4 Analisis regresi Untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan f
terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan CPUE digunakan analisis regresi. Persamaan regresi linear sederhana dimaksudkan untuk
mengetahui besarnya pengaruh antar peubah, dan bisa juga untuk mengetahui meramal nilai satu atau lebih peubah Harahap 1987 diacu dalam Batubara
1999. Analisis terhadap hubungan antara upaya penangkapan effort dengan
CPUE diperoleh dengan menggunakan analisis kuadrat terkecil, yaitu dengan cara meminimumkan error simpangan. Hubungan fungsi tersebut adalah :
Y = + x + e………………………………………………………..7
Keterangan : Y
= peubah tak bebas CPUE dalam tontrip x
= peubah bebas effort dalam trip e
= simpangan , = parameter regresi penduga nilai a dan b
Kemudian diduga dengan fungsi dugaan yaitu : Ŷ = a + bx…………………………………….………………8
sehingga e = Y – Ŷ, dan diperoleh Σe
2
= Y – Ŷ
2
. Dengan “metode
kuadrat terkecil” nilai Σe
2
diminimumkan. Nilai e akan minimum bila turunan pertama fungsi sama dengan nol, sehingga nilai dugaan dapat diperoleh
sebesar a dan b. Nilai a dan b selanjutnya dapat ditentukan, yaitu Hayat, 1997 :
x x
n y
x -
xy n
b
2 2
n x
b -
y a
Setelah diketahui nilai a dan b, selanjutnya dapat ditentukan beberapa persamaan yang diperlukan, antara lain adalah Sparre dan Venema 1992 :
1 Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan f : CPUE = exp a + bf
2 Hubungan antara hasil tangkapan c dengan upaya penangkapan f : c = CPUE x f
c = af + bf
2
4 Tingkat pengupayaan dan tingkat pemanfaatan Tingkat pengupayaan alat tangkap dari suatu sumberdaya ikan
dapat diketahui setelah didapatkan nilai upaya optimum. Tingkat pengupayaan dihitung dengan cara mempersenkan jumlah upaya
penangkapan pada tahun tertentu terhadap nilai upaya penangkapan optimum.
100 f
f
opt
u
TP
Keterangan : TP
u
= tingkat pengupayaan f
= upaya penangkapan trip f
opt
= upaya penangkapan optimum trip
3.6.2 Identifikasi konflik
Identifikasi konflik dilakukan dengan pendekatan Bennett dan Jolley 2000, yaitu: 1 spot mapping atau sketch mapping untuk memperoleh informasi
dasar keadaan geografis wilayah yang digambarkan dalam bentuk peta transek, 2 time lines
yaitu analisis sejarahkronologis konflik perikanan tangkap termasuk perubahan teknologi alat tangkap, implementasi suatu peraturan, runtutan waktu
terjadinya konflik. Kemudian dilengkapi dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Fisher et al. 2000 melalui penahapan konflik yang bertujuan untuk melihat
tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik, disajikan dalam bentuk grafik menunjukkan intensitas konflik yang digambarkan dalam skala
waktu tertentu.
3.6.3 Memetakan permasalahan konflik
Akar masalah konflik dapat ditinjau berdasarkan tipologi konflik dan sumber konflik. Tipologi konflik secara umum dikelompokan menjadi empat
kelompok Charles 1992, yaitu: 1 yurisdiksi perikanan, meliputi perbedaan
kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, antara lain: open- acces
, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi; 2 mekanisme manajemen, meliputi
isu-isu relatif jangka pendek yang muncul dalam pengembangan dan implementasi perencanaan manajemen perikanan, keterlibatan nelayan dan
pemerintah dalam konflik saat eksploitasi dan proses konsultasi dan pengawasan perikanan; 3 alokasi internal, termasuk konflik yang muncul dalam sistem
perikanan secara spesifik, antar kelompok dan alat tangkap yang berbeda, seperti antara nelayan, pengolah dan pihak-pihak lain; dan 4 alokasi eksternal,
menyangkut konflik yang muncul antara pemain perikanan internal dan eksternal, seperti dengan kapal asing, pembudidaya, industri non perikanan dan lainnya.
Penggambaran akar permasalahan yang mengacu pada sumber konflik kategori Gorre 1999, yaitu 1 masalah hubungan, meliputi perbedaan persepsi
karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang; 2
konflik yang disebabkan oleh data, meliputi kurangnya informasi bagi pengguna untuk mengambil keputusan yang tepat; 3 konflik yang terjadi akibat perbedaan
kepentingan, meliputi perbedaan kebutuhan antara beragam pengguna dari sumberdaya alam yang sama; 4 Konflik yang disebabkan oleh masalah
struktural, meliputi perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan karena ketidak mampuan salah satu atau beberapa pihak karena adanya hal-hal yang sifatnya
eksternal di luar kendali pihak-pihak tersebut; 5 konflik nilai, meliputi perbedaan sistem nilai yang dianut oleh salah satu pengguna dengan nilai yang
diterapkan oleh pengguna lain. Penjelasan terhadap pendekatan Gorre 1999 dilengkapi dengan
pendekatan yang dikembangkan oleh Fisher et al. 2000 melalui analisis S-P-K Sikap-Perilaku-Konteks digunakan untuk menganalisis bagaimana faktor-faktor
tersebut saling mempengaruhi dan menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak yang berkonflik.
Kemudian analogi bawang bombay digunakan untuk memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak yang berkonflik.
3.6.4 Model pengelolaan konflik
Model pengelolaan konflik dibuat dengan melakukan analisis Structural Equation Modeling
SEM menggunakan program LISREL 8.30. Alasan penggunaan program LISREL dalam penelitian ini adalah untuk memudahkan
penggunaan, cocok untuk jumlah konstruk yang kecil, memiliki keunggulan dalam hal akurasi, kecepatan dan mudah dioperasikan serta dilengkapi metode
statistik untuk data hasil survai yang kompleks sebagaimana yang dinyatakan Wijanto 2007. Selain itu memakai program LISREL dapat membuat diagram
jalur dengan mudah dengan menggunakan inference serta membuat syntax secara langsung dari diagram.
Teknik analisis SEM merupakan pendekatan terintegrasi antara faktor, model struktural dan analisis path. Disisi lain SEM juga merupakan pendekatan
yang terintegrasi antara analisis data dengan konstruksi konsep. Didalam SEM peneliti dapat melakukan tiga kegiatan secara serentak, yaitu pemeriksaan
validitas dan reliabilitas instrumen setara dengan faktor analisis confirmatory,
pengujian model hubungan antara variabel laten setara dengan analisis path, dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prakiraan setara dengan model
struktural atau analisis regresi Solimun 2002
Langkah ke 1 Pengembangan model berbasis konsep dan teori
Langkah ke 2 Mengkonstruksi diagram path
Langkah ke 3 Konversi diagram path ke model struktural
Langkah ke 4 Memilih matriks input
Langkah ke 5 Memilih masalah identifikasi
Langkah ke 6 Evaluasi goodness-of-fit
Langkah ke 7 Interpretasi dan modifikasi model
Gambar 6 Langkah-langkah pendekatan SEM Hair et al. 1998
Dalam SEM variabel kunci yang menjadi perhatian adalah variabel laten atau konstruk laten. Variabel laten ini hanya dapat diamati secara tidak langsung
dan tidak sempurna melalui efeknya pada variabel teramati. Terdapat 7 tujuh langkah penggunaan SEM Hair et al. 1998. Secara terperinci dapat dilihat pada
Gambar 6. Langkah ke 1: Pengembangan model berbasis konsep dan teori
Prinsip di dalam SEM adalah menganalisis hubungan kausal antar variabel eksogen
dan endogen. Disamping dapat dilakukan secara bersamaan untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian. Hubungan kausal adalah
apabila terjadi perubahan nilai di dalam suatu variabel akan menghasilkan perubahan dalam variabel lain.
Langkah awal di dalam SEM adalah pengembangan model hipotetik yaitu suatu model yang mempunyai justifikasi teori atau konsep. Setelah itu dilakukan
verifikasi terhadap model berdasarkan data empirik melalui SEM. Langkah ke 2 : Menyusun path diagram
Pada langkah kedua dibuat path diagram. Tujuan penyusunan path diagram ini adalah untuk memudahkan peneliti melihat hubungan kausalitas yang ingin
diuji. Apabila hubungan kausal tersebut ada yang belum mantap maka dapat dibuat beberapa model yang kemudian diuji menggunakan SEM untuk
mendapatkan model yang paling tepat. Pengembangan path diagram untuk model pengelolaan konflik disajikan pada Gambar 7.
Keterangan:
α
1,
α
3,
α
4
α
5 = Faktor louding
α
2 = Koefisien korelasi
Gambar 7 Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome diadopsi dari Barki et al. 2001
Penyebab konflik
Metode resolusi konflik
Kepuasan terhadap teknik resolusi
konflik yang digunakan
Outcome Jenis konflik
α
1
α
2
α
3
α
4
α
5
Langkah ke 3: Konversi diagram alir ke dalam persamaan Setelah digambarkan dalam sebuah diagram alir pada langkah kedua maka
pada langkah berikutnya dilakukan konversi ke dalam rangkaian persamaan. Persamaan yang dibangun ada dua macam;
1 Persamaan struktural Persamaan ini untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai
konstruk sebagai berikut : Faktor endogen = Faktor eksogen + Faktor Endogen + error
Persamaan strukturalnya adalah sebagai berikut : Y
1
= β
1
Y
2
+ β
2
Y
3
+ β
3
Y
4
+ β
1
Y
5
+ ð
1
........................................9 Keterangan:
Y
1
= Faktor endogen Y
2
= Faktor eksogen β = Bobot regresi
ð = Distrurbance Term error 2 Persamaan spesifikasi model pengukuran
Pada spesifikasi ini peneliti menentukan variabel mana mengukur faktor konstruk mana serta menentukan serangkaian matriks yang menunjukkan
korelasi yang dihipotesiskan antar konstruk. Persamaan untuk model pengukuran dapat digambarkan sebagai berikut :
Variabel = faktor eksogen + error Persamaan strukturalnya adalah sebagai berikut :
Variabel 1 X
1
= λ
1
Y
1
+ ε
1
...................................................................10 Variabel 2 X
2
= λ
2
Y
2
+ ε
2
...................................................................11 Variabel 3 X
3
= λ
3
Y
3
+ ε
3
...................................................................12 X
1
, X
2
, X
3
= Variabel yang disurvei λ = Loading Factor
ε = Error Langkah ke 4 : Memilih matriks input dan estimasi model
Pada SEM hanya menggunakan matriks kovariansmatriks korelasi sebagai data input untuk keseluruhan estimasi yang dilakukan. Matriks kovarians
digunakan karena memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid
antara populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda, hal ini tidak dapat digunakan analisis korelasi. Menurut Baumgartner dan Homburg 1996 diacu
dalam Ferdinand 2002 menyarankan agar menggunakan matriks kovarians pada saat pengujian teori sebab kovarian lebih memenuhi asumsi metodologi dan
merupakan bentuk data lebih sesuai untuk memvalidasi hubungan kausalitas. Langkah ke 5: mengantisipasi munculnya masalah identifikasi
Salah satu masalah yang dihadapi dalam penggunaan estimasi model kausal adalah masalah identifikasi. Problem identifikasi pada prinsipnya adalah masalah
mengenai ketidakmampuan model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Problem identifikasi dapat muncul berupa gejala sebagai
berikut : 1 Standard error untuk satu atau beberapa koefisien adalah sangat besar
2 Program tidak mampu menghasilkan matrik informasi yang seharusnya disajikan
3 Munculnya angka-angka yang aneh seperti adanya varian error yang negatif 4 Munculnya korelasi yang sangat tinggi antara koefisien estimasi dapat lebih
dari 0,9 Langkah-langkah untuk menguji ada atau tidak adanya problem identifikasi
adalah sebagai berikut: 1 Model diestimasi berulang-ulang, dan setiap estimasi dilakukan dengan menggunakan starting value yang berbeda. Bila ternyata
hasilnya adalah model tidak konvergen, maka pada titik yang sama harus dilakukan reestimasi 2 Model dicoba diestimasi, kemudian angka koefisien itu
ditentukan sebagai suatu fix pada faktor atau variabel kemudian dilakukan estimasi ulang. Apabila estimasi ulang ini overall fit indeknya berubah total dan
beberapa sangat besar dari sebelumnya, hal ini diduga terjadi karena terdapat problem identifikasi. Apabila muncul problem ini, maka disarankan untuk
mempertimbangkan ulang model ini dengan mengembangkan lebih banyak konstruk.
Langkah ke 6: evaluasi kriteria goodness of fit Pada langkah ini peneliti harus menggunakan indikator-indikator goodness
of fit dalam menilai fit atau tidaknya suatu model. Peneliti tidak boleh hanya
menggunakan satu atau beberapa indeks saja untuk menilai suatu model fit, akan tetapi harus mempertimbangkan seluruh indeks. Berikut ini disajikan beberapa
indeks sebagai kriteria goodness of fit Tabel 6. Tabel 6 Goodness of fit statistics
No Goodness of Fit Index Cut-Off Value
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Chi-square X
2
Significance probability X
2
df RMSEA
NNFI CFI
IFI GFI
AGFI PGFI
Diharapkan kecil 0,05
2,00 0,08
0,90 0,90
0,90 0,90
0,90 0,90
Sumber: Ghozali dan Fuad 2005 1 Chi-square X
2
Tujuan pengujian chi-square adalah untuk mengetahui apakan matriks kovarian sampel berbeda secara signifikan dengan matriks kovarians estimasi
Santoso 2007. Menurut Ghozali 2005, chi-square merupakan ukuran mengenai baik buruknya fit suatu model. Nilai chi-square sebesar 0 menunjukkan
bahwa model memiliki fit yang sempurna perfec fit. Dengan kata lain, uji ini digunakan untuk mengukur overall fit atau kesesuaian model yang dibangun
dengan data yang tersedia. Semakin kecil nilai chi-square, semakin baik model itu.
2 Probabilitas signifikansi Significance probability Probabilitas digunakan untuk memperoleh peluang yang besar terhadap
kemungkinannya terjadi pada dunia nyata. Nilai probabilitas yang signifikan adalah yang diharapkan menunjukkan bahwa data empiris sesuai dengan model.
Jadi probabilitas signifikan apabila p lebih besar daripada 0,05
3 Indeks X
2
df Ratio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom
X
2
df . Nilai yang diperoleh harus lebih rendah dari cut-off model. Byrne 1998
yang diacu dari Ghozali 2005 mengusulkan nilai rasio ini 2,0 merupakan ukuran fit. Indeks ini menunjukkan fit suatu model.
4 RMSEA Root Mean Square Error of Approximation RMSEA merupakan indikator model fit yang paling informatif. Nilai
RMSEA antara 0,05 sampai dengan 0,08 merupakan ukuran yang dapat diterima Ghozali 2005.
5 NNFI Non-Nonmed Fit Index NNFI atau dikenal juga dengan TLI Tucker Lewis Index. Nilai ini
digunakan untuk mengatasi permasalahan kompleksitas model, nilai untuk NNFI lebih besar 0,9
6 CFI Comparative Fit Index CFI merupakan indeks yang menunjukkan tingkat fit-nya suatu model yang
dibangun. Indeks ini pada dasarnya membandingkan angka NCP Non Centrality Parameter
pada berbagai model. Berbeda dengan indeks lainnya, indeks ini tidak tergantung pada ukuran sampel. CFI mempunyai range value antara 0
sampai 1. Pada umumnya, nilai diatas 0,9 menunjukkan model sudah fit dengan data yang ada Bentler and Bonnetts 1990 diacu dalam Ghozali 2005
7 IFI Incremental Fit Index Suatu model dikatakan fit apabila nilai IFI lebih besar 0,9 Byrne 1998
diacu dalam Ghozali dan Fuad 2005. 8 GFI Goodness of Fit Indices
Goodness of fit indices GFI merupakan suatu ukuran mengenai ketepatan
model dalam menghasilkan observed matriks kovarians. Nilai GFI untuk menghasilkan model yang fit berkisar antara 0 sampai 1 atau lebih besar 0,9
Diamantopaulus and Sigauw 2000 diacu dalam Ghozali dan Fuad 2005. 9 AGFI Adjusted Goodness of Fi Index
Nilai AGFI adalah sama dengan GFI tetapi sudah menyesuaikan pengaruh dengan degrees of freedom pada suatu model. Secara teoritis angka AGFI berkisar
antara 0 poor fit sampai 1 perfect fit, dengan pedoman bahwa semakin hasil
AGFI mendekati angka 1, akan semakin baik model tersebut dalam menjelaskan data yang ada Santoso 2007.
10 PGFI parsimoni goodness of fit index Nilai batas PGFI parsimoni goodness of fit index lebih besar 0,6 model
dikatakan baik Byrne 1998. Langkah ke 7: Interpretasi dan modifikasi model
Apabila langkah-langkah sebelumnya sudah dilaksanakan dan model belum memenuhi kriteria good fit maka perlu dilakukan modifikasi model dan di dalam
penggunaan indeks modifikasi ini adalah sebagai pedoman untuk melakukan modifikasi terhadap model yang diujikan dengan syarat harus terdapat justifikasi
teoritis yang cukup kuat untuk modifikasi. Keunggulan SEM juga dijelaskan oleh Ghozali dan Fuad 2005 bahwa model persamaan struktural adalah generasi
kedua teknik multivariate yang memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive maupun non-recursive untuk
memperoleh gambaran mengenai keseluruhan model. Tidak seperti analisis multivariate
biasa regresi berganda, analisis faktor, SEM dapat menguji secara bersama-sama : 1 model struktural: hubungan antara konstruk yaitu variabel
yang laten unobservedvariabel yang tidak dapat diukur secara langsung dan memerlukan beberapa indikator atau proksi untuk mengukurnya independen dan
dependen 2 model measurement: hubungan nilai loading antara variabel dengan konstruk faktor. Digabungkannya pengujian model struktural dan
pengukuran tersebut memungkinkan peneliti untuk : 1 menguji kesalahan pengukuran measurement error sebagai bagian yang tak terpisahkan dari SEM
2 melalukan analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis. Interpretasi dapat dilakukan setelah memenuhi syarat good fit. Penggunaan
SEM bukan untuk menghasilkan teori, tetapi menguji model yang mempunyai pijakan teori yang benar dan baik. Berdasarkan pemikiran ini maka interpretasi
dari model dapat diterima atau tidak diperlukan kekuatan prediksi dari model dibandingkan dengan residual yang dihasilkan. Dengan menggunakan
standardized residual covariance matrix akan dihasilkan nilai residual standar.
3.6.5 Peran kelembagaan pengelolaan konflik
Evalusi kelembagaan di awali dengan identifikasi resolusi konflik dan institutional wheels
yang menggambarkan peranan kelompok dan organisasi, pengaruh masing-masing pihak yang terkait terhadap pihak yang lain, serta
dampak hubungan tersebut baik yang bersifat positif maupun negatif selama melakukan resolusi konflik. Identifikasi menyeluruh terhadap peran kelembagaan
dalam upaya resolusi pengelolaan konflik. Israel 1990 memberikan penjelasan mengenai konsep umum tentang lembaga yang meliputi pada semua tingkatan
lokal atau masyarakat, unit manajemen proyek, badan atau departemen pusat dan sebagainya.
Dalam penelitian ini kelembagaan pengelolaan konflik dikelompokkan berdasarkan kriteria: 1 kelembagaan pemerintah 2 kelembagaan non
pemerintah swasta dan 3 modal kapital sosial masyarakat pesisir yang sudah melembaga baik berupa tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di
wilayah pesisir Kalimantan Selatan dan berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan seperti bentuk kerjasama dalam kelembagaan
tradisonal masyarakat nelayan yang mendukung pembangunan perikanan tangkap. Kelembagaan pengelolaan konfik dianalisis secara deskriptif kualitatif
mulai dari upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh lembaga tersebut dan apa saja tindakan dan kegiatan yang telah dilakukan serta sinergi
diantara kelembagaan. Pengembangan kelembagaan mengacu pada pendekatan Uphoff 1986
yang menekankan pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada.
Berbagai istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumber daya sehingga pembangunan yang
dijalankan akan dapat berhasil. Bagan alir proses penelitian disajikan pada Gambar 8.
Tahap Deskripsi
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Tahap Preskripsi
Gambar 8 Bagan alir proses penelitian model pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
Mulai SURVAI PISCES
Identifikasi konflik
Permasalahan konflik
Upaya penyelesaian Konflik
ANALISIS KONFLIK
Kasus dan eskalasi konflik
SURVAI PERSEPSI
SDPT
Analisis Struktural Equation Model
Selesai
Keterangan : Mulai
– Selesai Input
Konstruk Indikator dan analisis
PISCES participatory institutional survei and conflict evaluated exercise SDPT Sumberdaya Perikanan Tangkap
ANALISIS KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN KONFLIK
Wilayah konflik
Kelembagaan
KONFLIK
OUTCOME
Faktor penyebab konflik
Teknik resolusi konflik
Partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan SDPT
Keberlanjutan perikanan tangkap
Keadilan pemanfaatan SDPT
RESOLUSI
4 HASIL PENELITIAN
4.1 Keragaan Perikanan Tangkap 4.1.1 Unit penangkapan
1 Kabupaten Kotabaru
Alat penangkapan ikan adalah sarana yang merupakan perlengkapanbenda- benda lainnya yang digunakan untuk menangkap ikan. Di perairan Kabupaten
Kotabaru beroperasi berbagai alat tangkap, seluruh alat tangkap yang digunakan lebih dari 18 jenis. Keseluruhan alat tangkap pada tahun 2008 berjumlah 8.738
unit Tabel 7. Sebagian besar jenis alat tangkap yang digunakan sejak tahun 2000-2008 berfluktuasi dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar
11.529 ton. Penurunan produksi sejak tahun 2005 yang mana produksi sebesar
7.601 ton akibat dampak berpisahnya Kabupaten Kotabaru dengan Kabupaten Tanah Bumbu. Alat penangkapan dominan yang dioperasikan di perairan
Kabupaten Kotabaru yaitu trammel net dan jaring insang tetap yang meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan pukat cincin semakin mengalami penurunan dari
tahun ke tahun. Tabel 7 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Kotabaru
No Jenis alat Tahun
Tangkap
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
1 Dogol -
- -
- 2.934
1.225 969
892 790
2 Pukat cincin 82
593 594
437 437
- 278
- 22
3 Jaring insang Hanyut
523 96
103 1.709
1.749 998
419 474
870 4 Jaring lingkar
- -
- -
- 352
- 113
- 5 Jaring insang
Tetap 75
155 152
148 148
885 1.140
253 2.327
6 Trammel net 1.402
1.146 1.143
2.537 2.537
2.569 2.459
2.351 1.468
7 Bagan tancap 407
729 765
1.153 1.153
800 1.414
839 577
8 Jaring angkat Lainnya
23 9
- -
- -
- -
- 9 Rawai tetap
36 -
- 153
153 -
- -
- 10 Pancing tonda
321 -
- 1.385
1.095 181
206 122
- 11 Pancing lainnya
34 -
- 985
- 325
330 154
1.904 12 Sero
7 23
23 -
- -
- 65
- 13 Jermal
44 -
- -
- -
- -
- 14 Bubu
7 -
- -
- -
- -
- 15 Perangkap
Lainnya 33
50 -
- 1.323
- -
- -
16 Penangkap Kepiting
- -
- -
- -
- 19
433 17 Jala tebar
- -
- -
- -
220 152
347 18 Garpu, tombak
1.005 1.579
1.582 1.603
- 266
- -
-
Total 4.208
4.513 4.362
10.110 11.529
7601 6409
5434 8738
Sumber: DKP Provinsi Kal-Sel 2009
Armada penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan usaha penangkapan ikan yang digunakan oleh para nelayan di
Kabupaten Kotabaru. Armada penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru dapat digolongkan menjadi jukung, perahu kecil, motor tempel dan kapal motor. Kapal
perikanan adalah kapalperahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk untuk melakukan surveieksplorasi. Pada
tahun 2006 berjumlah 3.761 unit. Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenisukurannya dan jumlah rumah tangga RTP penangkapan di laut di
Kabupaten Kotabaru dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenisukuranya dan jumlah RTP
penangkapan di laut Kabupaten Kotabaru tahun 2006
No Kategori Jumlah
Persentase perahukapal
Unit RTP
Unit RTP
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Tanpa perahu Jukung
Perahu kecil Motor temple
Kapal motor 5 GT Kapal motor 5-10 GT
Kapal motor 10-20 GT Kapal motor 20-30 GT
Kapal motor 30-50 GT Kapal motor 50-100 GT
- 723
170 11
2.285 326
243 3
- -
225 577
136 9
1.819 169
60 15
6 9
- 19,2
4,6 0,3
60,7 8,6
6,5
0,07 -
- 7,4
19,0 4,4
0,2 60,1
5,5 1,9
0,4 0,1
0,2
Jumlah 3.761
3.026 100 100
Sumber: Statistik perikanan 2007
Berdasarkan Tabel 8 jenis kapal yang dominan yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan adalah kapal motor yang berkekuatan kurang dari 5
GT sebanyak 2.285 unit 60,7. Kapal tersebut memiliki daya jangkau penangkapan kurang dari 4 mil yang digunakan untuk mengoperasikan trammel
net dan dogollampara dasar, sedangkan jukung dan perahu kecil digunakan pada kawasan sungai, muara dan daerah pesisir. Kapal yang berkekuatan sekitar 10 GT
memiliki daya jangkauan sekitar 10 mil digunakan oleh nelayan gillnet, sedangkan kapal yang berkeuatan 10 GT keatas daya jelayah mencapai 30 mil
digunakan oleh nelayan mini purse seine dan nelayan pancing. Biasanya nelayan menggunakan mesin doble masing-masing berkekuatan 24 PK, dengan mesin
puso D 6 silinder. Di Kabupaten Kotabaru masih ada 7,4 nelayan yang tidak
memiliki perahu, mereka bekerja sebagai ABK kepada nelayan mini purse seine dan nelayan gillnet .
2 Kabupaten Tanah Laut
Perkembangan alat tangkap perairan laut di Kabupaten Tanah Laut selama 9 tahun terakhir 2000-2008 berfluktuasi dengan produksi tertinggi terjadi pada
tahun 2004 sebesar 4.874 ton dan produksi terendah pada tahun 2001 sebesar 1.178 ton. Namun pada tahun 2008 produksi perikanan tangkap di Kabupaten
Tanah Laut mulai menunjukkan peningkatan, hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas perikanan tangkap mulai berangsur pulih setelah berakhirnya konflik
perikanan tangkap pada tahun 2007. Berdasarkan Tabel 9 alat penangkapan yang dominan digunakan di Kabupaten Tanah Laut adalah jaring insang hanyut dan
dogol. Berdasarkan keterangan Dinas perikanan yang termasuk ke dalam jenis dogol adalah lampara dasar.
Tabel 9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Laut
No Jenis
Tahun
alat tangkap
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
1 Dogol -
- -
774 774
533 582
543 891
2 Pukat pantai 94
306 803
803 803
34 300
172 -
3 Pukat cincin -
- -
- 10
22 43
43 53
4 Jaring insang Hanyut
378 334
448 448
448 125
262 278
1076 5 Jaring lingkar
195 126
312 312
312 133
159 129
55 6 Jaring insang
tetap -
- 810
860 860
164 48
104 146
7 Trammel net 170
148 465
465 465
98 193
139 -
8 Bagan tancap 32
12 5
5 5
8 -
- -
9 Serok 398
91 400
400 400
148 545
362 347
10 Rawai tetap 419
19 395
395 395
282 380
278 276
11 Jermal 235
142 402
402 402
38 45
31 58
Total 2.653
1.178 4.040
4.864 4.874
1.585 2.557
2.079 3.206
Sumber: DKP Provinsi Kal-Sel 2009
Kabupaten Tanah Laut memiliki kapal penangkap ikan yang mempunyai ukuran bervariasi. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 1.669 unit Tabel 10.
Kapal yang dominan digunakan nelayan di Kabupaten Tanah Laut berkekuatan kurang dari 5 GT yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring
insang hanyut dan dogollampara dasar. Pada tahun 2006 masih terdapat nelayan tanpa menggunakan perahu sebanyak 538 RTP 24,4, nelayan tersebut
melakukan usaha perikanan pukat pantai tanpa menggunakan perahu.
Tabel 10 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenisukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut Kabupaten Tanah Laut tahun 2006
No Kategori Jumlah
Persentase perahukapal
Unit RTP
Unit RTP
1 2
3 4
5 Tanpa perahu
Perahu sedang Motor tempel
Kapal motor 5 GT Kapal motor 5-10 GT
- 78
221 1.045
325 538
78 221
1.045 325
- 4,7
13,2 62,6
19,5 24,4
3,5 10,1
47,3 14,7
1.669 2.207 100
100
Sumber: Statistik perikanan 2007
3 Kabupaten Tanah Bumbu
Di perairan Kabupaten Tanah Bumbu beroperasi berbagai jenis alat tangkap. Seluruh alat tangkap ikan yang digunakan lebih dari 16 jenis, diantaranya
dogollampara dasar, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, trammel net dan bagan tancap sedangkan perangkap dan penangkap kepiting sudah mulai
punah sejak tahun 2005 Tabel 11. Tabel 11 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Bumbu
No Jenis Tahun
alat tangkap 2004
2005 2006
2007 2008
1 Dogol 157
392 376
366 366
2 Pukat cincin 10
22 43
43 53
3 Jaring insang hanyut 26
223 406
386 540
4 Jaring lingkar 6
33 332
322 -
5 Jaring kritik -
626 315
285 -
6 Trammel net 17
619 448
308 227
7 Bagan tancap 50
599 263
248 255
8 Serok -
- 17
17 -
9 Rawai tetap 39
75 162
162 -
10 Pancing tonda 18
841 360
122 -
11 Pancing lainnya -
- -
- 123
12 Sero -
5 114
114 -
13 Jermal -
62 204
194 -
14 Bubu 171
64 176
206 233
15 Perangkap lainnya 194
- -
- -
16 Penangkap kepiting 194
- -
- -
Total 882
3.561 3.216
2.773 1.797
Sumber : DKP Provinsi Kal-Sel 2009
Kabupaten Tanah Bumbu memiliki kapal penangkap ikan yang mempunyai ukuran bervariasi. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 2.950 unit Tabel 12.
