5 PEMBAHASAN
5.1 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap
Akar permasalahan konflik perikanan tangkap menggambarkan penyebab konflik yang dapat dilihat berdasarkan tipologi konflik dan sumber konflik.
Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik. Sejalan dengan penelitian ini tipologi konflik perikanan
berdasarkan Charles 1992 teridentifikasi yaitu: yuridiksi perikanan conflict of jurisdiction
, mekanisme pengelolaan management mechanisms dan alokasi internal internal allocation. Konflik yuridiksi terjadi pada kasus daerah tangkap
dan purse seine. Konflik alokasi internal terjadi pada semua kasus yaitu kasus yaitu kasus purse seine, lampara dasar, pengambilan teripang, penggunaan bom,
gill net, bagan apung, seser modern dan cantrang, karena semuanya berkaitan dengan penggunaan alat tangkap. Sedangkan yang terkait dengan mekanisme
pengelolaan terjadi pada kasus purse seine, lampara dasar dan pengambilan teripang. Obserschall 1973 menyatakan bahwa tipologi tidak berupaya
menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik.
Konflik yuridiksi yang terjadi pada kasus perebutan daerah penangkapan, disebabkan adanya persepsi yang keliru terhadap batas-batas wilayah perairannya
sehingga kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah dilarang melaut di perairan daerahkabupaten lain, yang merupakan perwujudan konsep
kepemilikan property right. Selain itu adanya persepsi nelayan terutama yang tinggal di sekitar perairan Selat Laut, bahwa sebagai orang lokal mereka
mempunyai hak prioritas untuk mengeksploitasi sumberdaya yang berada di sekitar tempat mereka. Dalam kondisi demikian, jika terdapat orang-orang luar
yang terlibat dalam kegiatan eksploitasi di wilayah komunitas tertentu dan komunitas ini tidak berkenan atas kehadiran nelayan luar, maka terpicu konflik
yang bernuansa kekerasan. Anggapan masyarakat terhadap kepemilikannya terhadap laut tersebut sejalan dengan anggapan Pelluso and Harwell 2001 yang
menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup.
Konflik yuridiksi yang terjadi pada kasus purse seine yang disebabkan karena nelayan purse seine dari luar daerah memasuki jalur penangkapan nelayan
localmini purse seine walaupun berada pada wilayah lebih dari 12 mil namun memiliki kedalaman kurang dari 40m sehingga nelayan local mengklaim bahwa
wilayah tersebut. Terjadinya konflik ini beriringan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Berdasarkan eskalasi konflik lihat kembali Gambar 14 terlihat
bahwa perkembangan konflik mulai dari konfrontasi hingga kritis sering terjadi pada era otonomi, sehingga sering digeneralisasi dengan konflik identitas. Meski
demikian menurut Satria et al. 2002 bahwa upaya generalisasi konflik-konflik nelayan sebagai konflik identitas akibat diterapkannya otonomi daerah adalah
kurang tepat. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, dimana pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan
sumberdaya di dalamnya hanya 8 mil ke arah laut lepas, sehingga memberi peluang yang besar untuk nelayan andon dari luar daerah bebas melakukan
penangkapan pada jalur 8 mil. Berdasarkan peta batimetri, perairan di Selat Makasar sekitar perairan
Kalimantan Selatan mempunyai kedalaman bervariasi yaitu: sebelah barat merupakan perairan dangkal 50m dan akan semakin dalam di bagian timurnya
hingga kedalaman 100m. Kedalaman di sekitar pulau Sebuku mempunyai kedalaman bervariasi, yaitu dengan kisaran kedalaman 20-700m. Jika dilihat
pada jalur penangkapan sejauh 15 mil di perairan Kalimantan Selatan sekitar Pulau Kerayaan yang terjadi konflik purse seine hanya mempunyai kedalamam
15-40m dan perairan bersifat landai, sehingga nelayan Kal-Sel mengklaim wilayah tersebut adalah milik mereka.
