Kelembagaan Pengelolaan Konflik Model pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan

yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berpotensi menyebabkan konflik selain kompetitif adalah antagonistik. Selanjutnya hal penting yang diperhatikan dalam pengelolaan konflik adalah masalah ekonomi nelayan. Perbadaan kondisi ekonomi nelayan di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada perbedaan usaha perikanan yang dilakukan yaitu mulai nelayan tradisional, semi dan modern serta adanya status punggawa dan ABK. Kondisi ini berpotensi untuk meningkatkan skala eksploitasi sumberdaya kelautan dan perikanan dapat menjadi lahan subur bagi timbulnya kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan. Hal ini sejalan dengan teori konflik yang dinyatakan Karl Mark yang dikenal dengan teori kelas yaitu kelas pemilik modal borjuis dan kelas pekerja miskin proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkhis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Karl Marx berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas, dengan munculnya kapitalisme terjadi perpisahan tajam antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang hanya mempunyai tenaga. Perkembangan kapitalisme memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial hingga pada akhirnya terjadi konflik diantara dua kelas. Hal ini sejalan pula dengan penelitian Torkrisna et al. 2002 bahwa pengalaman di Thailan, konflik terjadi antara nelayan kecil dan nelayan besar. Banyak sedikitnya pihak yang terlibat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan konflik. Hal ini terkait dengan karakteristik individu dan kelompok. Semakin beragam karakter individu di dalam suatu wilayah semakin memicu konflik. Pada kasus konflik antar provinsi seperti kasus purse seine dan pengambilan teripang melibatkan banyak sekali pihak yang terlibat, selain nelayan yang bersangkutan termasuk lembaga yang menangani konflik baik pemerintah manupun non pemerintah mulai dari daerah hingga provinsi yang memiliki karekteristik beragam. Sebagaimana yang dinyatakan Bradford dan Stringfellow 2001 bahwa perbedaan karakteristik individu dalam kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terkait dengan keahlian individual, kesepakatan terhadap kelompok, kekuatan power individu dalam kelompok serta hubungan sosial. Pemahaman terhadap aktor yang terkait dalam konflik menjadi sangat penting, karena konflik lebih terkait pada masalah sumberdaya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut Kaiser and Forsberg 2001 memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan perikanan diantaranya jumlah stakeholder perikanan. Secara parsial latar belakang budaya dan adat berpengaruh secara negatif sebagai faktor penyebab konflik, dalam hal ini semakin berbeda latar budaya masyarakat justru dapat meredam konflik atau semakin kecil perbedaan latar budaya masyarakat di suatu tempat maka semakin besar kemungkinan terjadi konflik. Hal ini dapat dipahami karena perbedaan budaya dalam masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat pantai. Sebagaimana di daerah Kabupaten Tanah Bumbu memiliki beberapa etnik, berdasarkan sejarah sejak abad ke 17 suku bugis meminjam tanah dan mendirikan kerajaan Pagatan. Hingga sekarang daerah pesisir banyak etnis penduduk yang berasal dari Bugis, Mandar, Bajau dan sebagian lagi dari Jawa, Madura dan Bali. Dengan terbangunnya pranata sosial masyarakat nelayan, maka diharapkan menerapkan prinsip-prinsip penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Variabel mengenai keberadaan aturan dan penegakan hukum dan peraturan perikanan tidak berpegaruh signifikan terhadap konfik di Kalimantan Selatan, hal ini bertentangan dengan penelitian Budiono 2005. Hal ini disebabkan oleh persepsi responden di Kalimantan Selatan yang beranggapan bahwa perangkat peraturan yang bersifat makro terlalu kompleks dan bahkan tidak diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan belum jelas. Disamping itu belum memiliki keyakinan terhadap implementasi hukum sebagaimana yang tertuang pada Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian direvisi menjadi UU No. 45 Th 2009 yang berlakukanya hukum atau besarnya denda yang disyaratkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat dari usaha perikanan yang dilakukan. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi konflik perikanan tangkap dengan mengeluarkan berbagai peraturan, namun jika hasilnya belum efektif maka dapat ditinjau kembali dengan memperhatikan imbauan seperti yang dinyatakan dalam DKP 2002 bahwa beberapa faktor yang menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan tangkap belum efektif, yaitu 1 perangkat peraturan yang terlalu kompleks dan bahkan tidak diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan 2 kurangnya tingkat pengetahuan penegak hukum. Faktor lain yang menyebabkan peraturan dan kebijakan perikanan tangkap belum efektif adalah perangkat peraturan yang belum jelas dibuat berdasarkan kebutuhan bersama, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat nelayan.