Kapal perikanan yang dominan digunakan di perairan Kabupaten Tanah Bumbu
adalah motor tempel sebesar 1.795 unit 60,8, yang berarti daya jelajahnya hanya terbatas di sekitar pantai dan digunakan oleh nelayan bagan tancap, jermal
dan pancing. Tabel 12 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenisukuranya dan jumlah RTP
penangkapan laut di kabupaten Tanah Bumbu tahun 2006
No Kategori
Jumlah Persentase
perahukapal Unit
RTP Unit
RTP 1
2 3
4 5
Jukung Perahu besar
Motor temple Kapal motor 5 GT
Kapal motor 5-10 GT 297
210 1.795
389 259
185 138
1.431 203
183 10,1
7,1 60,8
13,2 8,8
8,4 6,4
66,9 9,5
8,6 Jumlah
2.950 2.140 100
100 Sumber: Statistik perikanan 2007
4.1.2 Produksi
Produksi perikanan laut terbesar di Kalimantan Selatan pada tahun 2006 adalah di Kabupaten Kotabaru sebesar 448.310.108 ton. Sedangkan di Kabupaten
Tanah laut sebesar 299.121.900 ton dan Kabupaten Tanah Bumbu sebesar 207.216.400. Produksi perikanam laut di Kalimantan Selatan dibagi menjadi jenis
ikan dan non ikan Tabel 13. Jumlah hasil tangkapan dominan pada tahun 2006 di Kabupaten Kotabaru adalah kembung sebesar 62.135.252 ton untuk jenis ikan
dan udang windu sebesar 119.398.114 ton untuk jenis non ikan. Demikian pula di Kabupten Tanah Laut jumlah hasil tangkapan dominan adalah kembung sebesar
21.262.800 ton dan udang windu sebesar 55.435.500 ton. Sedangkan Kabupaten Tanah Bumbu hasil tangkapan dominan adalah teri sebesar 23.916.200 ton untuk
jenis ikan dan udang putih sebesar 10.883.500 ton untuk jenis non ikan. Jenis ikan yang tersedia di Kabupaten Kotabaru dan tersedia juga di
Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu antara lain digolongkan berdasarkan tempat hidupnya yaitu: 1 ikan demersal terdiri dari ikan manyung Arius
venosus, Arius sagor dan Arius thalassinus, bawal hitam Parastromateus niger,
belanak Mugil cephalus, kakap merah Lutjanus erythopterus dan Lutjanus malabaricus
dan pari kembang Amphotistius kuhlii; 2 pelagis kecil terdiri dari tembang Clupea sp, Amblygaster sim, selanget Anodontostoma chacunda,
lemuru Sardinella sim; 3 pelagis besar terdiri dari ikan kembung Rastrelliger
kanagurta , tenggiri Scomberomorus guttatus dan tongkol Auxis thazard; 4
ikan karang terdiri dari ikan ekor kuning Caesio cuning, Caesio teres dan Pisang-pisang Pterocaesio diagramma, Pterocaesio tile dan Pterocaesio pisang,
namun karena jumlah jenis ikan karang hanya sedikit maka pada statistik perikanan dimasukan ke dalam ikan lainnya. Sedangkan jenis non ikan yaitu
Udang putih Panaeus indicus, Udang windu Panaeus monodon, rajungan Portunus pelagicus dan cumi-cumi Loligo sp Tabel 13
Tabel 13 Jenis dan volume produksi perikanan laut di Kabupaten Kotabaru, Tanah Laut dan Tanah Bumbu tahun 2006
N o
Jenis ikan dan Kabupaten
non ikan Kotabaru
Tanah Laut Tanah Bumbu
I 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12 13
14 15
16 17
18 19
20 21
22 23
24 25
26 27
28 29
30 31
Ikan Manyung
Ikan Sebelah Selar
Kuwe Layang
Bawal hitam Bawal putih
Selanget Kakap putih
Tembang Teri
Gerot-gerot Peperek
Kakap merah Belanak
Biji nangka Kurisi
KuroSenangin SwanggiMata besar
GulamahTigawaja Tongkol krai
Tongkol komo Cakalang
Kembung Banyar
Tenggiri Tenggiri papan
Tongkol abu-abu Kerapu bebek
Kerapu Sunu Mako
33.506 1.396
- -
14.126.347 42.845.459
- 90.140
- 4.066.900
9.217.174 8.377
49.313 2.664.730
449.666 661.873
1.828.460 -
878.329 789.404
- -
- 62.135.252
- 33.703.068
- 25.115.323
150.530 -
177.244
9.806.450 3.781.800
1.006.450 -
- 5.191.000
15.528.800 -
5.957.700 586.750
- -
3.541.250 4.764.300
4.133.400 -
133.000 10.145.800
- 3.985.750
- -
- 21.262.800
- 20.348.800
16.432.800 6.808.400
- -
- 3.234.400
- 17.759.700
3.681.000 3.072.000
4.009.200 -
- 8.854.500
10.250.400 23.916.200
- 4.737.400
14.216.400 707.500
- 2.010.000
94.400 -
9.475.000 3.819.000
5.612.400 5.141.500
12.372.800 6.505.100
13.553.400 -
- 656.000
221.000 -
Tabel 13 lanjutan
No Jenis ikan dan
Kabupaten non ikan
Kotabaru Tanah Laut
Tanah Bumbu
32 33
34 35
Layurt Pari
Ikan lainnya -
- 70.169
70.168 1.149.950
- 2.247.250
3.965.700 2.348.400
100.200 212.400
13.905.200 Sub total
199.125.363 140.4770.100
171.366.200 II
1 2
3 4
5 6
7 8
9
10 Non ikan
Udang dogol Udang putihjerbung
Udang krosok Udang windu
Udang barongkarang Udang lainnya
Kepiting Rajungan
Cumi-cumi Ubur-ubur
14.209.142 75.666.192
- 119.398.114
920.212 22.301.787
- 8.953.690
7.735.608 -
1.935.500 51.155.600
- 55.435.500
- 36.558.000
- 5.013.900
8.223.300 -
- 10.883.500
619.500 5.694.500
1.460.000 1.368.800
2.290.800 2.844.800
10.545.600
142.800
Sub total 249.184.745
158.351.800 35.850.200
Total 448.310.108
299.121.900 207.216.400
Sumber: Statistik Perikanan tahun 2007
4.1.3
Kondisi sumberdaya perikanan tangkap
1 Kabupaten Kotabaru Berdasarkan Gambar 9 hubungan antara CPUE Catch per unit Effort
dengan upaya penangkapan mengindaikasikan bahwa dengan meningkatkan trip penangkapan akan mendapatkan hasil tangkapan yang menurun. Dengan
demikian mengindikasikan pula bahwa setiap tahun produktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Kotabaru mengalami tren yang menurun.
Gambar 9 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di
Kabupaten Kotabaru pada periode 1998-2008
Hasil tangkapan dan upaya penangkapan tahunan perikanan tangkap berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di
perairan laut Kabupaten Kotabaru pada periode 1998-2008. Upaya penangkapan trip dan kaitannya dengan hasil tangkapan catch secara umum dapat dijelaskan
secara singkat bahwa nilai hasil tangkapan catch dan upaya penangkapan effort menunjukkan hubungan yang negatif. Pada gambar tersebut nilai catch semakin
menurun dengan meningkatnya intensitas upaya penangkapan effort. Trend penurunan pada hubungan tersebut dalam bentuk persamaan regresi terhadap
kedua besaran effort dan CPUE Sumberdaya perikanan sangat perlu dikelola dengan baik mengingat
persediaan ikan sudah sangat berkurang. Produksi perikanan di Kabupaten Kotabaru menurun sejak tahun 2002-2006, mengindikasikan pentingnya
pengelolaan sumberdaya ikan untuk menjamin ketersediaan ikan bagi kepentingan penangkapan. Jika dihubungan dengan sejarah perkembangan konflik, mulai
tahun 2000 –2009 konflik mencuat ke permukaan dan merupakan konflik terbuka.
Ini mengindikasikan bahwa kelangkaan sumberdaya perikanan juga dapat memicu konflik perikanan tangkap.
2 Kabupaten Tanah Laut
Berdasarkan Gambar 10 dapat dinyatakan bahwa perubahan atau penambahan effort tidak selalu diikuti penambahan produksi dari tahun ke tahun.
Gambar ini mengindikasikan bahwa peningkakatan effort atau input akan menguras sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Tanah Laut yang semakin
terbatas karena tidak seirama dengan rekruitmen yang dalam jangka panjang dan akan menimbulkan biological overfishing. Sebagaimana dimaklumi, hasil
tangkapan nelayan akan tergantung pada tingkat upaya penangkapan dan besarnya sediaan ikan, namun demikian meningkatnya upaya penangkapan tidak selalu
meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Karena semakin banyak nelayan yang meningkatkan upaya penangkapannya berdampak pada semakin sedikit populasi
ikan yang tersedia.
Gambar 10 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Laut pada periode 1998-2008
3 Kabupaten Tanah Bumbu
Kondisi sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan jenis alat tangkap yang dominan yang terdiri atas jaring insang
hanyut, rawai tetap, jermal, trammel net dan bagan tancap selama 10 tahun 1998- 2008 mengindikasikan bahwa setiap tahun produktivitas perikanan tangkap di
Kabupaten Tanah Bumbu mengalami tren yang menurun,
Gambar 11 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan
di Kabupaten Tanah Bumbu pada periode 1998-2008
4.2 Konflik Perikanan Tangkap
4.2.1
Peta wilayah konflik
Kalimantan Selatan memiliki luas laut sebesar 28.751 km
2
12 mil x 1.330 kmsepanjang garis pantai Kal-Sel yang terbagi pada beberapa Kabupaten
diantaranya Kabupaten Kotabaru memiliki panjang garis pantai sebesar 825 km, Kabupaten Tanah Bumbu memiliki panjang garis pantai sebesar 158,7 km dan
Kabupaten Tanah laut memiliki panjang garis pantai sebesar 200 km. Konflik perikanan tangkap menyebar pada 3 tiga wilayah peisisir tersebut Gambar 12.
8 2
5 10
15 20
25 15
2
25 1
5 20
5 1
5
15 5
1 5
2 5
25
7.0 7.0
7.7 7.7
7.8 7.7
9.4 6.4
7.4 8.6
9.9 5.5
7.7 3.5
3.5 9.5
7.1 8.2
8.3 5.2
5.3 5.9
3.4 2.5
3.6 1.1
0.1 1.4
3.9 0.3
0.2 0.3
3.7 8.3
9.5 9.5
3.4 22.0
18.6 20.7
21.0 23.0
24.0 26.0
27.0 23.5
24.5 19.2
19.2 19.6
19.7 22.5
21.3 19.4
24.0 25.0
25.0 25.0
27.5 27.5
22.5 24.5 19.9
26.0 27.0
27.5 29.0
24.0 25.0
26.0 15.7
17.2 18.9
11.1 12.8
11.0 12.8
13.3 13.9
15.7 15.9
12.114.7 18.5
19.0 15.8
13.9 13.9
17.9 19.8
22.5 22.5 22.5
23.5 22.5 23.0
26.0 27.0 17.9
22.0 23.5
16.7 17.9
18.0 21.2
17.4 18.1
19.9 20.5
20.7 21.2
10.2 10.3
11.6 19.2
10.7 15.2
4 4 4
6 6
6 6
6
9 9 9
9 9
9 9
7 7
7 7
7 8
8 6
6 6
6 7
6 6
6 6
6 6
6 6
6 6
6 9
9 9
9 9
9 9
9 7
7 7
7 7
7 9
7 6
8 6
9 9
9 9
8 8
8 8
8 6
9 7
7 6 6
7 6
5 6
8 8
6 8
7 8
8 5
6 6
6 6
7 5
4 4
6 3
4 5 4
4 4 5
5 4
4 4
4 4
4 4
5 4
5 6
40 38
38 38
38 42
44
52 52
52 52
52 54
54 54
53 55
51 48
48 48
46 46
46 41
42 43
43 44
39 39
37 37
49 49
49 45
42 43
44 40
34 34
32 32
33 33
35 35
36 42
32 32
34 34
34 36
36 35
35 31
33 28
28 28
29 29
30 30
30 27
27 28
28 28
29 26
26 26
27 27
27 23
26 24
23 31
30 27
26
39 39
40 40
43 43
36 36
31 31
31 31
34 38
41 46
33 33
33 33
30 30
30 30
18 14
28 29
27 34
34 34
34 31
32 33
33 35
35 36
28 25
26 28
3131 31
30 30
30 30
30 31
32 32
33 34
27 27
28 29
29 32
29 29
26 26
26 27
27 27
28 28
28 28
28 28
28 29
24 23
25 25
26 26
27 27
27 28
25 25
29 25
25 25
25 25
26 24
24 24
23 24
24 24
24 25
25 25
25 25
22 22
26 26
26 27
27 27
27 31
31 32
34 27
27 27
28 28
24 24
25 26
25 25
26 26
28 29
23 31
31 31
29 29
29 26
27 28
28 32
25 23
30 30
30 29
29 29
29 29
34 35
31 31
25 25
26 26
31 28
23 24
25 25
20 21
25 19
32 34
34 15
20 20
35 33
33 33
33 33
31 31
31 32
32 32
32 34
34 34
32 32
32 3
33 31
31 31
31 31
31 33
31 31
23 29
30 27
26 32
31 31
30 34
29 29
25 25
25 24
25 27
27 23
29 29
29 27
23 32
39 23
27 12
12 12
21 14
16 24
24 24
23 25
25 25
26 26
29 29
21 21
27 28
26 23
20 18
19 23
20 21
19
21 21
21 21
22 22
22 22
22 22
23 23
23 24
24 20
20 21
21 21
21 23
23 25
25 25
25 25
25 25
25 27
27 27
27 24
24 24
25 25
26 26
21 21
24 26
26 28
23 23
23 23
21 21
22 22
25 25
25 27
27 24
30 20
23 24
25 25
11 16
16 17
19 18
19 19
20 21
19 20
27 12
1610 18
18 1421
23 24
25 25
26 27
28 24
20 31
31 30
31 30
30 30
30 30
29 29
29 21
22 22
25 27
28 28
21 21
27 25
25 25
24 26
27 21
21 18
20 19
20 20
18 17
16 16
16 14
14 14
14 17
16 16 16
14 14
11 11
11 11 11
11 11
11 11
16 16
16 16
12 12
12 12
19 19
21 21
14 20
19 18
20 20
20 19
18 21
16 12
18 18
16 17
16 14
14 16
14 14
12 12
19 14
18 18
18 16
16 16
21 21
21 11
11 14
12 12
12 12
12 11
11 11
21 21
21 16
16 14
14 13
18 18
17 15
15 15
15 15
15 16
16 16
19 19
1817 17
18 16
17 13
14 14
14 16
17 16
16 16
16 16
21 14
14 14
14 14
11 11
11 11
11 11
11 11
11 12
12 13
15 17
16 13
13 13
18 16
14 17
18 12
12 12
12 13
14 11
13 14
15 16
11 10
10 10
11 11
11 11
11 11
11 14
12
21 23
11 1010
10 10
10 10
8 8
8 8
8 8
7 7
7 7
9 9
9 7
7 7
7 7
7 7
7 7
7 7
7 8
8 8
8 8
8 8
6 6
6 6
6 9
9 9
9 9
9 3
3 5
2 2
3 4
4 7
7 7
7 9
9 9
9 8
8 9
9 9
6 6
2 6
6 6
6 6
6 6
6 6 6 5
9 7
8 8
4 4
6 7
6 6
6 6
6 8
8 8
8 9
9 7
7 7
7 7
7 7
7 9
9 9
8 8
8 6
7 4
4 4
2 2
2 2
2 6
2 4 5
9 9
9 9
7 7
7 7
7 7
6 6
8 2
2 2
6 6
4 4
3 2
2 2
2 3
9 9
9 8
8 7
7 7
7 7
6 6
6 2
2 2
4 4
4 4
3 3
4 8
8 8 9
9 11
11 11
11 11
11 11
12 12
12 12
12 12
12 12
14 14
14 14
14 14
12 12
12 12
11 11
11 11
11 11
14 14
10 10
10 11
11 16
14 18
19 18
19 20
11 11
11 11
12 12
12 12
12 14
14 14
11 11
11 12
12 12
14 14
14 14
18 18
18 18
16 21
21 25
21 21
22 23
25 27
16 16
18 18
18 16
18 12
12 12
12 12
12 12
14 14
14 14
14 14
11 11
11 11
11 18
18 18
18 16
16 16
12 12
12 14
11 11
11 11
11 11
18 16
16 11
14 25
25 23
23 27
21 21
21 21
23 23
23 23
21 25
27 23
25 16
18
KABUPATEN BANJAR
KABUPATEN TANAH LAUT BANJARBARU
KABUPATEN TANAH BUMBU KABUPATEN KOTABARU
L
A
U
T J
A W A
S E
L A
T M
A K
A S
S A
R
4 °30
4 °30
4 °00
4 °00
3 °30
3 °30
115 °00
115 °30
115 °30
116 °00
116 °00
116 °30
116 °30
P. LAUT
P. Sebuku 115
°00
10 10
20 Kilometer
N
LEGENDA
4 Mil Laut Kontur Batimetri
12 Mil Laut Batas Kabupaten
Keterangan: Desa Penelitian
Pelabuhan Perikanan PPI Pelabuhan Umum
Pelabuhan Pertambangan Budidaya udang
Lampu suar Kasus daerah penangkapan ikan
Kasus pengambilan teripang Kasus penggunaan bom
Kasus lampara dasar Kasus seser modern
Kasus bagan apung Kasus gill net
Kasus cantrang Kasus purse seine
Gambar 12 Peta wilayah konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
4.2.2 Jenis kasus konflik
Jenis konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan terdiri dari konflik alat tangkap dan konflik pengkaplingan laut. Kedus jenis konflik tersebut
tercakup dalam sembilan jenis kasus yaitu 1
kasus
purse seine, 2 kasus daerah penangkapan, 3 kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara, 4 kasus
lampara dasar, 5 kasus bagan apung, 6 kasus seser modern, 7 kasus gill net, 8 kasus penggunaan bom, dan 9 kasus cantrang. Selengkapnya disajikan pada
Tabel 14. Tabel 14 Jenis kasus konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan
berdasarkan periode waktu dan tempat selama periode 1979 –2009
No Kasus
Tahun Lokasi
Konflik
1 Bagan apung
1979 Tanah
Bumbu Penggunaan bagan apung dianggap
telah merebut wilayah property nelayan lokal secara turun temurun
2 Penggunaan
bom 1980
Kotabaru Penggunaan bom telah merusak habitat perairan dan melanggar UU
3 Seser modern
1990 Tanah
Bumbu Adanya anggapan bahwa perairan
pantai adalah
hak nelayan
tradisional, pengguna teknologi modern tidak boleh berdampingan
dengan nelayan tradisional.
4 Daerah
penangkapan 1996
Kotabaru Pengkavlingan daerah tangkap oleh nelayan sekitar Selat Laut, konflik
terjadi setiap musim utara 5
Gill net 1999
Tanah Laut
Masuknya gill net yang sangat panjang oleh nelayan Jateng telah
melanggar UU yang ditetapkan pemerintah
6 Daerah
penangkapan 2000
Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi, pada musim utara
7 Lampara dasar
2002 Kotabaru Penggunaan lampara dasar yang
dimodifikasi dengan penambahan danleno
dan papan
layang menyrupai mini trawl dianggap
mengakibatkan over fishing. 7
Daerah penangkapan
2002 Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi
pada musim utara 8
Lampara dasar 2003
Kotabaru Kasus lampara dasar terulang lagi 9
Daerah tangkap 2003
Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang lagi pada musim utara
10 Seser modern 2004
Tanah Bumbu
Kasus seser modern terulang lagi
Tabel 14 lanjutan
No Kasus
Tahun Lokasi
Konflik
11 Bagan apung
2004 Tanah
Bumbu Kasus bagan apung terulang lagi
12 Daerah
penangkapan 2004
Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang
lagi di musim utara 13
Purse seine 2004
Kotabaru Penggunaan purse seine dengan
alat bantu lampu 40.000 watt oleh nelayan Jawa Tengah dapat
menarik ikan di wilayah perairan Kotabaru
sangat merugikan
nelayan lokal. 15
Lampara dasar 2004
Kotabaru Kasus lampara dasar terulang lagi
16 Seser modern
2005 Tanah
Bumbu Kasus seser modern terulang lagi
17 Bagan apung
2005 Tanah
Bumbu Kasus bagan apung terulang lagi
18 Daerah
penangkapan 2005
Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang
lagi 19
Purse seine 2005
Kotabaru Kasus purse seine terulang lagi
20 Lampara dasar
2005 Kotabaru
Kasus lampara dasar terulang lagi 21
Penggunaan bom 2005
Kotabaru Kasus penggunaan bom terulang
lagi 22
Purse seine 2006
Kotabaru Kasus purse seine terulang lagi
23 Daerah
penangkapan 2006
Kotabaru Kasus daerah tangkap terulang
lagi 24
Pengambilan teripang dan
kerang mutiara 2007
Tanah Laut
Aktivitas penyelam menggunaan kompressor mengambil karang
oleh nelayan Su-Sel, Jateng, Kaltim
sangat mengganggu
nelayan lokal 25
Penggunaan bom 2007
Tanah Laut
Kasus penggunaan bom terulang lagi
26 Bagan apung
2008 Tanah
Bumbu Kasus bagan apung terulang lagi
27 Seser modern
2008 Tanah
Bumbu Kasus seser modern terulang lagi
28 Cantrang
2009 Kotabaru,
Tanah Bumbu
dan Tanah
Laut Masuknya cantrang oleh nelayan
Jateng tidak bisa diterima karena nelayan tidak menggunakannya
29 Teripang dan
tiram mutiara 2009
Kotabaru Kasus
pengambilan teripang
terulang lagi.
Di Kalimantan Selatan konflik juga terjadi dalam hal penggunaan laut untuk berbagai kepentingan. Hal ini terjadi karena laut digunakan untuk keperluan
transportasi, pertambangan batu bara, biji besi dan budidaya pembukaan lahanpenebangan mangrove untuk tambak. Interaksi berbagai konflik di
perairan Kalimantan Selatan disajikan pada Gambar 13.
P erika
na n tangka
p
Purse seine
Pengkavlingan laut
Lampara dasar Gillnet
X X
X
Penggunaan bom
Teripang kerang mutiara
X V
Bagan apung Seser modern
Cantrang
X
B u
d i
D ay
a Tambak
Penebangan mangrove
V
P er
ta m
b an
g an
Tambang batubara
X
Tambang Biji
besi
X V
Transportasi
X X
P u
rse se
in e
P en
g k
av li
n g
an la
u t
La mp
ar a
d asar
Gill n
et
P en
g g
u n
aa n
bom Te
ri p
an g
k er
an g
B ag
an a
p u
n g
S eser m
o d
er n
Ca n
tran g
Tam b
ak
P en
eb an
g an
man g
ro v
e b
at u
b ar
a b
ij ib
es i
Tran sp
o rtas
i
Perikanan tangkap
Budidaya Per
tambangan
Sumber: Data primer diolah Keterangan:
: konflik X
: saling merugikan : menguntungkan bagi I
: menguntungkan bagi J V
: saling menguntungkan : netral
Gambar 13 Interaksi berbagai konflik di perairan Kalimantan Selatan Modifikasi dari Cicin-Sain dan Knecht 1998
Berdasarkan Ganbar 13 situs diurutkan menurut interaksi konflik diantara pengguna perairan laut, yaitu: netral 18 kasus, saling menguntungkan 3 kasus,
menguntungkan bagi I 23 kasus, menguntungkan bagi J 8 kasus, saling I
J
merugikan 9 kasus, dan konflik 33 kasus. Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1 Interaksi pemanfaatan pertambangan dengan perikanan tangkap
Di Kabupaten Kotabaru terdapat banyak sekali pertambangan batubara dan biji besi antara lain PT Bahari Cakrawala Sebuku, PT Sebuku Iron Lateralitic
Ores, PT Trans Coalindo, PT Adibara Bransastra, PT Borneo Internusa, PT Arutmin Indonesia, PT Multi Usaha Pratama Saijaan BUMD, PT Batu Besar
Mega Nusantara. Pengerukan lahan dilakukan untuk pembangunan pelabuhan sebagai tempat untuk mendistribusikan hasil pertambangan biji besi dan batubara
mengakibatkan perairan laut tercemar, hal ini terlihat perubahan warna air laut. Nelayan merasa resah dan mengeluh karena terjadi penurunan hasil tangkap.
Lumpur hasil pengerukan untuk pendalaman alur pelabuhan perusahaan dan alat rongsokan dikapal-kapal yang jatuh ke laut mengganggu keamanan dan
kemudahan operasional alat tangkap karena memberatkan alat tangkap yang diangkat nelayan akibat tersangkut lumpur dasar laut akibat pembuangan besi dan
batu-batuan. Beberapa nelayan trammel net dan lampara dasar merasa kesal karena jaring masuk lubang kerokan dan robek, bukan hasil tangkapan yang
didapat tapi ban bekas dan batuan yang tersangkut jaring bahkan jaring putus dan hancur.
Selain pencemaran laut, lampu penerangan pelabuhan yang memiliki intensitas yang tinggi mengalahkan kekuatan lampu yang digunakan sebagai
atraction pada bagan tancap untuk penangkapan ikan teri. Nelayan pengguna
bagan tancap merasa resah karena hasil tangkapan ikan teri mengalami penurunan.
2 Interaksi perikanan tangkap dengan transportasi
Lalu lintas perairan Kotabaru khususnya alur Selat Pulau Laut, Alur Selat Muara Batuan dan Selat Makasar adalah alur perdangangan lokal dan nasional
transportasi domestik yang melayani kapal penumpang dan barang dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Selain itu terdapat juga alur laut kepulauan
Indonesia ALKI yang diperuntukkan kapal-kapal mancanegara melintasi Selat Makasar. Dengan demikian kapal yang melewati alur tersebut terdiri dari kapal
perikanan, kapal barang, tongkang dan kapal penumpang dengan berbagai ukuran.
Kegiatan transportasi laut tersebut meningkatkan perekonomian lokal berupa arus barang dan manusia dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Disisi
lain, buangan limbah domestik dari kapal berpotensi menurunkan kualitas air laut. Perebutan fungsi laut yang mana bagi perusahaan merupakan jalur lalu-lintas
perdagangan sementara bagi nelayan merupakan wilayah fishing ground. Kondisi ini sering terjadinya konflik antara nelayan dan kapal-kapal yang melalui alur
tersebut. Kasus yang terjadi yaitu ditabraknya perahu nelayan oleh kapal-kapal
perusahan tambang, tabrakan perahu nelayan dengan speed boat
dan
terganggunya nelayan pada saat melakukan penangkapan ikan.
Disepanjang pantai Pulau Tabuan sudah terlihat kepingan-kepingan batubara yang mengendap akibat frekuansi lalu lintas dan loading batubara.
Konflik terjadi karena wilayah tangkap ikan yang dimiliki nelayan tradisional secara turun-temurun kini semakin sempit dan kualitasnya pun makin berkurang.
3 Interaksi antara pemanfaatan lahan budidaya dan penangkapan ikan
Penebangan hutan bakau menyebabkan tempat pemijahan beberapa jenis ikan rusak. Penurunan fungsi ekologi laut terlihat dengan menurunnya hasil
tangkap ikan bagi nelayan. Konflik ini memperlemah ikatan solidaritas nelayan tradisional dan petani tambak.
4 Interaksi pertambangan dengan petani tambak
Mengeluhnya petani tambak udang akibat adanya pelabuhan yang mencemari perairan laut yang menjadi sumber air tambak tersebut.
Kualitas air yang menurun mengakibatkan kerugian bagi petani tambak bahkan matinya usaha
tambak di daerah sekitar pertambangan.
4.2.3 Penahapan konflik
Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan memiliki kedinamisan yang
tinggi. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini menggambarkan
dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap-tahap konflik.
Dalam penelitian ini penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan informasi yang diperoleh
selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Kalimantan Selatan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan, yaitu 1 Prakonflik tahun 1960-1979;
2 Konfrontasi tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006; 3 Krisis tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 4 Akibat tahun 2001, 2006-2007 dan 2009; 5 Pasca
konflik tahun 2010-sekarang. Diagnosis pentahapan konflik adalah suatu cara untuk mengkaji tahap-tahap
dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningnkatan intensitas konflik dimasa depan dengan
harapan untuk menghindari pola itu terjadi. 8
Konfrontasi
Akibat
Konfrontasi Akibat Prakonflik
6
4
2
1960 1979
1980 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010 Keterangan:
Sumbu x = Tahun Sumbu y = Eskalasi konflik
Krisis = tindakan anarkis 2 kekerasan fisik 4 penyanderaan kapal dan 6 pembakaran kapal
Gambar 14 Grafik penahapan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan
1 Kondisi prakonflik tahun 1960-1979
Pada masa ini sumber daya yang tersedia masih banyak sehingga kehadiran nelayan dari manapun tidak dirasakan nelayan lokal sebagai pesaing dalam
memanfaatkan sumberdaya. Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open Konfrontasi
Krisis
Pasca konflik
Krisis Krisis
acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan ekspoitasi tanpa terikat kuat
pada batas-batas wilayah. Keberadaan nelayan dari provinsi Kalimantan Selatan seperti Kabupaten
Tanah Laut, Tanah Bumbu masuk ke perairan Kotabaru atau sebaliknya melakukan migrasi musiman dapat hidup berdampingan secara harmonis. Selain
itu kedatangan nelayan andon ke perairan Kalimantan Selatan masih berdampak positif yaitu sektor perdagangan maju, masyarakat dapat menjual jasa di bidang
bahan dan alat tangkap, perbekalan melaut dan penginapan, serta adanya peningkatan peluang bekerja yaitu menjadi ABK bagi nelayan andon. Adanya
peningkatan pendapatan masyarakat yang berusaha di bidang kios-kios dan warung makan.
