151
selalu  gagal  dan  menyedihkan.    Bila  potensi  ekonomi  masyarakat  disatukan dengan  cara  yang  benar,  tidak  mustahil  bisa  menciptakan  kekuatan  ekonomi
yang  dahsyat.  Bukan  sebagai  perusahaan  besar,  tetapi  sebagai  koperasi  yang menghidupi dan menyejahterakan ribuan anggotanya
Pemahaman  terhadap  peran  para  pelaku  agribisnis  dan  hubungan  kerja di  antara  mereka  akan  memudahkan  pengambil  keputusan  untuk  memperbaiki
sistem  pemasaran  di  wilayah  masing-masing.  Gambar  6.7  berikut  ini menjelaskan  jalur  pemasaran  produk  pertanian,  informasi  produk  dan  sumber
permodalan yang dapat dikembangkan di wilayah penelitian.
Keterangan: Penjualan
Informasi Pinjaman modal dan informasi
Gambar 6.7.  Jalur Pemasaran, Informasi dan Sumber permodalan
6.5. Sub Model Kebijakan Publik
Melakukan analisis terhadap kebijakan publik merupakan suatu hal yang sangat  strategis  dan  penting  dilakukan  sebelum  menyusun  satu  model
pengelolaan  kawasan.  Implementasi  suatu kebijakan  secara  tepat  diyakini  akan
Koperasi Eksportir
Supplier Pedagang retail
Konsumen Pasar induk
Pasar tradisional Pedagang pengumpul
Bandar
Petaniprodusen PPL
Distributor pupuk pestisida
Kedai pupuk dan obat-obatan
Lembaga keuangan miko
Industri pengolahan
152
berdampak  langsung  terhadap  kinerja  aparat  di  daerah  dan  mempengaruhi kondisi  kehidupan  masyarakat.  Kebijakan  yang  berpihak  dan  mengakomodasi
kepentingan  mayoritas  akan  memberikan  manfaat  yang  besar  bagi  masyarakat sebagai  beneficiaries  dari  kebijakan  tersebut,  sebaliknya  kebijakan  yang  tidak
berpihak  dan  mengabaikan  kepentingan  mayoritas  akan  memberikan  dampak buruk  bagi  kehidupan  masyarakat  yang  kadang  kala  juga  berdampak  dalam
jangka yang panjang. Lahan  dataran  tinggi  yang  terdapat  di  wilayah  penelitian  pada  awalnya
merupakan hutan yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan dan konservasi sumberdaya  alam.  Namun  secara  berangsur-angsur  berubah  jenis  penggunaan
nya  menjadi  lahan  pertanian  seiring  dengan  berkurangnya  lahan  pertanian produktif di dataran rendah.
Dapat dipahami bahwa upaya untuk mencegah terjadinya konversi hutan menjadi  lahan  pertanian  tidah  mudah  dilakukan.  Departemen  Kehutanan  telah
membuat grand desain untuk menyelamatkan hutan, namun program kerjasama antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa di sekitar hutan dalam bentuk
PHBM  terus  dilaksanakan.    Kegiatan  ini  diduga  menjadi  salah  satu  penyebab cepatnya laju perubahan hutan menjadi lahan pertanian, sehingga perlu ditinjau
kembali perangkat aturan yang mengatur kerjasama tersebut.  Jika tidak disertai aturan  yang  jelas  dan  sanksi  yang  tegas,  kerjasama  tersebut  berpotensi
menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah di masa mendatang. Seperti  yang  terjadi  di  Kecamatan  Dongko,  hutan  produksi  yang
dikerjasamakan dengan masyarakat ditanami dengan ubi kayu dan jagung tanpa disertai  perlakuan  konservasi  yang  memadai.  Petani  cenderung  mengabaikan
kondisi  lingkungan  alaminya,  karakteristik  fisik  serta  daya  dukung  wilayahnya. Dampak  yang  ditimbulkan  dari  perubahan  fungsi  hutan  tersebut  yang  paling
mudah  diukur  adalah  terjadinya  erosi  tanah  yang  dipercepat.    Memperhatikan kenyataan  yang  terjadi  dan  banyaknya  pihak  yang  terkait  dengan  pemanfaatan
lahan  dataran tinggi,  akan  lebih  efektif  jika stakeholders  terkait  dilibatkan  dalam penyusunan usulan kebijakan yang mengatur pemanfaatan lahan tersebut.
