1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemanfaatan  lahan  dataran  tinggi  untuk  pertanian  menunjukkan kecenderungan  trend  yang  meningkat,  seiring  dengan  meningkatnya  konversi
lahan  pertanian  produktif  ke  pemanfaatan  non  pertanian  di  dataran  rendah. Dariah 2007 menegaskan bahwa 45 wilayah Indonesia adalah perbukitan dan
pegunungan sehingga pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menjadi sangat  strategis  manakala  lahan  pertanian  di  dataran  rendah  tidak  dapat
dipertahankan lagi. Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian, mampu menghasilkan
berbagai  jenis  tanaman  seperti  hortikultura,  perkebunan,  pangan  dan  hasil peternakan.    Selain  memberikan  manfaat  ekonomi  bagi  jutaan  petani,  lahan
dataran  tinggi  juga  berperan  penting  dalam  menjaga  fungsi  lingkungan  daerah aliran  sungai  DAS  dan  penyangga  daerah  di  bawahnya.    Perubahan  bentuk
penutupan  lahan  dari  hutan  menjadi  lahan  pertanian  atau  ke  pemanfaatan lainnya seperti perumahan, menyebabkan peluang terjadinya erosi di wilayah ini
sangat  tinggi.    Curah  hujan,  kemiringan  lereng  dan  kondisi  tanah  yang  tidak stabil sangat menentukan besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi  Truman
et al., 2003.  Oleh karena itu pemerintah menetapkan berbagai undang-undang dan  peraturan  agar  laju  perubahan  fungsi  kawasan  lindung  menjadi  kawasan
budidaya di wilayah dataran tinggi tidak semakin meluas. Penerapan  teknik  pengelolaan  yang  tidak  tepat  akan  menyebabkan
terjadinya  eksploitasi  lahan  dataran  tinggi  secara  berlebihan  dan  menimbulkan kerusakan  lingkungan  yang  meluas.    Publikasi  laporan  mengenai  kerusakan
lingkungan  yang  terjadi  akibat  eksploitasi  dan  kesalahan  dalam  pengelolaan agroekosistem  lahan  dataran  tinggi  telah  banyak  beredar.    Sebagian  besar
menegaskan  bahwa  telah  terjadi  degradasi  kualitas  lahan  dan  air  yang  cukup parah  dan menimbulkan  dampak yang  tidak  bisa  diabaikan terhadap kehidupan
masyarakat setempat maupun masyarakat yang lebih luas di bagian hilir.  Reed 2002 memperkuat hal tersebut dengan menyatakan bahwa masalah degradasi
lingkungan  telah menjadi  gejala  umum  dalam  masyarakat  perdesaan  di  negara berkembang, terutama dalam masyarakat yang masih dihadapkan pada masalah
pemenuhan kebutuhan dasar dan kemiskinan.
2 Sedikitnya  terdapat  empat  hal  yang  mencerminkan  kondisi  pertanian  di
lahan  dataran  tinggi  pada  saat  ini.  Pertama,  usahatani  semakin  tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi
keluarganya.    Kedua,  menurunnya  daya  dukung  lingkungan  yang  ditunjukkan oleh  meningkatnya  kerusakan  lingkungan  dan  rendahnya  produktivitas  lahan.
Ketiga,  meningkatnya  curah  hujan  bulanan  pada  waktu-waktu  tertentu  akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman
sehingga  mengakibatkan  gagal  panen  dan  kerugian  materi  yang  tidak  sedikit Anyamba  et  al.,  2006.  Keempat,  hilangnya  kemampuan  masyarakat  untuk
membangun  modal  sosial  social  capital  sehingga  mereka  tidak  mampu mengendalikan  terjadinya  kerusakan  lingkungan  dan  sangat  tergantung  kepada
modal usaha yang berasal dari luar. Meskipun  budidaya  pertanian  di  lahan  dataran  tinggi  menghadapi
permasalahan  yang  kompleks,  tetapi  masyarakat  lokal  terutama  petani  tetap berusaha mempertahankannya.  Upaya pemerintah untuk mengembalikan lahan
dataran  tinggi  sebagai  kawasan  lindung  dengan  cara  menghutankan  kembali, menjadi alternatif penyelesaian yang sulit dilakukan.  Bagi petani, bertani adalah
cara  hidup  way  of  life  dan  bagi  pemilik  lahan,  kepemilikan  atas  tanah  adalah segalanya harga diri sehingga harus dipertahankan Pranadji, 2006.  Relokasi
lahan  membutuhkan  biaya  yang  besar,    yaitu  biaya  ganti  rugi  tanah  dan  biaya sosial yang ditimbulkan oleh penolakan masyarakat.
