Peran kelembagaan pengelolaan konflik 1

X 1 0.92 X 2 0.94 X 3 0.91 X 4 1.00 X 5 1.00 X 6 0.63 X 7 0.98 X 8 1.00 X 9 0.99 X 10 0.98 X 11 0.95 KONFLIK RESOLUSI\ OUTCOME Y1 0.88 Y2 0.83 Y3 0.65 Y4 0.97 Z1 0.54 Z2 0.82 Z3 0.98 Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016 0.35 0.41 0.59 -0.18 0.68 0.42 0.15 0.29 0.24 0.30 0.02 -0.03 0.61 0.15 -0.04 0.09 0.14 -0.23 0.59 0.48 -0.25 0.21 0.33 pada Gambar 46 dan perbandingan nilai critical ratio CR atau t- hitung terhadap nilai t- tabel akan diperoleh pola hubungan antar variabel. Jika nilai CR atau t- hitung lebih besar daripada t- tabel , maka hubungan antar variabel signifi kan. Pada nilai α = 5, diperoleh nilai t- tabel sebesar 1,96 dengan hasil korelasi antar variabel pada Gambar 46 ditabulasikan pada Tabel 29. Keterangan: Gambar 46 Structural equation modeling yang menunjukan nilai estimasi X 1 = Ekonomi X 2 = Aktor X 3 = Oposisi X 4 = Isu X 5 = Nelayan X 6 = Kompetisi X 7 = Tokoh X 8 = Stok X 9 = Intertest X 10 = Peraturan X 11 = Budaya Y 1 = Litigasi Y 2 = Negosiasi Y 3 = Fasilitasi Y 4 = Aviodance Z 1 = Partisipasi Z 2 = Keberlanjutan Z 3 = Keadilan Tabel 29 Hubungan antar variabel pada model confirmatory factor konstruk unidimensional variabel konflik perikanan tangkap Model Koefisien Jalur t-hitung Keterangan X1 KONFLIK 0.29 2.98 Significant X2 0.24 2.46 Significant X3 0.30 3.09 Significant X4 0.02 0.19 Tidak significant X5 -0.03 -0.32 Tidak significant X6 0.61 5.38 Significant X7 0.15 1.60 Tidak significant X8 -0.04 -0.42 Tidak significant X9 0.09 0.93 Tidak significant X10 0.14 1.39 Tidak significant X11 -0.23 -2.27 Significant Y1 RESOLUSI 0.35 2.92 Significant Y2 0.41 4.33 Significant Y3 0.59 4.50 Significant Y4 -0.18 -2.00 Significant Z1 OUTCAME 0.68 3.72 Significant Z2 0.42 4.01 Significant Z3 0.15 1.54 Tidak significant KONFLIK RESOLUSI 0.48 2.80 Significant RESOLUSI OUTCAME 0.59 2.85 Significant Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2009 Dalam hal pengaruh langsung variabel penyebab konflik KONFLIK dengan variabel teknik resolusi konflik RESOLUSI dan variabel OUTCOME pada kasus konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Variabel KONFLIK dengan nilai koefisien path 0,48 dan nilai CR critical ratio yang identik dengan nilai t- hitung menunjukkan angka 2,80 yang lebih besar dari nilai t- tabel sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel teknik resolusi konflik RESOLUSI. X 1 9.24 X 2 9.50 X 3 9.17 X 4 10.0 0 X 5 9.99 X 6 4.82 X 7 9.80 X 8 9.99 X 9 9.93 X 10 9.89 X 11 9.46 KONFLIK RESOLUSI\ OUTCOME Y1 8.02 Y2 8.50 Y3 5.05 Y4 9.80 Z1 3.24 Z2 7.92 Z3 9.84 Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016 2.92 4.33 4.50 -2.0 0 3.72 4.01 1.54 2.98 2.46 3.09 0.19 -0.3 2 5.38 1.60 -0.4 2 0.93 1.39 -2.2 7 2.85 2.80 -2.9 6 3.10 4.65 Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan responden mengidentifikasi faktor penyebab konflik dengan kemampuan memilih teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan mengidentifikasi faktor penyebab konflik maka semakin baik pula kemampuan menentukan teknik resolusi konflik. 2 Variabel RESOLUSI dengan nilai koefisien path 0,59 dan nilai CR critical ratio yang identik dengan nilai t- hitung menunjukan angka 2,85 yang dari nilai t- tabel sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel OUTCOME. Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan stakeholder dalam memilih teknik resolusi konflik yang tepat berpengaruh langsung terhadap peningkatan outcome. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan responden menentukan teknik resolusi konflik yang digunakan maka mendukung mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab. Gambar 47 Structural equation modeling yang menunjukan nilai t- hitung

4.5.1 Faktor penyebab konflik

