Gambar 43 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus cantrang
Nelayan Kal-Sel melakukan aliansi kepada DKP Daerah dan provinsi Kal- Sel untuk menolak beroperasinya cantrang sampai ada kejelasan dibolehkannya
cantrang masuk ke perairan Kalimantan Selatan. Pokmaswas yang berkepentingan dalam melakukan pengelolaan kolaboratif secara intensif
melakukan pengawasan dan segera melaporkan kepada Dinas Perikanan jika cantrang masuk ke wilayah perairan Kalsel.
A
KKP
Polair
TNI AL Pedagang
pengumpul DKP
Kalsel DKP
Jateng
B
Keterangan: A : nelayan cantrang andon
B : nelayan Kalsel
POKMAS WAS
+ +
+ +
+
+ +
+
+
+ +
+
+
+ +
+ +
Eksportir perikanan
DKP Sulsel
Polsek, Polres
DPRD
+ +
4.4.2 Peran kelembagaan pengelolaan konflik 1
Kelembagaan pemerintah
Kalsel secara administratif telah memiliki institusi formal yang mengelola perikanan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan baik provinsi maupun kabupaten,
demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam. Keberadaan peraturan-peraturan
tersebut baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan implementasi secara optimal. Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Dinas
Perikanan dan Kelautan Kalimantan Selatan diantaranya adalah:
1 Membentuk Pokmaswas
Beberapa daerah pesisir mulai membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas POKMASWAS. Pokmaswas merupakan pelaksana pengawasan di
tingkat lapangan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta mayarakat maritim lainnya. Pokmaswas dibentuk
atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang anggota masyarakat. POKMASWAS berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dengan
pemerintahpetugas. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat menjadi
anggota kelompok masyarakat Pengawas. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota. Pembentukan dan keanggotaan
Pokmaswas perairan laut Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas
Desa Nama Kelompok
Pengukuhan Anggota
Kab. Tanah Laut 1 Batakan
2 Kuala Tambangan 3 Muara Asam-asam
Indah Lestari Batu lima
Bina Bersama 2001
2006 2006
140 50
12 Kab. Tanah Bumbu
1 Tungkaran Pangeran 2 Wiritasi
3 Sungai Rukam 4 Setarap
Cinta Bahari Manuntung
Berkat Bersatu Berkat Usaha
2005 2004
2005 2006
60 20
16 46
Tabel 27 lanjutan
Desa Nama Kelompok
Pengukuhan Anggota
Kab. Tanah Bumbu 5 Muara Ujung
6 Sungai Cuka 7 Angsana
Bersujud Berdikari
Karang Kima 2006
2007 2007
24 22
28
Kab Kotabaru 1 Mata Sirih
2 Teluk Gosong 3 Teluk Tengah
4 Teluk Tamiang 5 Lontar Selatan
6 Pantai Kec. Kalumpang Selatan
7 Tanjung Batu 8 Pulau Kerayaan
9 Pantai Kec. Kalumpang Tengah
10 Rajawali Putra Celebes
Berkat Rakat Pelisma
Pada idi Pantai Pesisir
Pantai Kalumpang II Karang Tanjung
Lumba-lumba Pantai Kalumpang I
Teluk Sirih 2005
2005 2005
2003 2005
2005 2005
2004
2005 2005
20 24
20 12
21
20 24
10
19 12
Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Kal-Sel 2009
Dalam upaya pemberdayan Pokmaswas, sesuai dengan kemampuan pemerintahDinas perikanan memberikan bantuan sarana dan prasarana pengawas
secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Bantuan tersebut berupa kamera digital, Hp dan stimulan lainnya berupa kelotok kapal motor,
baju seragam, topi dan atribut lainnya. Selain itu pemerintah dan atau pemerintah daerah memberikan pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan
kemampuan POKMASWAS. Satuan pembina SISWASMAS Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan Berbasis Masyarakat memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan,
melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansilembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk menindaklanjuti dugaan
pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dibantu
oleh Sekretariat yang bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan
SISWASMAS dari daerah menyiapkan tindak lanjut. Jaringan kerja sebagai koordinasi pelaksanaan SISWASMAS disajikan pada Gambar 44.