Pada  batasan-batasan  tertentu  dan  jika  dikelola  berdasarkan  prinsip- prinsip  berkelanjutan,  sebenarnya  lahan  dataran  tinggi  berpotensi  sangat  besar
sebagai penghasil pangan yang ramah lingkungan Hidayat dan Mulyani, 2002. Dalam  pelaksanaannya,  tetap  harus  memperhatikan:  kesesuaian  jenis
pemanfaatan  dengan  kondisi  lahan  dan  peraturan  yang  berlaku,  pengendalian terhadap  sumber  utama  penyebab  lahan  menjadi  kritis,  budidaya  konservasi
demi  keberlanjutan  fungsi-fungsi  dalam  ekosistem,  kondisi  sosial-ekonomi- budaya  petani  pengelola  lahan,  jenis  tanah  dan  agroklimat  setempat  serta
prospek pengembangan kawasan sebagai sistem produksi pangan. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, diperlukan satu model
pengelolaan agroekosistem yang dapat memberikan kepastian penghasilan bagi peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitarnya, menjaga stabilitas
sosial  yang  dinamis  dan  mempertahankan  kelestarian  lingkungan.    Untuk  itulah perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan model pengelolaan
3 agroekosistem  yang  berkelanjutan.  Model  pertanian  berbasis  ekologi
ecofarming  sebagai  hasil  dari  penelitian  ini  diharapkan  dapat  menjadi rekomendasi untuk kebijakan pembangunan pertanian lahan dataran tinggi yang
saat ini sedang menghadapi permasalahan yang kompleks.
1.2.
Perumusan Masalah
Dataran  tinggi  memiliki  fungsi  lindung  utama  sebagai  daerah  tangkapan air  water  catchment  area.    Fungsi  tersebut  diyakini  hanya  dapat  berlangsung
jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan atau vegetasi  hutan.    Perakaran  tanaman tahunan  yang  dalam memiliki kemampuan
untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun kenyataannya  luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang,
berubah  menjadi  kawasan  budidaya  untuk  pemanfaatan  pertanian  dan pemukiman.    Masyarakat  cenderung  mengabaikan  risiko  kerusakan  lingkungan
yang dapat ditimbulkan akibat perlakuan tersebut. Demikian  halnya  dengan  lahan  dataran  tinggi  yang  terdapat  di  wilayah
penelitian.    Kawasan  dengan  kemiringan  lereng    40  sebagian  besar  telah dimanfaatkan  oleh  masyarakat  sebagai  lahan  pertanian.  Kondisi  topografi
wilayah  yang  berbukit-bergunung  membuat  masyarakat  tidak  memiliki  alternatif lokasi lain untuk kegiatan pertaniannya.  Budidaya secara intensif dalam jangka
waktu  yang  lama  seperti  di  Kecamatan  Lembang  dan  Kecamatan  Dongko  telah menimbulkan  masalah  serius  baik  ditinjau  dari  aspek  ekologi,  sosial  maupun
ekonomi. Dari  aspek  ekologi,  permasalahan  terjadi  akibat  pola  usahatani  yang
dilakukan  bersifat  monokultur,  didominasi  oleh  tanaman  semusim  dan  jenis komoditas  yang  dibudidayakan  sangat  terbatas.  Masyarakat  juga  belum
melakukan  tindakan  konservasi  yang  memadai  meskipun  lahan  pertanian mereka  berlokasi  di  lahan  yang  miring.    Bahkan  ditemukan  indikasi  meluasnya
kawasan  budidaya  di  lahan  dataran tinggi  sejalan  dengan  dibukanya  kerjasama Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan untuk memanfaatkan sebagian
hutan  untuk  kegiatan  pertanian.    Sehingga  tidak  mengherankan  jika  laju  erosi meningkat seiring dengan meluasnya areal terbuka di wilayah dataran tinggi.