Variabel penyebab konflik KONFLIK dikonstruk dari 11 sebelas indikator, namun yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap variabel teknik resolusi konflik RESOLUSI ada 5 lima indikator yaitu: indikator X 1 ekonomi, X 2 aktor, X 3 oposisi, X 6 kompetisi dan X 11 budaya masing masing memiliki nilai louding bobot pengaruh 0,29; 0,24; 0,30; 0,61 -0,23, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Komponen penting dari faktor penyebab konflik yang berpengaruh signifikan terhadap resolusi konflik Faktor yang berpengaruh terhadap Resolusi konflik Komponen penting yang berpengaruh dan nilai Critical Ratio Dampak terhadap Faktor penyebab konflik yang dipengaruhi Faktor Penyebab konflik 1 Kompetisi 0,61 2 Oposisi 0,30 3 Ekonomi 0,29 4 Aktor 0,24 5 Budaya -0,23 Resolusi 1 Litigasi 2 Negosiasi 3 Fasilitasi 4 Avoidance Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2009 Berdasarkan Tabel 30 menunjukan bahwa indikator yang paling besar kontribusinya terhadap masing-masing peubah laten faktor penyebab konflik yaitu: indikator kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor dan budaya dalam pemanfaatan sumberdaya memberikan kontribusi terbesar kepada faktor penyebab konflik. 1 Kompetisi Persepsi masyarakat terhadap kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya dengan nilai loading 0,61 dengan t hitung 5.38 t tabel 1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan persepsi masyarakat terhadap persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Kalimantan Selatan terjadi kompetisi baik antar sesama nelayan lokal maupun nelayan lokal dan nelayan pendatang. Kompetisi terjadi dalam penggunaan alat tangkap dan sumberdaya di wilayah penangkapan fishing ground . Adanya sebagian nelayan yang cenderung memanfaatkan sumberdaya secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan kepentingan kelompok lain. Seringnya terjadi kompetisi penggunaan teknologi yang lebih tinggi akibatnya masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing. Kompetisi dalam penelitian ini merupakan dimensi sumberdaya, berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat, dimana terjadi kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya seperti kompetisi dalam penggunaan teknologi alat tangkap dan perebutan lokasi wilayah penangkapan fishing ground. Memperebutkan sumberdaya perikanan bukan persoalan yang mudah. Terdapat kecendrungan yang besar bahwa pengoperasian peralatan tangkap yang lebih canggih, semakin memperderas arus keserakahan perikanan sehingga berdampak serius terhadap kelestarian sumberdaya. Kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan berkaitan dengan perilaku nelayan dalam mengalokasikan atau pengoperasian alat tangkapnya. Sebagai mega predator, nelayan mempunyai perilaku yang sangat unik dalam merespon baik perubahan sumberdaya ikan maupun kebijakan yang diterapkan. Pengelolaan sumberdaya ikan yang terpenting adalah bagaimana mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa pengelolaan perikanan merupakan upaya yang dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang. 2 Oposisi Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pihak yang bertolak belakang dengan nilai loading 0,30 dengan t hitung 3.09 t tabel 1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan keberadaan pihak yang bertolak belakang dalam pemanfaatan sumberdaya dapat memicu terjadinya konflik. Oposisi dalam hal ini yang berkaitan dengan antagonistik dimana banyak pihak yang sejalan dan bertentangan terhadap persetujuan atau resolusi yang dilakukan. Oposisi bisa terjadi terhadap pihak-pihak yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam konflik. Dalam masyarakat nelayan terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai rendah. Perbedaan tersebut antara lain dalam usaha penangkapan seperti juraganusahawan dan ABK, tokoh masyarakat dan masyarakat biasa, organisasi pemerintah dan non pemerintah Dalam keadaan tersebut beragamnya posisi dan sosial masyarakat sangat memungkinkan adanya pihak oposisi dalam masyarakat pantai. 