2 Periode tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006 konfrontasi
Beberapa nelayan di Kotabaru ada yang masih menerapkan adanya pola penguasaan dan kepemilikan wilayah laut oleh kelompok masyarakat. Pola
tersebut terbagi berdasarkan zone wilayah yaitu zona daerah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun, yakni hak eksploitasi sumberdaya di
wilayah laut tertentu terbatas hanya untuk orang-orang dalam kelompok sosial wilayah tersebut. Namun dengan perkembangan zaman sebagian lagi dari nelayan
menganut paham open acces. Periode ini semakin banyak nelayan melakukan migrasi musiman yang
datang ke perairan Kalimantan Selatan dengan membawa teknologi baru atau melakukan modifikasi terhadap alat tangkap, kualitas dan kapasitas yang berbeda
pada fishing ground yang sama, membuat kenyamanan nelayan di perairan Kaliman Selatan merasa terganggu. Di perairan Kotabaru pada periode ini pula
mulai terjadi teguran-teguran bahkan terjadi pertikaian-pertikaian di laut dalam bentuk penolakan terhadap penggunaan alat tangkap yang berbeda dengan alat
tangkap nelayan lokal. Nelayan lokal memberikan peringatan-peringatan baik lisan maupun tertulis dan membuat perjanjian-perjanjian, walaupun pada akhirnya
banyak yang melangar kesepakatan yang dibuat. Beberapa langkah pengamanan telah dibuat seperti mengadakan perpolisian masyarakat oleh pihak kepolisian,
pembinaan dan sosialisasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan.
Kasus konflik daerah tangkap belum berakhir, pada tahun 2000-2005 terjadi lagi konfrontasi. Protes terhadap adanya pengkavlingan daerah penangkapan,
dianggap menimbulkan ketidakadilan terutama oleh pengguna lampara dasar. Menentukan tapal batas dengan cara membuat patok batas wilayah perairan
tempat operasional nelayan tradisional, menetapkan wilayah-wilayah tertentu yang dilarang beroperasinya nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar mini
atau lainnya dan melakukan razia justru menimbulkan konflik yang lebih luas. Pada tahun 2004 untuk menertibkan konflik daerah penangkapan yang
diperebutkan oleh nelayan di Kotabaru, maka dilakukan pertemuan antar nelayan. Diskusi dihadiri oleh Bupati Kotabaru, Kapolres, nelayan Kecamatan Kelumpang
Selatan, Kecamatan Kelumpang Tengah, Kecamatan Pulau Sebuku, Kecamatan Pulau Laut Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru. Kapolres
menyarankan untuk menciptakan areal tangkapan baru, kemudian Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru menyetujui pembagian wilayah penangkapan ditertibkan
kembali. Pembagian wilayahnya masing-masing yang terbagi dalam 6 daerah penangkapan Gambar 15. Daerah penangkapan di Kotabaru terbagi berdasarkan
wilayah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun mulai perairan pantai sampai 5 mil keperairan laut dengan batas sebagai berikut :
1 Zona Pudi - Sanakin -Tanjung Pemancingan 2 Zona
Pulau Simbangan-Tanjung
Tamiang-Sekandis-Talusi-Tanjung Semelantakan Rampa Cengal- Sesulung-Tanah Merah-Separe Kecil-Separe
Besar. 3 Zona Pembelacanan- Pantai-Tanjung Pulau Burung-Tanjung Ayun-Bui
MerahKapal Pecah 4 Zona Pemancingan-Sungai Dungun-Pulau Manti-Sungai Bali-Tanjung Lita
5 Zona Tanjung Mangkok-Tanjung Gunung-Gunung Tinggi-Sekapung-Pulau Kapak
6 Zona Labuhan Mas-Tanjung Serudung-Tanjung Seloka-Pulau Kerayaan Namun upaya pembagian wilayah penangkapan tersebut menimbulkan
konflik lebih meluas karena pencegahan terhadap pengguna lampara dasar mini dan sejenisnya di wilayah tertentu tidak didukung oleh nelayan lain khususnya
nelayan pengguna alat lampara dasar mini. Hal ini bahkan menuai tuduhan
terhadap pelanggaran perjanjian. Nelayan Sungai Dungun menilai nelayan Rampa melanggar jalur penangkapan yaitu nelayan lampara dasar mini hanya boleh
beroperasi pada kawasan di luar jalur nelayan Sungai Tanjung Bantai Langkang Baru ke arah Pulau Manti. Nelayan yang masuk ke wilayah tersebut akan
dipukuli, alat tanggkap dirampas bahkan perahu yang digunakan ditenggelamkan. Bagi nelayan yang mendapatkan perlakuan yang tidak lazim tentu saja
melawan dan meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami, akhirnya penyelesaian konflik melibatkan kepolisian. Organisasi INSAN menuntut
pencabutan patok batas diperairan selat sebuku kerena sangat merugikan dan Insan menuntut dihentikannya tindakan kekerasan serta menghendaki Dinas
perikanan harus tegas dan lebih peduli terhadap konflik yang terjadi. Konflik pengkavlingan laut berkaitan dengan musim udang, antara lain
udang windu Penaeus monodon, udang putih Penaeus indicus, udang jerbung Penaeus merguensis, udang cat Parapenaeopsis sculiptilis dan udang lurik
Metapenaeus canaliculatus. Dalam satu tahun terdapat 3 tiga musim yaitu: 1 musim Utara 2 musim Baratpancaroba dan 3 musim Tenggara. Pada ketiga
musim tersebut potensi udang berbeda-beda untuk setiap wilayah di Kabupaten Kotabaru. Pada musim Utara potensi udang maksimun di daerah Selat Laut tapi
minimum di wilayah lain Tabel 15. Tabel 15 Pola musim udang di Kabupaten Kotabaru
No Musim
Bulan Potensi
Udang Perairan
1 Musim Utara
Januari- April
maksimum Selat laut: antara lain Senakin, Tg Gunung, Karang Piring, Tg
Pemancingan, Pulau Manti, Sei Dungun, Tg Lita, Pulau Kapak.
2 Musim Barat
Pancaroba Mei
Minimum Selat laut
3 Tenggara
angin Selatan
Juni- September
Maksimum Sekitar Senakin dan Tg Dewa, Tg Gunung, Tg Ayun, Karang
piring, Sebuli, Senakin, Pembelacangan, Pulau Kapak,
4 Musim Barat
Pancaroba Oktober-
Desember Minimum
Selat Laut, Pulau Sebuku
Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru
Belum tuntas masalah konflik daerah tangkap kemudian masuknya nelayan purse seine dari provinsi lain Jawa Tengah ke perairan Kotabaru pada
tahun 2006 mendapat izin dari DKP sekarang KKPKementrian Kelautan dan Perikanan. Teknologi yang digunakan jauh lebih maju dibandingkan nelayan
lokal, sehingga dalam melakukan penangkapan ikan nelayan-nelayan dari Pekalongan jauh lebih menguntungkan secara ekonomi daripada nelayan lokal.
Nelayan lokal mengeluh karena hasil tangkap mereka mengalami penurunan sejak masuknya nelayan dari Pekalongan.
Nelayan Jateng melakukan penangkapan ikan pada jalur penangkapan 15 mil, secara yuridis tidak melanggar Undang-Undang yang telah mengatur Jalur-
jalur penangkapan dan telah memiliki surat izin penangkapan ikan. Namun bias cahaya terlihat sebelum 12 mil perairan Kotabaru sehingga ikan-ikan yang berada
di sekitar pantai atau di wilayah kewenangan daerah tertarik oleh daya tarik lampu purse seine.
Tindak lanjut terhadap keresahan nelayan yaitu dibuat kesepakatan antar nelayan mini purse seine Kotabaru dan nelayan purse seine Jateng, yakni nelayan
Jateng tidak menggunakan lampu purse seine berkekuatan tinggi, tidak boleh menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru. Selanjutnya dalam
perjanjian tersebut juga dicantumkan bahwa nelayan Jateng tidak akan merapat di pelabuhan Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es. Yang terakhir, jika
nantinya ditemukan nelayan yang melanggar kesepakatan ini, maka pihak nelayan Kotabaru akan mengambil tindakan tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan yang
menggunakan purse seine. Kenyataannya perilaku nelayan Jateng banyak menyimpang dari
kesepakatan. Nelayan lokal khususnya nelayan mini purse seine melakukan protes ke DPRD dan Bupati Kabupaten Kotabaru, tetapi protes mereka diabaikan.
Akhirnya bulan Mei 2005 nelayan mini purse seine berkumpul dan membuat organisasi nelayan dengan nama AMNES Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan.
AMNES merencanakan penyerbuan dan berkeinginan untuk membakar kapal nelayan Pekalongan, namun aksi dapat digagalkan oleh Angkatan Laut dan
Kepolisian Kabupaten Kotabaru
3 Periode tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 krisis
Pada waktu itu telah terjadi pengkavlingan wilayah penangkapan ikan. Kemudian apabila ada orang luar yang masuk ke wilayah yang terlarang bagi alat
tangkap tertentu maka terjadi pengusiran, kekerasan fisik dan perusakan alat tangkap, penyitaan dan bahkan penenggelaman kapal. Aksi ini dilakukan karena
nelayan dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat. Sebelumnya sudah pernah disepakati masalah jalur penangkapan
dengan memberikan patok dari halayung tiang bakang namun karena hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Selain itu pada periode ini
konflik menjadi terbuka, saling tuduh bahwa jalur penangkapan yang disepakati telah digeser secara illegal.
Organisasi INSAN Ikatan Nelayan Saijaan melakukan negosiasi untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan mengharapkan tidak melakukan
pengkavlingan laut dan berjanji bahwa nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar atau yang memiliki teknologi lebih tinggi tidak akan memasuki wilayah
selat laut dan selat sebuku yang diperuntukkan oleh nelayan tradisonal. Namun karena kasus tersebut sudah berdampak pada kekerasan fisik penyelesaian konflik
dibantu oleh pihak kepolisian. Oganisasi INSAN mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum kepada
pelaku. Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru berjanji untuk membantu
pembebasan perahu nelayan yang ditahan oleh nelayan dan membantu proses pengantian kerusakan atau dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.
Pada tahun 2007 polemik antara nelayan Kotabaru dengan nelayan asal Pekalongan, Juwana, Pati Jawa Tengah yang menangkap ikan di wilayah perairan
Kabupaten Kotabaru dengan menggunakan purse seine masih berlanjut. Kemudian dilakukan perjanjian antara nelayan asal Jawa Tengah yang
menggunakan kapal purse seine dengan HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kotabaru yang ditandatangani di Jakarta. Namun hal ini dianggap tidak
menguntungkan nelayan kotabaru, malah sebaliknya dirasa menguntungkan nelayan Jateng, sehingga nelayan Kotabaru tidak menerima hasil perjanjian dan
kesepakatan yang sudah ditandatangani tersebut.
Masyarakat nelayan Kotabaru yang tergabung dalam HNSI menganggap kalau kesepakatan kedua yang telah ditandatangani tersebut atas nama pribadi,
dan bukan atas nama HNSI, sebab sekarang ini yang bersangkutan sudah bukan ketua HNSI. Akhirnya terjadi inseden pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah
yang ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp. 1,4 milyar. Insiden pembakaran kapal purse seine milik nelayan Jateng di perairan Pulau Kerayaan Pulau Laut
Selatan Kotabaru memicu ribuan nelayan Kotabaru menggelar aksi protes di depan gedung DPRD Kotabaru yang menuntut diusirnya kapal-kapal purse siene
dari perairan Kotabaru. Massa yang tiba secara bergelombang sekitar pukul 10.00 wita melempari gedung DPRD dengan air mineral, mobil-mobil milik anggota
DPRD yang parkir di halaman tak luput dari aksi pukulan pengunjuk rasa. Sementara itu pada tahun 2007 di Kabupaten Tanah Laut terjadi
konfrontasi. Keresahan sejumlah nelayan Tanah Laut yang sudah tiga bulan merasa hasil tangkapan mereka menurun drastis bahkan rugi karena masuknya
nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara dan memiliki surat izin. Nelayan andon yang masuk ke perairan Kalimantan Selatan
berasal dari Sulawesi Ujung Pandang, Maros dan Serigi, Kalimantan Timur dan Jawa Timur Ra’as. Nelayan andon menggunakan kompresor sebagai alat bantu
dalam melakukan usaha penangkapan teripang dan kerang. Nelayan Sumenep dan nelayan Tanah laut melakukan eksploitasi perikanan
pada wilayah fishing ground yang sama yaitu daerah Tanjung Selatan yang secara horizontal berjarak 40 mil dari desa Tabanio. Perairan Tanjung Selatan
merupakan daerah yang subur, banyak terdapat sumber alam yang merupakan usaha penangkapan potensial bagi nelayan Tanah Laut yang merupakan ladang
usaha perikanan tangkap secara turun temurun. Perairan Tanjung Selatan dikenal oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Tanah Laut selain mengandung
sumberdaya ikan juga memiliki terumbu karang dan teripang yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mengundang nelayan luar tertarik masuk untuk
mengambil sumberdaya tersebut. Perairan Tanjung Selatan merupakan perairan yang dangkal dengan kedalaman perairan berkisar 12-27 meter.
Kesepakatan mulai dibuat dengan melakukan negosiasi antara nelayan Tanah Laut dengan Sumenep yaitu pengoperasian penangkapan ikan disesuaikan
dengan aktivitas nelayan lokal. Nelayan Sumenep hanya beroperasi pada siang hari, sedangkan nelayan Tanah Laut malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam
rembug tapi adanya campur tangan TNI AL, akibatnya sejumlah nelayan Tabanio kurang puas dengan kesepakatan itu, karena walaupun jadwal melaut bisa diatur,
namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu merupakan solusi yang ditawarkan pihak TNI AL LANAL.
Mereka sebenarnya tetap menghendaki agar nelayan Sumenep dilarang menjamah perairan di Tanah Laut, kecuali jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan
nelayan lokal. Konflik semakin memanas dan kritis karena jumlah kapal nelayan
Sumenep yang masuk ke perairan Tanjung Selatan semakin banyak yaitu sekitar 400 unit. Dalam 1 satu unit kapal terdapat 1-2 buah kompressor, dimana 1satu
alat kompressor digunakan untuk dua orang. Satu buah kapal terdapat 4-6 orang ABK. ABK yang menyelam ke dalam perairan sebanyak 4 empat orang,
sedangkan ABK yang lain menunggumenjaga di atas kapal. Jumlah keseluruhan ABK yang menyelam di perairan diperkirakan 1.600 orang dari 400 kapal nelayan
andon. Nelayan Tabanio sangat merasa terganggu dengan aktifitas nelayan andon karena penyelaman dalam bentuk besar-besaran mengakibatkan kondisi perairan
rusak, alat tangkap yang dipasang nelayan lokal banyak yang putus karena tersangkut jangkar nelayan andon.
Dengan bantuan LANAL dilakukan sweeping, penyitaan dan penahanan kapal pencari teripang, karena mereka mencurigai kegiatan kapal nelayan Jawa
Timur tersebut telah merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Menurut nelayan setempat, mereka menyelam, mencari kerang dan teripang yang
terdapat di sekitar dasar laut berbatu, sementara tempat itu juga disukai ikan. Masyarakat nelayan lokal juga mencurigai para pencari komoditas laut bernilai
ekspor tersebut menggunakan bahan peledak dan kimia. Nelayan lokal mengajukan tuntutan agar pencari teripang tersebut berhenti beroperasi di perairan
sekitar Tanah Laut dan kemudian menyampaikan kesepakatan ini kepada kawan- kawan mereka. Apabila mereka mau menuruti kesepakatan tersebut, maka
nelayan Tanah Laut bersedia segera melepaskan kelima kapal yang telah disandera.
Pada tahun 2007 juga terjadi konflik antara nelayan Tanah Laut dengan nelayan andon asal Jawa Timur yang menggunakan bom dan diperkirakan telah
merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Dugaan degradasi habitat ini didasari oleh kenyataan bahwa hasil tangkapan nelayan lokal selama tiga tahun
terakhir cenderung menurun. Namun kasus penggunaan bom ini masih belum dapat dibuktikan oleh nelayan setempat, karena sulit menemukan barang bukti.
Nelayan andon yang menggunakan bom menggunakan kapal bermesin cepat sejenis mesin speed boat, sehingga tidak berhasil mengejar beberapa unit kapal
yang terlihat memasuki wilayah perairan Tanah Laut. Selain itu nelayan yang dicurigai melakukan penangkapan ikan menggunakan bom biasanya barang bukti
langsung dibuang sehingga mereka tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan aturan.
Pada tahun 2008-2009 nelayan Kabupaten Tanah Bumbu merasa resah dan awal muncul kecemburuan nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung
yang memperoleh hasil tangkapan ikan teri dan ikan tembang lebih banyak, perbedaan produksi hasil tangkapan yang disebabkan perbedaan teknologi
penangkapan. Nelayan bagan tancap melakukan penghancuran alat dan kapal bagan. Tindak lanjut dari konflik tersebut dibuat kesepakatan dimana nelayan
yang menggunakan alat tangkap yang berbeda tidak boleh beroperasi pada suatu wilayan fishing ground yang sama bahkan tidak boleh beroperasi lagi.
Pada tahun 2009 keberadaan nelayan cantrang yang dilakukan oleh nelayan Pekalongan Jawa Tengah mendapat reaksi keras dari masyarakat nelayan di
Kalimantan Selatan. Beberapa Pokwasmas melayangkan surat kepada Kadis Perikanan di daerah masing-masing Jawa Timur dan Sulawesi yang intinya
melarang keberadaan cantrang beroperasi di perairan Kalimantan Selatan. Penggunaan cantrang oleh nelayan andon mendapat protes keras dari masyarakat
nelayan di Kalimantan Selatan karena penggunaan teknologi penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal
Penggunaan cantrang dinilai sangat merugikan nelayan lokal, disamping itu telah meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keberlanjutan perikanan
tangkap dan belum ada undang-undang yang merekomendasikan alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan.
4 Tahun 2001, 2006-2007 dan 2009 akibat
Walaupun konflik berakhir sejalan dengan berakhirnya musim utara Januari-April maka untuk sementara kehidupan nelayan tampak harmonis dan
konflik berakhir dengan sendirinya, namun pengkavlingan laut dengan patok tiang bakang masih dilakukan.
Pada tahun 2007, khawatir konflik nelaan Kotabaru Kalsel dengan nelayan Tegal Jateng meluas, akhirnya masalah itu dilaporkan ke Presiden dan membentuk
tim perikanan dua propinsi. Gubernur mengintruksikan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel untuk bertatap muka dengan asosiasi nelayan dari Kotabaru
untuk mensosialisasikan naskah awal perjanjian perdamaian. Kemudian pemerintah mengantisipasi konflik, dan merencanakan berbagai upaya: pertama,
dengan menyetop pengeluaran izin baru untuk kapal purse seine, kedua mengalihkan sebagian jenis kapal-kapal itu ke wilayah perairan yang lain.
Pada tahun 2008 dilakukan pertemuan nelayan yang berjumlah kurang lebih 500 orang yang berasal dari tiga Kecamatan yakni 1 Takisung Tabanio,
Pagatan Besar, Kuala Tambangan dan Takisung 2 Panyipatan Batakan, Tanjung Dewa 3 Jorong Swarangan dan dihadiri juga oleh Pol Air, TNI AL
Pos Batakan, Dinas Kelautan dan perikanan Povinsi dan Kepala Dinas Kelautan dan perikanan Tanah Laut, Camat Takisung serta Camat Penyipatan. Nelayan
Tala membuat kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap kehadiran nelayan pencari tripang dan kerang.
Seruan Dinas Kelautan dan perikanan Pemkab Sumenep terhadap Nelayannya agar meninggalkan perairan Tanah Laut ternyata direspon setengah
hati. Mereka masih saja menjamah perairan Tanah Laut hingga akhirnya terjaring sweeping
petugas Pol Air. Ada 12 duabelas kapal yang terjaring sweeping, dan 12 unit selam disita. Semuanya memiliki surat andon, namun tidak pernah lapor
ke Dinas Kelautan dan Perikanan Tanah Laut. Melalui sweeping diyakini mampu membuat nelayan tersebut jera untuk kembali beroperasi ke perairan Tanah Laut.
DKP Tanah Laut dan beberapa perwakilan nelayan Tanah Laut menghadap Menteri Kelautan dan Perikanan. Mereka akan berkonsultasi dan meminta
petunjuk untuk mencari solusi terbaik tentang pengaturan aktivitas melaut nelayan tradisional antar pulau.
5 Periode 2010-sekarang pascakonflik
Pada periode ini walaupun tidak terdapat konflik, nelayan tetap memperjuangkan hak mereka untuk dapat melakukan aktivitas berusaha dalam
kondisi yang aman. Nelayan meminta dukungan dari semua pihak yang dianggap dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Pokmaswas yang terbentuk semakin
aktif dalam melakukan pengawasan dan menghimpun segala permasalahan nelayan.
4.3 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap 4.3.1 Tipologi konflik
Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik. Hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan
tipologi konflik perikanan tangkap yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan seperti yang disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
Ekses Penyebab utama
Jenis konflik
Tipologi konflik
Pihak yang terlibat
Menegur, melarang,
mengusir, pembakaran
kapal, aksi massa
1 Purse seine dari Jateng mendapat izin dari DKP Pusat
2 Kecemburuan nelayan lokal karena kesenjangan teknologi
purse seine 40.000-50.000 watt, fish finder, kapal 45-60
GT, hasil tangkapan dapat mencapai 2-3 tontrip.
Sedangkan nelayan lokal hanya menggunakan mini
purse seine
3 Terjadi persaingan pasar: nelayan purse seine menjual
hasil tangkapannya di Kotabaru dengan harga lebih
murah dari harga ikan yang berlaku di pasaran.
Konflik alat
tangkap: purse
seine Mekanisme
pengelolaan alokasi
internal Mekanisme
pengelolaan Nelayan
purse seine vs nelayan
mini purse Seine, KKP,
DKP, Kepolisian,
TNI AL. Organisasi
nelayan HNSI,
AMNES, INSAN
Tabel 16 lanjutan
Ekses Penyebab utama
Jenis konflik
Tipologi konflik
Pihak yang
terlibat
4 Pengoperasian purse seine berada diluar 12 mil, namun
lampu yang digunakan mampu menarik ikan yang
berada di wilayah perairan Kalsel
yurisdiksi perikanan
Bentrokan fisik,
penganiayaan perusakan,
penyitaan dan penenggelam
an kapal, 1 Perebutan daerah
penangkapan seirama dengan perputaran potensi
sumberdaya udang yang tersebar di beberapa wilayah
Kotabaru
2 Pengkavlingan laut menjadi hak property
3 DKP Kotabaru menyetujui pembagian wilayah
penangkapan. Konflik
pengkavling an laut:
pembagian daerah
penangkapan ikan
Yurisdiksi Perikanan
Nelayan Kec. Pulau
laut Utara vs Kec.
Pulau Sebuku
Kotabaru, Walhi,
INSAN, DKP
Daerah, Kepolisian
Pengusiran, penyitaan,
penyandraan, demontrasi
aksi masa, sweeping
1 Pengambilan teripang dengan cara menyelam dengan alat
bantu kompresor yang diletakkan di atas kapal
dengan panjang selang sekitar 50 meter dipasang pada
mouth piece
, sedangkan nelayan lokal tidak
memanfaatkan teripang 2 Pelanggaran KepMen
No.132004: Pengendalian nelayan andon yang telah
menghambat aktifitas nelayan lokal karena jumlah
kapal nelayan andon sekitar 400 unit dengan 1.600 orang
penyelam telah melebihi kuota.
Konflik alat tangkap: alat
bantu kompressor
untuk pengambilan
teripang dan kerang
mutiara Alokasi
internal, Mekanisme
pengelolaan Nelayan
teripang dan kerang
mutiara Andon
dari Jatim, Sulsel,
Kaltim vs nelayan
lokal dari Tanah
Laut, KKP, DKP pusat
dan Daerah,
TNI AL, Polair,
Pokmaswas
Perkelahian 1 Modifikasi lampara dasar,
penambahan danleno diisi dengan semen agar dapat
mengeruk dasar perairan dan membuka mulut jaring
kemudian nelayan mengganti danleno
tersebut dengan papan layang otter board.
2 Pelanggaran jalur-jalur penangkapan,
mengoperasikaanya di wilayah perikanan tradisional
Konflik alat tangkap:
lampara dasar
Alokasi internal,
Mekanisme pengelolaan
Nelayan lampara
dasar vs nelayan
trammel net, DKP
Daerah, Pokmaswas
Tabel 16 lanjutan
Ekses Penyebab utama
Jenis konflik
Tipologi konflik
Pihak yang terlibat
Pengusiran 2 Pelanggaran Kep. Mentan
39299:Gillnet jalur Ia 3 mil merupakan jalur terlarang bagi
penggunaan gillnet sepanjang 1000 m
Konflik alat tangkap
gillnet Mekanisme
pengelolaan Nelayan
gillnet andon vs
nelayan gillnet
Tanah Laut, DKP Daerah,
Pokmaswas
Pengusiran, pengejaran
kapal 1 Daya ledakan yang ditimbulkan
mencapai radius 100 meter persegi. yang beroperasi pada
pagi dan sore hari dapat merusak terumbu karang, mematikan
habitat ikan dan penyu, mengeruhkan kondisi perairan
dan meningkatkan level sedementasi serta over fishing,
merusak ekosistem dan sistem mata rantai makanan laut yang
berakibat pada penurunan sumberdaya secara drastis.
2 Pelanggaran UU RI No.9 1985, larangan bomillegal fishing
Konflik alat tangkap:
alat bantu bom
Mekanisme pengelolaan
Nelayan pengguna
bom vs nelayan
bukan pengguna
bom, DKP Daerah,
Pokmaswas, PPSDA,
Polair, TNI AL
Penghancur an alat dan
kapal 1 Kesenjangan teknologi bagan
apung, karena kapasitas kapal mampu mengoperasikan bagan
apung yang dapat dipindahkan, hal ini dianggap merebut fishing
ground,
dan merugikan nelayan bagan tancap.
Konflik alat tangkap:
bagan apung
Alokasi internal
Nelayan bagan tancap
Tanah Bumbuvs
nelayan bagan apung
Kotabaru, DKP Daerah,
Pokmaswas
Perkelahian 1 Kesenjangan kualitas peralatan
tangkap antar nelayan seser modern dengan seser tradisional
dalam menangkap jenis ikan sama dan pada fishing ground yang
sama Konflik alat
tangkap: seser
modern Alokasi
internal Nelayan
seser tradisional vs
nelayan seser modern,
DKP Daerah, Pokmaswas
Pengusiran, penahanan
3 Kesenjangan alat tangkap yang menggunakan teknologi
penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal dan
cantrang belum pernah digunakan oleh nelayan lokal
Konflik alat tangkap:
cantrang Alokasi
internal Nelayan
andon Sul- Sel dan
Jateng, KKP, DKP,
Polair, TNI AL,
Pokmaswas
Sumber: data primer diolah
Kebutuhan
4.3.2 Identifikasi kebutuhan, kepentingan dan posisi pihak yang berkonflik 1
Kasus purse seine
Perbedaan idiologi dan prinsip dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan antara nelayan yang berkonflik kemudian mengartikulasikan sumberdaya
perikanan secara berbeda dan memperlakukannya secara berbeda pula. Analisis terhadap
”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan mini purse seine dan nelayan purse seine
digambarkan pada Gambar 16. Nelayan mini purse seine menganggap alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang berpotensi mengancam
kelestarian sumberdaya perikanan. Potensi negatif ini terbukti bahwa susahnya mendapatkan ikan ketika nelayan purse seine beroperasi di sekitar perairan
Kotabaru.
Posisi
Posisi
Kepentingan
Gambar 16 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus purse seine
Wilayah konflik Nelayan purse seine
Nelayan mini purse seine
- Pengoperasian purse seine
merugikan nelayan lokal
- Pelarangan pengoperasian
purse seine di sekitar perairan
Kotabaru
- Memperoleh hasil tangkapan
- Kelestarian SDI
-
Keberlanjutan dalam berusaha
- Keadilan dalam pemanfaatan SDI
- Memperoleh hasil tangkapan
- Memperoleh keuntungan sebesar-
besarnya - Keamanan dalam
berusaha - Keberlanjutan izin
usaha - Kepastian
hukum -
Purse seine adalah usaha yang sah dan memiliki
surat izin - Penggunaan lampu
berkapasitas tinggi dan menjual hasil tangkapan
di wilayah Kotabaru merugikan nelayan lokal
Kebutuhan
2 Kasus daerah penangkapan ikan
Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan nelayan Kecamatan Pulau Laut digambarkan pada Gambar 17. Konsepsi yang
berlanjut pada eksploitasi sumberdaya perikanan yang dianut oleh nelayan Kecamatan Pulau Sebuku masih menganut eksploitasi perikanan dengan alat
tangkap tradisional yang telah turun temurun. Hal ini dikuasai oleh nelayan tradisional yang masih bertahan dengan alat tangkap sero, rakang, pacing dan
trammel net. Daerah penangkapan yang telah dimanfaatkan secara turun temurun tersebut telah dianggap sebagai hak property bagi mereka, sehingga apabila
nelayan luar masuk ke wilayah tersebut apalagi memiliki alat tangkap yang lebih besar atau yang telah dimodifikasi telah dianggap melanggar norma dan tidak
menjaga kelestarian sumberdaya perikanan.
Posisi
Kepentingan
Gambar 17 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada
kasus daerah penangkapan
Wilayah konflik Nelayan Kecamatan
Pulau Laut
Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku
-
Pelarangan terhadap nelayan selain
kecamatan Pulau Sebuku dilarang
masuk perairan selat laut pada musim utara
-
Pelarangan alat tangkap yang sudah
mengalami modiifikasi
- Tidak mematuhi masalah perbatasan, yang sudah
ditetapkan - Lampara Dasar
modifikasi yang menggunakan papan
layang dianggap tidak ramah lingkungan
- Memperoleh hasil tangkapan
- Kelestarian SDI
-
Keberlanjutan dalam berusaha
- Keadilan dalam pemanfaatan SDI
- Memperoleh hasil tangkapan
- Memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
- Keamanan dalam berusaha - Keberlanjutan izin usaha
- Kepastian hukum
Kebutuhan
3 Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara
Analisis terhadap “kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kabupaten Tanah Laut dan nelayan andon memburu kerang dan teripang dari Sulawesi, Jawa Tengah dan
Kalimantan Timur digambarkaann pada Gambar 18. Nelayan dari Kabupaten Tanah Laut menganggap nelayan andon mengambil teripang menggunakan benda
tajam merusak karang yang berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Banyaknya jumlah kapal yang masuk sekitar 400 unit sangat
mengganggu aktivitas nelayan lokal. Potensi negatif ini terbukti bahwa susahnya mendapatkan ikan dan robeknya jaring karena tersangkut jangkar nelayan andon
ketika nelayan andon beroperasi di sekitar perairan Kabupten Tanah Laut.