Erosi  dapat  mengakibatkan  degradasi  lahan  pertanian  dataran  tinggi, pendangkalan  sungai  dan  terganggunya  sistem  hidrologi  daerah  aliran  sungai
DAS yang mendorong terjadinya banjir dan kekeringan di bagian hilir.  Bencana banjir  dilaporkan  telah  menenggelamkan  sebagian  besar  wilayah  Kabupaten
4 Trenggalek  pada  awal  tahun  2006,  2007  dan  2008.    Demikian  pula  kejadian
banjir  yang  terjadi  disekitar  DAS  Cikapundung  dan  DAS  Citarum  Jawa  Barat. Fenomena  ini  menjadi  peristiwa  rutin  yang  selalu  dihadapi  masyarakat  setiap
musim hujan.  Keadaan tersebut membuktikan bahwa erosi yang terjadi di bagian atas  wilayah  tersebut  tidak  hanya  mengakibatkan  terbentuknya  lahan  kritis,
namun juga menimbulkan sedimentasi yang menghambat aliran air di sepanjang alur  drainase  sehingga  mengakibatkan  banjir  Siswanto  dan  Suharjono,  2006.
Penelitian  Poerbandono  et  al.,  2006  menyebutkan  laju  sedimentasi  di  DAS Citarum hulu telah meningkat dua kali lipat selama satu dasawarsa, ditunjukkan
oleh peningkatan laju sedimentasi tahunan dari sebesar 1,18 juta ton pada tahun 1993 menjadi sebesar 2,15 juta ton pada tahun 2003.
Erosi juga mengakibatkan hilangnya lapisan top soil yang subur sehingga menjadi  pemicu  meningkatnya  penggunaan  pupuk  kimia  di  lahan  pertanian.
Untuk  wilayah  Kecamatan  Lembang,  pemakaian  pestisida  secara  berlebihan diduga  telah  meninggalkan  residu  yang  mencemari  produk  sayuran  yang
dihasilkan.  Semua  hal  tersebut  menyebabkan  menurunnya  kapasitas  daya dukung lingkungan.
Diperhatikan  dari  aspek  ekonomi,  keuntungan  yang  diperoleh  pada  saat panen  seringkali  tidak  cukup  untuk  memenuhi  kebutuhan  keluarga.  Beberapa
faktor  yang  diduga  menyebabkan  rendahnya  margin  keuntungan  yang  diterima oleh petani yaitu:
a.  Karakteristik  produk  pertanian  yang  cepat  rusak  dan  membutuhkan  tempat yang luas voluminous  menyebabkan harganya sangat fluktuatif tergantung
musim. b.  Rantai  pemasarannya  yang  panjang,  melibatkan  lebih  dari  satu  tingkat
pedagang  pengumpul,  pedagang  grosir,  prosesor  dan  pedagang  pengecer menyebabkan  harga  sayuran  di  tingkat  petani  umumnya  sangat  rendah
dibandingkan  dengan  harga  di  tingkat  pengecer.    Belum  lagi  biaya  tak terduga  yang  timbul  dari  pengutan  liar  yang  dilakukan  oleh  oknum-oknum
tertentu. c.  Penguasaan  lahan  yang  sempit  menyebabkan  usaha  tani  dilakukan  tanpa
manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha ekonomis.    Hal  ini  mengakibatkan  terjadinya  inefisiensi  yang  tinggi  dan
sulitnya menjaga kontinuitas produksi baik kuantitas maupun kualitasnya.