Penetapan  kebijakan  menggunakan  teknik  AHP  dalam  penelitian  ini dimaksudkan  agar  keputusan  yang  diambil  telah  mengakomodasikan  pendapat
dari multipihak stakeholders terkait. Hal ini diperkuat oleh keinginan masyarakat setempat  untuk  menyelesaikan  konflik  pemanfaatan  ruang  di  wilayah  mereka
dengan  cara  memberikan  pendapat  pada  saat  penyusunan  alternatif  kriteria.
153
Adapun  kriteria  yang  ditetapkan  untuk  dapat  mewujudkan  goal  tersebut disesuaikan  dengan  hasil  diskusi  melalui  FGD  yang  dilakukan  di  wilayah
Lembang  dan  di  wilayah  Dongko.    Oleh  karena  itu  terdapat  perbedaan  kriteria yang digunakan untuk masing-masing wilayah.
Kriteria  yang  digunakan  untuk  menilai  keberhasilan  pelaksanaan  model ecofarming  di  Lambang  adalah  :  Produksi  Pangan  Berkualitas,  Kualitas  Tanah,
Air  dan  Udara  Terjaga,  Peningkatan  Pendapatan  Masyarakat,  Pertumbuhan Wilayah  dan  Berkembangnya  Agrowisata.    Kriteria  di  Kecamatan  Dongko
disepakati sebagai  berikut:  Diversifikasi Pangan Keluarga,  Meningkatnya Solum Tanah  dan  Air  Bersih,  Meningkatnya  Pendapatan  Masyarakat,  Produktivitas
Lahan meningkat dan Berkembangnya Ekowisata. Terdapat  4  alternatif  kebijakan  yang  dapat  dilakukan  untuk memperbaiki
pengelolaan lahan menggunakan model ecofarming.  Kebijakan tersebut meliputi Penetapan Secara Tegas Kawasan Budidaya dan Lindung, Jaminan Pemerintah
Terhadap  Pemasaran  Produk  dan  Faktor  Produksi,  Koordinasi  Lintas  Sektor Dalam  Bentuk  Program  Terpadu  dan  Pembinaan  Teknik  Budidaya,  Konservasi
dan Promosi Wilayah Secara Intensif.  Struktur AHP dan hasil pembobotan untuk dua Kecamatan wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.8 dan 6.9.
Berdasarkan  hasil  analisis  terhadap  alternatif  kriteria  yang  paling menentukan  keberhasilan  pencapaian  goal  menunjukkan  bahwa  kualitas  tanah,
air  dan  udara  mendapatkan  bobot  tertinggi  sebesar  0,3874  untuk  Kecamatan Lembang.  Untuk  Kecamatan  Dongko,  kriteria  meningkatnya  solum  tanah  dan
ketersediaan  air  bersih  dianggap  paling  berperan  dengan  bobot  0,3427. Penetapan kedua kriteria tersebut sangat tepat, karena kualitas tanah dan air di
ke dua wilayah penelitian pada saat ini cukup rendah. Kriteria  pertumbuhan  wilayah  sebagai  indikator  keberhasilan  dalam
pelaksanaan model dianggap tidak penting untuk wilayah Lembang.  Bobot yang diperolehuntuk kriterian ini paling rendah  yaitu 0,0646.  Hal ini dipengaruhi oleh
pertumbuhan  sektor  pariwisata  Lembang  yang  jauh  lebih  pesat  dibandingkan pertanian,  sehingga  memeberikan  kontribusi  yang  lebih  besar  terhadap
perkembangan  wilayah.  Berbeda  halnya  dengan  Kecamatan  Dongko,  kriteria diversifikasi  pangan  mendapatkan  bobot  yang  paling  rendah  sebesar  0,1104.
Alasan yang memperkuat pilihan tersebut adalah fakta yang menunjukkan bahwa masyarakat Dongko tidak mengandalkan beras sebagai sumber pangan utama.
154
Stakeholders  yang  oleh  pakar  dianggap  paling  berperan  menentukan keberhasilan  pelaksanaan  model  di  Kecamatan  Lembang  adalah  masyarakat
konsumen  dan  pemerintah.  Masyarakat  mendapatkan  bobot  0,2555  dan pemerintah  sebesar  0,2529.    Untuk  daerah  wisata  seperti  Lembang,  konsumen
adalah  utama  dan  pemerintah  menjalankan  kewajibannya  sebagai  regulator. Oleh  karena  itu  pengembangan  model  di  wilayah  ini  tidak  dapat  mengabaikan
begitu saja persepsi dan keingingan konsumen. Untuk  Kecamatan  Dongko,  produsen  yaitu  petanipeternak  dianggap
paling  berperan  menentukan  keberhasilan  model  dengan  bobot  0,2127  diikuti oleh masyarakat sebesar 0,2119. Peran Perum Perhutani yang sebagian wilayah
konsesinya dikerjasamakan dengan masyarakat ternyata dianggap tidak memiliki peran  penting  dalam  mewujudkan  pelaksanaan  model.    Hal  ini  diduga  karena
selama ini pihak desa dan kecamatan sulit untuk berkoordinasi dengan petugas Perhutani karena kehadirannya selalu diwakilkan olah pengurus LMDH.