Posisi
Kepentingan
Gambar 18 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus teripang
Wilayah konflik
- Banyaknya nelayan penyelam, merusak
karang mencari teripang merugikan
nelayan lokal
- Pelarangan perburuan teripang
di sekitar Kab. Tala
-
Memperoleh hasil tangkapan
yang memadai sepanjang tahun
-
Keberlanjutan dalam berusaha
- Keadilan dalam pemanfaatan
SDI Nelayan andon pencari
teripang adalah usaha yang sah dan memiliki surat izin
- Memperoleh hasil tangkapan melimpah
dan keuntungan yang
besar - Keamanan dalam
berusaha - Keberlanjutan dalam
berusaha - Keadilan dalam
pemanfaatan SDI
Nelayan lokal tidak pengambil teripang
dan kerang mutiara Nelayan andon pencari
teripang dan kerang mutiara
Kebutuhan
4 Kasus lampara dasar
Analisis terhadap “kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan tradisional terutama nelayan trammel net dengan nelayan lampara dasar digambarkan pada Gambar 19.
Nelayan trammel net menganggap nelayan lampara dasar tidak ramah lingkungan karena bersifat mengeruk ikanudang yang berpotensi mengancam kelestarian
sumberdaya perikanan. Potensi negatif ini terbukti bahwa sedikitnya ikan yang tertangkap ketika lampara dasar beroperasi berrsamaan dengan nelayan trammel
net.
Posisi
Kepentingan
Gambar 19 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi”
pada kasus lampara dasar 5
Kasus gillnet
Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan gillnet yang berbeda kapasitas. Nelayan gillnet dari Tanah Laut dan nelayan gilnet andon digambarkan pada
Wilayah konflik Nelayan Lampara
dasar Nelayan
trammel
net
-
Pengoperasian lampara dasar
dapat merugikan nelayan lokal
- Memperoleh hasil tangkapan
yang memadai sepanjang tahun
- Kelestarian SDI - Keberlanjutan
dalam berusaha - Keadilan dalam
pemanfaatan SDI - Kepastian Hukum
- Memperoleh hasil tanggkapan
- Memperoleh keuntungan
- Kepastian hukum - Keamanan berusaha
Belum ada kejelasan Pelarangan
pengoperasian lampara dasar tidak merugikan
siapapun
Kebutuhan
Gambar 20. Nelayan lokal menganggap nelayan andon menggunakan gillnet melebihi kapasitas tidak mengikuti anjuran dalam Kep. Mentan 39299 yang
mengatur penggunaan gillnet Jalur 3 mil terlarang bagi penggunaan Gillnet sepanjang 1000 m.
Posisi
Kepentingan
Gambar 20 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus gillnet
6 Kasus penggunaan bom
Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan yang bukan pengguna bom dengan nelayan pengguna bom digambarkan pada Gambar 21. Nelayan yang
menggunakan bom diangggap oleh masyarakat adalah perilaku yang menyimpang deviant behaviour dengan beragam motif, seperti ingin kaya dengan cara atau
mungkin terpaksa karena adanya benturan dengan kondisi ekonomi. Ironisnya para pelaku pengguna bom sulit ditangkap, berdasarkan keterangan informan hal
tersebut disebabkan luasnya kondisi perairan, kurangnya fasilitas dan anggaran dana untuk menertibkan pengguna bom. Selain itu pengguna bom menggunakan
Wilayah konflik Nelayan gillnet
andon
Nelayan gillnet lokal
Pelarangan pengoperasian
gillnet yang melebihi
kapasitas Pengoperasian gillnet
tidak merugikan siapapun
- Memperoleh hasil tangkapan
yang memadai sepanjang tahun
-
Kelestarian
SDI
- Kepastian Hukum
- Memperoleh hasil tanggkapan
- Memperoleh keuntungan
- Keamanan berusaha
Kebutuhan
kapal bermesin 6 enam silender sehingga kalah cepat ketika dilakukan pengejaran.
Apa yang telah dilakukan nelayan penggguna bom tersebut telah mematikan ikan hingga telurnya bahkan yang masih tersembunyi pada karang ikut
musnah dan keberadaan penyu ikut terganggu, karena daya ledaknya begitu kuat. Daya ledakan yang ditimbulkan mencapai radius 100 meter persegi. Nelayan
pengguna bom ini biasanya dalam 1 satu unit kapal terdiri dari 10 ABK, yang beroperasi pada pagi dan sore hari.
Posisi
Kepentingan
Gambar 21 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus
penggunaan bom
7 Kasus bagan apung
Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan bagan tancap dengan nelayan bagan apung digambarkaann pada Gambar 22. Nelayan bagan apung
Wilayah konflik Nelayan pengguna bom
Nelayan Bukan pengguna bom
bom
- Penggunaan bom
merupakan peanggaran UU No
45 Tahun 2009, revisi UU No 31
Tahun 2004 dan tidak sesuai dengan
norma
- Memperoleh hasil tangkapan
yang memadai sepanjang tahun
- Kelestarian SDI - Keberlanjutan
dalam berusaha - Keadilan dan
keamanan dalam pemanfaatan SDI
- Kepastian Hukum
-
Tidak mentaati UU yang berlaku di Indonesia
sehingga menimbulkan kerusakan dan kerugian
sumberdaya ikan dan ekosistem perairan
- Memperoleh hasil tangkapan yang
melimpah - Memperoleh
keuntungan sebesar- besarnya
- Keperluan mendesak dan keuntungan sesaat
Kebutuhan
menganggap bahwa nelayan bagan apung merebut wilayah fishing ground bagan tancap. Potensi negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang dan
pendapatan mereka menurun bersamaan dengan beroperasinya bagan apung.
Posisi
Kepentingan
Gambar 22 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus bagan apung
8 Kasus seser modern
Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan seser tradisional dengan nelayan seser modern digambarkaann pada Gambar 23. Nelayan seser modern
dianggap melakukan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada fishing ground
yang sama dengan seser tradisional. Potensi negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang bersamaan dengan beroperasinya seser modern.
Wilayah konflik Nelayan bagan apung
Nelayan bagan tancap
- Pengoperasian bagan
apung dapat merugikan nelayan bagan tancap
- Bagan apung yang bisa dipindahkan dianggap
merebut wilayah bagan tancap
- Pelarangan pengoperasian bagan apung di wilayah
bagan tancap bagan tancap
- Memperoleh hasil tangkapan
- Kelestarian SDI Memperoleh
keadilan Pengoperasian bagan
apung tidak merugikan siapapun
- Memperoleh hasil tangkapan
- Memperoleh keuntungan sebesar-
besarnya
- Keamanan berusaha
Kebutuhan
Posisi
Kepentingan
Gambar 23 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus seser modern
9 Kasus cantrang
Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari
pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kal-Sel dengan nelayan cantrang dari Sulawesi dan Jawa Tengah gambarkan pada Gambar 24. Nelayan
seser modern dianggap melakukan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada fishing ground yang sama dengan seser tradisional. Potensi negatif ini
terbukti ketika hasil tangkapan berkurang bersamaan dengan beroperasinya seser modern.
Wilayah konflik
Nelayan seser modern
Nelayan seser tradisional
- Adanya anggapan
bahwa tidak boleh mengadakan
kegiatan eksploitasi dengan level yang
lebih tinggi
- Pelarangan - Memperoleh
hasil tangkapan - Kelestarian SDI
Memperoleh keadilan
Pengoperasian seser modern tidak merugikan
siapapun
Memperoleh hasil tangkapan dan
keuntungan yang besar
- Keamanan berusaha
Kebutuhan
Posisi
Kepentingan
Gambar 24 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus cantrang
4.4.3 Identifikasi sikap, perilaku dan konteks sebagai faktor yang mempengaruhi konflik
Analisis ini didasarkan pada prinsip bahwa konflik memiliki tiga lembaga utama yaitu: konteks atau situasi K, perilaku mereka yang terlibat P dan
sikapnya S. Ketiga prinsip ini ditunjukkan sebagai sebuah segitiga sama sisi. Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi, oleh
karena itu tanda panahnya dua arah di setiap sudut Gambar 25 sampai Gambar 33.
Wilayah konflik
Nelayan cantrang andon
Nelayan Lokal Kal-Sel
Pelarangan keberadaan cantang
beroperasi di sekitar perairan Kal-Sel
karena penggunaan teknogi yang berbeda
dengan masyarakat lokal
- Memperoleh hasil tangkapan
- Kelestarian SDI
Memperoleh keadilan
Belum jelasnya pelarangan cantrang
beroperasi di sekitar perairan Kal-Sel
- Memperoleh hasil tangkapan
- Memperoleh keuntungan sebesar-
besarnya
Keamanan berusaha
121
1 Kasus purse seine
A Sikap
Kebutuhan:
Konteks
-
Menegur nelayan purse seine dari Jateng yang masuk keperairan sekitar
Kabupaten Kotabaru - Mengusir nelayan purse seine yang
menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru
- Melarang nelayan purse seine yang mengisi bahan bakar, air dan es di
wilayah Kotabaru - Melakukan pembakaran kapal purse
seine - Membentuk asosiasi dengan pihak
Pandangan nelayan mini purse seine terhadap nelayan purse seine
- Purse seine menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan
- Nelayan purse seine menggunakan teknologi yang lebih tinggi lampu
40.000 watt menarik ikan-ikan yang berada di wilayah perairan Kotabaru
- Nelayan purse seine mendapat izin dari DKP Pusat
Pandangan nelayan mini purse seine terhadap diri sendiri
- menyadari pentingnya menjaga
kelestarian sumberdaya perikanan
-
merasa sebagai pihak yang dirugikan
- tidak memiliki modal
- Situasi yang tidak tenangresah untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya
ikan di wilayah sendiri - Belum optimalnya hukum dalam
menyelesaikan masalah - Sumberdaya ikan dapat habis jika
tidak dijaga dengan benar
Gambar 25 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan mini purse seine terhadap nelayan purse seine
B Perilaku
Keamanan berusaha dan ketersediaan
sumberdaya ikan
122
2 Kasus daerah penangkapan B Perilaku
A Sikap
Kebutuhan:
C Konteks
- Mengabaikan teguran-teguran yang dilakukan oleh nelayan
tradisional - Melakukan aksi perlawanan,
berlindung kepada aparat - Intimidasi, pemukulan,
penyitaan, penenggelaman kapal
Pandangan nelayan yang melakukan pengkavlingan
terhadap nelayan lain yang masuk wilayahnya
- Nelayan lain jangan melakukan
penangkapan di wilayah sekitar tempat tinggal mereka hak
property
- Banyaknya nelayan lain yang masuk wilayah mereka dapat dapat
mengurangi menghabiskan sumberdaya udangover fishing
Pandangan nelayan tradisional terhadap diri sendiri
- Tidak memiliki modal yang besar - Tetap menggunakan alat tangkap tradisional yang
dilakukan secara turun temurun - Mempertahankan sumberdaya untuk anak cucu
- Mendapat dukungan dari DKP - Perairan laut bersifat
milik bersama dimana setiap orang boleh
memanfaatkannya
- Belum optimalnya hukum dalam
penyelesaian masalah
Gambar 26 Prinsip ”Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan yang melakukan
pengkavilngan daerah penangkapan Keamanan berusaha
dan ketersediaan sumberdaya ikan
123
3 Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara
A Sikap
Kebutuhan:
C Konteks
- Menahan kapal nelayan andon dan mengancam untuk
meninggalkan perairan Tanah Laut
- Melakukan sweeping dan menyita kompresor nelayan
andon
Pandangan nelayan Tanah Laut terhadap nelayan andon pencari
teripang dan kerang - Nelayan andon mempunyai modal
untuk memiliki alat bantu penangkapan yang lebih tinggimodern
- Nelayan andon sudah memiliki jaringan pemasaran teripang kerang
- Nelayan andon bersikap tidak bersahabat, terlaku banyak merusak
karang
Pandangan nelayan Tanah Laut terhadap diri sendiri
- menyadari pentingnya menjaga kelestarian
sumberdaya perikanan
- merasa sebagai pihak yang dirugikan
- Situasi yang tidak tenangmerasa terganggu oleh
aktivitas penyelam - Belum optimalnya hukum
dalam menyelesaikan masalah - Sumberdaya ikan dapat habis
jika tidak dijaga dengan benar Gambar 27 Prinsip
“Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Tanah Laut terhadap nelayan andon pencari teripang dan kerang
B Perilaku
Keamanan berusaha dan ketersediaan
sumberdaya ikan
124
4 Kasus lampara dasar
A Sikap
Kebutuhan:
B Perilaku
C Konteks
- menegur dan mengusir nelayan
lampara dasar
Pandangan nelayan tradisional terhadap nelayan lampara dasar
- Nelayan lain mempunyai modal
untuk memiliki alat tangkap yang lebih tinggimodifikasi
- Dapat menghabiskan sumberdaya pesisirover fishing di wilayah
pesisir fihing ground nelayan tradisional
- Persaingan yang tidak seimbang
Pandangan nelayan tradisional terhadap diri sendiri
- Siap merubah alat, tetapi biaya
modal tidak mampu - Mengetahui alat tangkap yang
ramah lingkungan - Sumberdaya ikan
merupakan potensi namun bisa habis
- Kepastian hukumperda tentang penggunaan
lampara dasar
Gambar 28 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan tradisional terhadap
nelayan lampara dasar Keamanan berusaha
dan ketersediaan sumberdaya ikan
125
5 Kasus gillnet
A Sikap
Kebutuhan:
B Perilaku
C Konteks
Mengusir nelayan gillnet andon dari perairan Tanah
Laut
Pandangan nelayan gillnet Tanah Laut terhadap nelayan gillnet
andon - Pelarangan penggunaan gillnet
yang melebihi kapasitas - jangkar gillnet andon menyangkut
pada alat tangkap nelayan lokal.
Pandangan nelayan gillnet Tanah Laut terhadap diri sendiri
- Mendapat dukungan dari pemerintahaparat
- Mengetahui adanya pelarangan terhadap gillnet yang melebihi kapasitas
- Kepastian hukum dalam berusaha
- Adanya Kep. Mentan 39299 yang mengatur penggunaan
gillnet. Jalur Ia 3 mil terlarang bagi gillnet sepanjang
1.000m.
Gambar 29 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan gillnet Tanah Laut
terhadap nelayan gillnet andon Keamanan berusaha
dan ketersediaan sumberdaya ikan
126
6 Kasus penggunaan bom
A Sikap
Kebutuhan:
B Perilaku
C Konteks
- Mengejar nelayan yang menggunakan bom untuk
diadili - pelaporan kepada aparat
tentang adanya penggunaan bom
Pandangan nelayan terhadap nelayan pengguna bom
-
Merusak terumbu karang, mematikan habitat ikan dan penyu,
mengeruhkan kondisi perairan dan meningkatkan level sedementasi
serta over fishing, merusak ekosistem dan sistem mata rantai
makanan laut yang berakibat pada menurunan sumberdaya secara
drastis.
bom - praktik illegal fishing
Pandangan nelayan bukan pengguna bom terhadap diri sendiri
- menyadari pentingnnya menjaga sumberdaya perikanan
- mengetahui cara pemanfaatan SDI yang tidak merusak
- mendapat dukungan dari aparat -
Penggunaan bom merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dan tidak sesuai
dengan norma-norma yang diberlakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
- belum optimalnya hukum dalam memberantas illegal fishing
- sumberdaya ikan dapat habis jika tidak dijaga dengan benar
Gambar 30 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan terhadap nelayan pengguna bom
Keamanan berusaha dan ketersediaan
sumberdaya ikan
127
7 Kasus bagan apung
A Sikap
Kebutuhan:
B Perilaku
C Konteks
Menghancurkan bagan apung
Pandangan nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan
apung - Bagan apung penyebab
penurunan hasil tangkapan bagan tancap
- Bagan apung beroperasi di wilayah bagan tancap
Pandangan nelayan bagan tancap terhadap diri sendiri
- merasa sebagai pihak yang dirugikan - tidak memiliki keahlian dan ketahan
fisik melakukan penagkapan dengan bagan apung
Situasi yang tidak aman untuk melakukan
pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah sendiri
Gambar 31 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan bagan tancap terhadap
nelayan bagan apung Keamanan berusaha
dan ketersediaan sumberdaya ikan
128
8 Kasus seser modern
A Sikap
Kebutuhan:
B Perilaku
C Konteks
Mengusir nelayan seser modern dari fishing ground seser
Pandangan nelayan seser terhadap nelayan seser modern
- Nelayan seser modern mempunyai modal untuk
memiliki kapal, mesin tempelmodifikasi seser
- Dapat menghabiskan sumberdaya pesisirover fishing di wilayah
pesisir fihing ground nelayan tradisional
- Persaingan yang tidak seimbang
Pandangan nelayan seser terhadap diri sendiri
- Siap merubah alat, tetapi biaya
modal tidak mampu Situasi yang tidak aman
untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya
ikan di wilayah sendiri
Gambar 32 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan seser terhadap nelayan
seser modern Keamanan berusaha
dan ketersediaan sumberdaya ikan
129
9 Kasus cantrang
A Sikap
Kebutuhan: B Perilaku
C Konteks
Melakukan penyandraan dan penyitaan cantrang dan berjanji untuk
tidak kembali lagi
Pandangan nelayan Kal-Sel terhadap nelayan cantrang andon
- Perbedaan teknologi perikanan tangkap yang mana nelayan lokal
tidak menggunakan cantrang - Cantrang menyebabkan hasil
tangkapan berkurang
Pandangan nelayan Kal-Sel terhadap diri sendiri
- merasa sebagai pihak yang dirugikan
- menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan
- mengetahui cara memanfaatan SDI yang tidak merusak
belum ada Undang-undang yang merekomendasikan
alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di sekitar
perairan Kalimantan Selatan
Gambar 33 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Kal-Sel terhadap
nelayan cantrang cantrang andon
B Perilaku
Keamanan berusaha dan ketersediaan
sumberdaya ikan
4.3.4 Sumber konflik
Berdasarkan hasil analisis bawang bombay dan segitiga SPK maka dapat dijelaskan sumber konflik yang disebabkan oleh perbedaan ”posisi-kepentingan-
kebutuhan” antara pihak yang berkonflik. Kemudian dijelaskan pula prinsip ”sikap-perilaku-konteks” antara nelayan yang dirugikan terhadap nelayan lain.
Dengan mengacu kepada pendekatan tersebut maka dapat dijelaskan pula sumber konflik Gorre 1999 dapat dikategorikan kepada konflik yang disebabkan
masalah hubungan, perbedaan kepentingan, masalah struktural dan konflik nilai Tabel 17
Tabel 17 Sumber konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan No
Kasus Konflik
Penyebab utama Sumber Konflik
1 Purse seine
1 Keberadaan nelayan pengguna purse seine mendapat izin dari
DKP Pusat, sementara nelayan lokal merasa dirugikan
Masalah struktural
2 Penggunaan purse seine bagi nelayan andon merupakan
pengembangan teknologi perikanan tangkap, namun
bagi nelayan Kal-Sel merupakan tindakan over
fishing
yang menurunkan stok ikan
Perbedaan nilai
3 Amarah nelayan local terhadap penggunaan purse seine pada
posisi 15 mil yang secara yuridis memang tidak melanggar jalur
penangkapan, ditambahlagi keberadaan UU No. 32 tahun
2004 tentang Otda, pemkab 4 mil, pem-prov 8 mil menguatkan
posisi nelayan andon, sehingga membangkitkan amarah nelayan
local untuk melakukan anarkis Masalah hubungan
2 Daerah
penangkapan 1 pengkavlingan laut karena adanya
anggapan terhadap pemilikan sumberdaya disekitar daerah
tempat tinggal property right, namun disisi lain merupakan
ketidakadilan bagi mereka yang memiliki wilayah tidak subur
Masalah hubungan
Tabel 17 lanjutan No
Kasus konflik
Penyebab utama Sumber Konflik
3 Pengambilan
teripang 1 Amarah terhadap
penggunaan kompresor dengan selang 50 m pada
mouth piece mengambil teripang pada wilayah berkarang
untuk memperoleh keuntungan besar, namun disisi lain
mengganggu aktivitas nelayan lain yang ingin mempertahankan
keberlanjutan sumberdaya pada wilayah berkarang
Perbedaan kepentingan
2 pemberian surat izin terhadap nelayan pemburu teripang
yang masuk di perairan Tala terlalu besar sangat merugikan
aktivitas nelayan lokal Masalah struktural
4 Lampara
dasar 1 Disatu sisi modifikasi lampara
dasar merupakan perkembangan teknologi
untuk meningkatkan produksi, namun jika penggunaannya di
lakukan di wilayah tangkap tradisonal maka dapat
mengakibatkan over fishing Perbedaan nilai
2 DKP Kal-Sel memberikan
rekomendasi menggunakan balok penuntun segitiga
danleno, kemudian nelayan memodifikasi lagi dengan papan
layang. Pengoperasiannya melanggar JJP bagi nelayan
tradisional merugikan nelayan tradisional
Masalah struktural
5 Bagan apung
1 Disatu sisi penggunaan bagan apung dapat meningkatkan
produksi namun disisi lain terdapat anggapan bahwa
orang lain tidak boleh mengadakan kegiatan
eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada daerah
tangkap yang sama dan untuk menangkap jenis ikan yang
sama Perbedaan nilai
Tabel 17 lanjutan No
Kasus konflik
Penyebab utama Sumber Konflik
6 Seser modern
1 Di satu sisi pengoperasian seser modern menggunakan kapal
dapat meningkatkan produksi dan efektifitas namun disisi lain
terdapat anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan
kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada daerah
tangkap yang sama dan untuk menangkap jenis ikan yang
sama Perbedaan nilai
7 Gillnet
1 Pelanggaran Kep. Mentan 39299:Gillnet jalur Ia 3 mil
merupakan jalur terlarang bagi penggunaan gillnet sepanjang
1000 m Masalah struktural
8 Penggunaan
bom 1 Pelanggaran UU RI No 9 1985
tentang perikanan: Larangan penggunaan bom
dan tidak sesuai dengan norma- norma yang diberlakukan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan illegal fishing
Masalah struktural
9 Cantrang
1 Amarah terhadap penggunaan cantrang yang digunakan oleh
nelayan andon, nelayan lokal tidak menggunakan cantrang
adalah untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya
karena cantrang dianggap sejenis trawl dan belum
adanya izin yang membolehkan alat tangkap cantrang beroperasi
di wilayah perairan Kalsel Perbedaan
kepentingan
Sumber: Data primer diolah
4.4 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Konflik 4.4.1 Resolusi konflik
Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan nelayan di Kalimantan Selatan telah dilakukan sejak awal munculnya konflik, namun penyelesaian ini
belum dilakukan secara bersama-sama dan masih terpisah pada masing-masing desa yang terlibat dalam konflik. Secara umum upaya penyelesaian konflik
yang dilakukan mulai dari memberi peringatan sampai pada aksi perlawanan atau konfrontasi yang berujung pada tindakan kekerasan dan pembakaran dapat
dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34 Upaya penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
Dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan upaya yang dilakukan, ditandai dengan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan baik
tertulis maupun tidak tertulis yaitu beberapa kesepakatan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap. Hasil pengamatan di lokasi penelitian
Sikap AksiTindakan
Menghindari konflik
Pendekatan ke pemerintah dan aparat
hukum
Menunjukkan sikap perlawanankonfrontasi
Pengendalian diri Memberikan peringatan
dan negosiasi
pelaporan
Proses hukum
Melakukan penangkapan,
pembakaran dan penyanderaan
Pemberian sanksi, denda, penyitaan
Tidak ada
ada
terdapat beberapa upaya yang dilakukan, bahkan dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik resolusi konflik dalam suatu jenis konflik.
1 Kasus purse seine
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik purse seine terangkum dalam status penyelesaian konflik yang disajikan pada Tabel 18.
Langkah pertama yang dilakukan oleh masyarakat nelayan mini purse seine di Kotabaru yaitu dengan berinisiatif menemui wakil dari pihak lawan untuk
melakukan negosiasi secara langsung untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Tabel 18 Status penyelesaian konflik pada kasus purse seine
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
1 Surat pernyataan kesepakatan antara nelayan
Pekalongan vs nelayan Kotabaru tahun 2004 Negosiasi
2 Surat pernyataan kesepakatan antara nelayan Tegal
vs nelayan Kotabaru tahun 2005 Fasilitasi
3 Tindak lanjut kesepakatan yang diwakili seluruh
stakeholder dilakukan di Surabaya tahun 2005
Fasilitasi 4
Masih beroperasinya kapal purse seine sekitar 40 buah berada di selat makasar maka dilakukan tindak
lanjut kesepakatan penyelesaian konflik yang diwaliki seluruh stakeholder dilakukan di Makasar
tahun 2007 Fasilitasi
Konflik antara nelayan Kotabaru dan nelayan Pekalongan 1 April 2004 dapat diselesaikan dengan membuat surat pernyataan dari pemilik kapal purse
seine. Terdapat 4 empat point dalam surat pernyataan tersebut, yaitu: 1 Tidak akan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Kabupaten Kotabaru
dengan menggunakan cahaya lampu 2 Sebisa mungkin bias cahaya lampu tidak terlihat dari perairan Kabupaten Kotabaru sejauh 12 mil dari pulau terluar 3
Tidak akan merapat ke pelabuhan Kabupaten Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es serta tidak menjual ikan kecuali dalam keadaan darurat 4.
Apabila dikemudian hari ditemukan oleh nelayan melanggar surat pernyataan ini maka pihak nelayan Kabupaten Kotabaru dapat melakukan tindakan-tindakan
tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan purse seine.
Dalam upaya ini masih mengalami kegagalan karena masih bersifat parsial, tidak tersosialisasikan terhadap pengguna lain. Melalui teknik
neogosiasi tersebut, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kesepakatan yang dibuat hanya mengandalkan moral. Pengguna purse seine semakin banyak
melakukan eksploitasi di sekitar perairan Kotabaru, sehingga terjadi tuduhan pelanggaran kesepakatan.
Penanganan konflik ditindaklanjuti dengan menghubungi pihak ketiga yaitu Dinas Perikanan daerah untuk memohon dilakukan intervensi berupa
fasilitasi. Penggunaan teknik fasilitasi ini merupakan bentuk perhatian pemerintah dan memiliki kekuatan hukum terhadap pelanggaran kesepakatan,
namun kesepakatan tersebut harus diwakili langsung oleh stakeholder yang berkepentingan. Pada tanggal 16 Juni 2005 bertempat di Departemen Kelautan
dan Perikanan berisi 14 poin kesepakatan yaitu: 1 Mewujudkan iklim usaha penangkapan ikan yang nyaman, kondusif dengan
keamanan yang terjamin. Upaya ini melibatkan seluruh stakeholders, termasuk Dinas Perikanan dan Kelautan di setiap daerah serta Departemen
Kelautan dan Perikanan. 2 Mencegah kerusakan sumberdaya ikan dari kegiatan penangkapan ikan yang
menggunakan bahan dan alat tangkap yang dilarang, pelanggaran jalur penangkapan ikan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku 3 Untuk sementara, sambil menunggu hasil kajian BPPI semarang tentang
pengaruh intensitas cahaya lampu purse seine, kapal purse seine dapat beroperasi dengan jarak sedikitnya 20 mil laut dari batas surut terendah dari
setiap pulau pada malam hari 4 Untuk sementara, kekuatan lampu intensitas cahaya kapal purse seine
maksimal 12.000 watt di atas kapal 5 Hasil penangkapan ikan kapal purse seine tidak dipasarkan di pasar lokal.
Dalam hal pemasaran agar dapat melakukan kerjasama dengan nelayan setempat
6 Merintis upaya kemitraan antara nelayan perikanan tangkap Provinsi Jawa Tengah dengan provinsi Kalimantan Selatan
7 Untuk melakukan peningkatan teknologi penangkapan ikan dalam upaya mengatasi kesenjangan teknologi dibawah koordinasi Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan 8 Dilakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kesepakatan yang telah
ditetapkan 9 Jika terjadi perselisihan perihal pelaksanaan kesepakatan diatas maka akan
dilakukan musyawarah yang melibatkan unsur-unsur yang terlibat yang difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah
10 Segera melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada nelayan Jawa Tengah dan Kotabaru Kalimantan Selatan yang akan dimotori
oleh Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi masing-masing daerah 11 BPPI segera melakukan pengkajian terhadap efektifitas penggunaan lampu
pada kapal purse seine. Kajian ini melibatkan perwakilan HNSI, Dinas Perikanan dan Kelautan serta perwakilan nelayan Kotabaru dan Jawa
Tengah 12 Kesepakatan ini berlaku mulai ditandatangani sampai keluarnya keputusan
pemerintah pusat mengenai aturan penggunaan lampu 13 Bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan ini, akan dikenai sangsi
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku 14 dengan ditandatanganinya kesepakatan ini, maka kesepakatan sebelumnya
dinyatakan tidak berlaku Namun bedasarkan hasil kesepakatan tersebut masih belum bisa
menyelesaikan konflik, masih terdapat ketidakpuasan terhadap kesepakatan tersebut dan purse seine masih beroperasi di selat makasar wilayah perairan
Kotabaru. Nelayan Kotabaru melakukan protes ke DPRD dan Bupati Kotabaru. Kemudian membentuk AMNES Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan. Konflik
semakin berkembang setelah adanya pengakuan nelayan purse seine yang tidak melanggar UU Jalur-jalur penangkapan dan dimiliki surat izin penangkapan ikan
dari pusat, menyebabkan amarah nelayan lokal. Penyelesaian konflik mendapat tanggapan serius dari pemerintah dengan melakukan tindak lanjut terhadap
kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Pada tanggal 24 –25 Januari
2006 di Surabaya dilakukan pertemuan dipimpin oleh DKP Provinsi, diperoleh suatu rumusan evaluasi resolusi konflik purse seine yaitu:
1 Evaluasi perkembangan konflik purse seine 1
Sebagian nelayan Kotabaru belum dapat menerima sebagian hasil kesepakatan yang dicapai di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2005 dan
sebagian nelayan Balikpapan belum dapat menerima sebagian hasil rumusan yang dicapai di Semarang pada tanggal 17 Januari 2006
2 Proses koordinasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi telah
berlangsung termasuk nelayan yang terlibat konflik. 3
DKP telah melakukan koordinasi dengan TNI AL dan POLRI untuk mencegah berkembangnya konflik dengan mengerahkan kapal ke
kawasan konflik 4
Proses sosialisasi rumusan hasil pertemuan masih belum dilakukan secara optimal oleh semua pihak.