Gambar 44 Struktur organissasi dan koordinasi pembinaan SISWASMAS Kegiatan POKMASWAS selain penanganan konflik nelayan yaitu: 1
membantu Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan, patroli atau razia 2 membantu Dinas Kelautan dan Perikanan dalam menegakkan peraturan
bidang perikanan dan memberantas illegal fishing 3 Melakukan kegiatan sosialisasi UU No 31 tahun 2004 dan peraturan perikanan 4 Penyebaran leaflet
5 Secara intensif melakukan pertemuan-pertemuan kelompok. Yang menjadi obyek utama dalam pengawasan Sismaswas yaitu 1
pemanfaatan sumberdaya yang illegal meliputi: penggunaan bahan peledak, pengguna bahan berbahaya beracun seperti strum, potas, tuba, bom, pengguna alat
tangkap yang dilarang seperti arus listrik, trawl, jaring dengan mesh size kurang dari 2,5 cm hampang dengan jarak tertentu, pelanggaran daerah penangkapan 2
pencemaran dan perusakan ekosistemlingkungan laut misalnya perusakan terumbu karang, hutan mangrove.
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan diharapkan dapat dilakukan secara terus menerus oleh Pokmaswas dan didukung oleh semua
pihak, baik oleh aparatur pemerintah Pengawas Perikanan, Polisi Perairan dan Udara, TNI Angkatan Laut serta Dinas Perikanan dalam melakukan penegakan
Tingkat Pusat Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Departemen
Tingkat Daerah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi
Tingkat Kabupaten Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten
POKMASWAS
Ketua Wakil Ketua
Sekretaris Seksi-seksi:
Operasi, Keamanan, Humas
Sekretariat
hukum di laut. Sistem pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat
dapat dilakukan
oleh Kelompok
Masyarakat Pengawas
POKMASWAS. Jaringan kerja dan mekanisme POKMASWAS disajikan pada Gambar 45.
Gambar 45 Jaringan dan mekanisme Pokmaswas Upaya pemberdayaan Pokmaswas, pemerintah melalui Dinas Perikanan dan
Kelautan telah
memberikan pendidikanpelatihanstudi
banding untuk
mengembangkan wasasan anggota pokmaswas ke provinsi lain seperti pulau Jawa, dan Sumatera. Antusias Pokmaswas yang tinggi untuk melaksanakan
fungsinya dengan baik mendapat perhatian serius oleh pemerintah dengan diadakannya lomba mulai tingkat Kabupaten sampai Ke tingkat provinsi dan
mendapatkan penghargaan tertinggi berupa Adi bhakti Mina Bahari yang diserahkan di Jakarta. Pokmaswas dari Kalimantan Selatan termasuk 5 lima
nominasi terbaik tingkat Nasional.
2 Mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan melayangkan surat
peringatan dan sosialisasi
Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan antara pihak yang berkonflik. Dinas Perikanan dan Kelautan memfasilitasi beberapa konflik dan
melakukan pertemuan pihak-pihak yang berkonflik seperti pada kasus konflik yaitu:
Jaringan kerja Tindakan Pokmaswas
Survai lapanganinformasi pelanggaran dalam pengelolaan pemanfaatan
sumberdaya
Pelaporan
Penghentian, pemeriksaan,
pengejaran
APARAT
PPNS-PPI-DKP-Satpol-AIRUD-TNIAL-Karantina Proses penyelidikan
penyidikan Dinas Kabupaten
KotaProvinsi, Instansi terkait
Tembusan kepada Dirjend Pengendalian
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Melakukan koordinasi
Operasi tindak
lanjut
1 Tanggal 28 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan yang dihadiri oleh HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, DKP Propinsi Kal-Sel, DKP
Kabupaten Kotabaru, Koramil, TNI-AL, Tokoh masyarakat dan staf Pemda Kabupaten Kotabaru serta Staf Departemen Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia di rumah ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI Kabupaten Kotabaru dengan hasil bahwa nelayan Kotabaru bisa
menerima nelayan Purse seine Propinsi Jawa Tengah tetapi tidak menggunakan lampu.
2 Tanggal 31 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan antara DKP Propinsi Kal-Sel, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia HNSI Jawa Tengah dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI Kotabaru, TNI-AL, Instansi terkait lainnya yang
difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten Kotabaru bertempat di Kotabaru, yang memperoleh kesepakatan sementara
3 Pertemuan stakeholder di Dinas Perikanan dan Kelautan Kal-Sel diikuti DKP Kotabaru, DKP Provinsi Kal-Sel dan DKP Provinsi Jateng 16 Juni 2005.
4 Tanggal 14 Juli 2005 dilaksanakan sosialisasi hasil kesepakatan penyelesaian konflik nelayan Jawa Tengah dan Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan
dengan hasil bahwa Nelayan Kotabaru menduga kesepakatan dimaksud sudah menjadi ketetapan, sebenarnya ketetapan tersebut itu bersifat
sementara yang diberlakukan uji coba selama 3 bulan, sehingga nelayan Kotabaru tidak bisa menerima hasil kesepakatan di maksud.
5 Pertemuan evaluasi kesepakatan 7 Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi serta penyempurnaan RPP pelagis kecil laut Jawa di Semarang 21013 Juli
2005 6 Pertemuan stakeholder di Surabaya diikuti oleh Ditjen PT, Ditjen P2SDKP,
DKP Provinsi Ja-Teng, Kal-Tim, Kal-Sel, Sul-Sel, Ja-Bar, Ja-Tim, DKP Kota Balikpapan, Dinas Pertanian-Peternakan dan Kelautan Kota
Pekalongan, Wakil PUSKUD Mina Baruna Ja-Teng, DKP Kabupaten Pati, Bagian Hukum Pemkot Balikpapan, Ketua Umum dan Sekjen DPP HNSI,
Ketua DPD HNSI Ja- Teng, Ja-Tim, Ja-Bar, Sul-Sel, dan perwakilan nelayan Ja-Teng asosiasi purse seine Indonesia 24-25 Januari 2006.
7 Pertemuan stakeholders yang bersifat informal pada tahun 2008 diadakan di Kabupaten Tanah Bumbu dihadiri oleh DKP Tanah Bumbu yaitu 1
kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi konflik bagan apung 2 kesepakatan yang diperoleh bahwa
pengoperasian seser modern agak ketengahtidak bersamaan dengan pengguna seser modern.
8 Sosialisasi, penyuluhan hukum dan peraturan perikanan di beberapa wilayah yang merupakan basis konflik di Kabupaten Kotabaru, Tanah bumbu dan
Tanah Laut seperti Pulau laut, Desa Rampa, Kalumpang dan Tabanio. 9 DKP Tanah Laut melayangkan surat kepada DKP Kab. Sumenep untuk
menarik Nelayan Andon tersebut dan perairan Kabupaten Tanah Laut dengan surat nomor 532.3123PSDH tanggal 24 April 2007 tentang nelayan Andon,
perihal keberadaan nelayan andon yang tidak bisa diterima karena melakukan pencarian kerang dan teripang yang tidak dilakukan oleh nelayan Tanah
Laut. 10 Dinas Kelautan Perikanan Tanah Bumbu melayangkan surat nomor
523.321173XII2006 kepada DKP Sumenep perihal hasil patroli terhadap nelayan andon yang tidak memiliki surat andon.
11 Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kal-Sel melayangkan surat nomor 523.5UIDiskanlut2009 kepada Dinas Perikanana Kelautan provinsi Jawa
Tengah perihal alat tangkap cantrang belum bisa diterima karena masih dalam ujicoba dan belum direkomendasikan.
3 Mengeluarkan regulasi dan pertemuan lintas instansi
Pemerintah Kalimantan Selatan, dalam menyikapi perkembangan konflik antar nelayan, mengeluarkan beberapa regulasi yaitu:
1 Larangan pengambilan tiram mutiara di wilayah perairan kecamatan Pulau laut Barat, Pulau Laut Selatan dan Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru yang
tertuang dalam peraturan Bupati Kotabaru No 03 tahun 2006 2 Pembentukan Forum Koordinasi penangan tindak pidana di bidang perikanan
tingkat provinsi Kalimantan Selatan dengan Keputusan gubernur Kal-Sel No 188.44053KUM2007
3 Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan SDI FKKPS tahum 2004 di Mataram NTB membahas tentang pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan
yang disepakati oleh 7 tujuh DKP Provinsi Jateng, Jatim, Sulsel, Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kal bar
4 Pertemuan dalam rangka apresiasi pengelolaan SDI tentang penanganan konflik nelayan dan optimalisasi pemanfaatan SDI di wilayah perbatasan
dihadiri oleh Menteri kelautan dan perikanan dan 100 peserta yang terdiri dari anggota komisi IV DPR, pejabat eselon I dan II lingkup DKP, Komisi
Nasional Pengkajian SDI, MPN Masyarakat Perikanan Indonesia, GAPPINDO gabungan pengusaha perikanan Indonesia, ASTUN Asosiasi
Tuna Indonesia, HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Direktur Perjanjian Internasional-Departemen Luar Negeri, Direktur Kepolisian
Perairan Kepolisian RI, WALHI Wahana Lingkungan Hidup, JICA Fisheries Expert dari Japan Internasional Cooperative Agency dan
SEAFDEC Southeast Asian Fisheries Development Center Bangkok, BBPPI Balai Besar Pengembangan Penangkakapan ikan, para pakar perikanan dan
wakil dari perguruan Tinggi IPB serta Dinas kelautan dan perikanan provinsi dan kabupaten Hotel Le Grandeur Jakarta 14-16 Agustus 2007.