Hasil  akhir  yang  diperoleh  dalam  penetapan  alternatif  kebijakan menunjukkan  bahwa  pemerintah  perlu  merumuskan  kebijakan  yang  lebih
operasional  untuk  memisahkan  secara  tegas  batas-batas  kawasan  lindung  dan kawasan  yang  boleh  dimanfaatkan  untuk  budidaya  pertanian  tanaman  dan
ternak.    Alternatif  kebijakan  ini  mendapatkan  bobot  tertinggi  di  ke  dua  wilayah penelitian yaitu 0,3268 untuk Kecamatan Lembang dan 0,4285 untuk Kecamatan
Dongko.    Besarnya  nilai  rasio  konsistensi  CR  pada  setiap  level  berada  pada kisaran  angka  kurang  dari  10.    Hasil  tersebut  menunjukkan  bahwa  pakar
paham  atas  permasalahan  yang  terjadi  dan  konsisten  dalam  memberikan penilaian.    Hasil  penelitian  ini  memperkuat  pendapat  banyak  pakar  yang
menyatakan  bahwa  Undang-Undang  dan  Peraturan  yang  sudah  ada  belum dilaksanakan secara optimal.
Penetapan batas kawasan lindung dan budidaya di dataran tinggi sangat penting  dilakukan  karena  risiko  kerusakan  lingkungan  yang  ditimbulkan  akan
berdampak ke wilayah yang lebih luas.  Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk  memudahkan  pelaksanaan  tersebut  adalah  menyatukan  pemahaman
setiap  level  pemerintah  pada  pencapaian  tujuan  utama  main  goal pembangunan  berkelanjutan  yaitu  memenuhi  kebutuhan  generasi  sekarang
tanpa mengorbankan kemampuan  generasi  yang  akan  datang  untuk memenuhi kebutuhan  mereka  sendiri.    Hasil  analisis  menggunakan  AHP  selengkapnya
dapat dilihat Gambar 6.8 dan 6.9 berikut ini.
155
Gambar 6.8.  Hasil Teknik AHP Penetapan Alternatif Kebijakan Yang Mendukung Model Ecofarming di Kecamatan Lembang Kriteria
Aktor
Alternatif
Produksi pangan berkualitas 0,2772
Kualitas tanah, air dan udara terjaga 0,3874
Peningkatan pendapatan masyarakat 0,1647
Pertumbuhan wilayah 0,0646
Masyarakat konsumen
0,2555 Produsen Petani
Peternak 0,1918 Pengusaha pariwisata
Perhutani, pengusaha hotel, restoran, wisata alam 0,2045
Penetapan secara tegas kawasan budidaya produksi
sayuran dan susu dalam satu pengelolaan terintegrasi lintas
sektor instansi 0,3268 Jaminan pemasaran dan sarana
produksi melalui pola kemitraan usaha Pemerintah-Koperasi
perusahaan agribisnis 0,2458 Koordinasi program terpadu
pertanian, peternakan, perhutani, kehutanan, pariwisata
tingkat Kecamatan 0,1655 Pembinaan teknis, konservasi,
produksi dan promosi sebagai sentra sayuran, susu dan
agrowisata 0,2619 Pedagang antara KPSBU
Pedagang sayuran 0,0953 Berkembangnya agro-
wisata  0,1061
Pemerintah 0,2529
Model Ecofarming Menjamin Keberlanjutan Usaha Masyarakat dan
Kelestarian Lingkungan di Lembang Tujuan
156
Gambar 6.9.  Hasil Teknik AHP Penetapan Alternatif Kebijakan Yang Mendukung Model Ecofarming di Kecamatan Dongko
Kriteria
Aktor
Alternatif
Diversifikasi pangan keluarga 0,1104
Meningkatnya solum tanah dan ketersediaan
air bersih 0,342 Peningkatan pendapatan
masyarakat 0,2597 Produktivitas pertanian
meningkat 0,1674
Masyarakat konsumen 0,2119
Produsen Petani Peternak 0,2127
Perhutani 0,0920
Penetapan secara tegas kawasan  lindung dan
budidaya 0,4285 Jaminan pemasaran dan sarana
produksi melalui pola kemitraan usaha pemerintah-Koperasi
asosiasi agribisnis 0,1356 Koordinasi program terpadu