Konflik yang berkaitan dengan mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine disebabkan adanya kebijakan yang memberi izin terhadap purse seine
di perairan sekitar Kotabaru Kalimantan Selatan yang berdampak pada keadilan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Nelayan mengeluh karena penegakan aturan
oleh pemerintah dilakukan secara berlebihan terhadap kelompok purse seine. Mekanisme pengelolaan terjadi pula pada kasus pengambilan teripang oleh
nelayan andon, disebakan oleh pemberian izin kepada nelayan andon dari Sulawesi, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur memburu teripang masuk ke
perairan Tanjung Selatan Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Jumlah nelayan andon yang masuk diperkirakan sebanyak 400 unit, sehingga jumlah
penyelam diperkirakan 1.600 orang. Hal ini dianggap telah melebihi kuota dan sangat mengganggu kegiatan pemanfaatan perikanan tangkap.
Lemahnya mekanisme pengelolaan terjadi pula pada kasus daerah penangkapan karena pemerintah yang telah memberi persetujuan terhadap
pembagian daerah penangkapan di perairan Kotabaru. Hal ini menumbuhkan adanya pihak yang bertolak belakang dan dipersepsikan ketidakadilan pemerintah
karena kemungkinan terjadi pengkavlingan laut pada fishing ground yang memiliki potensi sumberdaya yang tinggi dan ada yang memiki potensi rendah.
Konflik dengan tipologi mekanisme pengelolaan tersebut terlihat adanya tumpang tindihnya pemberlakuan otonomi daerah dan ikut campurnya pemerintah pusat
terhadap kebijakan pemerintah daerah Konflik alokasi internal terjadi karena adanya kegiatan illegal fishing
seperti penggunaan gill net yang melebihi kapasitas dan penggunaan bom. Pada kasus purse seine, cantrang dan pengambilan teripang konflik disebabkan adanya
kecemburuan sosial terhadap nelayan andon yang memiliki teknologi lebih tinggi akibatnya nelayan lokal tidak mampu bersaing. Begitu pula pada kasus lampara
dasar, seser modern, bagan apung disebabkan karena perbedaan kapasitas dan kualitas teknologi perikanan tangkap yang lebih tinggi dari nelayan lain dalam
menangkap jenis ikan yang sama, akibatnya mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan yang lebih rendah.
Berkaitan dengan akar permasalahan konflik, jika dicermati berdasarkan kategori sumber konflik Gorre 1999, maka sumber konflik di perairan
Kalimantan Selatan termasuk ke dalam kategori: 1 masalah hubungan relationship issues 2 masalah struktural structural problems dan 3
perbedaan nilai value differences. Konflik yang bersumber pada masalah hubungan yaitu perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi
terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan
yang dianggap dapat merusak dan berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Selain itu adanya perilaku yang menyimpang deviant
behaviour dengan beragam motif, seperti ingin kaya dengan cara atau mungkin
terpaksa karena adanya benturan dengan kondisi ekonomi hal ini terjadi pada kasus penggunaan bom dan penggunaan gillnet yang melebihi ketentuan yang
direkomendasikan. Masalah hubungan terjadi juga pada kasus lampara dasar, yaitu adanya
persepsi yang negatif terhadap nelayan lampara dasar yang dianggap berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan, hal ini disebakan kurangnya
komunikasi antara nelayan, jika dapat dikomunikasikan bersama maka bisa diakomodir mengenai kebaikan dan kekurangan penggunaan alat tersebut dan
dapat digunakan sesuai kebutuhan. Konflik yang bersumber pada masalah struktural yang ditunjukkan oleh
adanya ketidakjelasan kebijakan yang dibuat oleh Dinas Perikanan Kabupaten Kotabaru yang menyetujui adanya pembagian daerah penangkapan
. Status dan
frekuensi konflik yang selalu terjadi pada musim utara menyebabkan nelayan dari dari desa Rampa yang masuk ke perairan Selat Laut mengalami kerugian materi
akibat penenggelaman kapal dan kerugian psikis akibat adanya pemukulan nelayan dari nelayan Sungai Dungun.
Konflik yang bersumber pada perbedaan sistem nilai yang dianut nelayan pemburu teripang dengan nilai yang diterapkan oleh nelayan Kabupaten Tanah
Laut memaksakan untuk tidak boleh mengambil teripang di daerah Tanjung Selatan Tanah Laut. Disatu sisi lain kegiatan pemburu teripang adalah pekerjaan
yang secara turun temurun dilakukan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan dan penggunaan kompresor merupakan modernisasi teknologi adalah
pengembangan usaha perikanan teripang. Introduksi teknologi dan modernisasi yang diusung para pemburu teripang yang memiliki modal telah menciptakan
ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan dalam makna nilai dan ekonomi nelayan Kabupaten Tanah Laut yang tidak pernah mempunyai kompresor.
Ketidakadilan yang dimaksud sehubungan dengan timpangnya perlakuan yang diberikan dalam mengakses sumberdaya seperti pemberian izin kepada pihak
yang memiliki teknologi yang lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan Pollnac 1984 yang diacu dalam Wahyono et al. 2000 menyatakan suatu sumber konflik
yang utama adalah peningkatan intensitas eksploitasi. Hal ini berhubungan
dengan pertambahan unit eksploitasi dan perubahan teknologi. Berdasarkan beberapa penelitian, konflik bisa terwujud oleh perbedaan nilai seperti pada
penelitian Hasan 1974 bahwa wujud konflik antar nelayan juga ditimbulkan oleh adanya perbedaan nilai. Konflik yang bersumber pada perbedaan kepentingan
terjadi pada kasus pengambilan teripang dan cantrang disebabkan oleh pengambilan teripang yang beorientasi ekspor dan tidak dilakukan oleh nelayan
local di Kalimantan Selatan. Pada kasus lampara dasar, konflik terjadi ketika nelayan tradisional tidak
memiliki kemampuan materi untuk memiliki kapal dan alat tangkap tersebut. Namun ketika nelayan tradisional sudah dapat memilki alat tersebut akhirnya
penggunaan lampara dasar tidak lagi menjadi konflik dan menyetujui penggunaan alat tersebut, namun dengan konseksensi penggunaannya pada jalur yang telah
disepakati yaitu 3 mil. Hal ini sejalan dengan penelitian Aubert 1963, membedakan konflik yang masih berada dalam konsensus atau konflik yang
sudah melewati konsensus. Pada konflik yang masih dalam konsensus semua pihak yang berkonflik setuju terhadap nilai value yang mereka inginkan tetapi
mereka tidak mampu untuk mencapainya. Sedangkan konflik yang melewati batas konsensus, pihak yang berkonflik tidak dapat mencapai kesepakatan tentang
nilai yang mereka inginkan dan mereka sendiri tidak tahu bagaimana mencapainya.