3 Ekonomi Persepsi masyarakat terhadap kondisi perekonomian masyarakat dengan nilai loading 0,24 dengan t hitung 2.46 t tabel 1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian masyarakat dapat memicu terjadinya konflik. Hal ini dilihat pada persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi dan keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan dan adanya resesi ekonomi yang berkepanjangan. Perbadaan kondisi ekonomi nelayan di Kalimantantan Selatan dapat dilihat pada usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan. Nelayan tradisional seperti nelayan lampara dasar, trammel net dan sejenisnya dengan masa kerja sekitar 15- 25 hari dengan biaya operasional per bulan sekitar Rp 1.700.000,- per bulan. Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas penangkapan ikan sekitar 20 liter. Rerata penghasilan bersih Rp 84.585 setiap melautper orang. Namun dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak ditambah harga peralatan baik jaring maupun suku cadang mesin juga mengalami kenaikan sementara harga penjualan hasil-hasil tangkap nelayan sejak tahun 2004 sampai sekarang tidak mengalami kenaikan. Maka rata-rata pendapatan bersih nelayan Rp 84.585 bahkan bisa turun menjadi Rp. 32.220 setiap melaut dengan semakin meningkatnya konflik. Sementara nelayan lain dengan usaha perikanan mini purse seine dan gillnet lingkar dengan biaya operasional sekali melaut sebesar Rp 4.000.000,- sampai 5.000.000,-. Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas penangkapan ikan sekitar 4500 liter atau 2 drum. Rerata pendapan nelayan sebesar Rp.10.000.000,- sampai Rp.15.000.000,- per bulan. Pada saat terjadi konflik pendapatan menurun yaitu hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.612.125,- sampai 7.850.491,- per bulan. Persepsi terhadap kondisi perekonomian masyarakat nelayan merupakan pemicu terjadinya konflik perikanan tangkap. Kemiskinan dan ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan laut seringkali mengakibatkan masyarakat melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya. Sehingga semakin tinggi ketergantungan masyarakat karena kondisi perekonomian maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya konflik. 4 Aktor Persepsi masyarakat terhadap aktor dengan nilai loading 0,24 dengan t hitung 2.46 t tabel 1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa banyak sedikitnya pihak yang terlibat dapat memicu terjadinya konflik. Aktor dilihat berdasarkan persepsi responden terhadap terhadap jumlah kelompokpihak yang terlibat konflik dan kemudahan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik . Pihak yang terlibat dalam konflik perikanan tangkap sangat bervariasi tergantung pada skala konflik yaitu mulai dari konflik tingkat desa, kabupaten dan provinsi. Untuk konflik antar provinsi seperti pada kasus pengambilan teripang antara lain terdiri dari nelayan andon dari Jatim, Sulsel, Kaltim, nelayan lokal dari Tanah Laut, DKP pusat dan Daerah, TNI AL dan Polair. Untuk konflik tingkat desa lebih mudah dilakukan identifikasi dan inventarisasi dibandingkan konflik tingkat provinsi atau nasional. 5 Budaya Persepsi masyarakat terhadap latar belakang budaya dan adat dengan nilai loading -0,23 dengan t hitung 2.27 t tabel 1,96 pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang budaya dan adat dapat memicu terjadinya konflik. Namun karena di wilayah pesisir Kalimantan Selatan sudah beradaptasi dengan berbagai budaya dari berbagai etnis maka terjadi pengaruh yang negatif. Tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dalam adat. Bagi masyarakat nelayan atau pesisir, terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan. Bahkan kemampuan sebagai warga masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan. Interaksi etnis yang berkembang di perisisr Kalimantan Selatan terdiri dari