pertanian, peternakan, dan kehutanan 0,2196
Pembinaan teknis, konservasi, produksi dan promosi sebagai
sentra pertanian susu dan ecowisata 0,2162
Pedagang, industri PHP 0,1308
Berkembangnya ekowisata
0,1198
Pemerintah daerah 0,1754
Model Ecofarming Menjamin Keberlanjutan Agribisnis Masyarakat dan
Kelestarian Lingkungan di Dongko
Pemodal Bank 0,0921
LSM 0,1121
Tujuan
157 Dari  hasil  analisis  5  sub  model  dan  pendapat  yang  disampaikan  oleh
pakar, maka ditetapkan 11 variabel dominan yang digunakan untuk membangun struktur model ecofarming agar model yang dibangun dapat merefleksikan sistem
yang sesungguhnya, yaitu: 1.  Proporsi tanaman semusim-tanaman tahunan
2.  Jumlah ternak 3.  Jumlah bahan organik tanah
4.  Produktivitas tanaman per satuan lahan 5.  Harga komoditas pertanian
6.  Harga input produksi pupuk, benih 7.  Laju erosi aktual
8.  Laju infiltrasi air disimpan 9.  Laju aliran permukaan drainase
10. Pertumbuhan rumah tangga pertanian RTP 11. Intervensi pemerintah
158
VII. DESAIN MODEL ECOFARMING DAN SIMULASI
ALTERNATIF SKENARIO
Desain  model  pemodelan  ecofarming  dimaksudkan  untuk  membuat sebuah abstraksi atau perwakilan dari situasi aktual yang diharapkan jika model
tersebut  dilaksanakan.    Pemodelan  ecofarming  dalam  penelitian  ini  juga ditujukan untuk mengetahui perubahan perilaku usahatani lahan dataran tinggi di
Kecamatan  Lembang  dan  Kecamatan  Dongko  pada  masa  yang  akan  datang terkait  dengan  kemampuannya  dalam  menyediakan  fungsi  lindung  sebagai
daerah  resapan  air  sekaligus  sebagai  fungsi  budidaya  yang  memberikan berbagai manfaat produksi dan ekonomi bagi masyarakat setempat.
Ecofarming  sebagai  salah  satu  model  pengelolaan  sumberdaya  alam yang  mengutamakan  keberlanjutan  ekosistem,  bukanlah  sebuah  kondisi  yang
tetap  dan  statis.  Model  ini  merupakan  proses  perubahan  yang  konsisten terhadap  pemenuhan  kebutuhan  pada  saat  ini  dan  juga  kebutuhan  di  masa
mendatang  serta  memahami  adanya  keterbatasan  lingkungan  dalam  menerima perubahan tersebut.  Dengan demikian, akan diketahui pendugaan keberlanjutan
pemanfaatan  lahan  dataran  tinggi  untuk  pertanian  pada  masa  mendatang dengan factor-faktor yang berubah menurut waktu.
7.1. Desain Model Ecofarming
Struktur  model  ecofarming  dibangun  melalui  2  tahapan  yaitu:  1 menetapkan  variabel  kunci  dan  variabel  dominan  yang  berpengaruh  terhadap
sistem dan 2 menetapkan data teknis pendukung sebagai cerminan kebutuhan stakeholders dan formulasi masalah yang sedang dihadapi di wilayah penelitian.
Untuk menghemat waktu, biaya dan tenaga maka kedua tahapan tersebut dapat dilakukan secara simultan.
Hasil  analisis  yang  telah  dilakukan  menunjukkan  bahwa  struktur  model ecofarming  dibangun  oleh  dua  kelompok  variabel  yaitu  1  atribut  sensitif  yang
menjadi  variabel  pengungkit  hasil  analisis  Leverage  Bab  5  dan  2  variabel dominan  yang  diperoleh  dari  hasil  analisis  terhadap  5  sub  model  yang
berpengaruh terhadap sistem usahatani lahan dataran tinggi Bab 6.   Gambar 7.1  berikut  ini  adalah  struktur  model  ecofarming  yang  dibangun  berdasarkan
pertimbangan variabel pengungkit dan variabel dominan tersebut.