5 d.  Budidaya  intensif  mengakibatkan  tingginya  biaya  produksi  yang  harus
dikeluarkan  petani  untuk  benih,  pupuk,  pestisida  dan  pengolahan  tanah. Untuk  mendapatkan  modal  usahanya  petani  seringkali  harus  menjual
produksinya secara ijon. Namun  demikian,  bagi  petani  di  Kecamatan  Lembang  dan  Kecamatan
Dongko,  bertani  bukan  semata-mata  mencari  keuntungan  ekonomi.  Bertani adalah  suatu  cara  kehidupan,    oleh  karenanya  tetap  dilakukan  meskipun  tidak
selalu  memberi  keuntungan  materi.    Ditinjau  dari  aspek  sosial,  hal  ini  juga menimbulkan  beragam  permasalahan.    Seperti  misalnya:  munculnya  konflik
dalam kehidupan sosial masyarakat akibat lemahnya kualitas SDM sumberdaya manusia  dan  tidak  berfungsinya  kelembagaan  lokal  sebagai  dasar  kekuatan
komunitas  untuk  membangun  modal  sosial  masyarakat.    Kondisi  umum  dan permasalahan yang dihadapi saat ini oleh masyarakat di lokasi penelitian secara
ringkas dapat dilihat pada  Gambar 1.1.
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan  utama  penelitian  ini  adalah  membuat  model  ecofarming  di  lahan dataran tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.
Untuk  mencapai  tujuan  utama  tersebut,  dilakukan  tahapan  penelitian  dengan pencapaian setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Menetapkan indeks dan status keberlanjutan usahatani saat ini existing. 2.  Menetapkan variabel-variabel dominan model  ecofarming berdasarkan
analisis 5 sub model. 3.  Menetapkan desain model ecofarming.
4.  Mengetahui hasil simulasi model ecofarming. 5.  Menetapkan alternatif rekomendasi skenario strategis ecofarming untuk
rancangan kebijakan pembangunan pertanian.
6 Gambar 1.1.  Permasalahan dan Kondisi Umum di Lokasi Penelitian
Lahan Dataran Tinggi Berlereng
Pertanian
Ekonomi Sosial
Ekologi
Penguasaan lahan sempitsewaburuh
Biaya input produksi tinggi Harga fluktuatif
Rantai pemasaran yang panjang Pungutan liar
Kelembagaan lokal tdk berkembang
Kualitas SDM rendah Konflik sosial
Fasilitas  infrastruktur terbatas
Tingginya angka pengangguran
Meluasnya konversi lahan Erosi
Pencemaran oleh residu pestisida di tanah, air dan
produk Pola usaha dan jenis
komoditas terbatas
Tidak ada perlakuan konservasi lahan dan air
Menurunnya daya dukung lingkungan
Anomali iklim yang sulit diprediksi sehingga petani sering merugi
Hilangnya kemampuan masy. membangun modal sosial
Usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Longsor
7
1.4.
Kerangka Pemikiran
Intensitas  pemanfaatan  lahan  dataran  tinggi  di  Pulau  Jawa,  terutama Jawa  Barat  dan  Jawa  Timur  pada  saat  ini  sudah  sangat  tinggi.    Padahal,
kegiatan membuka  lahan  dataran  tinggi  dan  memanfaatkannya  untuk  pertanian tanaman  semusim  sangat  berisiko  terhadap  lingkungan.  Tekanan  jumlah
penduduk  yang  membutuhkan  pangan  dan  lapangan  pekerjaan  serta  target pencapaian  PAD  pendapatan  asli  daerah  seringkali  menjadi  penyebab
sebagian  besar  lahan  dataran  tinggi  di  Indonesia,  terutama  di  Pulau  Jawa berubah  fungsi  dari  kawasan  lindung  menjadi  kawasan  budidaya.    Sebagian
besar berubah menjadi lahan pertanian tanaman semusim seperti yang terjadi di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko.