5 Untuk menghindari terjadinya konflik lebih lanjut, Kadiskamlut
Provinsi Jateng telah membuat surat edaran agar nelayan Jateng untuk sementara tidak menangkap ikan di Selat Makasar.
6 Pemerintah provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah kota
Balikpapan bekerjasama dengan Muspida, unsur nelayan serta LANAL Balikpapan dan POLDA Kal-Tim telah melakukan pertemuan dengan
masyarakat nelayan dalam rangka mencegah tindakan anarkis lebih lanjut.
7 Pemerintah Kabupaten Kotabaru telah melakukan koordinasi dengan
Muspida dan masyarakat nelayan untuk meredam dan mencegah berkembangnya konflik
8 Masih terjadinya pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah di
Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. 9
Proses hukum sedang berjalan dan pihak kepolisian akan mengundang saksi ahli. Hal yang sama agar dilakukan untuk penyelesaian kasus
pembakaran kapal di pulau Kerayaan Kab. Kotabaru Kalimantan Selatan
2 Rencana tindak lanjut jangka pendek s.d. pertengahan Pebruari 2006 1 Kapal Pengawas DKP supaya tetap dipertahankan di wilayah selat
Makasar untuk mencegah berkembangnya konflik 2 Masing-masing Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi bersama Dinas
Kelautan Perikanan KabupatenKota setempat melakukan sosialisasi hasil kesepakatan dan rumusan hasil pertemuan dengan melibatkan
antara lain tokoh masyarakat, tokoh agama, DKP, DPRD, organisasi nelayan HNSI, dan penegak hukum TNI AL dan POLRI
3 Nelayan Jateng untuk sementara tidak menangkap di selat makasar. 4 Pemerintah pusat, provinsi, kabupatenkota dan DPP HNSI agar segera
memberikan perhatian dan bantuan kepada korban konflik nelayan 5 Dilakukan pertemuan tentang penanganan konflik nelayan antar daerah
dengan melibatkan unsur pemilik, punggawa, penegak hukum, tokoh masyarakat nelayan, tokoh agama dan HNSI setempat untuk proses
asimilasinaturalisasi pada tanggal 14 –15 Pebruari 2006 dan tempat akan
ditentukan kemudian. 3 Rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang
1 Seluruh pihak menindaklanjuti hasil kesepakatan dan rumusan hasil pertemuan sebelumnya
2 Perlu dibentuk kelompok kerja POKJA Penanganan Konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat Pusat, Provinsi sampai dengan KabupatenKota
3 Perlu konsistensi dalam penegakkan dan tindakan hukum secara tegas 4 oleh penegak hukum. Perlu dilakukan identifikasi dan kajian status
sumberdaya ikan, musim penangkapan, jumlah armada penangkapan, jenis alat tangkap, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dan produksi di
wilayah perairan Selat Makasar oleh Departemen Kelautan dan Perikanan
5 Dalam rangka mendukung terlaksananya pengendalian konflik nelayan antar daerah secara cepat dan tepat DKP perlu menyusun Pedoman
Umum Penanganan Konflik Nelayan antar Daerah
6 DKP diharapkan membuat program modifikasi kapal Purse Seine Pelagis Kecil menjadi kapal Purse Seine Pelagis Besar dan pola pembiayaannya
berupa fasilitas pinjaman. 7 Peningkatan teknologi penangkapan untuk nelayan di daerah potensi
konflik untuk mengatasi kesenjangan nelayan 8 DKP segera menetapkan aturan penggunaan lampu untuk kapal Purse
Seine dan alat tangkap lainnya yang menggunakan lampu sebagai alat Bantu penangkapan
Hasil kesepakatan Surabaya dianggap tidak mewaliki nelayan Kotabaru, karena wakil HNSI yang telah ditunjuk untuk mewakili nelayan Kotabaru adalah
bukan dari golongan nelayan, tetapi dari pengusaha, sehingga aspirasinya tidak mewakili nelayan sesungguhnya. Dan akhirnya nelayan tetap ngotot untuk tidak
mau mengikuti surat kesepakatan yang dibuat. Adanya kapal purse seine sebanyak 40 unit masih berada di selat makasarsekitar perairan Kotabaru
membakar amarah nelayan dan melakukan pembakaran kapal purse seine pada tahun 2006.
Kawatir konflik akan meluas, maka dilakukan tindak lanjut kesepakatan penyelesaian konflik yang diwaliki seluruh stakeholder dilakukan di Makasar
tahun 2007. Pemerintah mengundang nelayan bertemu di Makasar. Pemerintah mengantisipasi konflik, dan merencanakan berbagai upaya: 1 dengan menyetop
pengeluaran izin baru untuk kapal jenis purse seine 2 mengalihkan sebagian jenis kapal-kapal itu ke wilayah perairan yang lain.
2 Kasus daerah penangkapan
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik daerah penangkapan disajikan pada Tabel 19.
Konflik pada kasus daerah penangkapan sebagian besar dilakukan secara kekeluargaan dan tidak pernah dilakukan secara tertulis karena diselesaikan
hanya oleh dua pihak antara individu yang berkonflik. Kesepakatan lokal yang dibuat antara lain adalah: apabila nelayan luar masuk ke wilayah mereka akan
diusir, perahu ditenggelamkan dan dirampas. Penyelesaian dapat juga dilakukan dengan cara ganti rugi dengan penyitaan alat tangkap dan perahu.
Tabel 19 Status penyelesaian konflik pada kasus daerah penangkapan
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
1 Nelayan
Sungai Dungun
melakukan penangkapan
ikan di
wilayah nelayan
Dirgahayu. Konflik
diselesaikan secara
kekeluargaan tahun 2002 Negosiasi
2 Nelayan Dirgahayu melakukan penangkapan
ikan di wilayah Sungai Dungun. Diselesaikan dengan cara penyitaan alat tangkap dan perahu
tahun 2003 Negosiasi
3 Dilakukan pembatasan jalur penangkapan
memberikan patok dari halayung tiang bakang sebagai batas zone pengangkapan
ikan, yang difasilitasi oleh DKP Kotabaru. Namun karena hanya bisa bertahan setahun,
batas tersebut hancur diterpa ombak. Negosiasi
4 Pengurus INSAN Ikatan Nelayan Saijaan
mengadukan ke DPRD Kotabaru dengan mengajukan masalah i pembagian wilayan
tangkap ii larangan melaut di pulau kapak tahun 2005 Akhirnya berhenti dengan
sendirinya Avoidance
Kesepakatan terhadap pengaturan jalur penangkapan, diatur oleh nelayan dengan pemasangan patok batas, namun digeser secara illegal oleh sebagian
nelayan sehingga batas yang ada sudah tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Pendapat lain menyatakan bahwa pembatasan jalur penangkapan memberikan
patok dari halayung tiang bakang hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak.
Pengkaplingan wilayah laut yang selama ini dilakukan dianggap oleh sebagian nelayan tidak sesuai dengan sifat open acces. Pengurus INSAN Ikatan
Nelayan Saijaan mengadukan ke DPRD Kotabaru dengan mengajukan masalah 1 pembagian wilayan tangkap 2 larangan melaut di pulau kapak tahun 2005.
Sejak itu konflik berakhir dengan sendirinya sejalan dengan berakhirnya musim utara.
3 Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik terangkum
dalam status penyelesaian konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara
disajikan pada Tabel 20. Nelayan Sumenep mengambil teripang dan kerang mutiara dengan cara menyelam di wilayah perairan Tanah Laut Tabanio,
Pagatan Besar dan Takisung. Masyarakat nelayan Tanah laut yang merasa resah dengan nelayan andon kemudian menahan 5 lima unit kapal nelayan
Sumenep. Melalui negosiasi antara kedua pihak konflik diselesaikan dengan membuat surat pernyataan kesepakatan nelayan Sumenep dilarang melaut di
perairan Tabanio dan sekitarnya. Kemudian surat kesepakatan berubah setelah difasilitasi oleh LANAL, kesepakan menjadi “nelayan Sumenep hanya
beroperasi siang hari, sedangkan nelayan Tabanio malam hari ” supaya jaring
nelayan lokal tidak menyangkut pada jangkar nelayan andon. Nelayan Tanah Laut merasa kurang puas dengan kesepakatan yang
dilakukan bersama LANAL, kendati jadwal melaut bisa diatur, namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu
merupakan solusi yang ditawarkan pihak LANAL dan dianggap tidak mewakili kehendak nelayan, maka 500 orang nelayan Tanah Laut membuat kesepakatan
tertulis berisi penolakan terhadap kehadiran nelayan pencari teripang dan kerang mutiara.
Pada pertemuan tersebut nelayan lokal membuat surat pernyataan yang intinya menolak kehadiran nelayan pencari kerang dan teripang dari Sumenep
yang menyebabkan rusaknya habitat dan berkurangnya populasi tenggiri dan lainnya yang diajukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah
Laut. Tabel 20 Status penyelesaian konflik pada kasus pengambilan teripang dan
kerang mutiara No
Status penyelesaian konflik Teknik resolusi
konflik
1 5 lima buah kapal nelayan Sumenep berhasil ditahan
nelayan Tanah Laut. Konflik diselesaikan dengan membuat surat pernyataan kesepakatan: nelayan
Sumenep dilarang melaut di perairan Tabanio dan sekitarnya 16 April 2007
Negosiasi
Tabel 20 lanjutan
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
2
Surat kesepakatan berubah, nelayan Sumenep hanya beroperasi siang hari, sedangkan nelayan
Tabanio malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam rembug bersama Lanal Banjarmasin 18
April 2007
Negosiasi
3
Kurang puas dengan kesepakatan 18 April maka 500 orang nelayan Tanah Laut membuat
kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap kehadiran nelayan pencari teripang dan kerang
dari Sumenep 30 April 2007 Surat permohonan
fasiltasi kepada
DKP Daerah
4
Kapal nelayan Sumenep masih beroperasi, maka dilakukan sweeping petugas Polair dan terjaring
12 duabelas kapal dengan 12 unit selam disita 8 Mei 2007. Kemudian 4 empat unit kapal
nelayan Makasar dan Balikpapan di sweeping. Hasil tangkapan teripang dan kompresor alat
selam telah dievakuasi sebagai barang bukti 20 Mei 2007
Fasilitasi
5
Konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara oleh nelayan Sumenep terjadi juga di Kotabaru
tahun 2009 diselesaikan dengan membuat surat pernyataan
untuk tidak
akan melakukan
aktivitasnya lagi yang difasilitasi oleh DKP tahun 2009
Fasilitasi
Melalui DKP Kabupaten Tala melayangkan surat kepada DKP Sumenep perihal keinginan masyarakat tersebut, yaitu: 1 Keberadaan nelayan tersebut
tidak bisa diterima oleh nelayan Kabupaten Tanah Laut karena nelayan lokal tidak melakukan kegiatan penangkapan teripang dan kerang 2Penangkapan
kerang mutiara akan membawa dampak rusaknya kelestarian sumberdaya hayati kelautan dan perikanan terutama terumbu karang dan ikan akan punah. 3
Daerah penangkapan kerang mutiara bersamaan dengan lokasi penangkapan fishing ground nelayan kabupaten Tanah Laut, sehingga mengganggu atau
merugikan kegiatan penangkapan 4 Untuk menghindari terjadinya konflik nelayan andon dengan nelayan Kabupaten Tanah Laut, kiranya nelayan andon
tersebut tidak melakukan kegiatan penangkapan kerang mutiara dan teripang di Kabupaten Tanah Laut. 5 Kiranya nelayan andon tersebut agar ditarik dari
perairan Kabupaten Tanah laut dalam waktu segera. 6 Terlampir disampaikan surat pernyataan masyarakat pesisir Kabupaten Tanah Laut.
Masuknya surat dari Kadis Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut tersebut ditanggapi oleh Kadis Kabupaten Sumenep dengan menyampaikan
beberapa hal sebagai berikut: 1 Sesuai aturan yang tertera pada keterangan andon Kabupaten Sumenep,
nelayan andon yang melakukan andon ke daerah lain diharap melakukan hubungan baik dengan nelayan setempat dan tidak merusak ekosistem.
2 Berhubung saat ini timbul keresahan dan nelayan pesisir Kabupaten Tanah Laut karena adanya nelayan Ra’as yang andon ke wilayah pesisir Kabupaten
Tanah Laut. Agar keresahan ini tidak menimbulkan konflik yang lebih luas, perlu dilakukan musyawarah lebih lanjut dengan masyarakat setempat yang
mengacu pada UU perikanan No. 31 Tahun 2004 pasal 6 ayat 2 yang berbunyi: ”pengelolaan perikanan nuntuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat danatau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”.
Seruan Dinas Kelautan dan perikanan Pemkab Sumenep terhadap nelayannya, masih belum bisa menyelesaikan konflik. Hal ini terlihat dengan
masih banyaknya nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara. Bertambahnya nelayan andon tersebut bukan hanya berasal dari
Sumenep saja tetapi bersasal dari Ra’as, Balikpapan, dan SulSel, akhirnya 12 duabelas unit kapal terjaring sweeping petugas Pol Air. Semuanya memiliki
surat andon, namun tidak pernah lapor ke Dinas Kelautan dan perikanan Tanah Laut.
Tindak lanjut dengan masih beroperasinya nelayan pencari teripang dan kerang mutiara tersebut maka dengan difasilitasi oleh DKP Tanah laut
melalukan beberapa upaya sebagai langkah resolusi konflik yaitu: 1 Mengadakan pertemuan dan penyuluhan kepada nelayan tentang nelayan
andon dan peraturan perundang-undangan bersama-sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kaliimantan Selatan, Kecamatan dan
Angkatan Laut.
2 Hasil kesepakatan adalah bahwa nelayan Sumenep yang masuk ke perairan Tabanio akan dipulangkan dengan ketentuan tidak boleh masuk lagi ke
perairan Tabanio. Nelayan Sumenep diperkenankan beroperasi di Perairan Tabanio dan sekitarnya, jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan
nelayan lokal. Kesepakatan tersebut juga berlaku bagi nelayan lokal yang ingin melakukan operasi penangkapan ke luar daerah.
Berkaitan hal tersebut di atas sambil menunggu musyawarah lebih lanjut dengan masyarakat setempat maka nelayan Kabupaten Tala melakukan
partisipasi terhadap pengelolaan konflik dengan melakukan beberapa kegiatan yang intinya yaitu: 1 melaksanakan perpolisian masyarakat Polmas 2
Melakukan patroli di perairan Tanah Laut
4 Kasus lampara dasar
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang
terangkum dalam status penyelesaian konflik lampara dasar disajikan pada
Tabel 21. Resolusi konflik lampara dasar diselesaikan secara kekeluargaan. Konflik berhenti dengan sendirinya berdasarkan kesadaran masing-masing.
Tidak ada kesepakatan tertulis. Dari keterangan responden wakil dari kelompok nelayan selalu berinisiatif untuk menemui wakil dari pihak lawan untuk
melakukan negosiasi terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika mengalami kegagalan, mereka akan menghubungi pihak ketiga misalnya dari unsur
musyawarah pimpinan kecamatanMuspika untuk melakukan intervensi.
Tabel 21 Status penyelesaian konflik pada kasus lampara dasar
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
1 konflik lampara dasar diselesaikan secara
kekeluargaan. Tidak ada kesepakatan tertulis. Negosiasi
2 nelayan lampara dasar tidak beroperasi di
fishing ground trammel net.
Aviodance
Dengan berjalannya waktu terhadap perkembangan lampara dasar yang telah mengalami berbagai modifikasi dengan memberikan sayap yang dilengkapi
danleno kemudian berkembang lagi dengan mengganti danleno dengan papan
layang. Namun nelayan lampara dasar modifikasi menyadari dan mengerti untuk melakukan penangkapan tidak di wilayah tangkap tradisional. Akhirnya
konflik berhenti dengan sendirinya avoidance. Semakin lama nelayan pengguna lampara dasar justru semakin banyak dan
menyukai penggunaan lampara dasar karena mampu meningkatkan hasil tangkapan. Hingga sekarang semakin banyak nelayan menggunakannya. Hal ini
didukung oleh pemerintah dan akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang dianggap dapat mengakomodir keinginan masyarakat nelayan yaitu
membolehkan menggunakan lampara dasar modifikasi dengan penambahan papan layang asalkan tidak menggunakan di fishing ground trammel net. Sejak
itu konflik berakhir dengan sendirinya avoidance.
5 Kasus bagan apung
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum
dalam status penyelesaian konflik bagan apung disajikan pada Tabel 22.
Resolusi konflik bagan apung difasilitasi Dinas Perikanan dan Kelautan. Kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi
lagi. Apabila terdapat potensi konflik maupun konflik yang mengemuka maka masalah tersebut akan dibahas dalam suatu forum musyawarah kelompok untuk
mencari alternatif solusinya
Tabel 22 Status penyelesaian konflik pada kasus bagan apung
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
1 Resolusi konflik bagan apung difasilitasi Dinas
Perikanan dan Kelautan. Kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara
tidak beroperasi lagi. Fasilitasi
6 Kasus seser modern
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum
dalam status penyelesaian konflik bagan apung disajikan pada Tabel 23.
Resolusi konflik nelayan seser dengan difasilitasi oleh PPNS dicapai
kesepakatan yaitu nelayan seser modern harus melakukan penangkapan agak ketengah, jangan dijalur nelayan seser tradisonal.
Tabel 23 Status penyelesaian konflik pada kasus seser modern
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
1 Penyelesaian difasilitasi oleh PPNS dicapai
kesepakatan yaitu nelayan seser modern harus melakukan
penangkapan agak
ketengah, jangan dijalur nelayan seser tradisonal.
Fasilitasi
Untuk menjamin kesepakatan yang dibuat tersebut tidak akan dilanggar maka pengawasan dan penegakan hukum dilakukan bersama oleh Polisi Air dan
Udara Pol Airud, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Bumbu, serta masyarakat pengguna sumberdaya
itu sendiri yang terhimpun dalam Kelompok Pengawas Masyarakat Pokwasmas.
7 Kasus gillnet
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum
dalam status penyelesaian konflik gillnet disajikan pada Tabel 24. Konflik
gillnet berakhir dengan sendirinya setelah diusir oleh nelayan lokal dan akhirnya nelayan gillnet tidak berani lagi masuk ke wilayah perairan Tanah laut.
Tabel 24 Status penyelesaian konflik pada kasus gillnet
No Status penyelesaian konflik
Keterangan 1
Penyelesaian dilakukan dengan cara diusir dan akhirnya berhenti dengan sendirinya
Avoidance
8 Kasus penggunaan bom
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang
terangkum dalam status penyelesaian konflik penggunaan bom disajikan pada
Tabel 25. Pelarangan dan hukum terhadap penggunaan bom untuk menangkap ikan sudah ada ketentuan hukum yang mengatur, namun karena kasus ini belum
bisa ditemukan barang bukti maka tidak bisa diselesaikan secara hukum litigasi. Dalam upaya pemberantasan penggunaan bom, jajaran Dinas
Perikanan dan Kelautan bekerjasama dengan Dirjen Penanganan dan Pengendalian Sumberdaya serta TNI AL menggelar operasi gabungan untuk
menangkap sejumlah kapal yang beroperasi menggunakan bom.
Tabel 25 Status penyelesaian konflik pada kasus penggunaan bom
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
1 2
3 Penggunaan bom dilakukan pada terumbu
karang yang terdapat di wilayah tanjung kunyit Kotabaru pada tahun 2005. Tidak
bisa diselesaikan karena tidak ditemukan barang bukti
Beberapa unit kapal bermesin cepat sejenis mesin speed boat yang menggunakan
bahan kimia berbahaya. Kelompok nelayan desa Tabanio melakukan pengejaran tapi
tidak berhasil, sehingga tidak bisa di selesaikan karena tidak ada barang bukti
tahun 2007.
Secara intensif dilakukan sosialisasi oleh pemerintah daerah, DKP dan pokwasmas
Avoidance
Kesulitan yang dialami oleh pengawas yaitu kurangnya fasilitas untuk melakukan pengejaran nelayan pengguna bom. Namun ketika dikejar sudah
melarikan diri ke tengah lautan. Dengan melarikan dirinya nelayan pengguna bom, sudah memberikan pertanda kalau nelayan tersebut melarikan diri dan
sudah tahu kesalahannya. Konflik ini berakhir dengan sendirinya ketika aparat keamanan Polairut melakukan pengawasan secara intensif.
9 Kasus cantrang
Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik cantrang disajikan pada Tabel 26.
Penggunaan cantrang oleh nelayan andon Pekalongan telah mendapat protes keras dari nelayan lokal. Berkenaan dengan hal tersebut, pihak Dinas Kelauan
dan perikanan Kotabaru sudah mengadakan pertemuan dan koordinasi dengan masyarakat nelayan Desa Hilir Kabupaten Kotabaru bersama pihak Kecamatan
dan TNI-AL, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan akan mengecek ulang dengan melakukan pengawasan ke lokasi kejadian bersama-sama nelayan desa Hilir
dan pihak TNI-AL 2 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan akan melakukan konsultasi hingga ke
Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta untuk rekomendasi bisatidaknya alat tangkap cantrang beroperasi
3 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kotabaru bersama TNI-AL akan menseleksi surat menyurat perizinan mengenai aktifitas penangkapan dari
Kab. Pekalongan. 4 Pihak nelayan dari Kab. Pekalongan wajib lapor kepada Dinas Kelautan dan
Perikanan Kab. Kotabaru apabila akan melakukan aktifitas penangkapan di perairan wilayah hukum Kab. Kotabaru.
Tabel 26 Status penyelesaian konflik pada kasus cantrang
No Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
1 cantrang
untuk sementara
tidak boleh
dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan Tahun 2009
Fasilitasi
Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru, melayangkan surat kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan sehubungan
dengan adanya warga nelayan dari Pekalongan Jawa Tengah yang melakukan aktifitas penangkapan dengan alat tangkap cantrang di perairan Pulau Sebuku
Kabupaten Kotabaru. Berkaitan dengan permasalahan tersebut pihak Dinas Perikanan dan
Kelautan Kotabaru sudah mengkonsultasikan dengan pihak Dirjen Tangkap di Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta dengan ketentuan alat tersebut
belum ada Rekomendasi untuk beroperasi dilarang. Aktifitas penangkapan ikan dengan cantrang di Kabupaten Tanah Bumbu
dan Kabupaten Tanah Laut. Alat tangkap cantrang tersebut disita oleh masyarakat setempat kemudian pihak Dinas Perikanan dan Kelautan
bekerjasama dengan TNI AL memberikan pembinaan, diberi peringatan dan apabila kembali lagi akan ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kal-Sel melayangkan surat kepada Kadis Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah sehubungan dengan
permohonan izin andon, dengan beberapa ketentuan yang dipersyaratkan yaitu: 1 Tetap mengacu pada UU RI No. 31 tentang perikanan pasal 6 ayat 2
2 Kep.Men.Tan. Nomor
392KPTSIK.120499 tentang
jalur-jallur penangkapan Ikan
3 Kep.Men Nomor 19MEN2004, tentang pedoman Pengendalian Nelayan Andon dalam rangka Pengelolaan SDI.
10 Resolusi konflik antara pengguna yang berbeda
Penyelesaian konflik antara nelayan dengan perusahaan pertambangan diawali dengan melakukan negosiasi dan memberikan bukti tentang kerugian
yang dialami oleh pihak nelayan dan bukti bahwa keberadaan perusahaan pertambangan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.
Akar permasalahan konflik yaitu ditemukannya batu diluar area kerja, perlu diverifikasi dengan cara
dibuatkan foto bawah laut, dibuat berita acara temuan batu dengan melengkapi jenis batuan estimasi volume batuan dan koordinat lokasi. Kemudian dilakukan
koordinasi dengan pemda, pengawas, WALHI dan INSAN atas temuan tersebut. Jika batuan tersebut merupakan sisa buangan batu hasil dregging, maka
data-data diatas digunakan dalam pengambilan keputusan oleh ITP atas rekomendasi pihak-pihak yang terkait.
Dengan adanya temuan batu di Blok I oleh nelayan dan untuk menyikapi usulan dari nelayan terhadap mekanisme penggantian kerusakan alat nelayan
yag bekerja disana, maka dimintakan kepada kontraktor untuk membuat skedul pengecekan ulang seluruhnya blok I sebagai langkah awal atas maintenance
periodik untuk blok I dengan asumsi adanya arus yang kuat mengakibatkan batu muncul karena lumpur tergerus arus
Jaluralur buangan tetap harus dilakukan pengecekan dan dituangkan dalam berita acara dan untuk buangan batu ke dumping area harus selalu diawasi
dan melibatkan seluruh unsur pengawas yang ada didalam tim
Kontraktorpengawas
Pemda Kotabaru memberikan regulasi Nomor 30 tahun 2004 tentang larangan aktivitas pertambangan batubara di pulau Laut Kabupaten Kotabaru
mengingat pentingnya melindungi dan melestarikan Pulau Laut sebagai Miniatur hutan tropis dunia dan besarnya jumlah penduduk yang berada di Pulau Laut
sangat tergantung pada kondisi alam dan kelestariannya.
4.4.2 Pemetaan institusi penyelesaian konflik
Pemerintah dan pihak terkait lainnya perlu menyusun suatu langkah-langkah rencana dalam menyelesaikan konflik. Tiap konflik mempunyai kekhasan
masing-masing, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik. Pemetaan instutusi penyelesaian konflik
merupakan suatu cara untuk menggambarkan contoh secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan pihak lainnya. Kegiatan ini
dilakukan untuk lebih memahami konflik dengan baik dan melihat hubungan diantara berbagai pihak yang berkonflik secara lebih jelas sehingga metode
pendekatan dan langkah-langkah penyelesaian konflik yang akan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
1
Kasus purse seine
Keterkaitan antar stakeholders pada kasus purse seine dijelaskan pada peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus purse seine
Gambar 35. Pelaku utama konflik pada kasus purse seine adalah nelayan mini purse seine Kotabaru yang semi modern, berorientasi substensi dan pasar lokal
dengan nelayan purse seine Jawa Tengah yang lebih modern dan berorientasi industri. Perseteruan antara kedua nelayan tersebut menyebabkan hubungan yang
tidak harmonis konflik sekunder antara DKP Kabupaten, Provinsi dan Pusat, aparat hukum, organisasi nelayan serta industri perikanan. Konflik sekunder
antara nelayan purse seine dengan DKP Pusat sekarang KKPKementrian Kelautan dan Perikanan karena telah memberi izin melakukan penangkapan di
sekitar perairan Kotabaru, akibatnya nelayan mini purse seine Kotabaru merasakan ketidakadilan terhadap tindakan Dinas perikanan yang berpihak
kepada nelayan purse seine Jateng.
HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia merupakan tenaga pendamping masyarakat, namun karena keberpihakannya saat melakukan
persetujuan bahwa nelayan purse seine tetap bisa beroperasi di perairan sekitar Kotabaru maka terjadi konflik sekunder antara nelayan Kotabaru dan HNSI Kal-
Sel. Keberadaan DPRD dan aparat yang terkesan lamban bertindak sampai akhirnya terjadi unjuk rasa dan pembakaran kapal. Setelah konflik terbuka dan
berdampak kekerasan dan kerugian besar, baru dilakukan tindak lanjut penyelesaian yang difasilitasi oleh pemerintah. Dalam konflik ini melibatkan
stakeholder secara lebih luas seperti TNI AL, Polairud, Polsek dan Polres di pihak
pemerintah dan LSM serta organisasi masyarakat yang dengan kekuatan moral merupakan upaya mandiri untuk mengatasi kerusakan laut dan mempertahankan
keberlanjutan sumberdaya perikanan.
+
Gambar 35 Peta institusi yang terlibat dalam konflik
dan penyelesaiannya pada kasus purse seine
A
KKP
INSAN
AMNES Industri
perikanan
Polair
TNI AL
DPRD
HNSI Pedagang
pengumpul DKP
Kalsel DKP
Jateng
B
Keterangan: A : nelayan purse seine teknologi tinggi
B : nelayan mini purse seine teknologi menengah C : nelayan tradisional
C
POKMAS WAS
+ +
+ +
+
+
+ +
+
+
+ +
+ +
+
+
+ +
+ +
+
2 Kasus daerah penangkapan ikan
Konflik pada kasus daerah tangkap merupakan konflik sesama nelayan lokal yang terjadi di Kabupaten Kotabaru yang pada umumnya dilakukan oleh
nelayan yang masih tradisional dan berorientasi substensi. Konflik utama terjadi antara nelayan di Kecamatan Pulau Sebuku antara lain desa Sungai Dungun
dengan Kecamatan Hilir Muara antara lain desa Rampa dan desa Dirgahayu Gambar 36. Konflik sekunder terjadi antara organisasi nelayan INSAN
dengan Dinas perikanan yang telah menyetujui pembagian wilayah tangkap. Aksi demonstrasi INSAN ke Dinas Perikanan dan Kelautan
dengan
tuntutan pencabutan patok batas diperairan Selat Sebuku dan dihentikannya tindakan kekerasan oleh
nelayan Sungai Dungun, kemudian
INSAN
mendesak dinas Kelautan dan Perikanan untuk secepat mungkin mempertemukan INSAN dengan kelompok
nelayan Sungai Dungun, Pantai dan Senakin
.
Selain itu Dinas perikanan dituntut harus tegas dan mau mengganti kerugian kapal yang tenggelam serta alat tangkap
yang rusak.
+
Gambar 36 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus daerah penangkapan ikan
A
DKP Kalsel
INSAN
Pedagang pengumpul
Polair
TNI AL
DPRD DKP
Kotabaru
B
Keterangan: A : Nelayan Kecamatan Pulau laut Utara dan sekitarnya Kotabaru
B : Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan sekitarnya Kotabaru
POKMAS WAS
+ +
+
+ +
+
+
+
+ +
+
+ +
+
Dinas Perikanan menyetujui pembagian wilayah penangkapan dengan harapan nelayan lampara dasar atau sejenisnya tidak bisa beroperasi di wilayah
Kecamatan Pulau Sebuku daerah penangkapan 4: Zona Pemancingan - Sungai Dungun - Pulau Manti - Sungai Bali -Tanjung Lita dan Selat laut daerah
penangkapan 2: Zona Pulau Simbangan - Tanjung Tamiang-Sekandis - Talusi - Tanjung Semelantakan - Rampa - Cengal - Sesulung -Tanah Merah - Separe Kecil
-Separe Besar lihat Gambar 15 yang diperuntukkan untuk nelayan tradisional. Namun yang terjadi adalah sebaliknya menimbulkan konflik terbuka dan
berdampak pada kekerasan fisik, intimidasi, perusakan dan penenggelaman kapal. Upaya penyelesaian konflik tersebut sangat membutuhkan perhatian dari
pemerintah terutama polsekpolres, kemudian dilakukan pengarahan oleh Kapolres agar masyarakat nelayan dapat melaut dengan aman, nyaman, dan hasil
memadai. Nelayan tradisional dalam upaya memperjuangkan hak mereka memilih melakukan aliansi dengan pihak luar, dalam hal ini lembaga non
pemerintah seperti WALHI Wahana Lingkungan Hidup. Dengan kekuatan moral dan sebagai pemerhati lingkungan hidup WALHI turut berpartisipasi
dalam memberikan perhatian dan sangat menyangkan adanya dampak kekerasan yang telah terjadi. Pada tahun 2005 dalam penyelesaian konflik daerah tangkap,
WALHI bersifat sebagai pendamping ikut berdiskusi untuk membahas berbagai penyelesaian konflik daerah penangkapan di Kotabaru.
3 Kasus perburuan teripang dan kerang mutiara
Konflik pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara merupakan konflik antar provinsi. Konflik utama terjadi antara nelayan dari Kabupaten
Tanah Laut yang melakukan penangkapan ikan tidak mengambil teripang dan kerang mutiara dengan nelayan pemburu teripang dari Jawa Timur, Sulawesi dan
Kalimantan Timur yang berorientasi ekspor Gambar 37. Dengan kekuatan otoritas yang dimiliki oleh Dinas Kelautan Dan
Perikanan, mereka memberikan surat izin andon dan memberikan hak untuk melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut. Konflik ini melibatkan
banyak stakeholder diantaranya adalah polsek dan polres yang berkepentingan sebagai penegak hukum karena nelayan pencari teripang dianggap melakukan
perusakan karang dan menggunakan bahan kimia beracun dan berbahaya walaupun hal tersebut tudak dapat dibuktikan. Konflik sekunder terjadi antara
nelayan Kabupaten Tanah Laut dengan TNI AL karena dianggap membekingi nelayan pemburu teripang.
Gambar 37 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus pengambilan teripang
4 Kasus lampara dasar
Pelaku utama konflik pada kasus lampara dasar terjadi antara nelayan tradisional yang masih bersifat substensi dengan nelayan lampara dasar yang
sudah melakukan modifikasi alat tangkap Gambar 38. Konflik sekunder terjadi antara nelayan tradisional dengan Dinas Perikanan yang telah memberikan izin
terhadap penggunaan lampara dasar yang telah terjadi modifikasi alat menyerupai
A
KKP
Polair
TNI AL Pedagang
pengumpul DKP
Kalsel DKP
Jatim
B
Keterangan: A : nelayan pemburu teripang
B : nelayan Kalsel
POKMAS WAS
+ +
+ +
+
+
+ +
+
+
+ +
+
+
+ +
+ +
Eksportir perikanan
DKP Sulsel
DKP Kaltim
Polsek, Polres
DPRD
+ +
trawl dengan menggunakan danleno untuk membuka sayap dan mengeruk dasar perairan.
Gambar 38 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus lampara dasar
Pokmaswas dalam hal ini sebagai jembatan untuk melakukan pengelolaan kolaboratif melakukan aliansi terhadap pengguna lampara dasar dan pemerintah
DKP serta memahami keinginan pengguna lampara dasar dan keinginan pemerintah. Lampara dasar akhirnya dapat digunakan dan disetujui oleh
masyarakat untuk digunakan, tapi dengan syarat tidak dioperasikan di wilayah fishing ground
nelayan tradisional, Dalam hal ini penggunaan lampara dasar dapat menguntungkan kedua belah pihak dan dapat meningkatkan hasil tangkapan.
5 Konflik gillnet
Pelaku utama konflik pada kasus gillnet terjadi antara nelayan andon yang dianggap menggunakan gillnet melebihi kapasitas dengan nelayan gillnet dari
Kabupaten Tanah Laut. DKP daerah selaku pemegang otoritas melarang penggunaan gillnet yang melebihi kapasitas, sehingga DKP mendukung diusirnya
A
DKP Tanbu
DKP Kalsel
Pedagang pengecer
Pokmaswas Pedagang
pengumpul DKP
Tala
Keterangan: A : Nelayan Nelayan lampara dasar Kotabaru, Tanah Laut, Tanah Bumbu
B : Nelayan trammel net dan tradisional lainnya
B
DKP Kotabaru
-
_ +
+
+ +
+ +
+
+ +
+ +
+
nelayan gillnet dari perairan Tanah laut. Dengan demikian konflik berakhir dengan sendirinya. Sebagai tindak lanjut untuk kelestarian sumberdaya
perikanan, Pokmaswas terus melakukan pengawasan terhadap adanya oknum nelayan yang melakukan pelanggaran. Dalam hal ini konflik sekunder terjadi
antara DKP dan nelayan gillnet yang melebihi kapasitas Gambar 39.
6 Kasus bagan apung
Pelaku utama konflik pada kasus bagan apung yaitu nelayan bagan tancap dan bagan apung yang terdapat di Kabupaten Tanah Bumbu Gambar 40. Pelaku
utama tersebut masih sama-sama berorientasi pada substensi, pasar lokal dan nasional. Konflik sekunder terjadi antara nelayan bagan tancap dengan DKP
daerah yang terkesan membiarkan penggunaan bagan apung digunakan oleh beberapa nelayan. Hal tersebut mengundang amarah nelayan bagan tancap
sehingga terjadi penghancuran kapal yang menggunakan bagan apung. Dengan dijembatani oleh Pokmaswas yang memiliki aliansi dengan pemerintah DKP
dan juga memiliki aliansi dengan nelayan bagan apung, melalui pengelolaan kolaboratif akhirnya nelayan bagan apung menyetujui untuk sementara tidak
A
DKP Kalsel
Pedagang pengecer
Pokmaswas Pedagang
pengumpul DKP
Tala
B
-
+ +
+
+ +
+ +
+
Keterangan: A : Nelayan gillnet andon
B : Nelayan gillnet Tanah Laut
Gambar 39 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus gillnet
+
-
TNI AL Polair
+
beroperasi melakukan eksploitasi penangkapan ikan teri dan ikan tembang di Kabupaten Tanah Bumbu.
7 Kasus seser modern
Pelaku utama konflik pada kasus seser modern adalah nelayan Kabupaten Tanah Bumbu pengguna seser tradisional yang hanya bertumpu pada tenaga
manusia yang cemburu terhadap nelayan pengguna seser menggunakan perahu motor Gambar 41. Hasil tangkapan kedua jenis alat tangkap tersebut adalah
udang rebon yang masih berorientasi substensi yang diolah menjadi terasi atau ebi dan pasar lokal.
A
Pedagang pengecer
Pokmaswas Pedagang
pengumpul
B
-
_ +
+ +
+ +
+ +
+
Keterangan: A : Nelayan Bagan apung Kotabaru
B : Nelayan Bagan Tancap Tanah Bumbu
DKP Kalsel
DKP Kotabaru
DKP Tambu
+
Gambar 40 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus bagan apung
Gambar 41 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus seser modern
Konflik sekunder terjadi antara nelayan seser tradisional dengan DKP daerah. Nelayan seser tradisional menuntut untuk dilarangnya pengguna seser
yang menggunakan perahu motor untuk beroperasi di wilayah pesisir pengguna seser tradisional. Dengan dijembatani oleh Pokmaswas yang memiliki aliansi
dengan pemerintah DKP dan juga memiliki aliansi dengan nelayan seser melalui pengelolaan kolaboratif untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya
perikanan akhirnya nelayan seser modern menyetujui untuk mengoperasikan seser modern agak ke tengah sehingga tidak bertabrakan dengan nelayan seser
tradisional saat melakukan penangkapan udang rebon.
8 Kasus penggunaan bom
Pelaku utama konflik pada kasus penggunaan bom di perairan Kalimantan Selatan yaitu nelayan andon dan seluruh nelayan dari berbagai daerah di
Kalimantan Selatan Gambar 42. Adanya cara pandang yang berbeda dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menghalalkan cara untuk dapat
mengasilkan ikan dengan cara yang cepat tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan. Perseteruan tersebut telah menyebabkan hubungan yang tidak
harmonis konflik sekunder dengan berbagai aparat pemerintah seperti Dinas A
Pedagang pengecer
Pokmaswas Pedagang
pengumpul DKP
Tambu
B
-
+ +
+
+ +
+ +
+
DKP Kalsel
Pengolah terasi
Keterangan: A : Nelayan seser modern Tanah Bumbu
B : Nelayan seser tradisional Tanah Bumbu
Kelautan Provinsi dan Kabupaten, PPSDA, TNI AL dan Polair serta masyarakat
pesisir yang tergabung ke dalam organisasi Pokmaswas.
Gambar 42 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus penggunaan bom
Nelayan yang bukan pengguna bom melakukan aliansi kepada semua lembaga pemerintah beserta aparat hukum yang mendukung pemberantasan
illegal fishing terus bekerjasama bahu membahu untuk melakukan pengawasan
yang dibantu oleh Pokmaswas.
9 Kasus cantrang
Konflik pada kasus cantrang merupakan konflik antar provinsi. Cantrang tidak digunakan oleh nelayan di Kalimantan Selatan, oleh karena itu masuknya
cantrang ke perairan Kalimantan Selatan merupakan masalah besar dan menyebabkan kecemburuan nelayan lokal. Pelaku utama adalah nelayan
Kalimantan Selatan dengan nelayan andon pengguna cantrang Gambar 43. A
Pedagang pengecer
Pokmaswas
Pedagang pengumpul
B
-
+ +
+ +
+ +
+
+
DKP Tala
Keterangan: A : Nelayan pengguna bom
B : Nelayan tidak pengguna bom
DKP Kalsel
DKP Tanbu
DKP Kotabaru
PPSDA
+ +
+
+
TNI AL, Polair
- -
Gambar 43 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus cantrang
Nelayan Kal-Sel melakukan aliansi kepada DKP Daerah dan provinsi Kal- Sel untuk menolak beroperasinya cantrang sampai ada kejelasan dibolehkannya
cantrang masuk ke perairan Kalimantan Selatan. Pokmaswas yang berkepentingan dalam melakukan pengelolaan kolaboratif secara intensif
melakukan pengawasan dan segera melaporkan kepada Dinas Perikanan jika cantrang masuk ke wilayah perairan Kalsel.
A
KKP
Polair
TNI AL Pedagang
pengumpul DKP
Kalsel DKP
Jateng
B
Keterangan: A : nelayan cantrang andon
B : nelayan Kalsel
POKMAS WAS
+ +
+ +
+
+ +
+
+
+ +
+
+
+ +
+ +
Eksportir perikanan
DKP Sulsel
Polsek, Polres
DPRD
+ +
4.4.2 Peran kelembagaan pengelolaan konflik 1
Kelembagaan pemerintah
Kalsel secara administratif telah memiliki institusi formal yang mengelola perikanan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan baik provinsi maupun kabupaten,
demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam. Keberadaan peraturan-peraturan
tersebut baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan implementasi secara optimal. Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Dinas
Perikanan dan Kelautan Kalimantan Selatan diantaranya adalah:
1 Membentuk Pokmaswas
Beberapa daerah pesisir mulai membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas POKMASWAS. Pokmaswas merupakan pelaksana pengawasan di
tingkat lapangan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta mayarakat maritim lainnya. Pokmaswas dibentuk
atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang anggota masyarakat. POKMASWAS berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dengan
pemerintahpetugas. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat menjadi
anggota kelompok masyarakat Pengawas. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota. Pembentukan dan keanggotaan
Pokmaswas perairan laut Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas
Desa Nama Kelompok
Pengukuhan Anggota
Kab. Tanah Laut 1 Batakan
2 Kuala Tambangan 3 Muara Asam-asam
Indah Lestari Batu lima
Bina Bersama 2001
2006 2006
140 50
12 Kab. Tanah Bumbu
1 Tungkaran Pangeran 2 Wiritasi
3 Sungai Rukam 4 Setarap
Cinta Bahari Manuntung
Berkat Bersatu Berkat Usaha
2005 2004
2005 2006
60 20
16 46
Tabel 27 lanjutan
Desa Nama Kelompok
Pengukuhan Anggota
Kab. Tanah Bumbu 5 Muara Ujung
6 Sungai Cuka 7 Angsana
Bersujud Berdikari
Karang Kima 2006
2007 2007
24 22
28
Kab Kotabaru 1 Mata Sirih
2 Teluk Gosong 3 Teluk Tengah
4 Teluk Tamiang 5 Lontar Selatan
6 Pantai Kec. Kalumpang Selatan
7 Tanjung Batu 8 Pulau Kerayaan
9 Pantai Kec. Kalumpang Tengah
10 Rajawali Putra Celebes
Berkat Rakat Pelisma
Pada idi Pantai Pesisir
Pantai Kalumpang II Karang Tanjung
Lumba-lumba Pantai Kalumpang I
Teluk Sirih 2005
2005 2005
2003 2005
2005 2005
2004
2005 2005
20 24
20 12
21
20 24
10
19 12
Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Kal-Sel 2009
Dalam upaya pemberdayan Pokmaswas, sesuai dengan kemampuan pemerintahDinas perikanan memberikan bantuan sarana dan prasarana pengawas
secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Bantuan tersebut berupa kamera digital, Hp dan stimulan lainnya berupa kelotok kapal motor,
baju seragam, topi dan atribut lainnya. Selain itu pemerintah dan atau pemerintah daerah memberikan pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan
kemampuan POKMASWAS. Satuan pembina SISWASMAS Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan Berbasis Masyarakat memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan,
melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansilembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk menindaklanjuti dugaan
pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dibantu
oleh Sekretariat yang bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan
SISWASMAS dari daerah menyiapkan tindak lanjut. Jaringan kerja sebagai koordinasi pelaksanaan SISWASMAS disajikan pada Gambar 44.
Gambar 44 Struktur organissasi dan koordinasi pembinaan SISWASMAS Kegiatan POKMASWAS selain penanganan konflik nelayan yaitu: 1
membantu Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan, patroli atau razia 2 membantu Dinas Kelautan dan Perikanan dalam menegakkan peraturan
bidang perikanan dan memberantas illegal fishing 3 Melakukan kegiatan sosialisasi UU No 31 tahun 2004 dan peraturan perikanan 4 Penyebaran leaflet
5 Secara intensif melakukan pertemuan-pertemuan kelompok. Yang menjadi obyek utama dalam pengawasan Sismaswas yaitu 1
pemanfaatan sumberdaya yang illegal meliputi: penggunaan bahan peledak, pengguna bahan berbahaya beracun seperti strum, potas, tuba, bom, pengguna alat
tangkap yang dilarang seperti arus listrik, trawl, jaring dengan mesh size kurang dari 2,5 cm hampang dengan jarak tertentu, pelanggaran daerah penangkapan 2
pencemaran dan perusakan ekosistemlingkungan laut misalnya perusakan terumbu karang, hutan mangrove.
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan diharapkan dapat dilakukan secara terus menerus oleh Pokmaswas dan didukung oleh semua
pihak, baik oleh aparatur pemerintah Pengawas Perikanan, Polisi Perairan dan Udara, TNI Angkatan Laut serta Dinas Perikanan dalam melakukan penegakan
Tingkat Pusat Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Departemen
Tingkat Daerah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi
Tingkat Kabupaten Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten
POKMASWAS
Ketua Wakil Ketua
Sekretaris Seksi-seksi:
Operasi, Keamanan, Humas
Sekretariat
hukum di laut. Sistem pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat
dapat dilakukan
oleh Kelompok
Masyarakat Pengawas
POKMASWAS. Jaringan kerja dan mekanisme POKMASWAS disajikan pada Gambar 45.
Gambar 45 Jaringan dan mekanisme Pokmaswas Upaya pemberdayaan Pokmaswas, pemerintah melalui Dinas Perikanan dan
Kelautan telah
memberikan pendidikanpelatihanstudi
banding untuk
mengembangkan wasasan anggota pokmaswas ke provinsi lain seperti pulau Jawa, dan Sumatera. Antusias Pokmaswas yang tinggi untuk melaksanakan
fungsinya dengan baik mendapat perhatian serius oleh pemerintah dengan diadakannya lomba mulai tingkat Kabupaten sampai Ke tingkat provinsi dan
mendapatkan penghargaan tertinggi berupa Adi bhakti Mina Bahari yang diserahkan di Jakarta. Pokmaswas dari Kalimantan Selatan termasuk 5 lima
nominasi terbaik tingkat Nasional.
2 Mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan melayangkan surat
peringatan dan sosialisasi
Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan antara pihak yang berkonflik. Dinas Perikanan dan Kelautan memfasilitasi beberapa konflik dan
melakukan pertemuan pihak-pihak yang berkonflik seperti pada kasus konflik yaitu:
Jaringan kerja Tindakan Pokmaswas
Survai lapanganinformasi pelanggaran dalam pengelolaan pemanfaatan
sumberdaya
Pelaporan
Penghentian, pemeriksaan,
pengejaran
APARAT
PPNS-PPI-DKP-Satpol-AIRUD-TNIAL-Karantina Proses penyelidikan
penyidikan Dinas Kabupaten
KotaProvinsi, Instansi terkait
Tembusan kepada Dirjend Pengendalian
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Melakukan koordinasi
Operasi tindak
lanjut
1 Tanggal 28 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan yang dihadiri oleh HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, DKP Propinsi Kal-Sel, DKP
Kabupaten Kotabaru, Koramil, TNI-AL, Tokoh masyarakat dan staf Pemda Kabupaten Kotabaru serta Staf Departemen Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia di rumah ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI Kabupaten Kotabaru dengan hasil bahwa nelayan Kotabaru bisa
menerima nelayan Purse seine Propinsi Jawa Tengah tetapi tidak menggunakan lampu.
2 Tanggal 31 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan antara DKP Propinsi Kal-Sel, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia HNSI Jawa Tengah dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI Kotabaru, TNI-AL, Instansi terkait lainnya yang
difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten Kotabaru bertempat di Kotabaru, yang memperoleh kesepakatan sementara
3 Pertemuan stakeholder di Dinas Perikanan dan Kelautan Kal-Sel diikuti DKP Kotabaru, DKP Provinsi Kal-Sel dan DKP Provinsi Jateng 16 Juni 2005.
4 Tanggal 14 Juli 2005 dilaksanakan sosialisasi hasil kesepakatan penyelesaian konflik nelayan Jawa Tengah dan Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan
dengan hasil bahwa Nelayan Kotabaru menduga kesepakatan dimaksud sudah menjadi ketetapan, sebenarnya ketetapan tersebut itu bersifat
sementara yang diberlakukan uji coba selama 3 bulan, sehingga nelayan Kotabaru tidak bisa menerima hasil kesepakatan di maksud.
5 Pertemuan evaluasi kesepakatan 7 Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi serta penyempurnaan RPP pelagis kecil laut Jawa di Semarang 21013 Juli
2005 6 Pertemuan stakeholder di Surabaya diikuti oleh Ditjen PT, Ditjen P2SDKP,
DKP Provinsi Ja-Teng, Kal-Tim, Kal-Sel, Sul-Sel, Ja-Bar, Ja-Tim, DKP Kota Balikpapan, Dinas Pertanian-Peternakan dan Kelautan Kota
Pekalongan, Wakil PUSKUD Mina Baruna Ja-Teng, DKP Kabupaten Pati, Bagian Hukum Pemkot Balikpapan, Ketua Umum dan Sekjen DPP HNSI,
Ketua DPD HNSI Ja- Teng, Ja-Tim, Ja-Bar, Sul-Sel, dan perwakilan nelayan Ja-Teng asosiasi purse seine Indonesia 24-25 Januari 2006.
7 Pertemuan stakeholders yang bersifat informal pada tahun 2008 diadakan di Kabupaten Tanah Bumbu dihadiri oleh DKP Tanah Bumbu yaitu 1
kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi konflik bagan apung 2 kesepakatan yang diperoleh bahwa
pengoperasian seser modern agak ketengahtidak bersamaan dengan pengguna seser modern.
8 Sosialisasi, penyuluhan hukum dan peraturan perikanan di beberapa wilayah yang merupakan basis konflik di Kabupaten Kotabaru, Tanah bumbu dan
Tanah Laut seperti Pulau laut, Desa Rampa, Kalumpang dan Tabanio. 9 DKP Tanah Laut melayangkan surat kepada DKP Kab. Sumenep untuk
menarik Nelayan Andon tersebut dan perairan Kabupaten Tanah Laut dengan surat nomor 532.3123PSDH tanggal 24 April 2007 tentang nelayan Andon,
perihal keberadaan nelayan andon yang tidak bisa diterima karena melakukan pencarian kerang dan teripang yang tidak dilakukan oleh nelayan Tanah
Laut. 10 Dinas Kelautan Perikanan Tanah Bumbu melayangkan surat nomor
523.321173XII2006 kepada DKP Sumenep perihal hasil patroli terhadap nelayan andon yang tidak memiliki surat andon.
11 Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kal-Sel melayangkan surat nomor 523.5UIDiskanlut2009 kepada Dinas Perikanana Kelautan provinsi Jawa
Tengah perihal alat tangkap cantrang belum bisa diterima karena masih dalam ujicoba dan belum direkomendasikan.
3 Mengeluarkan regulasi dan pertemuan lintas instansi
Pemerintah Kalimantan Selatan, dalam menyikapi perkembangan konflik antar nelayan, mengeluarkan beberapa regulasi yaitu:
1 Larangan pengambilan tiram mutiara di wilayah perairan kecamatan Pulau laut Barat, Pulau Laut Selatan dan Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru yang
tertuang dalam peraturan Bupati Kotabaru No 03 tahun 2006 2 Pembentukan Forum Koordinasi penangan tindak pidana di bidang perikanan
tingkat provinsi Kalimantan Selatan dengan Keputusan gubernur Kal-Sel No 188.44053KUM2007
3 Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan SDI FKKPS tahum 2004 di Mataram NTB membahas tentang pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan
yang disepakati oleh 7 tujuh DKP Provinsi Jateng, Jatim, Sulsel, Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kal bar
4 Pertemuan dalam rangka apresiasi pengelolaan SDI tentang penanganan konflik nelayan dan optimalisasi pemanfaatan SDI di wilayah perbatasan
dihadiri oleh Menteri kelautan dan perikanan dan 100 peserta yang terdiri dari anggota komisi IV DPR, pejabat eselon I dan II lingkup DKP, Komisi
Nasional Pengkajian SDI, MPN Masyarakat Perikanan Indonesia, GAPPINDO gabungan pengusaha perikanan Indonesia, ASTUN Asosiasi
Tuna Indonesia, HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Direktur Perjanjian Internasional-Departemen Luar Negeri, Direktur Kepolisian
Perairan Kepolisian RI, WALHI Wahana Lingkungan Hidup, JICA Fisheries Expert dari Japan Internasional Cooperative Agency dan
SEAFDEC Southeast Asian Fisheries Development Center Bangkok, BBPPI Balai Besar Pengembangan Penangkakapan ikan, para pakar perikanan dan
wakil dari perguruan Tinggi IPB serta Dinas kelautan dan perikanan provinsi dan kabupaten Hotel Le Grandeur Jakarta 14-16 Agustus 2007.
2 Lembaga formal lainnya
Lembaga formal yang selama ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengamanan laut seperti Polairut dan TNI AL,
dianggap besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik sosial antar nelayan, seperi pada kasus purse seine, pengambilan teripang dan kasus cantrang.
Pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan sudah mengikutsertakan lembaga formal yang ada yaitu PPNS, namun ketersediaan personilnya masih dirasakan
kurang ketersediaanya.
3 Kelembagaan non pemerintah
Kelembagaan lokal non pemerintah yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan memegang peranan penting dalam keberlanjutan
sumberdaya perikanan. Kelembagaan non pemerintah yang ikut membantu
nelayan dalam penanganan konflik di Kalimantan Selatan diantaranya Walhi Wahana Lingkungan Hidup, HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia,
AMNES Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan, INSAN Ikatan Nelayan Saijaan. Keberadaan kelembagaan non pemerintah ini selain atas inisiatif sendiri juga
merupakan perwujudan dari keinginan para nelayan itu sendiri yang peduli dan khawatir akan semakin menurunnya hasil tangkapan.
Kelembagaan non pemerintah yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di Kalimantan Selatan memang sudah ada, hal ini memperkuat posisi
dan menyeimbangkan kekuatan nelayan di Kalimantan Selatan. Pola kebiasaan masyarakat yang mencerminkan kerjasama yang sudah melembaga merupakan
dasar yang kuat untuk menerapkan pendekatan bottom-up yang dapat mempertemukan aspirasi pemanfaatan sumberdaya dan keinginan pemerintah
dengan melibatkan stakeholder. Pola kebiasaan yang umum terdapat di semua desa pesisir Kalimantan Selatan yang merupakan tradisi leluhur masyarakat
berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dalam
adat. Bagi masyarakat nelayan atau pesisir, terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan. Bahkan kemampuan sebagai warga
masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan. Keberadaan tradisi leluhur yang
bernuansa kearifan lokal merupakan stok kapital bagi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
Pengetahuan lokal indigenous knowledge merupakan varian pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan oleh suatu masyarakat dalam interaksi dengan
lingkungan sekitarnya. Pengetahuan lokal bersifat rinci, kaya dan spesifik sebagai hasil akumulasi pengalaman-pengalaman lokal yang bersifat unik. Keberadaan
kelembagaan lokal dapat dikembangkan melalui pendekatan CBRM community based fisheries management
yaitu suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan memanfaatkan berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya sambil tetap membuka diri bagi kontribusi eksternal seperti pengetahuan atau teknologi
modern.
4.5 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap
Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural, maka langkah awal yang dilakukan adalah menentukan konstruk laten dengan confirmatory
factor analysis . Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk
menguji apakah konstruk laten dari masing-masing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-masing variable observed. Model
SEM yang telah dibuat dilakukan modifikasi. Dalam suatu penelitian sering terjadi beberapa faktor tidak secara eksplisit dapat dibuat model, karena tidak
semua teori bisa dikembangkan mencapai spesifikasi model secara sempurna. Revisi model melalui suatu modifikasi dilakukan dengan melihat covarian
modification indices . Nilai modification indices MI pada covarian diharapkan
akan menurunkan nilai chi-square jika covarian dari indikator-indikator tersebut dikorelasikan. Langkah yang dilakukan yaitu dengan mengkorelasikan variabel
yang mempunyai nilai modification indices lebih besar sehingga terjadi substitusi nilai covarian ke dalam persamaan lain dengan memecah dua persamaan yang
dapat menurunkan nilai chi-square untuk memenuhi goodness of fit. Berikut ini disajikan evaluasi tingkat kecocokan keseluruhan model.
Evalusi terhadap tingkat kecocokan data dengan model yang terdiri dari 1 ukuran kecocokan absolut absolute fit measures 2 ukuran kecocokan
inkremental incremental fit mneasures 3 ukuran kecocokan parsimoni parsimonious fit measures 4 ukuran kecocokan lainnya other GOFI. Hasil
evaluasi dimaksud ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28 Evaluasi terhadap tingkat kecocokan data dengan model
Kriteria Cut off Value
Hasil Model Keterangan
Chi-Square χ
2
Probability p X
2
df GFI
AGFI CFI
NNFI RMSEA
PGFI IFI
CN Diharapkan kecil
0,05 2,00
0,90 0,90
0,90 0,90
0,08
0,60 0,90
200 129,37
0,33 1,051
0,93 0,91
0,89 0,87
0,016 0,67
0,91 234,68
Baik Baik
Baik Baik
Baik Dapat diterima
Dapat diterima Baik
Baik Baik
Baik
Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2009
Menilai Goodness Of Fit GOF suatu SEM secara menyeluruh overall tidak dapat dilakukan secara langsung. SEM tidak mempunyai satu uji statistik
terbaik yang dapat menjelaskan “kekuatan” prediksi model, sehingga dapat menggunakan ukuran GOF secara bersama-sama atau kombinasi. Berdasarkan
Tabel 28, ukuran kecocokan absolut menggunakan ukuran Chi-Square χ
2
, probability p
, GFI Goodness of Fit Index dan RMSEA Root Mean Square Error of Approximation
. Tujuan menguji Chi-Square adalah untuk mengetahui apakah matriks
kovarians estimasi dengan kata lain kesesuaian model yang dibangun dengan data yang tersedia, semakin kecil Chi-Square semakin baik model itu. Probability
menunjukkan kemungkinan peristiwa itu terjadi. RMSE bertujuan untuk mengetahui penyimpangan nilai parameter pada suatu model dengan matriks
kovarians populasinya. Berdasarkan evakuasi terhadap kecocokan absolut diperoleh nilai bahwa telah memenuhi syarat cut off value tidak terdapat
pelanggaran nilai kritis, dengan demikian derajat prediksi model keseluruhan model structural pengukuran sesuai dengan data
Ukuran kecocokan inkremental menggunakan ukuran NNFI Non Normed Fit Index
, CFI Comparative Fit Index, AGFI Adjusted Goodness of Fit Index dan IFI Incremental Fit Index. Nilai CFI dan NNFI berada sedikit di bawah
standar yang direkomendasikan marginal fit, namun jika dilakukan pembulatan dengan menambahkan 0,03 dan 0,01 diperoleh nilai NNFI dan CFI setara
dengan 0,90, sehingga sudah memenuhi dan tidak terdapat pelanggaran nilai kritis dan diberi keterangan dapat diterima, sementara nilai AGFI dan IFI sudah
memenuhi ukuran kecocokan inkremental. Ukuran kecocokan parsimoni yang ditunjukan oleh nilai Normed Chi Square X
2
df memenuhi kriteria bahwa model
memiliki kehematan tinggi
.