2 Lembaga formal lainnya
Lembaga formal yang selama ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengamanan laut seperti Polairut dan TNI AL,
dianggap besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik sosial antar nelayan, seperi pada kasus purse seine, pengambilan teripang dan kasus cantrang.
Pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan sudah mengikutsertakan lembaga formal yang ada yaitu PPNS, namun ketersediaan personilnya masih dirasakan
kurang ketersediaanya.
3 Kelembagaan non pemerintah
Kelembagaan lokal non pemerintah yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan memegang peranan penting dalam keberlanjutan
sumberdaya perikanan. Kelembagaan non pemerintah yang ikut membantu
nelayan dalam penanganan konflik di Kalimantan Selatan diantaranya Walhi Wahana Lingkungan Hidup, HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia,
AMNES Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan, INSAN Ikatan Nelayan Saijaan. Keberadaan kelembagaan non pemerintah ini selain atas inisiatif sendiri juga
merupakan perwujudan dari keinginan para nelayan itu sendiri yang peduli dan khawatir akan semakin menurunnya hasil tangkapan.
Kelembagaan non pemerintah yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di Kalimantan Selatan memang sudah ada, hal ini memperkuat posisi
dan menyeimbangkan kekuatan nelayan di Kalimantan Selatan. Pola kebiasaan masyarakat yang mencerminkan kerjasama yang sudah melembaga merupakan
dasar yang kuat untuk menerapkan pendekatan bottom-up yang dapat mempertemukan aspirasi pemanfaatan sumberdaya dan keinginan pemerintah
dengan melibatkan stakeholder. Pola kebiasaan yang umum terdapat di semua desa pesisir Kalimantan Selatan yang merupakan tradisi leluhur masyarakat
berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dalam
adat. Bagi masyarakat nelayan atau pesisir, terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan. Bahkan kemampuan sebagai warga
masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan. Keberadaan tradisi leluhur yang
bernuansa kearifan lokal merupakan stok kapital bagi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
Pengetahuan lokal indigenous knowledge merupakan varian pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan oleh suatu masyarakat dalam interaksi dengan
lingkungan sekitarnya. Pengetahuan lokal bersifat rinci, kaya dan spesifik sebagai hasil akumulasi pengalaman-pengalaman lokal yang bersifat unik. Keberadaan
kelembagaan lokal dapat dikembangkan melalui pendekatan CBRM community based fisheries management
yaitu suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan memanfaatkan berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya sambil tetap membuka diri bagi kontribusi eksternal seperti pengetahuan atau teknologi
modern.
4.5 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap
Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural, maka langkah awal yang dilakukan adalah menentukan konstruk laten dengan confirmatory
factor analysis . Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk
menguji apakah konstruk laten dari masing-masing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-masing variable observed. Model
SEM yang telah dibuat dilakukan modifikasi. Dalam suatu penelitian sering terjadi beberapa faktor tidak secara eksplisit dapat dibuat model, karena tidak
semua teori bisa dikembangkan mencapai spesifikasi model secara sempurna. Revisi model melalui suatu modifikasi dilakukan dengan melihat covarian
modification indices . Nilai modification indices MI pada covarian diharapkan
akan menurunkan nilai chi-square jika covarian dari indikator-indikator tersebut dikorelasikan. Langkah yang dilakukan yaitu dengan mengkorelasikan variabel
yang mempunyai nilai modification indices lebih besar sehingga terjadi substitusi nilai covarian ke dalam persamaan lain dengan memecah dua persamaan yang
dapat menurunkan nilai chi-square untuk memenuhi goodness of fit. Berikut ini disajikan evaluasi tingkat kecocokan keseluruhan model.
