Faktor penyebab konflik Model .1

Menyempurnakan kategori yang dibuat Charles 1992, Warner 2000 mengusulkan lima tipe konflik. Tipe pertama adalah konflik berkenaan dengan “who controls the fishery,” misalnya masalah akses terhadap wilayah dan sumberdaya laut. Tipe kedua adalah konflik yang terkait permasalahan “how the fishery controlled. ” Tipe konflik ini meliputi konflik-konflik terkait penerapan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya laut, alokasi kuota dan lain-lain. Tipe konflik ketiga adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan yang memiliki latar belakang etnik, ras yang berbeda, atau konflik antara nelayan dan jenis teknologi yang berbeda. Tipe konflik keempat adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan dengan pelaku usaha laut lain seperti pelaku wisata bahari, konservasi dan industri. Tipe terakhir, kelima, adalah konflik yang tidak terkait langsung dengan kegiatan penangkapan tetapi mempengaruhinya. Contoh konflik-konflik dalam tipe ini adalah konflik yang lahir karena kasus-kasus kerusakan lingkungan, perubahan ekonomi kenaikan dengan bahan bakar minyak, korupsi dan lain-lain. Di Indonesia Satria 2004 membagi konflik perikanan menjadi 7 tujuh tipe, yakni: 1 Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat kesenjangan teknologi penangkapan ikan; 2 Konflik kepemilikan sumberdaya, yaitu konflik akibat isu kepemilikan sumberdaya: laut milik siapa? Ikan milik siapa?; 3 Konflik pengelolaan sumberdaya, yaitu konflik akibat “pelanggaran aturan pengelolaan” Isu: siapa berhak mengelola SDI atau SD laut?; 4 Konflik cara produksialat tangkap, yaitu konflik akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama alat tangkap tradisional maupun tradisional-modern yang merugikan salah satu pihak; 5 Konflik lingkungan, konflik akibat kerusakan lingkungan akibat praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain; 6 Konflik usaha, konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan; 7 Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordialidentitas ras, etnik, asal daerah.

2.4.3 Resolusi konflik

1 Konsep resolusi Konflik Melling 1994 diacu dalam FAO 1998 mendefinisikan resolusi konflik sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan kepada semua pihak yang memperbe sar “kue” dan menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya akan mendapat “kue” yang lebih besar. Definisi ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua pihak. Resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara dua orangkelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian. Resolusi dimana pihak-pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dan membahas isu-isu resolusi tersebut, namun bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan di pihak luar yang bertikai, tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain Budiono 2005 2 Teknik resolusi konflik Bennet dan Neiland 2000 menandaskan bahwa proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan litigasi dan di luar pengadilan atau penyelesaian sengketa alternatif Alternative Dispute Resolution ADR. Melalui proses litigasi, akan memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Dalam kenyataan sistem formal, pendekatan litigasi pengadilan yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu, pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik yang batasannya sudah jelas Budiono 2005. Perbandingan resolusi konflik dengan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan kelemahan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution ADR Litigasi Alternative Dispute Resolution ADR Kelemahan DKP 2002 1 Memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok 2 Membuat salah satu kelompok curiga akan motif kelompok lainnya 3 Pengambilan keputusan yang lebih lama 4 Lebih menekankan pada solusi ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama-rasa 5 Menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat 6 Lebih mahal baik ditinjau dari energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya Kelemahan O’loughin and Schumaker 1998 1 Kurang efektif bila digunakan pada masalah yang kompleks dan sensitif 2 Dapat dipengaruhi oleh pemegang otoritas 3 Pengambilan keputusan yang didasarkan pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan 4 Pihak lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan masih dimungkinkan untuk berpartisipasi sehingga mengganggu proses resolusi konflik 5 Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi hukum Hambatan Malik et al. 2003 1 Proses peradilan menyerap banyak waktu dalam jangka panjang. Hal mana kemudian dapat menjadi kontra produktif bagi kaum tertindas. Semangat kaum tertindas dapat merosot, menciptakan dan mengkristalkan rasa frustasi dan pada akhirnya menghancurkan perjuangan karena organisasi perjuangan menjadi lemah dan rapuh 2 Badan badan peradilan cenderung berpihak kepada para penindas yang sedang berkuasa. Akibatnya, dalam proses peradilan terdapat kecendrungan nuntuk mengalahkan kepentingan rakyat tertindas Hambatan Malik et al. 2003 Dapat berfungsi dengan baik jika memenuhi syarat-syarat: 1 Para pihak mempunyai kekuatan tawar- menawar yang sebanding 2 Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan dimasa yang akan datang 3 Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran 4 Terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyelesaikan 5 Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam 6 Jika para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan juga mereka dapat dikendalikan oleh pemimpinnya 7 Mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik Gambar 3. Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik mengggunakan hukum formal litigasi akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak Bennet dan Neiland 2000 Dalam kebanyakan sistem formal, pendekatan litigasi pengadilan yang Creighton dan Priscoli 2001 menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 4. Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A dimana A menang ke titik B dimana B menang. Sebagai konsekwensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi dapat diperluas hingga mencapai daerah “integrative bargaining collaboration”. Pada daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan Negosiasi Konsiliasi Fasilitasi Mediasi Arbitrasi Negosiasi rule making Litigasi Konfrontasi A lt ern a tive Dis fu te R eso lu tio n Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Intervensi pihak ke tiga Bekerjasama untuk membangun konsensus Penyelesaian melalui jalur pengadilan Gambar 3 Metode pengelolaan konflik Diadopsi dari Bennet and Neiland 2000 Kerjasama konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi “lebih buruk worse off” U ntuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan durable settlement ”, Lincoln 1986 menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1 Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya 2 Prosedural interest, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan 3 Relationship por phsychological interest , yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. D Dihindari Kalah untuk A+B C- Akomodasi A- Kalah, B- Menang Kompetisi A-Menang, B- Kalah Tingkat Kepuasan untuk B B-Negosiasi untuk mencapai kompromi A+B Sama-sama kalah dan menang E-Negosiasi integratif T ingka t K epu as an unt uk A Gambar 4 Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi Creigton dan Priscoli 2001 Pendekatan penyelesaian konflik secara umum dapat dikategorikan Gorre 1999 menjadi: 1 Mekanisme pembangunan konsensus di mana proses ini adalah keterlibatan semua pihak yang secara sukarela mencari alternatif penyelesaian yang mengakomodasi semua kepentingan, dan 2 Negosiasi yang mengacu pada dua atau lebih yang secara sukarela mendiskusikan perbedaan yang ada di antara mereka dan berupaya untuk mencapai keputusan bersama dalam kepentingan mereka. Kedua tersebut memerlukan komunikasi yang terbuka dan insentif untuk berkompromi harus tinggi karena keinginan untuk berkompromi yang tinggi menjadi kunci keberhasilan proses ini. Dalam proses ini, pihak ketiga dapat dilibatkan, baik itu mediator atau pihak dalam jalur judikatif hukum, serta jalur legislative dapat mengarahkan resolusi konflik ini menjadi fokus. Resolusi konflik dapat diharapkan menjadi dasar pengelolaan yang mengakomodasi perbedaan kepentingan semua pihak industri, masyarakat- kokonsitituen dan stakeholders, pemerintah dan lembaga non pemerintah. Perencanaan ruang dapat digunakan sebagai produk interpretasi dari keinginan publik setempat dalam bentuk ketetapan tentang arah pemanfaatan yang sesuai dengan kaidah dan kondisi pembangunan yang dicita-citakan. Arah pemanfaatan ini meliputi alternatif dan skenario di masa depan use plan dan alternatif cara guidance untuk mencapai kondisi tersebut Chapin dan Kaiser 1985. Menurut Cicin-Sain dan Knecht 1998, terdapat tiga elemen utama dalam resolusi konflik, yaitu 1 upaya memahami akar, penyebab, dan konsekuensi konflik wilayah pesisir dan laut melalui studi pemetaan konflik, 2 membuat proses yang transparan untuk pengambilan keputusan tentang konflik, dan 3 kemampuan untuk mengadopsi dan mengimplementasi pengukuran untuk memperbaiki kerusakan akibat pemanfaatan oleh pengguna pesisir dan laut atau dari kegiatan pengguna lain di luar wilayah pesisir dan laut. Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik disajikan pada Tabel 4.