk manfaat  jasa  lingkungan  yang  diperoleh  masyarakat  dengan  terhindarnya
sumber air dari pencemaran limbah. Tabel 6.5.  Manfaat Akumulasi Penghematan Jika Menerapkan Sub Model LEISA
No  Waktu Lembang
Dongko
1 1 Januari 2009
2 1 Januari 2010
Rp. 6.844.278.833 Rp.1.298.287.172
3 1 Januari 2011
Rp.13.688.577.667 Rp.2.596.574.344
4 1 Januari 2012
Rp.20.532.836.500 Rp.3.894.861.516
5 1 Januari 2013
Rp.27.377.115.333 Rp.5.193.148.688
6 1 Januari 2014
Rp.34.221.394.167 Rp.6.491.435.860
7 1 Januari 2015
Rp.41.065.673.000 Rp.7.789.723.032
8 1 Januari 2016
Rp.47.909.951.833 Rp.9.088.010.204
9 1 Januari 2017
Rp.54.754.230.667 Rp.10.386.297.376
10 1 Januari 2018
Rp.61.598.509.500 Rp.11.684.584.548
11 1 Januari 2019
Rp.68.442.788.333 Rp.12.982.871.720
6.2. Sub Model Pengelolaan Lahan Berkelanjutan