Jenis kasus konflik Konflik Perikanan Tangkap
Belum tuntas masalah konflik daerah tangkap kemudian masuknya nelayan purse seine dari provinsi lain Jawa Tengah ke perairan Kotabaru pada
tahun 2006 mendapat izin dari DKP sekarang KKPKementrian Kelautan dan Perikanan. Teknologi yang digunakan jauh lebih maju dibandingkan nelayan
lokal, sehingga dalam melakukan penangkapan ikan nelayan-nelayan dari Pekalongan jauh lebih menguntungkan secara ekonomi daripada nelayan lokal.
Nelayan lokal mengeluh karena hasil tangkap mereka mengalami penurunan sejak masuknya nelayan dari Pekalongan.
Nelayan Jateng melakukan penangkapan ikan pada jalur penangkapan 15 mil, secara yuridis tidak melanggar Undang-Undang yang telah mengatur Jalur-
jalur penangkapan dan telah memiliki surat izin penangkapan ikan. Namun bias cahaya terlihat sebelum 12 mil perairan Kotabaru sehingga ikan-ikan yang berada
di sekitar pantai atau di wilayah kewenangan daerah tertarik oleh daya tarik lampu purse seine.
Tindak lanjut terhadap keresahan nelayan yaitu dibuat kesepakatan antar nelayan mini purse seine Kotabaru dan nelayan purse seine Jateng, yakni nelayan
Jateng tidak menggunakan lampu purse seine berkekuatan tinggi, tidak boleh menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru. Selanjutnya dalam
perjanjian tersebut juga dicantumkan bahwa nelayan Jateng tidak akan merapat di pelabuhan Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es. Yang terakhir, jika
nantinya ditemukan nelayan yang melanggar kesepakatan ini, maka pihak nelayan Kotabaru akan mengambil tindakan tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan yang
menggunakan purse seine. Kenyataannya perilaku nelayan Jateng banyak menyimpang dari
kesepakatan. Nelayan lokal khususnya nelayan mini purse seine melakukan protes ke DPRD dan Bupati Kabupaten Kotabaru, tetapi protes mereka diabaikan.
Akhirnya bulan Mei 2005 nelayan mini purse seine berkumpul dan membuat organisasi nelayan dengan nama AMNES Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan.
AMNES merencanakan penyerbuan dan berkeinginan untuk membakar kapal nelayan Pekalongan, namun aksi dapat digagalkan oleh Angkatan Laut dan
Kepolisian Kabupaten Kotabaru
3 Periode tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 krisis
Pada waktu itu telah terjadi pengkavlingan wilayah penangkapan ikan. Kemudian apabila ada orang luar yang masuk ke wilayah yang terlarang bagi alat
tangkap tertentu maka terjadi pengusiran, kekerasan fisik dan perusakan alat tangkap, penyitaan dan bahkan penenggelaman kapal. Aksi ini dilakukan karena
nelayan dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat. Sebelumnya sudah pernah disepakati masalah jalur penangkapan
dengan memberikan patok dari halayung tiang bakang namun karena hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Selain itu pada periode ini
konflik menjadi terbuka, saling tuduh bahwa jalur penangkapan yang disepakati telah digeser secara illegal.
Organisasi INSAN Ikatan Nelayan Saijaan melakukan negosiasi untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan mengharapkan tidak melakukan
pengkavlingan laut dan berjanji bahwa nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar atau yang memiliki teknologi lebih tinggi tidak akan memasuki wilayah
selat laut dan selat sebuku yang diperuntukkan oleh nelayan tradisonal. Namun karena kasus tersebut sudah berdampak pada kekerasan fisik penyelesaian konflik
dibantu oleh pihak kepolisian. Oganisasi INSAN mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum kepada
pelaku. Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru berjanji untuk membantu
pembebasan perahu nelayan yang ditahan oleh nelayan dan membantu proses pengantian kerusakan atau dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.