Karakteristik  petani  di  wilayah  yang  terletak  pada  ketinggian  lebih  dari 1.000 m dpl seperti di Kecamatan Lembang, biasanya menanam berbagai jenis
sayuran. Pada wilayah yang ketinggiannya lebih rendah  900 m dpl seperti di Kecamatan Dongko, petani menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti
ubi kayu dan jagung. Konversi  daerah  konservasi  di  dataran  tinggi  juga  tidak  terlepas  dari
tekanan semakin sulitnya mendapatkan tanah di dataran rendah untuk kegiatan pertanian.  Pemerintah  daerah  menggunakan  alasan  kesesuaian  lahan  dan
agroklimat,  tingginya  aktivitas  pembangunan  fisik  di  dataran  rendah  dan meningkatnya  jumlah  penduduk,  serta kebutuhan  pangan  nasional  dan peluang
pasar  komoditas  pertanian  sebagai  penyebab  meningkatnya  konversi  lahan dataran tinggi.  Target pencapaian PAD juga berpengaruh terhadap tingginya laju
konversi  lahan  pertanian  produktif  di  dataran  rendah menjadi  bentuk usaha lain yang  dianggap  lebih  menguntungkan.    Semua  itu  mengakibatkan  peraturan
daerah  mengenai  RTRW  yang  sudah  dibuat  sebelumnya  untuk  mengatur pemanfaatan ruang dan wilayahnya, tidak lagi dipatuhi.
Hal  ini  jelas  bertentangan  dengan  UU  Tata  Ruang  No  26  Tahun  2007 yang  menyebutkan  bahwa  pemerintah  propinsi  mempunyai  wewenang
melakukan  perencanaan,  pemanfaatan  sekaligus  pengendalian  pemanfaatan ruang  wilayahnya.  Terkait  dengan  pemanfaatan  lahan  dataran  tinggi,
Departemen  Pertanian  juga  telah  mengeluarkan  Pedoman  Umum  Budidaya Pertanian  Pada  Lahan  Pegunungan  tahun  2006.    Buku  tersebut  dimaksudkan
sebagai panduan cara berusahatani di lahan dengan elevasi minimal 350 m dpl
8 dan kemiringan lereng 15  disebut sebagai lahan pegunungan agar laju erosi
yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan dapat dikendalikan. Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  pertanian  di  lahan  dengan
kemiringan  5  –  15  seperti  halnya  di  Jasinga  Bogor,  berpotensi mengakibatkan  erosi  tanah  sebesar  90,5  tonhath  Kurnia  et  al.,  1997.
Dilaporkan  pula  bahwa  erosi  pada  tanah  Andisol  di  Pacet  Cianjur  dengan kemiringan  lahan  9  -  22  telah  mencapai  252,0  tonhath.    Kesalahan  dalam
mengelola  lahan  dataran  tinggi  berisiko  tinggi  terhadap  kerusakan  lingkungan sekaligus menghilangkan sebagian dari multifungsi pertanian.  Salah satu contoh
multifungsi pertanian lahan dataran tinggi yang terkait dengan aspek lingkungan adalah dampak positif dari penerapan teknik konservasi di bagian hulu terhadap
lingkungan di sekitarnya.  Pengurangan laju sedimentasi di daerah hilir dari hasil penerapan konservasi di daerah hulu akan memberikan manfaat bagi pengguna
air  di  sepanjang  aliran  sungai  sekaligus  berfungsi  sebagai  pengendali  banjir. Oleh  karena  itu,  keputusan  memanfaatkan  lahan  dataran  tinggi  untuk  kegiatan
pertanian  seharusnya  berdasarkan  pertimbangan  manfaat  ekonomi,  sosial  dan ekologi  yang  akan  diperoleh.    Pemanfaatan  lahan  di  dataran  tinggi  yang  tidak
memperhatikan  prinsip-prinsip  berkelanjutan  jelas  menimbulkan  permasalahan yang kompleks.