Kriteria lain dalam melengkapi uji kecocokan model ditunjukan oleh nilai CN Critical
“N” yang menunjukkan ukuran sampel mencukupi untuk digunakan, sehingga dapat dikemukakan bahwa analisis
descriptive statistic menunjukkan bahwa model dapat diterima dan memuaskan.
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana kekuatan pengaruh antar konstruk, baik pengaruh langsung, tidak
langsung, maupun pengaruh totalnya. Mencermati model sebagaimana ditujukkan
X 1
0.92
X 2
0.94
X 3
0.91
X 4
1.00
X 5
1.00
X 6
0.63
X 7
0.98
X 8
1.00
X 9
0.99
X 10
0.98
X 11
0.95
KONFLIK RESOLUSI\
OUTCOME Y1
0.88
Y2
0.83
Y3
0.65
Y4
0.97
Z1
0.54
Z2
0.82
Z3
0.98
Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016
0.35 0.41
0.59 -0.18
0.68 0.42
0.15 0.29
0.24 0.30
0.02 -0.03
0.61 0.15
-0.04 0.09
0.14 -0.23
0.59 0.48
-0.25
0.21
0.33
pada Gambar 46 dan perbandingan nilai critical ratio CR atau t-
hitung
terhadap nilai t-
tabel
akan diperoleh pola hubungan antar variabel. Jika nilai CR atau t-
hitung
lebih besar daripada t-
tabel
, maka hubungan antar variabel signifi kan. Pada nilai α
= 5, diperoleh nilai t-
tabel
sebesar 1,96 dengan hasil korelasi antar variabel pada Gambar 46 ditabulasikan pada Tabel 29.
Keterangan:
Gambar 46 Structural equation modeling yang menunjukan nilai estimasi X
1
= Ekonomi
X
2
= Aktor X
3
= Oposisi
X
4
= Isu X
5
= Nelayan X
6
= Kompetisi X
7
= Tokoh X
8
= Stok X
9
= Intertest X
10
= Peraturan X
11
= Budaya Y
1
= Litigasi Y
2
= Negosiasi Y
3
= Fasilitasi Y
4
= Aviodance Z
1
= Partisipasi Z
2
= Keberlanjutan Z
3
= Keadilan
Tabel 29 Hubungan antar variabel pada model confirmatory factor konstruk unidimensional variabel konflik perikanan tangkap
Model Koefisien
Jalur t-hitung
Keterangan
X1
KONFLIK 0.29
2.98 Significant
X2 0.24
2.46 Significant
X3 0.30
3.09 Significant
X4 0.02
0.19 Tidak
significant X5
-0.03 -0.32
Tidak significant
X6 0.61
5.38 Significant
X7 0.15
1.60 Tidak
significant X8
-0.04 -0.42
Tidak significant
X9 0.09
0.93 Tidak
significant X10
0.14 1.39
Tidak significant
X11 -0.23
-2.27 Significant
Y1 RESOLUSI
0.35 2.92
Significant Y2
0.41 4.33
Significant Y3
0.59 4.50
Significant Y4
-0.18 -2.00
Significant Z1
OUTCAME 0.68
3.72 Significant
Z2 0.42
4.01 Significant
Z3 0.15
1.54 Tidak
significant KONFLIK
RESOLUSI 0.48 2.80
Significant RESOLUSI
OUTCAME 0.59 2.85
Significant
Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2009
Dalam hal pengaruh langsung variabel penyebab konflik KONFLIK dengan variabel teknik resolusi konflik RESOLUSI dan variabel OUTCOME
pada kasus konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1 Variabel KONFLIK dengan nilai koefisien path 0,48 dan nilai CR critical ratio
yang identik dengan nilai t-
hitung
menunjukkan angka 2,80 yang lebih besar dari nilai t-
tabel
sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel teknik resolusi konflik
RESOLUSI.
X 1
9.24
X 2
9.50
X 3
9.17
X 4
10.0 0
X 5
9.99
X 6
4.82
X 7
9.80
X 8
9.99
X 9
9.93
X 10
9.89
X 11
9.46
KONFLIK RESOLUSI\
OUTCOME Y1
8.02
Y2
8.50
Y3
5.05
Y4
9.80
Z1
3.24
Z2
7.92
Z3
9.84
Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016
2.92 4.33
4.50 -2.0 0
3.72 4.01
1.54 2.98
2.46 3.09
0.19 -0.3 2
5.38 1.60
-0.4 2 0.93
1.39 -2.2 7
2.85 2.80
-2.9 6
3.10
4.65
Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan responden mengidentifikasi faktor penyebab konflik
dengan kemampuan memilih teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan mengidentifikasi
faktor penyebab konflik maka semakin baik pula kemampuan menentukan teknik resolusi konflik.
2 Variabel RESOLUSI dengan nilai koefisien path 0,59 dan nilai CR critical ratio
yang identik dengan nilai t-
hitung
menunjukan angka 2,85 yang dari nilai t-
tabel
sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel OUTCOME.
Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan stakeholder dalam memilih teknik resolusi konflik
yang tepat berpengaruh langsung terhadap peningkatan outcome. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan responden menentukan
teknik resolusi konflik yang digunakan maka mendukung mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab.
Gambar 47 Structural equation modeling yang menunjukan nilai t-
hitung
4.5.1 Faktor penyebab konflik
Variabel penyebab konflik KONFLIK dikonstruk dari 11 sebelas indikator, namun yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap variabel
teknik resolusi konflik RESOLUSI ada 5 lima indikator yaitu: indikator X
1
ekonomi, X
2
aktor, X
3
oposisi, X
6
kompetisi dan X
11
budaya masing masing memiliki nilai louding bobot pengaruh 0,29; 0,24; 0,30; 0,61 -0,23,
sebagaimana yang disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Komponen penting dari faktor penyebab konflik yang berpengaruh
signifikan terhadap resolusi konflik
Faktor yang berpengaruh
terhadap Resolusi konflik
Komponen penting yang berpengaruh dan nilai
Critical Ratio Dampak terhadap
Faktor penyebab konflik yang
dipengaruhi
Faktor Penyebab
konflik 1 Kompetisi 0,61
2 Oposisi 0,30 3 Ekonomi 0,29
4 Aktor 0,24 5 Budaya -0,23
Resolusi 1 Litigasi
2 Negosiasi 3 Fasilitasi
4 Avoidance Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2009
Berdasarkan Tabel 30 menunjukan bahwa indikator yang paling besar kontribusinya terhadap masing-masing peubah laten faktor penyebab konflik
yaitu: indikator kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor dan budaya dalam pemanfaatan sumberdaya memberikan kontribusi terbesar kepada faktor penyebab
konflik.
1 Kompetisi
Persepsi masyarakat terhadap kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya dengan nilai loading 0,61 dengan t
hitung
5.38 t
tabel
1,96 pada tarap α 95
persen. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan persepsi masyarakat terhadap persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan laut di Kalimantan Selatan terjadi kompetisi baik antar sesama nelayan lokal maupun nelayan lokal dan nelayan pendatang. Kompetisi terjadi dalam
penggunaan alat tangkap dan sumberdaya di wilayah penangkapan fishing ground
. Adanya sebagian nelayan yang cenderung memanfaatkan sumberdaya secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan
kepentingan kelompok lain. Seringnya terjadi kompetisi penggunaan teknologi yang lebih tinggi akibatnya masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak
mampu bersaing. Kompetisi dalam penelitian ini merupakan dimensi sumberdaya,
berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat, dimana terjadi kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya seperti kompetisi dalam penggunaan teknologi alat
tangkap dan perebutan lokasi wilayah penangkapan fishing ground. Memperebutkan sumberdaya perikanan bukan persoalan yang mudah. Terdapat
kecendrungan yang besar bahwa pengoperasian peralatan tangkap yang lebih canggih, semakin memperderas arus keserakahan perikanan sehingga berdampak
serius terhadap kelestarian sumberdaya. Kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan berkaitan dengan
perilaku nelayan dalam mengalokasikan atau pengoperasian alat tangkapnya. Sebagai mega predator, nelayan mempunyai perilaku yang sangat unik dalam
merespon baik perubahan sumberdaya ikan maupun kebijakan yang diterapkan. Pengelolaan sumberdaya ikan yang terpenting adalah bagaimana mengantisipasi
perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa pengelolaan perikanan merupakan upaya yang
dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang.
2 Oposisi
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pihak yang bertolak belakang dengan nilai loading 0,30 dengan t
hitung
3.09 t
tabel
1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan keberadaan pihak yang
bertolak belakang dalam pemanfaatan sumberdaya dapat memicu terjadinya konflik. Oposisi dalam hal ini yang berkaitan dengan antagonistik dimana banyak
pihak yang sejalan dan bertentangan terhadap persetujuan atau resolusi yang dilakukan.
Oposisi bisa terjadi terhadap pihak-pihak yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam konflik. Dalam masyarakat nelayan terdapat perbedaan kedudukan
seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai rendah. Perbedaan tersebut
antara lain dalam usaha penangkapan seperti juraganusahawan dan ABK, tokoh masyarakat dan masyarakat biasa, organisasi pemerintah dan non pemerintah
Dalam keadaan tersebut beragamnya posisi dan sosial masyarakat sangat memungkinkan adanya pihak oposisi dalam masyarakat pantai.
3 Ekonomi
Persepsi masyarakat terhadap kondisi perekonomian masyarakat dengan nilai loading 0,24 dengan t
hitung
2.46 t
tabel
1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian masyarakat dapat memicu terjadinya
konflik. Hal ini dilihat pada persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi dan keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan dan adanya
resesi ekonomi yang berkepanjangan. Perbadaan kondisi ekonomi nelayan di Kalimantantan Selatan dapat dilihat
pada usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan. Nelayan tradisional seperti nelayan lampara dasar, trammel net dan sejenisnya dengan masa kerja sekitar 15-
25 hari dengan biaya operasional per bulan sekitar Rp 1.700.000,- per bulan. Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas penangkapan ikan
sekitar 20 liter. Rerata penghasilan bersih Rp 84.585 setiap melautper orang. Namun dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak ditambah harga
peralatan baik jaring maupun suku cadang mesin juga mengalami kenaikan sementara harga penjualan hasil-hasil tangkap nelayan sejak
tahun 2004 sampai sekarang tidak mengalami kenaikan.
Maka rata-rata pendapatan bersih nelayan Rp 84.585 bahkan bisa turun menjadi Rp. 32.220 setiap melaut dengan semakin
meningkatnya konflik. Sementara nelayan lain dengan usaha perikanan mini purse seine dan gillnet
lingkar dengan biaya operasional sekali melaut sebesar Rp 4.000.000,- sampai 5.000.000,-. Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas
penangkapan ikan sekitar 4500 liter atau 2 drum. Rerata pendapan nelayan sebesar Rp.10.000.000,- sampai Rp.15.000.000,- per bulan. Pada saat terjadi
konflik pendapatan menurun yaitu hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.612.125,- sampai 7.850.491,- per bulan.
Persepsi terhadap kondisi perekonomian masyarakat nelayan merupakan pemicu terjadinya konflik perikanan tangkap. Kemiskinan dan ketergantungan
yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan laut seringkali mengakibatkan masyarakat melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya.
Sehingga semakin
tinggi ketergantungan
masyarakat karena
kondisi perekonomian maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya konflik.
4 Aktor
Persepsi masyarakat terhadap aktor dengan nilai loading 0,24 dengan t
hitung
2.46 t
tabel
1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa banyak sedikitnya pihak yang terlibat dapat memicu terjadinya konflik. Aktor dilihat
berdasarkan persepsi responden terhadap terhadap jumlah kelompokpihak yang terlibat konflik dan kemudahan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat
dalam konflik . Pihak yang terlibat dalam konflik perikanan tangkap sangat bervariasi
tergantung pada skala konflik yaitu mulai dari konflik tingkat desa, kabupaten dan provinsi. Untuk konflik antar provinsi seperti pada kasus pengambilan teripang
antara lain terdiri dari nelayan andon dari Jatim, Sulsel, Kaltim, nelayan lokal dari
Tanah Laut, DKP pusat dan Daerah, TNI AL dan Polair. Untuk konflik tingkat desa lebih mudah dilakukan identifikasi dan inventarisasi dibandingkan konflik
tingkat provinsi atau nasional.
5 Budaya
Persepsi masyarakat terhadap latar belakang budaya dan adat dengan nilai loading
-0,23 dengan t
hitung
2.27 t
tabel
1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang budaya dan adat dapat memicu terjadinya
konflik. Namun karena di wilayah pesisir Kalimantan Selatan sudah beradaptasi dengan berbagai budaya dari berbagai etnis maka terjadi pengaruh yang negatif.
Tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini
kemudian melembaga dalam adat. Bagi masyarakat nelayan atau pesisir, terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan.
Bahkan kemampuan sebagai warga masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan.
Interaksi etnis yang berkembang di perisisr Kalimantan Selatan terdiri dari Bugis, Banjar, Jawa, Madura, Mandar, Bajau, Bone, Bali dan Thionghoa Tabel 31
Tabel 31 Persebaran etnissuku yang mendiami wilayah pesisir Kal-Sel
No Wilayah Pesisir
Etnissuku
1 2
3 Tanah Laut
Kotabaru 1 Pulau Laut bagian Utara
2 Pulau Laut Bagian Timur 3 Pulau Laut Bagian Selatan
4 Pulau Laut Bagian Barat
5 Pulau Laut Bagian Tenggara Tanah Bumbu
Bugis, Banjar, Jawa, Madura Bugis, Mandar, Banjar
Bugis, Mandar, Banjar, Bajau Bugis, Mandar, Banjar, Bajau
Bugis, Mandar, Bone, Banjar, Jawa, Thionghoa
Bugis, Banjar Bugis, Mandar, Banjar, Bali
Sumber: Data primer diolah Upacara adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan
pemanfaatan sumberdaya alam yaitu: 1 upacara selamatan laut, yang dilaksanakan setiap tahun sekali, tepatnya tanggal 1 Dzulhijjah yang tujuannya
untuk syukuran dan selamatan atas berkah yang diberikan oleh Allah SWT. Disamping itu dilakukan juga 2 upacara selamatan setiap masyarakat nelayan
mau berangkat melaut 3 Upacara “Balatif” yaitu upacara yang dilakukan oleh
warga pesisir di Kabupten Tanah Laut untuk menolak bala baik berupa bencana alam atau penyakit pada waktu bulan safar. Caranya dengan berlari-lari kecil
sekeliling kampung sambil mengucapkan dzikir kepada Allah SWT 4 Aturan lokal
bahwa setiap hari Jum’at nelayan tidak boleh pergi menangkap ikan setelah jam 10.00 wita. Jika melakukan hal itu, maka nelayan yang bersangkutan akan
dikenai denda sebesar Rp. 1.000.000,- dan jika tetap melakukan maka nelayan yang bersangkutan akan dikenai sangsi tidak akan diurus penduduk saat
meninggal. Selain upacara-upacara tradisional yang dipengaruhi oleh ajaran agama,
masyarakat daerah pesisir juga menyelenggarakan upacara tradisi lainnya. Erat kaitannya dengan kegiatan penangkapan di laut, sebagian masyarakat nelayan
merasa perlu memberi ”makan” kepada laut, agar mereka terhindar dari amukan badai dan memperoleh hasil tangkapan yang banyak pada tahun berikutnya.
Upacara yang disebut ”Mappanretasi” ini juga dimaksudkan untuk menyatakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Acara tersebut dilaksanakan setiap
bulan April. Upacara Mappanretasi sebagai puncak persembahan ke laut ini dilaksanakan oleh penduduk nelayan di beberapa Pulau Laut dan Pagatan yang
kebanyakan berasal dari Bugis. Sebelum acara puncak, yakni acara sakral pemberian makanan ke laut, masyarakat menyelenggarakan pertunjukan kesenian
tradisional, seperti Masukkeri seperti seni rebana. Selain upacara mappanretasi terdapat juga upacara yang diselenggarakan
oleh umat Hindu yang berasal dari etnis Bali. Setiap menjelang nyepi semua etnis Bali di seluruh pesisir Kalimantan Selatan berkumpul di perairan pantai Sungai
Loban Tanah Bumbu, pantai tersebut mereka berinama ”pantai Bali”. Mereka membawa berbagai simbol keagamaan sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa
dan sesaji ke pantai untuk dipersembahkan dalam ritual ”melasti.” Ribuan umat
Hindu berkumpul di pantai, perempuannya mengenakan saput dan kamben dengan selendang melilit pinggang dan rambut disanggul berhias bunga segar.
Sedang laki-lakinya berbusana dominan putih, selain memakai saput dan kemben yang berfungsi seperti sarung juga menggunakan udeng atau ikat kepala.
Bagi yang tidak bisa ke pantai atau laut, bisa melarutkan sesaji ke sungai atau air mengalir dan sumber air. Ritual ini bertujuan untuk menyucikan diri
buana alit dan menyucikan alam semesta buana agung. Dilanjutkan tawar
Kesangeh setelah selama satu tahun mengambil kekayaan alam semesta, saatnya
manusia membayar nawur untuk menyeimbangkan alam semesta. Kaitannya dengan tri hita karana, yakni menghormati alam semesta, sesama manusia dan
Tuhan. Berdasarkan analisis SEM terdapat beberapa indikator peubah laten faktor
penyebab konflik yang tidak signifikan pengaruhnya yaitu: indikator isu yang berkembang di masyarakat, ketersediaan stok, adanya keinginan tertentu dalam
masyarakat, keberadaan peraturan dan penegakan hukum.
6 Isu yang berkembang di masyarakat
Persepsi responden tentang kemudahan menentukan isu atau pokok masalah yang menjadi tidak berpengaruh signifikan sebagai faktor penyebab terjadinya
konflik. Masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan tampaknya sudah dapat memaknai kondisi nyata yang terjadi di masyarakat, adanya isu harus diyakini
terlebih dahulu, kebenaran isu memang membutuhkan proses yang panjang untuk dapat dibuktikan. Dalam menindak lanjuti isu yang berkembang, masyarakat lebih
menghendaki tidak mau adanya kesalahan dan harus dilakukan urun rembuk bersama warga masyarakat.
7 Keberadaan tokoh dalam konflik
Tokoh dalam masyarakat erat kaitannya dengan adanya pelapisan sosial di masyarakat. Pelapisan sosial yang terjadi didasarkan atas keadaan ekonomi dan
jabatan formal yang diemban oleh yang bersangkutan. Tokoh yang dianggap berpengaruh yaitu pemimpin formal kepala desa dan pemimpin informal para
punggawa atau pemilik modal. Pola pengambilan keputusan biasanya dilakukan melalui para punggawa, karena setiap anggota akan lebih patuh kepada para
punggawanya, sehingga proses pengambilan keputusan berpusat kepada pemimpin informal. Masyarakat pesisir di Kalimantan Selatan tampaknya sudah
dapat berfikir kritis yang tidak mau patuh begitu saja terhadap tokoh masyarakat. Sehingga keberadaan tokoh masayarakat tidak berpengaruh signifikan dalam
meredam konflik, dengan kata lain tingkat kepatuhan masyarakat tidak bisa mengandalkan kepada tokoh masyarakat, sekalipun tokoh tersebut sangat
dihormati oleh masyarakat. Dalam menyelesaikan konflik, pola pengambilan keputusan dilakukan melalui piranti musyawarah dan dialog antara perangkat desa
dan dan masyarakat, namun munculnya emosi yang kuat dapat mendorong masyarakat melakukan tindakan kekerasan seperti pembakaran kapal atau aksi
demontrasi perusakan yang tidak bisa dicegah oleh tokoh masyarakat.
8 Jumlah nelayan
Persepsi responden tentang bertambahnya jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik tampaknya tidak berpegaruh nyata sebagai faktor penyebab
konflik. Jumlah nelayan yang terdiri dari nelayan lokal dan nelayan andon sejak dahulu tidak pernah berkurang. Profesi sebagai nelayan di Kalimantan Selatan
terwujud oleh keturunan dari generasi ke generasi dan merupakan pencaharian turun temurun, sehingga jumlah nelayan dianggap berkembang secara
proporsional. Nelayan lokal pada umumnya merupakan nelayan dengan rutinitas penangkapan ikan harian one day fishing, daerah operasional di perairan pesisir
kurang dari 6 mil dari pantai pemukiman mereka. Sementara nelayan andon yang melakukan kegiatan penangkapan di sekitar
perairan Kalimantan Selatan terdiri dari nelayan Kalimantan Timur, Jawa dan Sulawesi yang merupakan nelayan dengan armada besar purse seine, cantrang,
pemburu teripang, memiliki daya jangkau ke perairan dalam dan umumnya melakukan penangkapan ikan dengan sistem menginap. Sebagian besar nelayan
andon yang beroperasi di sekitar perairan Kalimantan Selatan tersebut merupakan nelayan penuh, artinya mata pencaharian sebagai nelayan merupakan
matapencaharian utama. Berdasarkan kepemilikan armada dan alat tangkap, nelayan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu nelayan pemilik dan nelayan ABK.
Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri yang dipoerasikan sendiri maupun dengan melibatkan ABK. Nelayan ABK adalah
nelayan yang bekerja kepada nelayan pemilik sebagai anak buah kapal.
9 Ketersediaan stok
Masyarakat pesisir di Kalimantan Selatan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengandalkan kemurahan hasil alamnya, yakni hasil laut. Oleh karena itu
masyarakat nelayan berupaya mempertahankan potensi sumberdaya perikanan dengan melakukan proteksi terhadap nelayan lain yang ingin menguasai
sumberdaya perairan yang berada sekitar tempat tinggal mereka. Cara pandang nelayan terhadap ketersediaan sumberdaya biasanya dihubungkan dengan hasil
tangkapan. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa berdasarkan data produksi ikan per upaya CPUE di perairan laut dalam kurun waktu sepuluh
tahun 1999-2008 terus menurun. Penurunan ini lebih diakibatkan dari peningkatan jumlah upaya penangkapan trip dari tahun ke tahun yang jauh lebih
cepat dibandingkan dengan laju rekruitmen ikan. Kondisi ini menyebabkan
peluang nelayan dapat menangkap ikan pada lokasi yang biasa menjadi semakin kecil karena keberadaan ikan yang semakin menurun, namun sumberdaya yang
tersedia masih cukup untuk diperebutkan dalam bentuk persaingan antar kelompok.
10 Keinginan tertentu dalam masyarakat
Adanya kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan nelayan bisa muncul dimasyarakat. Kelompok kepentingan yang ada di wilayah pesisir
yaitu PKK, Posyandu, kelompok nelayan, remaja mesjid dan para punggawa atau pemilik modal serta tokoh masyarakat atau kepala desa. Pada waktu tertentu
terdapat juga adanya kepentingan tetertentu dengan maksud mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut, seperti pengusaha eksternal pertambangan atau
orang-orang partai, namun hal ini tidak signifikan pengaruhnya sebagai faktor
penyebab konflik.
11 Keberadaan hukum dan peraturan perikanan
Keberadaan hukum dan peraturan yang dibuat pemerintah kebayakan
bersifat makro dan tidak dapat mengakomodasi keadaan geografis wilayah perairan di Kalimantan Selatan, sehingga peraturan yang ada seperti diabaikan.
Dalam hal ini perlu perubahan stuktural terhadap keberadaan hukum dan peraturan perikanan agar keberadaannya berpengaruh nyata dan dapat meredam
konflik perikanan tangkap. 4.5.2
Teknik resolusi konflik
Variabel teknik resolusi konflik RESOLUSI dikonstruk dari 4 empat indikator yaitu Y
1
litigasi, Y
2
negosiasi, Y
3
fasitasi, Y
4
avoidance masing- masing nilai louding 0,35; 0,41; 0,59; dan -0,18. yang sumuanya signifikan
berpengaruh langsung terhadap variabel pembangunan perikanan OUTCOME yang terdiri dari Z
1
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap, Z
2
pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan dan Z
3
pemahaman masyarakat tentang pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32 Komponen penting dari faktor yang berpengaruh signifikan terhadap OUTCOME
Faktor yang berpengaruh
terhadap Resolusi konflik
Komponen penting yang berpengaruh dan nilai
Critical Ratio Dampak terhadap
Faktor penyebab konflik yang
dpengaruhi
RESOLUSI 1 Fasilitasi y
3
= 0,59 2 Negosiasi y
2
= 0,41 3 Litigasi y
1
= 0,35 4 Avoidance y
4
= - 0,18 OUTCOME
1 partisipasi Z
1
=0,68 2 berkelnjutan
Z
2
=0,42 Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2009
Berdasarkan Tabel 32 menunjukan bahwa indikator yang paling besar kontribusinya terhadap masing-masing peubah latent yang efektif digunakan yaitu
semua indikator teknik resolusi konflik yaitu: litigasi, negosiasi, fasitasi, dan avoidance
. Nilai loading tertinggi adalah fasilitasi 0,59, hal ini sesuai dengan dengan kondisi empiris yaitu teknik resolusi konflik yang paling sesuai dan paling
sering digunakan serta memberikan kontribusi yang besar terhadap efektifitas resolusi konflik di daerah penelitian adalah fasilitasi. Variabel teknik resolusi
konflik RESOLUSI berpengaruh signifikan terhadap variabel pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap OUTCOME, namun indikator yang memberikan
kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yaitu Z
1
partisipasi masyarakat, dan Z
2
pemahaman terhadap keberlanjutan perikanan tangkap masing-masing memiliki nilai loading 0,68 dan 0,42. Namun tidak
signifikan terhadap Z
3
pemaaahan terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan.
5 PEMBAHASAN
5.1 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap
Akar permasalahan konflik perikanan tangkap menggambarkan penyebab konflik yang dapat dilihat berdasarkan tipologi konflik dan sumber konflik.
Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik. Sejalan dengan penelitian ini tipologi konflik perikanan
berdasarkan Charles 1992 teridentifikasi yaitu: yuridiksi perikanan conflict of jurisdiction
, mekanisme pengelolaan management mechanisms dan alokasi internal internal allocation. Konflik yuridiksi terjadi pada kasus daerah tangkap
dan purse seine. Konflik alokasi internal terjadi pada semua kasus yaitu kasus yaitu kasus purse seine, lampara dasar, pengambilan teripang, penggunaan bom,
gill net, bagan apung, seser modern dan cantrang, karena semuanya berkaitan dengan penggunaan alat tangkap. Sedangkan yang terkait dengan mekanisme
pengelolaan terjadi pada kasus purse seine, lampara dasar dan pengambilan teripang. Obserschall 1973 menyatakan bahwa tipologi tidak berupaya
menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik.
Konflik yuridiksi yang terjadi pada kasus perebutan daerah penangkapan, disebabkan adanya persepsi yang keliru terhadap batas-batas wilayah perairannya
sehingga kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah dilarang melaut di perairan daerahkabupaten lain, yang merupakan perwujudan konsep
kepemilikan property right. Selain itu adanya persepsi nelayan terutama yang tinggal di sekitar perairan Selat Laut, bahwa sebagai orang lokal mereka
mempunyai hak prioritas untuk mengeksploitasi sumberdaya yang berada di sekitar tempat mereka. Dalam kondisi demikian, jika terdapat orang-orang luar
yang terlibat dalam kegiatan eksploitasi di wilayah komunitas tertentu dan komunitas ini tidak berkenan atas kehadiran nelayan luar, maka terpicu konflik
yang bernuansa kekerasan. Anggapan masyarakat terhadap kepemilikannya terhadap laut tersebut sejalan dengan anggapan Pelluso and Harwell 2001 yang
menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup.
Konflik yuridiksi yang terjadi pada kasus purse seine yang disebabkan karena nelayan purse seine dari luar daerah memasuki jalur penangkapan nelayan
localmini purse seine walaupun berada pada wilayah lebih dari 12 mil namun memiliki kedalaman kurang dari 40m sehingga nelayan local mengklaim bahwa
wilayah tersebut. Terjadinya konflik ini beriringan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Berdasarkan eskalasi konflik lihat kembali Gambar 14 terlihat
bahwa perkembangan konflik mulai dari konfrontasi hingga kritis sering terjadi pada era otonomi, sehingga sering digeneralisasi dengan konflik identitas. Meski
demikian menurut Satria et al. 2002 bahwa upaya generalisasi konflik-konflik nelayan sebagai konflik identitas akibat diterapkannya otonomi daerah adalah
kurang tepat. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, dimana pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan
sumberdaya di dalamnya hanya 8 mil ke arah laut lepas, sehingga memberi peluang yang besar untuk nelayan andon dari luar daerah bebas melakukan
penangkapan pada jalur 8 mil. Berdasarkan peta batimetri, perairan di Selat Makasar sekitar perairan
Kalimantan Selatan mempunyai kedalaman bervariasi yaitu: sebelah barat merupakan perairan dangkal 50m dan akan semakin dalam di bagian timurnya
hingga kedalaman 100m. Kedalaman di sekitar pulau Sebuku mempunyai kedalaman bervariasi, yaitu dengan kisaran kedalaman 20-700m. Jika dilihat
pada jalur penangkapan sejauh 15 mil di perairan Kalimantan Selatan sekitar Pulau Kerayaan yang terjadi konflik purse seine hanya mempunyai kedalamam
15-40m dan perairan bersifat landai, sehingga nelayan Kal-Sel mengklaim wilayah tersebut adalah milik mereka.
Konflik yang berkaitan dengan mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine disebabkan adanya kebijakan yang memberi izin terhadap purse seine
di perairan sekitar Kotabaru Kalimantan Selatan yang berdampak pada keadilan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Nelayan mengeluh karena penegakan aturan
oleh pemerintah dilakukan secara berlebihan terhadap kelompok purse seine. Mekanisme pengelolaan terjadi pula pada kasus pengambilan teripang oleh
nelayan andon, disebakan oleh pemberian izin kepada nelayan andon dari Sulawesi, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur memburu teripang masuk ke
perairan Tanjung Selatan Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Jumlah nelayan andon yang masuk diperkirakan sebanyak 400 unit, sehingga jumlah
penyelam diperkirakan 1.600 orang. Hal ini dianggap telah melebihi kuota dan sangat mengganggu kegiatan pemanfaatan perikanan tangkap.