5.3.2 Teknik resolusi konflik

Merujuk hasil analisis SEM menunjukan bahwa RESOLUSI yang dikonstruk dari 4 empat indikator yaitu: 1 litigasi hukum dan 2 non litigasi ADR Alternative Dispute Resolution yang terdiri dari fasilitasi, negosiasi dan avoidance. Semua teknik resolusi tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap OUTCOME. Resolusi konflik dengan teknik litigasi digunakan pada kasus daerah penangkapan, kasus purse seine. Teknik avoidance digukanan pada kasus penggunaan bom dan kasus gillnet. Teknik negosiasi digunakan pada kasus purse seine dan pengambilan teripang. Teknik fasilitasi digunakan pada kasus seser modern, bagan apung, cantrang, purse seine dan pengambilan teripang. 1 Litigasi Resolusi konflik dengan teknik litigasi dilakukan pada kasus daerah penangkapan disebabkan oleh adanya bentrokan atau kekerasan fisik dan penenggelaman kapal, namun dalam kenyataannya teknik litigasi yang digunakan ternyata justru memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok. Hal tersebut sejalan dengan apa yang tertuang dalam DKP 2002 bahwa resolusi konflik dengan teknik litigasi disamping mempunyai keuntungan karena dijalankan oleh para profesional namun juga memiliki kelemahan karena menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat. Begitupula dengan pendapat Bennet and Nelland 2000 bahwa proses konflik yang menggunakan hukum formal litigasi akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan. Pada kasus konflik purse seine, resolusi dengan teknik litigasi dilakukan setelah adanya pembakaran kapal. Dalam hal ini litigasi hanyalah berupa tindak lanjut dari tindak kekerasan yang dilakukan. Sedangkan teknik litigasi pada kasus konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara, hukum pidana kepada nelayan andon hanyalah merupakan proses yang bersifat memberikan efek jera karena tidak mengindahkan peringatan yang diberikan oleh nelayan lokal dari Kabupaten Tanah Laut. Setelah nelayan berjanji untuk tidak melakukannya lagi pelaku segera di bebaskan. Jadi dalam kondisi ini litigasi hanya merupakan media politik untuk menyelesaikan sebuah konflik, namun hal ini dianggap sebagai sesuatu keunggulan dari teknik litigasi, sesuai dengan pendapat Gelanter 1996 yang menyatakan bahwa salah satu keunggulan dari teknik litigasi adalah bersifat politisi. 2 Avoidance Resolusi konflik pada kasus gillnet dan penggunaan bom dilakukan dengan teknik avoidance karena tidak bisa mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik dan tidak bisa berinteraksi. Hal ini disebabkan pelaku pengguna bom telah meninggalkan jejak atau melarikan diri sebelum sempat bertemu muka. Penggunaan bom dan penggunaan gillnet yang melebihi dari ketentuan yang berlaku dan merupakan tindakan illegal fishing, sehingga sudah ada ketentuan pidana bagi penggunanya. Kasus tersebut seharusnya dilakukan dengan teknik litigasi yaitu dapat diproses secara hukum, namun konflik tersebut dapat berakhir dengan cara avoidance. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadinya kesadaran hukum terhadap prekondisi atau peraturan pemerintah yang telah diberlakukan dan efektifnya pengawasan yang dilakukan baik oleh Pokmaswas maupun oleh aparat pemerintah seperti petugas pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan dari DKP, TNI AL dan Poalir. 3 Negosiasi Teknik negosiasi yang dilakukan pada kasus konflik purse seine, dimana masyarakat nelayan bersatu sendiri menciptakan pemahaman bersama dan kemudian dikomunikasikan bersama Kepala Desa, pemimpin masyarakat terutama tokoh masyarakat dan masyarakat lokal lainnya. Semua aktor yang punya pemahaman yang sama dapat bernegosiasi dengan kelompok saingan, yang mengerti kesalahan mereka dan malakukan tawar menawar terhadap kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak. Hal semacam ini memudahkan pendekatan resolusi konflik, namun teknik tersebut tampaknya masih terbatas pada membangun kesepakatan, hanya bersifat parsial, tidak tersosialisasikan dengan baik kepada pihak lainnya, pihak lain yang tidak mengetahui adanya kesepakatan tersebut ikut terseret sebagai aktor yang telah melanggar kesepakatan, sehingga konflik tidak berakhir tetapi justru berdampak pada tindak kekerasan dan anakis dengan melakukan pembakaran kapal. Negosiasi yang dilakukan pada waktu itu memiliki kelemahan, semestinya bisa dilakukan dengan melewati beberapa tahap. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Morris 2002 yaitu: tahap pertama menunjuk kepada kondisi yang harus ada untuk semua pihak untuk masuk kepada ruang negosiasi tanpa kekerasan. Kondisi yang mendahului negosiasi mengidentifikasi bahwa: semua pihak yang terlibat konflik harus memahami bahwa di antara mereka terdapat perbedaan pandangan dan atau kepentingan, mereka harus memiliki kemauan untuk menyelesaikan konflik dengan opsi anti kekerasan, mereka harus punya kepentingan bersama common interests dalam kesepakatan dan memperoleh keuntungan bersama melalui saling memahami yang dituangkan dalam kesepakatan bersama itu. Jika satu sisi dapat menjatuhkan keputusan, sisi yang lain sebaiknya mengambil sikap agar isu itu tidak dimasukkan ke dalam suatu negosiasi. Kemudian pada tahap kedua, ketika suatu keputusan untuk negosiasi dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan komunikasi berulang-ulang tentang bentuk inti dari negosiasi. Banyak faktor penentu dalam proses ini. Faktor-faktor tersebut termasuk beberapa pokok yaitu: komposisi tim negosiasi, persepsi pihak lawan berkaitan dengan pihak lainnya, sifat dasar dan saluran- saluran komunikasi, kepentingan relatif manusia versus isu, struktur negosiasi, gaya penawaran dan manfaat pihak ketiga. Pada kasus pengambilan teripang, teknik negosiasi yang digunakan justru memicu konflik yang lebih besar dan berdampak pada penyanderaan kapal. Hal ini dikarenakan hasil keputusan negosiasi belum disetujui oleh kedua belah pihak yang berkonflik dan mutu hasil negosiasi belum komprehensif dan belum tersosialisasi. Sebagaimana yang dinyatakan Morris 2002, terdapat dua faktor yang menentukan mutu hasil negosiasi adalah 1 masukan menuju pengambilan keputusan decision making oleh kedua belah pihak; dan 2 format yang digunakan untuk membuat persetujuan form of agreement. Pada faktor pertama, proses pengambilan keputusan adalah ciri dasar dari kegiatan negosiasi; proses ini haruslah dikelola secara hati-hati dan sensible dalam perjalanan negosiasi. Yang sering terjadi dalam pengambilan keputusan adalah bagaimana keputusan itu seharusnya dibuat daripada bagaimana keputusan itu dibuat. Para peserta dan alur negosiasi justru lebih peduli pada prosedur pengambilan keputusan daripada mengupayakan proses maju dalam modus partisipatif. Sedangkan pada faktor kedua, ketika sebuah kesepakatan dihasilkan, satu pertanyaan penting adalah apakah kesepakatan tersebut berbentuk formal atau informal, karena kebanyakan kesepakatan dibuat secara formal dan tertulis. Dalam situasi tertentu, suatu kesepakatan tertulis mungkin ditambahkan melalui suatu kesepahaman informal. Dalam beberapa budaya, mekanisme pelaksanaan kesepakatan itu bersifat personal. Orang meletakkan komitmennya kepada manusia, bukan pada kontrak. Mereka memberi tekanan kepada hubungan antar manusia dan bukan pada kesepakatan-kesepakatan tertulis. 4 Fasilitasi Teknik fasilitasi pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara mengalami kegagalan, konflik semakin meruncing akibat ketidakpuasan sebelah pihak karena perjanjian dan jalan keluar yang diambil bukan berasal dari kedua pihak yang berkonflik melainkan dari pihak luar TNI AL. Kemudian resolusi teknik fasilitasi diperbaiki dengan syarat fasilitator hanya sebagai penengah tidak boleh mempengaruhi keputusan yang dibuat. Kesepakatan diharapkan dapat mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan durable settlement. Untuk dapat mencapai kondisi dengan durable settlement menurut Lincoln 1986 ada 3 tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1 substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya 2 prosedural interest, yaitu kebutuhan dan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan 3 relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan dan prekondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Konflik purse seine dan konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara termasuk kepada skala antar provinsi, sehingga sudah seharusnya untuk dilakukan dengan melibatkan pemerintah, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 49 yang menunjukan keterkaitan antara pihak yang berkonflik dan melibatkan banyak fasilitator. Dalam hal ini fasilitator akan membantu menciptakan iklim untuk pemecahan masalah dan membantu membingkai masalah sehingga bisa dipecahkan. Fasilitator juga dapat menyarankan pilihan format atau prosedur untuk membantu kerja kelompok lebih efektif. Gambar 49 Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik Dalam konflik-konflik atas sumberdaya alam, para pihak yang berkonflik menggunakan berbagai cara untuk memenangkan kepentingan masing-masing. Namun penyelesaian dengan teknik fasilitasi yang harus diperhatikan adalah keseimbangan kekuatan antara pihak yang berkonflik sebagaimana yang dinyatakan oleh Malik et al. 2003 yaitu jika posisi para pihak tidak seimbang dan terserap pada pertemuan atau pun dialog-dialog penyelesaian konflik sumberdaya alam, dapat dipastikan bahwa kesepakatan yang diambil akan mengundang sejumlah unsur ketidakadilan bagi komunitas-komunitas masyarakat setempat. Pihak berkonflik I Pihak berkonflik II FASILITATOR Aparat Desa Aparat Kab.DKP Kab.PPNS DPRD Kab HNSI, AMNES, POKMASWAS LANAL Aparat Provinsi DKP KalSel, KalTim, JaBar, JaTim, Jateng, SulSel Ditjen Perikanan Tangkap Ditjen P2SDKP Resolusi konflik daerah tangkap yang telah dilakukan dengan teknik fasilitasi, belum dapat menyelesaikan masalah, disebabkan prekondisi yang kurang mendukung adanya pengkavlingan laut. Adanya hukum dan peraturan lain mengenai otonomi daerah tentang pembagian wilayah laut kabupaten, anggapan open acces dan perbedaan kondisi geografis sementara kenyataan bahwa sumberdaya yang dimiliki sudah sangat menurun atau telah terjadi degradasi. Hal ini sangat sulit untuk diterapkannya suatu aturan. Pada kasus penggunaan seser modern dan konflik bagan apung, mekanisme yang dipilih melalui teknik fasilitasi disepakati oleh para pihak yang berkonflik, kesepakatan tersebut meletakkan landasan bahwa cara penyelesaian yang dipilih itu menjadi hukum bagi para pihak yang berkonflik. Jika dilihat dari frekwensi penggunaannya teknik fasilitasi adalah yang paling banyak digunakan, hal ini menunjukan partisipasi pemerintah sangat besar dalam proses resolusi konflik di daerah penelitian. Hal ini sejalan dengan pendapat Cicin-Sain and Knecht 1998 bahwa pengelola pesisir sering harus melakukan intervensi untuk menyelesaikan konflik. Hal ini penting untuk dipertimbangkan karena 1 konflik dapat mengancam keselamatan publik 2 konflik yang berlangsung dalam jangka panjang mengancam kelangsungan sumberdaya bagi kemakmuran masyarakat atau terlibat pada kerusakan lingkungan yang tidak dapat pulih kembali 3 partisipasi dalam perselisihan tidak mewakili semua kepentingan yang terlibat atau 4 adanya inefisiensi dari pemerintahan. Pemilihan dan penggunaan teknik resolusi untuk mencapai tujuan akhir harus dipertimbangkan secara bijak dan hati-hati, karena teknik tersebut pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk menanggapi hal ini dan sebelum menyetujui suatu cara penyelesaian konflik atas sumberdaya alam, komunitas- komunitas masyarakat setempat perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kekuatan harus dibangun dan dikristalisasi menjadi bagian inherent dari komunitas masyarakat yang terlibat konflik sumberdaya alam. Dalam hal ini salah satu cara efektif adalah pengorganisasian. Malik et al. 2003 menyatakan bahwa dengan mengorganisir, para pihak yang terlibat di dalamnya dapat saling belajar satu sama lain. Pada satu sisi, para outsiders dapat belajar dari berbagai pengalaman tentang masalah komunitas setempat maupun masalah komunitas- komunitas lain. Para outsiders dapat mentranspormasikan pengalaman, ilmu maupun dana untuk mendukung penguatan komunitas setempat. Pada sisi lain, komunitas setempat juga dapat mengintrospeksi kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Mereka dapat memperluas wawasan tentang semua hal yang berkaitan dengan konflik yang terjadi. Bukan itu saja, mereka juga dapat membangun analisis dan mewaspadai kawan dan lawan. Tujuan mengorganisir adalah mengintegrasikan dana, tenaga, ilmu, pengalaman, teknik dan strategi antara komunitas setempat dengan para outsiders yang peduli pada upaya-upaya penyelesaian konflik atas sumberdaya alam. Hasil analisis SEM, menunjukkan bahwa tenik fasilitasi memiliki koefisien loading tertinggi dibandingkan dengan negosiasi, litigasi dan avoidance. Oleh karena itu fasilitasi memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan variabel teknik resolusi konflik. Hal ini sejalan dengan Koesno 1979 yang mengatakan bahwa karakteristik masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan kerukunan dan kerjasama, merupakan prasyarat penting bagi suksesnya penggunaan teknik ADR. Dalam penelitian Hill 1992 menyatakan bahwa kedua belah pihak yang berkonflik memperoleh kemenangan win-win solution sebab resolusi konflik harus dapat diterima oleh kedua belah pihak.

5.3.3 Outcome pengelolaan konflik

Berdasarkan analisis SEM, terbukti bahwa teknik resolusi konflik yang digunakan memberikan pengaruh signifikan dengan variabel OUTCOME terciptanya pengelolaan perikanan tangkap. Dengan kata lain dampak dari aplikasi teknik resolusi konflik yang tepat diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang ditentukan oleh indikator partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap dan pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Partisipasi dalam hal ini mencakup peranserta masyarakat nelayan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Peraturan pemerintah PP Nomor 69 tahun 1996 mendefinisikan peranserta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Partisipasi didefinisikan secara umum dalam pengelolaan perikanan adalah suatu proses keterlibatan individu dan masyarakat secara aktif dalam semua tahapan pengelolaan perikanan, dalam arti tujuan untuk mendorong hak menyampaikan pendapat dan menjamin kebijakan yang mencerminkan aspirasi masyarakat. Partisipasi diartikan juga sebagai suatu kesepakatan diantara pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membangun hubungan dan proses yang dibutuhkan dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan perikanan sehingga mempunyai basis serta legitimasi yang kuat. Berkaitan dengan upaya meningkatkan peranserta masyarakat dalam resolusi konflik, merujuk pada pengalaman Jepang, Thailan, Philipina dan beberapa negara lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi masyarakat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan Hanna 1980. Pada umumnya negara tersebut menggunakan model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dan menghormati nilai budaya masyarakat. Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu keinginan rakyat, suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dan kehidupan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga berakhir dengan penilaian kebijakan Abidin 2004 Mengingat kegiatan pemanfaatan sumberdaya produksi ikan terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan, maka semua kebijakan yang diterapkan mempertimbangkan keberadaan sumberdaya dalam jangka waktu relatif lama. Ketentuan umum UU No.9 tahun 1985 tentang perikanan, bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan adalah semua upaya termasuk kebijakan dan non-kebijakan yang bertujuan agar sumberdaya itu dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Undang-undang No. 22 tahun 1999, kemudian membuka peluang yang lebih besar bagi daerah Kabupaten dan Kota, guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara sinergis, mengatur memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi sumberdaya alam bagi peningkatan