5.2 Kelembagaan Pengelolaan Konflik
Lembaga yang berperan dalam pengelolan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan yang terdiri dari kelembagaan pemerintah dan
kelembagaan non pemerintah. Lembaga pemerintah telah membentuk Pokmaswas, mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan melayangkan surat
peringatan dan sosialisasi dan mengeluarkan regulasi dan pertemuan lintas instansi. Kelembagaan formal lainnya yang berfungsi sebagai pengamanan laut
dan sangat membantu ketika sudah terjadi konflik yaitu Polairut dan TNI AL. Sedangkan kelembagaan non pemerintah ikut membantu nelayan dalam
pengelolaan konflik diantaranya WALHI Wahana Lingkungan Hidup, HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, AMNES Aliansi Masyarakat Nelayan
Saijaan dan INSAN Ikatan Nelayan Saijaan. Kelembagaan tersebut saling berinteraksi satu sama lain melalui aktivitasnya. Interaksi lembaga tersebut ada
yang sinergi, tumpang tindih bahkan antagonis. Hal tersebut semakin nyata karena dari lembaga-lembaga tersebut ada yang dilaksanakan oleh pemerintah
pusat, daerah dan swasta. Sebagaimana terjadi pada kasus daerah penangkapan. Kelembagaan yang
berperan dalam resolusi konflik yaitu Dinas perikanan Kabupaten saling tidak mendukung antagonis, disatu sisi DKP menyetujui adanya pembagian daerah
penangkapan, disisi lain INSAN Ikatan Nelayan Saijaan tidak menyetujui resolusi tersebut. Begitu pula pada kasus purse seine terjadi hubungan antagonis
antara sesama kelembagaan non pemerintah yaitu INSAN dan HNSI, karena HNSI menyetujui resolusi konflik pada kasus purse seine yang masih beroperasi
di sekitar perairan Kotabaru walaupun sudah tidak menggunakan lampu berkekuatan tinggi. Keadaan yang antagonis juga pada kasus pengambilan
teripang yang mana TNI AL dianggap membekingi nelayan pemburu teripang dan pada saat resolusi konflik memberikan jalan tengah dan menentukan hasil resolusi
konflik yang hasilnya tetap tidak disetujui oleh nelayan lokal. Memperhatikan hal tersebut yaitu berlakunya otonomi daerah dan tumpang
tindihnya kebijakan seringkali memunculkan suatu interaksi antagonis antara lembaga-lembaga tersebut. Maka untuk menghasilkan sinergitas kinerja dari
lembaga yang mengelola konflik di perairan Kalimantan Selatan, diperlukan kelembagaan yang dapat mengatur keterpaduan semua lembaga pengelolaan
konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Purwaka 2003 yang menyatakan bahwa sinergitas
dalam berinterakasi dari lembaga-lembaga tertentu merupakan hal ideal yang diharapkan oleh semua pihak.
Kapasitas kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan konflik perlu ditingkatkan guna memenuhi kualitas dan kuantitas dalam pengelolaan konflik.
Komponen kelembagaan memegang peranan penting dalam pengembangan perikanan tangkap, karena kemajuan teknologi alat penangkapan ikan yang terjadi
di perairan Kalimantan Selatan justru menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan
dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Kalimantan selatan yaitu: 1 pengembangan kapasitas peran kelembagaan pengelola dan 2
sumberdaya manusia yang dapat mendukung upaya pengembangan tersebut. Pada upaya pengembangan kapasitas peran kelembagaan terutama
kelembagaan non pemerintah sebagai inisiator untuk dapat mengakomodasi kebijakan sesuai dengan kondisi wilayah dan isu lokal yang dapat mempengaruhi
peran kelembagaan pemerintah sebagai regulator. Aransemen institusional berupa instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat
yang kesemuanya berada dalam satu kerangka kerja kelembagaan. Pemahaman terhadap berbagai kewenangan sektoral yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan dari masing-masing sektor yang bersangkautan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Purwaka 2003 yang menandaskan bahwa perlu
adanya pemahaman seluruh pihak terhadap peraturan dan perundangan agar tumpang tindih kewenangan bukan lagi wilayah benturan kepentingan melainkan
menjadi wilayah pengembangan kerjasama. Kelembagaan tradisional yang merupakan stok kapital sosial merupakan
wadah partisipasi atau silaturahmi masyarakat pesisir merupakan dukungan kekuatan untuk mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik. Untuk
itu diperlukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia nelayan, sebagai modal dasar yaitu kelembagaan tradisional yang dapat dikembangkan sebagai landasan
pendekatan dalam upaya peningkatan kelembagaan pengelolaan konflik. Kelembagaan sosial masyarakat berupa tradisi dan budaya setempat yang sudah
melembaga dan merupakan perilaku yang ramah lingkungan perlu didorong keikutsertaannya. Kelembagaan tersebut merupakan peluang tumbuhnya
partisipasi aktif masyarakat lokal, dalam hal ini perlu dilakukan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan oleh tenaga pendamping dari Dinas Perikanan dan
Kelautan. Budaya sebagai pedoman hidup masyarakat baik dalam bersikap maupun
bertingkah laku, terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma yang tertib meliputi norma kesopanan dan norma hukum. Budaya tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat karena antara keduanya erat hubungannya. Budaya tidak akan lahir tanpa adanya masyarakat, demikian pula sebaliknya. Sejalan dengan pendapat
Michael 2002 menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat manusia memerlukan pedoman, yaitu budaya sebagai alat perangkat kebutuhan integratif.
Begitupula yang dinyatakan oleh Ostrom 1993 bahwa tanpa adanya norma tersebut niscaya kehidupan akan penuh kekacauan, manusia akan kehilangan arah
dan pedoman hidup, akibatnya manusia menjadi liar dan hidup seperti hewan. Budaya sebagai pedoman hidup dalam memenuhi kebutuhan sosial mencakup 1
perwujudan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan hukum 2 aktivitas dan tindakan berpola dari manusia untuk masyarakat dan 3
perwujudan semua hasil karya manusia. Berdasarkan latar beragamnya belakang budaya yang terdapat di desa pesisir Kal-Sel dapat dijadilan landasan dalam upaya
pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan dengan sistem pengawasan oleh masyarakat community based fisheries management.
Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam bidang tersebut
secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada dari krisis multidimensi. Dibentuknya Pokmaswas sesuai dengan kebutuhan riil
masyarakat, dan peluang tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat lokal. Termasuk dalam hal ini agar mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan
kelembagaan tradisional yang ada yang diharapkan mampu menurunkan konflik. Sebagai salah satu elemen sentral dari ko-manajemen ini adalah CBFM
community based fisheries management yang digunakan sebagai langkah awal pemberdayaan masyarakat sesuai dengan isu lokal.
Kelembagaan dan organisasi yang berperan dalam pengelolaan konflik di Kalimantan Selatan tampaknya mulai dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas
serta mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, namun untuk lebih meningkatkan perannya agar berfungsi secara efektif dalam resolusi konflik,
hendaknya memiliki beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Ramirez 2002 yaitu: 1 diakui secara resmi sebagai lembaga yang berperan sebagai
mediator 2 dikenal oleh pihak yang berkonflik sebagai pihak yang netral dan memiliki legitimasi 3 menyetujui untuk bekerja dalam sistem penyelesaian
konflik, berdasarkan mediasi dan kesepakatan oleh semua pihak 4 mempunyai kemampuan dalam teknik mediasi 5 memiliki kemampuan dan mengetahui
dengan baik perangkat hukum secara positif, hukum adat dan isu-isu secara teknis 6 berkualifikasi dan mengetahui metode partisipatory 7 berkomunikasi dengan
baik dan jelas dan 8 mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, organissai, lembaga politik dan kerangka kerja regulasi.
Upaya lain yang perlu dilaksanakan untuk pengembangan peran kelembagaan masyarakat nelayan adalah penumbuhan usaha kemitraan yang
saling menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik.