Keberlanjutan  pertanian  di  daerah  peka  terhadap  erosi  juga  diragukan seiring  dengan  hilangnya  kemampuan masyarakat  setempat  untuk membangun
kekuatan  modal  sosial  social  capital  untuk  menjaga  kelestarian  sumberdaya alam  yang  dimilikinya.    Jika  stakeholders  yang  terdapat  di  wilayah  pengamatan
enggan  untuk  berpartisipasi  dalam  upaya  untuk  memperbaiki  lingkungannya, maka  tidak  seorangpun  dapat  menjamin  keberlanjutan  usaha  pertanian  yang
selama ini menjadi andalan penghasil pangan wilayah.  Stigma pertanian sebagai salah satu kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan akan semakin kuat
melekat.    Apalagi  ketergantungan  masyarakat  terhadap  input  modal  dari  luar sangat  tinggi,  hal  ini  jelas  menyebabkan  lemahnya  kekuatan  agroekosistem
sebagai  sebuah  kawasan  produksi  yang  dikelola  oleh  masyarakat  lokal.    Salah satu  acuan  utama  mengenai  modal  sosial  adalah  dari  Bank  Dunia  1988
menjelaskan bahwa : ”  The  social  capital  of  a  society  includes  the  institution,  the  relationship,  the
attitudes  and  value  that  govern  interaction  among  people  and  contribute  to  the economic  and  social  development…It  includes  the  shared  values  and  rules  for
social conduct expressed in personal relationships, trust and a common sense of
9 “civic”  responsibility,  that  makes  society  more  than  a  collection  of  individuals.
Without  a  degree  of  common  identification  with  form  of  governance,  cultural norms and social rules, it is difficult to imagine a functioning society”
Sesuai  dengan  prinsip  pembangunan  pertanian  berkelanjutan,  maka aspek  pengendalian  tidak  dapat  dipisahkan  dari  usahatani  lahan  dataran  tinggi.
Dari aspek ekologi, pengendalian erosi tanah secara mekanis dan vegetasi dapat mempertahankan  lapisan  top  soil  yang  subur,  sehingga  laju  sedimentasi  di
sungai  dan  badan  air  bagian  hilir  akan  berkurang  demikian  juga  penggunaan bahan  kimia  seperti  pupuk  dan  pestisida  sebagai  input  produksi.    Konservasi
yang  disertai  penerapan  tekonologi  LEISA  low  external  input  for  sustainable agriculture  akan  mengurangi  beban  lingkungan  untuk  menerima  limbah
sekaligus meningkatkan kemampuan daya dukungnya Reijntjes et al., 1992. Dari  aspek  ekonomi,  kesejahteraan  petani  yang  diperoleh  dari
peningkatan  pendapatan  usahataninya  dapat  tercapai  jika  agribisnis  dikelola berbasis kawasan yang didukung oleh pasar komoditas yang fair Irawan, 2003.
Pengalaman  menunjukkan  bahwa  pengelolaan  usahatani  sendiri-sendiri  dan mengandalkan  lahan  yang  sempit  hanya  akan  membuat  usahatani  bersifat
subsisten.  Demikian halnya dengan sistem penetapan harga yang diberlakukan oleh  tengkulak  kepada  petani,  mengakibatkan  sebagian  besar  dari  margin
keuntungan dimiliki oleh tengkulak sebagai pedagang pengumpul. Dari aspek sosial, penguatan kelembagaan sosial masyarakat merupakan
prioritas  yang  harus  dilakukan  untuk  meningkatkan  kemampuan  lokal  dalam mempertahankan  kelestarian  lingkungan  dan  membangun  modal  usaha  secara
bersama Saptana et al., 2004.  Pemerintah mendukung upaya tersebut dengan menerapkan  kebijakan  pembangunan  pertanian  berkelanjutan  secara  konsisten
yang berpihak kepada petani selaku produsen. Pembangunan  pertanian  berkelanjutan  pada  hakekatnya  adalah
memproduksi  bahan  pangan  dan  melestarikan  basis  sumberdaya  pertanian Reeve,  1990.  Istilah  yang  digunakan  untuk  menjelaskan  terminologi  tersebut
mengacu  kepada  pertanian  berbasis  ekologi  ecological  agriculture,  seperti: ecofarming,  eco-development,  low-external  input  agriculture  LEIA,  dan  site
appropriate  agriculture.  Namun  demikian,  semua  istilah  yang  digunakan  masih dalam satu pemahaman yaitu “pertanian yang berkelanjutan”.
Ecofarming  adalah  bentuk  budidaya  pertanian  yang  mengusahakan sedapat  mungkin  tercapainya  keharmonisan  dengan  lingkungannya.  Meskipun
Jerman  menjadi  negara  pertama  yang  menemukan  metodenya,  namun  pada
10 saat  ini  China  yang  paling  berhasil  mengembangkan  pertaniannya  dengan
ecofarming Public Medline Index Development , 1993. Pengelolaan  usahatani  menggunakan  model  ecofarming  memiliki  ciri
utama  keanekaragaman,  sehingga  tidak  dibatasi  oleh  jenis  komoditas  tertentu. Dalam  ecofarming  diperbolehkan  menggunakan  komponen  pepohonan  atau
tumbuhan  berkayu  lainnya,  sehingga  dapat  disebut  agroforestri.  Unsur peternakan  juga  menjadi  bagian  dalam  model  ini,  karena  bermanfaat  sebagai
sumber  bahan  organik  yang  dapat  diolah  menjadi  pupuk  dan  sumber  energi. Petani  sebagai  pelaku  utama  dalam  model  ini,  tetap  diperbolehkan  menanam
tanaman semusim sebagai sumber bahan pangan dan pendapatan dalam waktu yang  cukup  singkat,  namun  harus  dikombinasikan  dengan  tanaman  tahunan
sebagai tanaman konservasi. Dengan pola seperti itu, maka model ecofarming diyakini dapat menjamin
berlangsungnya  fungsi  lindung  dan  fungsi  budidaya  di  wilayah  dataran  tinggi. Model  ini  tidak  hanya  memberikan  manfaat  ekonomi  bagi  masyarakat  dalam
bentuk produksi pertanian, namun juga manfaat sosial dan ekologi dalam bentuk jasa lingkungan yang disediakan oleh kawasan agroekosistem.
Model  ecofarming  diharapkan  juga  menjadi  win-win  solution  bagi pemerintah  daerah  yang  ingin  mengembalikan  fungsi  wilayah  dataran  tinggi
sebagai  kawasan  lindung  dan  bagi  masyarakat  yang  menggantungkan kelangsungan  hidupnya  dari  usahatani  di  wilayah  tersebut.    Dalam  jangka
panjang,  implementasi  ecofarming  secara  konsisten  dan  didukung  oleh  seluruh stakeholders  terkait,  akan  berperan  penting  dalam  mewujudkan  ketahanan
pangan wilayah dan nasional.  Hal ini tidak terlepas dari pencapaian keberhasilan pada  indikator  penting  yang  digunakan  untuk  menilai  pembangunan  ketahanan
pangan  yaitu  keberlanjutan  usahatani,  peningkatan  kesejahteraan  petani  dan kelestarian  lingkungan.  Kerangka  pemikiran  dari  penelitian  ini  seperti  yang
terdapat pada Gambar 1.2.
11
1.5.
Kebaruan Penelitian Novelty
Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penyatuan berbagai sub model yang  digunakan  untuk menyelesaikan permasalahan  pertanian di  lahan  dataran
tinggi  dalam  satu  grand  design  holistik  yang  mencakup  aspek  sosial,  ekonomi dan  ekologi  serta  memperhatikan  karakteristik  agroekosistem  setempat  dan
prinsip pengelolaan sebuah kawasan.
Gambar 1.2.  Kerangka Pemikiran Model Ecofarming Di Lahan Dataran Tinggi yang Dimanfaatkan untuk Pertanian
Perda RTRW Ketahanan Pangan Nasional
PAD Pangan
Pekerjaan Ekonomi
Kawasan Lindung di Dataran Tinggi
Kawasan Budidaya Lembang dan Dongko
Model Ecofarming di Lahan Dataran Tinggi
UUTR 262007
Konversi
Erosi Tinggi
Kesesuaian Agroklimat
Penerapan teknologi  LEISA
Kebijakan publik yang mendukung Penguatan modal sosial
Pengelolaan lahan terpadu Agribisnis - Pemasaran
Fungsi Lindung
Tidak Berkelanjutan
Pengelolaan kawasan Fungsi Budidaya
12
II. TINJAUAN PUSTAKA