Lemahnya mekanisme pengelolaan terjadi pula pada kasus daerah penangkapan karena pemerintah yang telah memberi persetujuan terhadap
pembagian daerah penangkapan di perairan Kotabaru. Hal ini menumbuhkan adanya pihak yang bertolak belakang dan dipersepsikan ketidakadilan pemerintah
karena kemungkinan terjadi pengkavlingan laut pada fishing ground yang memiliki potensi sumberdaya yang tinggi dan ada yang memiki potensi rendah.
Konflik dengan tipologi mekanisme pengelolaan tersebut terlihat adanya tumpang tindihnya pemberlakuan otonomi daerah dan ikut campurnya pemerintah pusat
terhadap kebijakan pemerintah daerah Konflik alokasi internal terjadi karena adanya kegiatan illegal fishing
seperti penggunaan gill net yang melebihi kapasitas dan penggunaan bom. Pada kasus purse seine, cantrang dan pengambilan teripang konflik disebabkan adanya
kecemburuan sosial terhadap nelayan andon yang memiliki teknologi lebih tinggi akibatnya nelayan lokal tidak mampu bersaing. Begitu pula pada kasus lampara
dasar, seser modern, bagan apung disebabkan karena perbedaan kapasitas dan kualitas teknologi perikanan tangkap yang lebih tinggi dari nelayan lain dalam
menangkap jenis ikan yang sama, akibatnya mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan yang lebih rendah.
Berkaitan dengan akar permasalahan konflik, jika dicermati berdasarkan kategori sumber konflik Gorre 1999, maka sumber konflik di perairan
Kalimantan Selatan termasuk ke dalam kategori: 1 masalah hubungan relationship issues 2 masalah struktural structural problems dan 3
perbedaan nilai value differences. Konflik yang bersumber pada masalah hubungan yaitu perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi
terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan
yang dianggap dapat merusak dan berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Selain itu adanya perilaku yang menyimpang deviant
behaviour dengan beragam motif, seperti ingin kaya dengan cara atau mungkin
terpaksa karena adanya benturan dengan kondisi ekonomi hal ini terjadi pada kasus penggunaan bom dan penggunaan gillnet yang melebihi ketentuan yang
direkomendasikan. Masalah hubungan terjadi juga pada kasus lampara dasar, yaitu adanya
persepsi yang negatif terhadap nelayan lampara dasar yang dianggap berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan, hal ini disebakan kurangnya
komunikasi antara nelayan, jika dapat dikomunikasikan bersama maka bisa diakomodir mengenai kebaikan dan kekurangan penggunaan alat tersebut dan
dapat digunakan sesuai kebutuhan. Konflik yang bersumber pada masalah struktural yang ditunjukkan oleh
adanya ketidakjelasan kebijakan yang dibuat oleh Dinas Perikanan Kabupaten Kotabaru yang menyetujui adanya pembagian daerah penangkapan
. Status dan
frekuensi konflik yang selalu terjadi pada musim utara menyebabkan nelayan dari dari desa Rampa yang masuk ke perairan Selat Laut mengalami kerugian materi
akibat penenggelaman kapal dan kerugian psikis akibat adanya pemukulan nelayan dari nelayan Sungai Dungun.
Konflik yang bersumber pada perbedaan sistem nilai yang dianut nelayan pemburu teripang dengan nilai yang diterapkan oleh nelayan Kabupaten Tanah
Laut memaksakan untuk tidak boleh mengambil teripang di daerah Tanjung Selatan Tanah Laut. Disatu sisi lain kegiatan pemburu teripang adalah pekerjaan
yang secara turun temurun dilakukan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan dan penggunaan kompresor merupakan modernisasi teknologi adalah
pengembangan usaha perikanan teripang. Introduksi teknologi dan modernisasi yang diusung para pemburu teripang yang memiliki modal telah menciptakan
ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan dalam makna nilai dan ekonomi nelayan Kabupaten Tanah Laut yang tidak pernah mempunyai kompresor.
Ketidakadilan yang dimaksud sehubungan dengan timpangnya perlakuan yang diberikan dalam mengakses sumberdaya seperti pemberian izin kepada pihak
yang memiliki teknologi yang lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan Pollnac 1984 yang diacu dalam Wahyono et al. 2000 menyatakan suatu sumber konflik
yang utama adalah peningkatan intensitas eksploitasi. Hal ini berhubungan
dengan pertambahan unit eksploitasi dan perubahan teknologi. Berdasarkan beberapa penelitian, konflik bisa terwujud oleh perbedaan nilai seperti pada
penelitian Hasan 1974 bahwa wujud konflik antar nelayan juga ditimbulkan oleh adanya perbedaan nilai. Konflik yang bersumber pada perbedaan kepentingan
terjadi pada kasus pengambilan teripang dan cantrang disebabkan oleh pengambilan teripang yang beorientasi ekspor dan tidak dilakukan oleh nelayan
local di Kalimantan Selatan. Pada kasus lampara dasar, konflik terjadi ketika nelayan tradisional tidak
memiliki kemampuan materi untuk memiliki kapal dan alat tangkap tersebut. Namun ketika nelayan tradisional sudah dapat memilki alat tersebut akhirnya
penggunaan lampara dasar tidak lagi menjadi konflik dan menyetujui penggunaan alat tersebut, namun dengan konseksensi penggunaannya pada jalur yang telah
disepakati yaitu 3 mil. Hal ini sejalan dengan penelitian Aubert 1963, membedakan konflik yang masih berada dalam konsensus atau konflik yang
sudah melewati konsensus. Pada konflik yang masih dalam konsensus semua pihak yang berkonflik setuju terhadap nilai value yang mereka inginkan tetapi
mereka tidak mampu untuk mencapainya. Sedangkan konflik yang melewati batas konsensus, pihak yang berkonflik tidak dapat mencapai kesepakatan tentang
nilai yang mereka inginkan dan mereka sendiri tidak tahu bagaimana mencapainya.
5.2 Kelembagaan Pengelolaan Konflik
Lembaga yang berperan dalam pengelolan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan yang terdiri dari kelembagaan pemerintah dan
kelembagaan non pemerintah. Lembaga pemerintah telah membentuk Pokmaswas, mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan melayangkan surat
peringatan dan sosialisasi dan mengeluarkan regulasi dan pertemuan lintas instansi. Kelembagaan formal lainnya yang berfungsi sebagai pengamanan laut
dan sangat membantu ketika sudah terjadi konflik yaitu Polairut dan TNI AL. Sedangkan kelembagaan non pemerintah ikut membantu nelayan dalam
pengelolaan konflik diantaranya WALHI Wahana Lingkungan Hidup, HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, AMNES Aliansi Masyarakat Nelayan
Saijaan dan INSAN Ikatan Nelayan Saijaan. Kelembagaan tersebut saling berinteraksi satu sama lain melalui aktivitasnya. Interaksi lembaga tersebut ada
yang sinergi, tumpang tindih bahkan antagonis. Hal tersebut semakin nyata karena dari lembaga-lembaga tersebut ada yang dilaksanakan oleh pemerintah
pusat, daerah dan swasta. Sebagaimana terjadi pada kasus daerah penangkapan. Kelembagaan yang
berperan dalam resolusi konflik yaitu Dinas perikanan Kabupaten saling tidak mendukung antagonis, disatu sisi DKP menyetujui adanya pembagian daerah
penangkapan, disisi lain INSAN Ikatan Nelayan Saijaan tidak menyetujui resolusi tersebut. Begitu pula pada kasus purse seine terjadi hubungan antagonis
antara sesama kelembagaan non pemerintah yaitu INSAN dan HNSI, karena HNSI menyetujui resolusi konflik pada kasus purse seine yang masih beroperasi
di sekitar perairan Kotabaru walaupun sudah tidak menggunakan lampu berkekuatan tinggi. Keadaan yang antagonis juga pada kasus pengambilan
teripang yang mana TNI AL dianggap membekingi nelayan pemburu teripang dan pada saat resolusi konflik memberikan jalan tengah dan menentukan hasil resolusi
konflik yang hasilnya tetap tidak disetujui oleh nelayan lokal. Memperhatikan hal tersebut yaitu berlakunya otonomi daerah dan tumpang
tindihnya kebijakan seringkali memunculkan suatu interaksi antagonis antara lembaga-lembaga tersebut. Maka untuk menghasilkan sinergitas kinerja dari
lembaga yang mengelola konflik di perairan Kalimantan Selatan, diperlukan kelembagaan yang dapat mengatur keterpaduan semua lembaga pengelolaan
konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Purwaka 2003 yang menyatakan bahwa sinergitas
dalam berinterakasi dari lembaga-lembaga tertentu merupakan hal ideal yang diharapkan oleh semua pihak.
Kapasitas kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan konflik perlu ditingkatkan guna memenuhi kualitas dan kuantitas dalam pengelolaan konflik.
Komponen kelembagaan memegang peranan penting dalam pengembangan perikanan tangkap, karena kemajuan teknologi alat penangkapan ikan yang terjadi
di perairan Kalimantan Selatan justru menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan
dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Kalimantan selatan yaitu: 1 pengembangan kapasitas peran kelembagaan pengelola dan 2
sumberdaya manusia yang dapat mendukung upaya pengembangan tersebut. Pada upaya pengembangan kapasitas peran kelembagaan terutama
kelembagaan non pemerintah sebagai inisiator untuk dapat mengakomodasi kebijakan sesuai dengan kondisi wilayah dan isu lokal yang dapat mempengaruhi
peran kelembagaan pemerintah sebagai regulator. Aransemen institusional berupa instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat
yang kesemuanya berada dalam satu kerangka kerja kelembagaan. Pemahaman terhadap berbagai kewenangan sektoral yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan dari masing-masing sektor yang bersangkautan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Purwaka 2003 yang menandaskan bahwa perlu
adanya pemahaman seluruh pihak terhadap peraturan dan perundangan agar tumpang tindih kewenangan bukan lagi wilayah benturan kepentingan melainkan
menjadi wilayah pengembangan kerjasama. Kelembagaan tradisional yang merupakan stok kapital sosial merupakan
wadah partisipasi atau silaturahmi masyarakat pesisir merupakan dukungan kekuatan untuk mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik. Untuk
itu diperlukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia nelayan, sebagai modal dasar yaitu kelembagaan tradisional yang dapat dikembangkan sebagai landasan
pendekatan dalam upaya peningkatan kelembagaan pengelolaan konflik. Kelembagaan sosial masyarakat berupa tradisi dan budaya setempat yang sudah
melembaga dan merupakan perilaku yang ramah lingkungan perlu didorong keikutsertaannya. Kelembagaan tersebut merupakan peluang tumbuhnya
partisipasi aktif masyarakat lokal, dalam hal ini perlu dilakukan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan oleh tenaga pendamping dari Dinas Perikanan dan
Kelautan. Budaya sebagai pedoman hidup masyarakat baik dalam bersikap maupun
bertingkah laku, terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma yang tertib meliputi norma kesopanan dan norma hukum. Budaya tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat karena antara keduanya erat hubungannya. Budaya tidak akan lahir tanpa adanya masyarakat, demikian pula sebaliknya. Sejalan dengan pendapat
Michael 2002 menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat manusia memerlukan pedoman, yaitu budaya sebagai alat perangkat kebutuhan integratif.
Begitupula yang dinyatakan oleh Ostrom 1993 bahwa tanpa adanya norma tersebut niscaya kehidupan akan penuh kekacauan, manusia akan kehilangan arah
dan pedoman hidup, akibatnya manusia menjadi liar dan hidup seperti hewan. Budaya sebagai pedoman hidup dalam memenuhi kebutuhan sosial mencakup 1
perwujudan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan hukum 2 aktivitas dan tindakan berpola dari manusia untuk masyarakat dan 3
perwujudan semua hasil karya manusia. Berdasarkan latar beragamnya belakang budaya yang terdapat di desa pesisir Kal-Sel dapat dijadilan landasan dalam upaya
pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan dengan sistem pengawasan oleh masyarakat community based fisheries management.
Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam bidang tersebut
secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada dari krisis multidimensi. Dibentuknya Pokmaswas sesuai dengan kebutuhan riil
masyarakat, dan peluang tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat lokal. Termasuk dalam hal ini agar mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan
kelembagaan tradisional yang ada yang diharapkan mampu menurunkan konflik. Sebagai salah satu elemen sentral dari ko-manajemen ini adalah CBFM
community based fisheries management yang digunakan sebagai langkah awal pemberdayaan masyarakat sesuai dengan isu lokal.
Kelembagaan dan organisasi yang berperan dalam pengelolaan konflik di Kalimantan Selatan tampaknya mulai dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas
serta mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, namun untuk lebih meningkatkan perannya agar berfungsi secara efektif dalam resolusi konflik,
hendaknya memiliki beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Ramirez 2002 yaitu: 1 diakui secara resmi sebagai lembaga yang berperan sebagai
mediator 2 dikenal oleh pihak yang berkonflik sebagai pihak yang netral dan memiliki legitimasi 3 menyetujui untuk bekerja dalam sistem penyelesaian
konflik, berdasarkan mediasi dan kesepakatan oleh semua pihak 4 mempunyai kemampuan dalam teknik mediasi 5 memiliki kemampuan dan mengetahui
dengan baik perangkat hukum secara positif, hukum adat dan isu-isu secara teknis 6 berkualifikasi dan mengetahui metode partisipatory 7 berkomunikasi dengan
baik dan jelas dan 8 mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, organissai, lembaga politik dan kerangka kerja regulasi.
Upaya lain yang perlu dilaksanakan untuk pengembangan peran kelembagaan masyarakat nelayan adalah penumbuhan usaha kemitraan yang
saling menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik.
Keseimbangan kekuatan antara nelayan harus didukung dengan upaya pemberdayaan nelayan kecil. Perlindungan terhadap nelayan kecil bukan bersifat
independen, melainkan terkait dengan rancangan kelembagaan secara komprehensif. Untuk itu pemberdayaan nelayan harus ditegaskan kedalam bentuk
peraturan pemerintah yang mengakui hak penangkapan ikan tradisional dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan pemerintah
daerah menterjemahkannya. Pemberian hak penangkapan ini bisa mencontoh model Jepang sebagaimana yang dinyatakan Uchida et al. 2004 yaitu melalui
Fishery Cooperative Association FCA. Pengakuan eksistensi hak penangkapan
ikan tradisional juga harus diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas sehingga tidak saja hak akses dan hak pengguna
sumberdaya yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan dan hak ekslusif. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan
lokal menjadi kuat. Upaya pengelolaan perikanan tangkap diharapkan untuk perkembangan ke
depan dapat menerapkan delegated co-managemen karena menurut penelitian Pomeroy
2003 pada
delegated co-management
keputusan-keputusan pengelolaan perikanan dilakukan oleh stakeholder sementara peran pemerintah
di satu sisi akan menjadi sangat kecil. Merujuk kepada pengalaman Jepang, Thailan, Philipina dan beberapa negara lain dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi masyarakat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan Hanna 1980.
Dalam mengawali rezim ko-manajemen perikanan di perairan Kalimantan Selatan,
yaitu dengan
mengorganisasikan masyarakat
sudah dapat
diimplementasikan oleh masyarakat dengan harapan dapat dicapai suatu kesepakatan tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke depan termasuk
pengelolaan konflik. Ko-manajemen harus dilihat sebagai strategi manajemen yang luwes, dapat berfungsi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan penelitian Pomeroy 1998 ko-manajemen sebagai forum partisipasi, membuat aturan, manajemen konflik, pembagian kewenangan, dialog,
pengambilan keputusan, belajar, tukar dan alih pengetahuan. Banyak alasan dan pertimbangan sebelum memulai ko-manajemen. Begitu pula dengan penelitian
Abdullah et al. 1998 alasan pemerintah Kanada untuk mendorong ko- manajemen sebagai salah satu contoh adalah untuk mengurangi konflik, keadilan
alokasi penangkapan, memperbaiki kualitas data, memajukan konservasi dan pemberdayaan massyarakat.
Berdasarkan penyelesaian konflik yang telah dilakukan terhadap beberapa kasus konflik perikanan tangkap seperti kasus purse seine, pengambilan teripang,
yang pada awalnya dilakukan dengan teknik negosiasi kemudian berkembang menjadi fasilitasi. Begitu pula pada kasus seser modern dan bagan apung, resolusi
konflik dapat berhasil melalui teknik fasilitasi. Teknik Fasilitasi memerlukan keikutsertaan beberapa lembaga dalam penyelesaian konflik, keberhasilan teknik
tersebut menandakan bahwa peran kelembagaan ADR Alternative Dispute Resolution
paling efektif diterapkan dalam pengelolaan konflik. Melalui ADR penyelesaian dilakukan secara kooperatif dengan mengedepankan output yang
lebih dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Penerapan ADR dilakukan dengan melibatkan
semua fungsionaris hukum secara keseluruhan dan sinergi lembaga pengelolaan konflik, karena suatu departemen tidak bisa berdiri sendiri untuk mendirikan
lembaga ADR yang berwibawa tapi melibatkan unit pemerintah di bidang legislative dan yudikatif.
Pada kasus purse seine pengembangan kelembagaan ADR sudah terlihat dengan dilakukannya yaitu melalui teknik Fasilitasi dengan menciptakan
konsensus yang memuaskan semua pihak yang berkonflik dan berupaya
mempertemukan semua pihak yang berkonflik. Konsensus dan kompromi sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme
penambilan keputusan resolusi konflik yang bersumber dari masyarakat sendiri. Secara historis, kultur masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan sangat
yang sangat beragam sangat menjunjung tinggi pendekatan konsensus. Dengan demikian alasan kultural dapat dijadikan sebagai eksistensi pengembangan ADR
sebagai kelembagaan pengelolaan konflik. Hal tersebut sejalan dengan Koesno 1979 menyebutkan tiga asas kerja di dalam menyelesaikan perkara-perkara adat,
yaitu: 1 asas kerukunan yang menekankan pada pandangan dari sikap orang dalam menghadapi kehidupan social di dalam suatu lingkungan. Satu sama lain
saling bergantung, saling memerlukan, sehingga masing-masing pihak memiliki komitmen untuk mewujudkan dan mempertahankan kehidupan bersama. Asas
kerukunan dituangkan dalam dua bentuk ajaran yaitu aajaran musyawarah dan ajaran mufakat. 2 asas kepatutan yang mengarah kepada usaha mengurangi
jatuhnya sesorang ke dalam alam rasa malu yang ditimbulkan oleh hasil resolusi konflik. 3 asas keselarasan yang berhubungan dengan metode resolusi konflik
yang mempertimbangkan terpenuhinya aspek perasaan estetis secara optimal. Dalam hal ini, resolusi konflik dianggap memenuhi perasaan estetis jika dapat
diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan maupun masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan perkembangan penerapan ADR yang telah dilakukan dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan,
sebenarnya telah lama digunakan oleh masyarakat, namun belum ada legitimasi terhadap sebuah kelembagaan ADR. Berdasarkan hal tersebut kelembagaan
pengelolaan konflik perlu dikembangkan dan melegitimasikan, dengan demikian keputusan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan, mengikat dan memiliki
kekuatan hukum. Selain itu kelembagaan ADR harus tidak bersifat ad hoc agar dapat berfungsi efektif sebagai mediator dalam resolusi konflik.
Dimensi kelembagaan dan organisasi hendaknya menjadi komponen utama ketika suatu organisasi yang berasal dari luar terlibat dalam proses mediasi
untuk menyelesaikan konflik yang tengah berlangsung dalam masyarakat.
Mekanisme ADR, penerapannya bisa dilakukan seperti di Australia dan Amerika sebagaimana yang dinyatakan O’Laughin et al. 1998 bahwa
mekanisme ADR di Australia memiliki standarisasi yang baik guna menjamin kualitas para mediator dan arbiternya. Pada tingkat nasional telah berdiri suatu
badan yang disebut the National Alternatif Dispute Resolution Advisory Concil NADRAC. Lembaga ini mempunyai tugas menyusun standar nasional yang
akan mendukung standar nasional yang akan mendukung pengembangan ADR. Di Amerika Serikat, ADR dapat dibedakan menjadi dua bagian; 1 primary yang
terdiri dari empat macam yaitu: adjudikasi, arbitrasi, mediasi dan negosiasi dan 2 hybrid proces terdapat sekurang-kurangnya lima bentuk penerapan mekanisme
ADR yaitu: privat judging, neutral expert fact finding, mini trial, ombudsman dan summary jury trial.
Sejauh ini kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan konflik seperti kasus purse seine telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka
menengah dan panjang yang salah satunya adalah perlu dibentuk kelompok kerja POKJA Penanganan Konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat Pusat,
Provinsi sampai dengan KabupatenKota dan menyusun pedoman umum penanganan konflik nelayan antar daerah, namun implementasinya sampai
penelitian ini dilakukan hanya pada pembentukan dan penguatan peran POKMASWAS di setiap desa pesisir. Keberadaan POKMASWAS diharapkan
akan terus berkembang melalui pembinaan bahkan kinerjanya dilombakan hingga tingkat nasional. Sebagai lembaga pengelolan konflik yang tidak bersifat ad hoc
lebih memiliki peran yang lebih fleksibel dalam mengikuti adanya eskalasi konflik atau dengan membentuk komite penasihat yang dapat memfasilitasi,
menampung dan memberikan pertimbangan-pertimbangan sebelum terjadi tindakan dan aksi massa sehingga begitu muncul gejala konfrontasi tidak akan
sampai pada tahap krisis yang berdampak pada anarkis seperti kekerasan fisik dan kerugian materi akibat penenggelaman dan pembakaran kapal.
Komponen kelembagaan harus diikuti dengan mekanisme yang sistematis dalam pengelolaan konflik. Kelembagaan yang sesuai untuk dikembangkan di
perairan Kalimantan Selatan dalam upaya mengurangi intensitas konflik adalah kelembagaan yang berbasis masyarakat, hal ini lebih dipahami oleh masyarakat di
pesisir Kalimantan Selatan. Sikap budaya masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip keharmonisan mampu meminimalkan eskalasi konflik. Sebelumnya
pengelolaan perikanan tangkap masih berbasis pada pemerintah pusat government based fisheries resources management, namun setelah konflik
terbuka muncuat dengan eskalasi yang panjang, masyarakat pesisir mulai memahami dan memicu berkembangnya metode pengelolaan alternatif yang
disebut sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat PSBM. Yurlikasari 2010 dalam penelitiannya menandaskakan bahwa komponen dasar dalam
pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah: 1 perundangan dan regulasi 2 keikutsertaan organisasi 3 infrastruktur dasar dan 4 kondisi sosial,
karena bentuk kelembagaan ini sangat sesuai karena sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik.
Sebagai implikasi terhadap keberadaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan terjadi pada tingkat desakecamatan, tingkat
kabupaten dan bahkan tingkat provinsi maka dalam rangka mewujudkan pengelolaan konflik perikanan tangkap berbasis komunitas, telah diwacanakan
sebuah program jangka panjang terhadap kelembagaan pengelola konflik, yang mana perlu disusun suatu kelembagaan yang bersifat multi tataran. Hal ini
disebabkan karena skala konflik bersifat lokal, antar daerahKabupupaten dan bahkan antar provinsi. Oleh karena itu diperlukan suatu kelembagaan yang
mampu berperan dalam proses resolusi konflik pada setiap tataran Gambar 48. Implimentasi pemebentukan kelembagan yang tidak bersifat ad hoc masih
merupakan proses yang dimulai dengan pembentukan POKMASWAS di setiap wilayah pesisir yang pastinya akan semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat nelayan. Selanjutnya organisasi tersebut membangun sinergi antar komunitas atau antar organisasi nelayan dalam rangka pengelolaan sumberdaya
atau pengelolaan konflik perikanan tangkap.
Gambar 48 Kelembagaan pengelolaan konflik
5.3 Model Pengelolaan Konflik
5.3.1 Faktor penyebab konflik
Merujuk hasil analisis SEM menunjukan bahwa dari 11 sebelas indikator yang diajukan terdapat 5 lima indikator atau faktor penentu penyebab konflik
yang secara signifikan berpengaruh. Indikator yang secara dominan berpengaruh yaitu: 1 kempotesi dalam pemanfaatan sumberdaya 2 keberadaan pihak yang
bertolak belakang 3 kondisi perekonomian masyarakat 4 banyak sedikitnya pihak yang terlibat dan 5 latar belakang budaya dan adat. Sehingga faktor
penyebab konflik yang harus diperhatikan adalah interaksi dari kelima indikator tersebut. Kelima indikator yang berpengaruh tersebut terkait dengan struktur
sosial masyarakat dan struktur ekonomi. Hal ini sejalan dengan Walter 2000 yang menandaskan bahwa konflik tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi
merupakan kombinasi dan akumulasi dari berbagai faktor penyebab konflik. Selain itu diperkuat oleh penelitian Budiono 2005 yang menyatakan bahwa
penyebab konflik dapat terdiri dari satu atau kombinasi dari beberapa variabel penyebab konflik.
Pemerintah
Non Pemerintah
FORUM DESA
KECAMATAN Tradisional
Konflik perikanan antar desa
kecamatan
Pemerintah
Non Pemerintah
Tradisional + Pihak
terkait
Konflik perikanan antar kabupaten
Pemerintah
Non Pemerintah
Pihak terkait
Konflik perikanan antar provinsi
FORUM KABUPATEN
FORUM Bottom up
ADR ADR
Dalam konteks faktor penyebab konflik, ketika pemerintah maupun pemerintah daerah berencana merumuskan model optimal dalam pengelolaan
konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan atau mementukan resolusi konflik yang optimal, maka pemerintah dan pemerintah daerah harus terlebih dulu
mencermati pola interaksi dan perngaruh yang ditimbulkan oleh 5 lima indikator penentu faktor penyebab konflik.
Kompetisi merupakan faktor yang paling memberikan kontribusi sebagai faktor penyebab konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan.
Keberadaan alat penangkap ikan yang berbeda atau memiliki teknologi yang lebih tinggi cenderung dianggap menjadi pesaing bagi nelayan setempat. Seperti
keberadaan nelayan purse seine yang menggunakan lampu, nelayan cantrang yang menyerupai teknologi trawl dan nelayan pemburu teripang menggunakan
kompresor. Kehadiran alat tersebut sangat diyakini menjadi pesaing dan menguras sumberdaya perairan. Hal ini sejalan dengan Dahuri et al. 1996 yang
menyatakan konflik pemanfaatan timbul karena beberapa pengguna sumberdaya berkompetisi untuk menggunakan sumberdaya yang sama dalam ruang laut yang
sama, dan menerapkan kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut yang tidak sesuai dengan yang lain. Dalam penelitian Lasut dan Kumurur
2001 juga menemukan bahwa kompetisi diantara pengguna untuk lahan atau fasilitas yang sama dapat menyababkan konflik diantara pengguna. Menurut
Cincin-Sain and Knecht 1998 konflik umumnya terjadi karena beberapa sebab seperti kompetisi area, kompetisi sumberdaya, atau kompetisi terhadap
sumberdaya yang saling berkaitan. Begitupula dengan Warner 2000 mengidentifikasi empat hal yang dapat menjelaskan munculnya konflik atas
sumber daya alam, diantaranya adalah kompetisi sumberdaya alam peningkatan ketergantungan pada sumber daya alam dapat meningkatkan persaingan.
Dalam penelitian ini keberadaan pihak yang bertolak belakang oposisi merupakan faktor kedua sebagai faktor penyebab konflik. Oposisi terjadi karena
adanya kebijakan yang tidak sejalan sebagaimana terjadi pada kasus daerah tangkap yang mana kelompok nelayan yang tergabung ke dalam INSAN Ikatan
Nelayan Saijaan tidak mendukung adanya pembagian daerah penangkapan. Hal ini sejalan dengan Bennet and Neiland 2000 mengemukakan bahwa aktifitas
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berpotensi menyebabkan konflik selain kompetitif adalah antagonistik.
Selanjutnya hal penting yang diperhatikan dalam pengelolaan konflik adalah masalah ekonomi nelayan. Perbadaan kondisi ekonomi nelayan di
Kalimantan Selatan dapat dilihat pada perbedaan usaha perikanan yang dilakukan yaitu mulai nelayan tradisional, semi dan modern serta adanya status punggawa
dan ABK. Kondisi ini berpotensi untuk meningkatkan skala eksploitasi sumberdaya kelautan dan perikanan dapat menjadi lahan subur bagi timbulnya
kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan. Hal ini sejalan dengan teori konflik yang dinyatakan Karl Mark yang dikenal dengan teori kelas yaitu kelas pemilik
modal borjuis dan kelas pekerja miskin proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkhis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar
dalam sistem produksi kapitalis. Karl Marx berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah
sejarah perjuangan kelas, dengan munculnya kapitalisme terjadi perpisahan tajam antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang hanya mempunyai
tenaga. Perkembangan kapitalisme memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial hingga pada akhirnya terjadi konflik diantara dua kelas. Hal ini
sejalan pula dengan penelitian Torkrisna et al. 2002 bahwa pengalaman di Thailan, konflik terjadi antara nelayan kecil dan nelayan besar.
Banyak sedikitnya pihak yang terlibat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan konflik. Hal ini terkait dengan karakteristik
individu dan kelompok. Semakin beragam karakter individu di dalam suatu wilayah semakin memicu konflik. Pada kasus konflik antar provinsi seperti kasus
purse seine dan pengambilan teripang melibatkan banyak sekali pihak yang terlibat, selain nelayan yang bersangkutan termasuk lembaga yang menangani
konflik baik pemerintah manupun non pemerintah mulai dari daerah hingga provinsi yang memiliki karekteristik beragam. Sebagaimana yang dinyatakan
Bradford dan Stringfellow 2001 bahwa perbedaan karakteristik individu dalam kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut antara
lain terkait dengan keahlian individual, kesepakatan terhadap kelompok, kekuatan power individu dalam kelompok serta hubungan sosial. Pemahaman terhadap