Pada tahun 2007 polemik antara nelayan Kotabaru dengan nelayan asal Pekalongan, Juwana, Pati Jawa Tengah yang menangkap ikan di wilayah perairan
Kabupaten Kotabaru dengan menggunakan purse seine masih berlanjut. Kemudian dilakukan perjanjian antara nelayan asal Jawa Tengah yang
menggunakan kapal purse seine dengan HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kotabaru yang ditandatangani di Jakarta. Namun hal ini dianggap tidak
menguntungkan nelayan kotabaru, malah sebaliknya dirasa menguntungkan nelayan Jateng, sehingga nelayan Kotabaru tidak menerima hasil perjanjian dan
kesepakatan yang sudah ditandatangani tersebut.
Masyarakat nelayan Kotabaru yang tergabung dalam HNSI menganggap kalau kesepakatan kedua yang telah ditandatangani tersebut atas nama pribadi,
dan bukan atas nama HNSI, sebab sekarang ini yang bersangkutan sudah bukan ketua HNSI. Akhirnya terjadi inseden pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah
yang ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp. 1,4 milyar. Insiden pembakaran kapal purse seine milik nelayan Jateng di perairan Pulau Kerayaan Pulau Laut
Selatan Kotabaru memicu ribuan nelayan Kotabaru menggelar aksi protes di depan gedung DPRD Kotabaru yang menuntut diusirnya kapal-kapal purse siene
dari perairan Kotabaru. Massa yang tiba secara bergelombang sekitar pukul 10.00 wita melempari gedung DPRD dengan air mineral, mobil-mobil milik anggota
DPRD yang parkir di halaman tak luput dari aksi pukulan pengunjuk rasa. Sementara itu pada tahun 2007 di Kabupaten Tanah Laut terjadi
konfrontasi. Keresahan sejumlah nelayan Tanah Laut yang sudah tiga bulan merasa hasil tangkapan mereka menurun drastis bahkan rugi karena masuknya
nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara dan memiliki surat izin. Nelayan andon yang masuk ke perairan Kalimantan Selatan
berasal dari Sulawesi Ujung Pandang, Maros dan Serigi, Kalimantan Timur dan Jawa Timur Ra’as. Nelayan andon menggunakan kompresor sebagai alat bantu
dalam melakukan usaha penangkapan teripang dan kerang. Nelayan Sumenep dan nelayan Tanah laut melakukan eksploitasi perikanan
pada wilayah fishing ground yang sama yaitu daerah Tanjung Selatan yang secara horizontal berjarak 40 mil dari desa Tabanio. Perairan Tanjung Selatan
merupakan daerah yang subur, banyak terdapat sumber alam yang merupakan usaha penangkapan potensial bagi nelayan Tanah Laut yang merupakan ladang
usaha perikanan tangkap secara turun temurun. Perairan Tanjung Selatan dikenal oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Tanah Laut selain mengandung
sumberdaya ikan juga memiliki terumbu karang dan teripang yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mengundang nelayan luar tertarik masuk untuk
mengambil sumberdaya tersebut. Perairan Tanjung Selatan merupakan perairan yang dangkal dengan kedalaman perairan berkisar 12-27 meter.
Kesepakatan mulai dibuat dengan melakukan negosiasi antara nelayan Tanah Laut dengan Sumenep yaitu pengoperasian penangkapan ikan disesuaikan
dengan aktivitas nelayan lokal. Nelayan Sumenep hanya beroperasi pada siang hari, sedangkan nelayan Tanah Laut malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam
rembug tapi adanya campur tangan TNI AL, akibatnya sejumlah nelayan Tabanio kurang puas dengan kesepakatan itu, karena walaupun jadwal melaut bisa diatur,
namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu merupakan solusi yang ditawarkan pihak TNI AL LANAL.