Bugis, Banjar, Jawa, Madura, Mandar, Bajau, Bone, Bali dan Thionghoa Tabel 31 Tabel 31 Persebaran etnissuku yang mendiami wilayah pesisir Kal-Sel No Wilayah Pesisir Etnissuku 1 2 3 Tanah Laut Kotabaru 1 Pulau Laut bagian Utara 2 Pulau Laut Bagian Timur 3 Pulau Laut Bagian Selatan 4 Pulau Laut Bagian Barat 5 Pulau Laut Bagian Tenggara Tanah Bumbu Bugis, Banjar, Jawa, Madura Bugis, Mandar, Banjar Bugis, Mandar, Banjar, Bajau Bugis, Mandar, Banjar, Bajau Bugis, Mandar, Bone, Banjar, Jawa, Thionghoa Bugis, Banjar Bugis, Mandar, Banjar, Bali Sumber: Data primer diolah Upacara adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan pemanfaatan sumberdaya alam yaitu: 1 upacara selamatan laut, yang dilaksanakan setiap tahun sekali, tepatnya tanggal 1 Dzulhijjah yang tujuannya untuk syukuran dan selamatan atas berkah yang diberikan oleh Allah SWT. Disamping itu dilakukan juga 2 upacara selamatan setiap masyarakat nelayan mau berangkat melaut 3 Upacara “Balatif” yaitu upacara yang dilakukan oleh warga pesisir di Kabupten Tanah Laut untuk menolak bala baik berupa bencana alam atau penyakit pada waktu bulan safar. Caranya dengan berlari-lari kecil sekeliling kampung sambil mengucapkan dzikir kepada Allah SWT 4 Aturan lokal bahwa setiap hari Jum’at nelayan tidak boleh pergi menangkap ikan setelah jam 10.00 wita. Jika melakukan hal itu, maka nelayan yang bersangkutan akan dikenai denda sebesar Rp. 1.000.000,- dan jika tetap melakukan maka nelayan yang bersangkutan akan dikenai sangsi tidak akan diurus penduduk saat meninggal. Selain upacara-upacara tradisional yang dipengaruhi oleh ajaran agama, masyarakat daerah pesisir juga menyelenggarakan upacara tradisi lainnya. Erat kaitannya dengan kegiatan penangkapan di laut, sebagian masyarakat nelayan merasa perlu memberi ”makan” kepada laut, agar mereka terhindar dari amukan badai dan memperoleh hasil tangkapan yang banyak pada tahun berikutnya. Upacara yang disebut ”Mappanretasi” ini juga dimaksudkan untuk menyatakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Acara tersebut dilaksanakan setiap bulan April. Upacara Mappanretasi sebagai puncak persembahan ke laut ini dilaksanakan oleh penduduk nelayan di beberapa Pulau Laut dan Pagatan yang kebanyakan berasal dari Bugis. Sebelum acara puncak, yakni acara sakral pemberian makanan ke laut, masyarakat menyelenggarakan pertunjukan kesenian tradisional, seperti Masukkeri seperti seni rebana. Selain upacara mappanretasi terdapat juga upacara yang diselenggarakan oleh umat Hindu yang berasal dari etnis Bali. Setiap menjelang nyepi semua etnis Bali di seluruh pesisir Kalimantan Selatan berkumpul di perairan pantai Sungai Loban Tanah Bumbu, pantai tersebut mereka berinama ”pantai Bali”. Mereka membawa berbagai simbol keagamaan sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dan sesaji ke pantai untuk dipersembahkan dalam ritual ”melasti.” Ribuan umat Hindu berkumpul di pantai, perempuannya mengenakan saput dan kamben dengan selendang melilit pinggang dan rambut disanggul berhias bunga segar. Sedang laki-lakinya berbusana dominan putih, selain memakai saput dan kemben yang berfungsi seperti sarung juga menggunakan udeng atau ikat kepala. Bagi yang tidak bisa ke pantai atau laut, bisa melarutkan sesaji ke sungai atau air mengalir dan sumber air. Ritual ini bertujuan untuk menyucikan diri buana alit dan menyucikan alam semesta buana agung. Dilanjutkan tawar Kesangeh setelah selama satu tahun mengambil kekayaan alam semesta, saatnya manusia membayar nawur untuk menyeimbangkan alam semesta. Kaitannya dengan tri hita karana, yakni menghormati alam semesta, sesama manusia dan Tuhan. Berdasarkan analisis SEM terdapat beberapa indikator peubah laten faktor penyebab konflik yang tidak signifikan pengaruhnya yaitu: indikator isu yang berkembang di masyarakat, ketersediaan stok, adanya keinginan tertentu dalam masyarakat, keberadaan peraturan dan penegakan hukum.