Keseimbangan kekuatan antara nelayan harus didukung dengan upaya pemberdayaan nelayan kecil. Perlindungan terhadap nelayan kecil bukan bersifat
independen, melainkan terkait dengan rancangan kelembagaan secara komprehensif. Untuk itu pemberdayaan nelayan harus ditegaskan kedalam bentuk
peraturan pemerintah yang mengakui hak penangkapan ikan tradisional dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan pemerintah
daerah menterjemahkannya. Pemberian hak penangkapan ini bisa mencontoh model Jepang sebagaimana yang dinyatakan Uchida et al. 2004 yaitu melalui
Fishery Cooperative Association FCA. Pengakuan eksistensi hak penangkapan
ikan tradisional juga harus diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas sehingga tidak saja hak akses dan hak pengguna
sumberdaya yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan dan hak ekslusif. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan
lokal menjadi kuat. Upaya pengelolaan perikanan tangkap diharapkan untuk perkembangan ke
depan dapat menerapkan delegated co-managemen karena menurut penelitian Pomeroy
2003 pada
delegated co-management
keputusan-keputusan pengelolaan perikanan dilakukan oleh stakeholder sementara peran pemerintah
di satu sisi akan menjadi sangat kecil. Merujuk kepada pengalaman Jepang, Thailan, Philipina dan beberapa negara lain dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi masyarakat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan Hanna 1980.
Dalam mengawali rezim ko-manajemen perikanan di perairan Kalimantan Selatan,
yaitu dengan
mengorganisasikan masyarakat
sudah dapat
diimplementasikan oleh masyarakat dengan harapan dapat dicapai suatu kesepakatan tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke depan termasuk
pengelolaan konflik. Ko-manajemen harus dilihat sebagai strategi manajemen yang luwes, dapat berfungsi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan penelitian Pomeroy 1998 ko-manajemen sebagai forum partisipasi, membuat aturan, manajemen konflik, pembagian kewenangan, dialog,
pengambilan keputusan, belajar, tukar dan alih pengetahuan. Banyak alasan dan pertimbangan sebelum memulai ko-manajemen. Begitu pula dengan penelitian
Abdullah et al. 1998 alasan pemerintah Kanada untuk mendorong ko- manajemen sebagai salah satu contoh adalah untuk mengurangi konflik, keadilan
alokasi penangkapan, memperbaiki kualitas data, memajukan konservasi dan pemberdayaan massyarakat.
Berdasarkan penyelesaian konflik yang telah dilakukan terhadap beberapa kasus konflik perikanan tangkap seperti kasus purse seine, pengambilan teripang,
yang pada awalnya dilakukan dengan teknik negosiasi kemudian berkembang menjadi fasilitasi. Begitu pula pada kasus seser modern dan bagan apung, resolusi
konflik dapat berhasil melalui teknik fasilitasi. Teknik Fasilitasi memerlukan keikutsertaan beberapa lembaga dalam penyelesaian konflik, keberhasilan teknik
tersebut menandakan bahwa peran kelembagaan ADR Alternative Dispute Resolution
paling efektif diterapkan dalam pengelolaan konflik. Melalui ADR penyelesaian dilakukan secara kooperatif dengan mengedepankan output yang
lebih dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Penerapan ADR dilakukan dengan melibatkan
semua fungsionaris hukum secara keseluruhan dan sinergi lembaga pengelolaan konflik, karena suatu departemen tidak bisa berdiri sendiri untuk mendirikan
lembaga ADR yang berwibawa tapi melibatkan unit pemerintah di bidang legislative dan yudikatif.
Pada kasus purse seine pengembangan kelembagaan ADR sudah terlihat dengan dilakukannya yaitu melalui teknik Fasilitasi dengan menciptakan
konsensus yang memuaskan semua pihak yang berkonflik dan berupaya
mempertemukan semua pihak yang berkonflik. Konsensus dan kompromi sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme
penambilan keputusan resolusi konflik yang bersumber dari masyarakat sendiri. Secara historis, kultur masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan sangat
yang sangat beragam sangat menjunjung tinggi pendekatan konsensus. Dengan demikian alasan kultural dapat dijadikan sebagai eksistensi pengembangan ADR
sebagai kelembagaan pengelolaan konflik. Hal tersebut sejalan dengan Koesno 1979 menyebutkan tiga asas kerja di dalam menyelesaikan perkara-perkara adat,
yaitu: 1 asas kerukunan yang menekankan pada pandangan dari sikap orang dalam menghadapi kehidupan social di dalam suatu lingkungan. Satu sama lain
saling bergantung, saling memerlukan, sehingga masing-masing pihak memiliki komitmen untuk mewujudkan dan mempertahankan kehidupan bersama. Asas
kerukunan dituangkan dalam dua bentuk ajaran yaitu aajaran musyawarah dan ajaran mufakat. 2 asas kepatutan yang mengarah kepada usaha mengurangi
jatuhnya sesorang ke dalam alam rasa malu yang ditimbulkan oleh hasil resolusi konflik. 3 asas keselarasan yang berhubungan dengan metode resolusi konflik
yang mempertimbangkan terpenuhinya aspek perasaan estetis secara optimal. Dalam hal ini, resolusi konflik dianggap memenuhi perasaan estetis jika dapat
diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan maupun masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan perkembangan penerapan ADR yang telah dilakukan dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan,
sebenarnya telah lama digunakan oleh masyarakat, namun belum ada legitimasi terhadap sebuah kelembagaan ADR. Berdasarkan hal tersebut kelembagaan
pengelolaan konflik perlu dikembangkan dan melegitimasikan, dengan demikian keputusan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan, mengikat dan memiliki
kekuatan hukum. Selain itu kelembagaan ADR harus tidak bersifat ad hoc agar dapat berfungsi efektif sebagai mediator dalam resolusi konflik.
Dimensi kelembagaan dan organisasi hendaknya menjadi komponen utama ketika suatu organisasi yang berasal dari luar terlibat dalam proses mediasi
untuk menyelesaikan konflik yang tengah berlangsung dalam masyarakat.
Mekanisme ADR, penerapannya bisa dilakukan seperti di Australia dan Amerika sebagaimana yang dinyatakan O’Laughin et al. 1998 bahwa
mekanisme ADR di Australia memiliki standarisasi yang baik guna menjamin kualitas para mediator dan arbiternya. Pada tingkat nasional telah berdiri suatu
badan yang disebut the National Alternatif Dispute Resolution Advisory Concil NADRAC. Lembaga ini mempunyai tugas menyusun standar nasional yang
akan mendukung standar nasional yang akan mendukung pengembangan ADR. Di Amerika Serikat, ADR dapat dibedakan menjadi dua bagian; 1 primary yang
terdiri dari empat macam yaitu: adjudikasi, arbitrasi, mediasi dan negosiasi dan 2 hybrid proces terdapat sekurang-kurangnya lima bentuk penerapan mekanisme
ADR yaitu: privat judging, neutral expert fact finding, mini trial, ombudsman dan summary jury trial.
Sejauh ini kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan konflik seperti kasus purse seine telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka
menengah dan panjang yang salah satunya adalah perlu dibentuk kelompok kerja POKJA Penanganan Konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat Pusat,
Provinsi sampai dengan KabupatenKota dan menyusun pedoman umum penanganan konflik nelayan antar daerah, namun implementasinya sampai
penelitian ini dilakukan hanya pada pembentukan dan penguatan peran POKMASWAS di setiap desa pesisir. Keberadaan POKMASWAS diharapkan
akan terus berkembang melalui pembinaan bahkan kinerjanya dilombakan hingga tingkat nasional. Sebagai lembaga pengelolan konflik yang tidak bersifat ad hoc
lebih memiliki peran yang lebih fleksibel dalam mengikuti adanya eskalasi konflik atau dengan membentuk komite penasihat yang dapat memfasilitasi,
menampung dan memberikan pertimbangan-pertimbangan sebelum terjadi tindakan dan aksi massa sehingga begitu muncul gejala konfrontasi tidak akan
sampai pada tahap krisis yang berdampak pada anarkis seperti kekerasan fisik dan kerugian materi akibat penenggelaman dan pembakaran kapal.