Evalusi terhadap tingkat kecocokan data dengan model yang terdiri dari 1 ukuran kecocokan absolut absolute fit measures 2 ukuran kecocokan
inkremental incremental fit mneasures 3 ukuran kecocokan parsimoni parsimonious fit measures 4 ukuran kecocokan lainnya other GOFI. Hasil
evaluasi dimaksud ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28 Evaluasi terhadap tingkat kecocokan data dengan model
Kriteria Cut off Value
Hasil Model Keterangan
Chi-Square χ
2
Probability p X
2
df GFI
AGFI CFI
NNFI RMSEA
PGFI IFI
CN Diharapkan kecil
0,05 2,00
0,90 0,90
0,90 0,90
0,08
0,60 0,90
200 129,37
0,33 1,051
0,93 0,91
0,89 0,87
0,016 0,67
0,91 234,68
Baik Baik
Baik Baik
Baik Dapat diterima
Dapat diterima Baik
Baik Baik
Baik
Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM 2009
Menilai Goodness Of Fit GOF suatu SEM secara menyeluruh overall tidak dapat dilakukan secara langsung. SEM tidak mempunyai satu uji statistik
terbaik yang dapat menjelaskan “kekuatan” prediksi model, sehingga dapat menggunakan ukuran GOF secara bersama-sama atau kombinasi. Berdasarkan
Tabel 28, ukuran kecocokan absolut menggunakan ukuran Chi-Square χ
2
, probability p
, GFI Goodness of Fit Index dan RMSEA Root Mean Square Error of Approximation
. Tujuan menguji Chi-Square adalah untuk mengetahui apakah matriks
kovarians estimasi dengan kata lain kesesuaian model yang dibangun dengan data yang tersedia, semakin kecil Chi-Square semakin baik model itu. Probability
menunjukkan kemungkinan peristiwa itu terjadi. RMSE bertujuan untuk mengetahui penyimpangan nilai parameter pada suatu model dengan matriks
kovarians populasinya. Berdasarkan evakuasi terhadap kecocokan absolut diperoleh nilai bahwa telah memenuhi syarat cut off value tidak terdapat
pelanggaran nilai kritis, dengan demikian derajat prediksi model keseluruhan model structural pengukuran sesuai dengan data
Ukuran kecocokan inkremental menggunakan ukuran NNFI Non Normed Fit Index
, CFI Comparative Fit Index, AGFI Adjusted Goodness of Fit Index dan IFI Incremental Fit Index. Nilai CFI dan NNFI berada sedikit di bawah
standar yang direkomendasikan marginal fit, namun jika dilakukan pembulatan dengan menambahkan 0,03 dan 0,01 diperoleh nilai NNFI dan CFI setara
dengan 0,90, sehingga sudah memenuhi dan tidak terdapat pelanggaran nilai kritis dan diberi keterangan dapat diterima, sementara nilai AGFI dan IFI sudah
memenuhi ukuran kecocokan inkremental. Ukuran kecocokan parsimoni yang ditunjukan oleh nilai Normed Chi Square X
2
df memenuhi kriteria bahwa model
memiliki kehematan tinggi
.
Kriteria lain dalam melengkapi uji kecocokan model ditunjukan oleh nilai CN Critical
“N” yang menunjukkan ukuran sampel mencukupi untuk digunakan, sehingga dapat dikemukakan bahwa analisis
descriptive statistic menunjukkan bahwa model dapat diterima dan memuaskan.
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana kekuatan pengaruh antar konstruk, baik pengaruh langsung, tidak
langsung, maupun pengaruh totalnya. Mencermati model sebagaimana ditujukkan
X 1
0.92
X 2
0.94
X 3
0.91
X 4
1.00
X 5
1.00
X 6
0.63
X 7
0.98
X 8
1.00
X 9
0.99
X 10
0.98
X 11
0.95
KONFLIK RESOLUSI\
OUTCOME Y1
0.88
Y2
0.83
Y3
0.65
Y4
0.97
Z1
0.54
Z2
0.82
Z3
0.98
Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016
0.35 0.41
0.59 -0.18
0.68 0.42
0.15 0.29
0.24 0.30
0.02 -0.03
0.61 0.15
-0.04 0.09
0.14 -0.23
0.59 0.48
-0.25
0.21
0.33
pada Gambar 46 dan perbandingan nilai critical ratio CR atau t-
hitung
terhadap nilai t-
tabel
akan diperoleh pola hubungan antar variabel. Jika nilai CR atau t-
hitung
lebih besar daripada t-
tabel
, maka hubungan antar variabel signifi kan. Pada nilai α
= 5, diperoleh nilai t-
tabel
sebesar 1,96 dengan hasil korelasi antar variabel pada Gambar 46 ditabulasikan pada Tabel 29.
Keterangan:
Gambar 46 Structural equation modeling yang menunjukan nilai estimasi X
1
= Ekonomi
X
2
= Aktor X
3
= Oposisi
X
4
= Isu X
5
= Nelayan X
6
= Kompetisi X
7
= Tokoh X
8
= Stok X
9
= Intertest X
10
= Peraturan X
11
= Budaya Y
1
= Litigasi Y
2
= Negosiasi Y
3
= Fasilitasi Y
4
= Aviodance Z
1
= Partisipasi Z
2
= Keberlanjutan Z
3
= Keadilan