Mereka sebenarnya tetap menghendaki agar nelayan Sumenep dilarang menjamah perairan di Tanah Laut, kecuali jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan
nelayan lokal. Konflik semakin memanas dan kritis karena jumlah kapal nelayan
Sumenep yang masuk ke perairan Tanjung Selatan semakin banyak yaitu sekitar 400 unit. Dalam 1 satu unit kapal terdapat 1-2 buah kompressor, dimana 1satu
alat kompressor digunakan untuk dua orang. Satu buah kapal terdapat 4-6 orang ABK. ABK yang menyelam ke dalam perairan sebanyak 4 empat orang,
sedangkan ABK yang lain menunggumenjaga di atas kapal. Jumlah keseluruhan ABK yang menyelam di perairan diperkirakan 1.600 orang dari 400 kapal nelayan
andon. Nelayan Tabanio sangat merasa terganggu dengan aktifitas nelayan andon karena penyelaman dalam bentuk besar-besaran mengakibatkan kondisi perairan
rusak, alat tangkap yang dipasang nelayan lokal banyak yang putus karena tersangkut jangkar nelayan andon.
Dengan bantuan LANAL dilakukan sweeping, penyitaan dan penahanan kapal pencari teripang, karena mereka mencurigai kegiatan kapal nelayan Jawa
Timur tersebut telah merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Menurut nelayan setempat, mereka menyelam, mencari kerang dan teripang yang
terdapat di sekitar dasar laut berbatu, sementara tempat itu juga disukai ikan. Masyarakat nelayan lokal juga mencurigai para pencari komoditas laut bernilai
ekspor tersebut menggunakan bahan peledak dan kimia. Nelayan lokal mengajukan tuntutan agar pencari teripang tersebut berhenti beroperasi di perairan
sekitar Tanah Laut dan kemudian menyampaikan kesepakatan ini kepada kawan- kawan mereka. Apabila mereka mau menuruti kesepakatan tersebut, maka
nelayan Tanah Laut bersedia segera melepaskan kelima kapal yang telah disandera.
Pada tahun 2007 juga terjadi konflik antara nelayan Tanah Laut dengan nelayan andon asal Jawa Timur yang menggunakan bom dan diperkirakan telah
merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Dugaan degradasi habitat ini didasari oleh kenyataan bahwa hasil tangkapan nelayan lokal selama tiga tahun
terakhir cenderung menurun. Namun kasus penggunaan bom ini masih belum dapat dibuktikan oleh nelayan setempat, karena sulit menemukan barang bukti.
Nelayan andon yang menggunakan bom menggunakan kapal bermesin cepat sejenis mesin speed boat, sehingga tidak berhasil mengejar beberapa unit kapal
yang terlihat memasuki wilayah perairan Tanah Laut. Selain itu nelayan yang dicurigai melakukan penangkapan ikan menggunakan bom biasanya barang bukti
langsung dibuang sehingga mereka tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan aturan.
Pada tahun 2008-2009 nelayan Kabupaten Tanah Bumbu merasa resah dan awal muncul kecemburuan nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung
yang memperoleh hasil tangkapan ikan teri dan ikan tembang lebih banyak, perbedaan produksi hasil tangkapan yang disebabkan perbedaan teknologi
penangkapan. Nelayan bagan tancap melakukan penghancuran alat dan kapal bagan. Tindak lanjut dari konflik tersebut dibuat kesepakatan dimana nelayan
yang menggunakan alat tangkap yang berbeda tidak boleh beroperasi pada suatu wilayan fishing ground yang sama bahkan tidak boleh beroperasi lagi.
Pada tahun 2009 keberadaan nelayan cantrang yang dilakukan oleh nelayan Pekalongan Jawa Tengah mendapat reaksi keras dari masyarakat nelayan di
Kalimantan Selatan. Beberapa Pokwasmas melayangkan surat kepada Kadis Perikanan di daerah masing-masing Jawa Timur dan Sulawesi yang intinya
melarang keberadaan cantrang beroperasi di perairan Kalimantan Selatan. Penggunaan cantrang oleh nelayan andon mendapat protes keras dari masyarakat
nelayan di Kalimantan Selatan karena penggunaan teknologi penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal
Penggunaan cantrang dinilai sangat merugikan nelayan lokal, disamping itu telah meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keberlanjutan perikanan
tangkap dan belum ada undang-undang yang merekomendasikan alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan.