Resolusi konflik Analisis Konflik .1 Penahapan konflik

suatu kesepakatan diantara pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membangun hubungan dan proses yang dibutuhkan dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan perikanan sehingga mempunyai basis serta legitimasi yang kuat. Mikkelsen 2001 menjelaskan pengertian pendekatan partisipatori bahwa pendekatan partisipatori harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka, dan memberikan sarana yang perlu bagi mereka dapat mengembangkan diri. Ini memerlukan perombakan dalam seluruh praktek dan pemikiran, disamping bantuan pembangunan. Partisipasi memerlukan beberapa syarat lain dari stakeholder antara lain adalah perwakilan secara demokratis, keterlibatan, kapasitas, kontribusi sesuai kemampuan dan kebutuhan, tanggung jawab, serta komunikasi dan pertukaran informasi. Terkait dengan hal ini otonomi daerah menjadi penting dalam arti untuk memodifikasi atau mengadopsi nilai kearifan lokal atau kelembagaan tradisional yang ada Zen dan Nielsen 1999. 2 Co-management Menurut Imron 2004 pengelolaan sumberdaya laut secara terpadu cooperative management dan disingkat co-management adalah suatu model pengelolaan sumberdaya yang melibatkan berbagai stakeholder yang terkait. Tujuannya selain untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan, juga untuk meminimalisasi konflik, melalui proses negosiasi diantara mereka. Hartono 2004 menyatakan pengelolaan perikanan dengan sistem ko- manajemen adalah suatu sistem pengelolaan perikanan dimana terjadi pembagian tanggung jawab yang bersifat adaptif antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan stakeholders Tabel 5. Lenih lanjut Hartono 2004 menyatakan bahwa untuk mengawali rezim ko-manajemen yaitu dengan mengorganisasikan masyarakat. Agar dapat berpartisipasi dalam ko-manajemen, unsur-unsur komunitas terkait dalam pengelolaan perlu membentuk organisasi sehingga dapat dicapai suatu kesepakatan tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke depan dalam pengelolaan secara bersama ini. Keterlibatan masyarakat secara efektif di dalam ko-manajemen memerlukan organisasi anggotanya. Organisasi masyarakat pantai yang kuat merupakan pendorong bagi keberhasilan pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas. Komponen-komponen penting dalam pengorganisasian masyarakat 1 Persiapan, mencakup berbagai kegiatan antara lain; menetapkan kelompok inti pemimpin, menganalisis kondisi area, melakukan diskusi untuk menetapkan visi organisasi, menetapkan misi organisasi. 2 Pengembangan kepemimpinan. Dalam komunitas organisasi, pemimpin biasanya berkembang diantara komunitas, dan umumnya menjadi panutan anggotanya. Tabel 5 Pembagian peran dalam ko-manajemen antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan Hartono 2004 Aktivitas pengelolaan Lembaga Pemerintah instansi pemerintah yang menangani sektor perikanan Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan 1 Membuat kebijakan perikanan, kebijakan ko-manajemen dan rencana pengelolaan 2 Menyediakan SDM dan finansial untuk mendukung rencana pengelolaan 3 Membantu memastikan perikanan mendapat pertimbangan yang adil dalam aktivitas perencanaan dan pengambilan keputusan multi sektor Tabel 5 lanjutan Aktivitas pengelolaan Lembaga Pemerintah instansi pemerintah yang menangani sektor perikanan Merumuskan dan mengkoordinasi- kan rencana pengelolaan lokal 1 Memastikan aturan, sasaran rencana pengelolaan lokal 2 Mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal dan menyediakan konsultasi tehnis dan informasi Menerapkan rencana pengelolaan lokal 1 Menegakkan peraturanketentuan seperti pembatasan akses dan lisensi 2 Mendorong berbagi pengetahuan dan pengalaman 3 Memantau aktivitas pengelolaan lokal 4 Memperhatikan dan menyelesaikan konflik Mengevaluasi rencana pengelolaan lokal 1 Mengevaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan lokal apakah sesuai tujuan 2 Mendorong proses berbagi pengetahuan dan informasi Mengevaluasi kebijakan pengembangan nasional 1 Mengevaluasi penerapan kebijakan dan rencana pengelolaan lokal 2 Mengevaluasi penerapan kebijakan ko-manajemen Tabel 5 lanjutan Aktivitas pengelolaan Lembaga Pengelola Lokal kelompok nelayan Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan 1 Membantu memastikan diketahuinya nilai perikanan sebagai mata pencaharian 2 Membantu mengarahkan kebijakan dan rencana pengelolaan Merumuskan dan mengkoordinasi- kan rencana pengelolaan lokal 1 Menetapkan sasaran dan aturan rencana pengelolaan lokal 2 Berbagi pengetahuan lokal dan saran-saran Menerapkan rencana pengelolaan lokal 1 Menegakkan peraturan ketentuan seperti pembatasan akses dan lisensi 2 Mengelola rencana pengelolaan 3 Membantu menyelesaikan konflik Mengevaluasi rencana pengelolaan lokal 1 Mengevaluasi rencana pengelolaan lokal agar memenuhi standard 2 Berbagi informasi dengan unit pengelolaan lainnya Aktivitas pengelolaan Lembaga Perantara misalnya LIPI, LSM, Universitas Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan 1 Membantu sektor perikanan agar mendapat pertimbangan yang adil dalam perencanaan dan pengambilan keputusan multi sektor 2 Membantu mengarahkan kebijakan rencana pengelolaan Merumuskan dan mengkoordinasi- kan rencana pengelolaan lokal 1 Membantu mendapatkan sasaran dan aturan rencana pengelolaan lokal 2 Mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal 3 Menyediakan konsultasi teknis dan informasi Aktivitas pengelolaan Lembaga Perantara misalnya LIPI, LSM, Universitas Menerapkan rencana pengelolaan lokal 1 Mendorong berbagi pengalaman dan pengetahuan lokal 2 Membantu memantau penerapan rencana dan aktivitas pengelolaan lokal 3 Memastikan partisipasi dalam pemantauan memenuhi standard 4 Membantu menyelesaikan konflik Mengevaluasi rencana pengelolaan lokal 1 Mengevaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan lokal apakah mencapai sasaran 2 Mendukung berbagi informasi dan pengetahuan Mengevaluasi kebijakan pengembangan nasional 1 Mengevaluasi kebijakan dan rencana pengelolaan lokal 2 Mengevaluasi penerapan kebijakan ko-manajemen Sumber: Hartono 2004 Baland dan Platteau 1996 diacu dalam Imron 2004 menandaskan bahwa pengelolaan sumberdaya laut dengan pendekatan co-management itu penting dilakukan, mengingat kegagalan praktik pengelolaan yang ada, baik yang bertumpu pada kebijakan pemerintah, maupun yang bertumpu pada masyarakat, karena masing-masing memiliki kelemahan yang mendasar. Pada pengelolaan yang bertumpu pada pemerintah, kelemahannya antara lain adalah kurangnya aparat yang mengawasi pelaksanaan kebijakan yang digariskan, sehingga banyak pelanggaran yang tidak terdeteksi. Apalagi jika negara memiliki wilayah laut yang luas. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk mendukung kebijakan juga sangat besar, terutama untuk mengumpulkan data yang akurat tentang kondisi sumberdaya. Adapun pada kebijakan yang bertumpu pada masyarakat, kelemahannya antara lain adalah mudah berubahnya sistem pengelolaan, baik karena perubahan jumlah penduduk, maupun karena permintaan pasar yang tinggi terhadap sumberdaya. Perubahan-perubahan tersebut dapat mendorong masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya secara besar, sehingga aspek kelestarian menjadi terabaikan. Menurut Pomeroy dan Berkes 1977 terdapat sepuluh tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit partsipasi masayarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co- management maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: 1 Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan kebijakan; 2 Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah; 3 Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama; 4 Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi; 5 Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi; 6 Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran; 7 Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama; 8 Masyarakat dan pemerintah bermitra; 9 Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah; 10 Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukunng oleh pemerintah. Penerapan ko-manajemen akan berbeda-beda pada setiap daerah karena sangat bergantung pada kondisi lokasi yang spesifik Pomeroy dan Williams 1994 dan sosial budaya masyarakatnya, oleh karena itu ko-manajemen harus lebih dipandang sebagai suatu alternatif pengelolaan yang sesuai untuk kondisi lokasi tertentu. Namun, bagaimanapun bentuk ko-manajemen akan selalu mengacu pada kelima hirarki ko-manajemen sederhana seperti yang diusulkan oleh Zen dan Nielsen 1966 yaitu mulai dari instructive, consultative, cooperative, advisory hingga informatif. Lebih lanjut Zen and Nielsen 1966 menjelaskan bahwa proses ko- manajemen instruktif adalah pertukaran informasi antara pemerintah dan pengguna sumberdaya sangat minim kemudian meningkat menjadi konsultasi namun keputusan tetap pada pemerintah yakni ko-manajemen konsultatif. Posisi setara ada pada ko-manajemen koperatif yakni pemerintah dan stakeholder dengan mitra dalam pengambilan keputusan. Stakeholder memberi advis pada pemerintah mengenai keputusan yang diambil dan pemerintah menyokongnya merupakan ko-manajemen advisori. Pemerintah mendelegasikan keputusan kepada stakeholder pada ko-manajemen informatif. Proses ko-manajemen merupakan proses dinamis sehingga tidak ada ketentuan untuk mulai dari ko- manajemen instruktif misalnya harus berakhir dengan ko-manajemen informatif. Sebagai salah satu elemen sentral dari ko-manajemen adalah pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis kemasyarakatan PSPBM. PSPBM digunakan sebagai langkah awal pemberdayaan masyarakat sesuai dengan isu lokal Pomeroy 1988. PSPBM adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang terpusat pada masyarakat, berdasarkan budaya dan tradisinya Jenifer 1995. Basis pengambilan keputusan dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan ada pada masyarakat setempat. Kepada masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab untuk mengelola sumberdaya sendiri, menentukan kebutuhannya, sasaran aspirasi, serta membuat keputusan-keputusan yang menyangkut kesejahteraannya. Penduduk setempat memiliki akses dan mengendalikan sumberdaya termasuk pegetahuan, keahlian serta jenis teknologi yang dibutuhkan dalam rangka mengelola secara produktif dan berkelanjutan Kartikasari 1995. Penelitian Budiono 2005 menyatakan bahwa pada umumnya model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dirancang dengan menggunakan empat komponen dasar, yaitu: 1 perundangan dan regulasi; 2 peran serta organisasi masyarakat pantai; 3 infrastruktur dasar dan; 4 kondisi sosial ekonomi. Agar pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan perangkat hukum yang mampu memayungi pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kesuksesan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang disebabkan adanya perangkat hukum. Kerangka hukum yang memadai merupakan payung bagi pengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan serta sekaligus mampu memberdayakan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan begitu masyarakat diberi jaminan atas hak pengelolaannya Uchida et al. 2004 Pemimpin yang efektif menurut Pomeroy 2005 antara lain; 1 memiliki jiwa pionir, mencari kesempatan, melakukan percobaan dan mengambil resiko; 2 mengilhami visi organisasi dan memimpikan masa depan; 3 mempraktekkan pengetahuan yang dimiliki dan memberikan contoh apa yang diajarkan; 4 melatih dan dapat menghargai prestasi anggota organisasi; 5 terbuka untuk memerima kritikan; 6 memobilisasi kelompok-kelompok organisasi mencakup kegiatan misalnya mencari dukungan masyarakat, membangun perhimpunan dan jaringan kerjasama; 7 evaluasi digunakan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan yakni suatu proses pengumpulan informasi tentang organisasi dan pengelolaannya. Keanggotaan organisasi sebaiknya dilibatkan dalam melakukan evaluasi dan monitoring. Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur dasar maka dibutuhkan pula penguatan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, serta penguatan organisasi masyarakat desa. Masyarakat dan kolaborasinya adalah faktor kunci ke arah suksesnya implementasi CBFM. Tokrisna et al. 2002 menyebutkan bahwa kolaborasi dapat ditingkatkan jika masyarakat merasakan adanya manfaat benefit dari partisipasi mereka dalam CBFMCM. Manfaat tersebut seyogyanya harus dapat dilihat visible, cepat dan proporsional sehingga tertarik untuk berkolaborasi. Pada level yang paling sederhana perencanaan partisipatif menciptakan kesempatan kepada stakeholder yang memiliki kepentingan langsung pada suatu wilayah perencanaan untuk memberikan kontribusi informasi kepada perencana. Pada level yang lebih tinggi perencanaan partisipatif menekankan kekuatan pada stakeholder untuk mengendalikan proses perencanaan dan membuat keputusan kebijakan penting. Dalam pendekatan ini sekelompok stakeholder mewakili seluruh kepentingan diwilayah perencanaan telah dibentuk melalui dialog yang teratur, pertemuan- pertemuan dimana anggota dapat saling berbagi pengalaman, diskusi, mengajukan keberatan dan lain sebagainya Soetrisno 1995. Perencanaan partisipatif dapat melibatkan setiap stakeholder yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung Takeda 2001. Community Based Fisheries ManagementComunity Management CBFMCM cenderung dapat berhasil di kalangan masyarakat nelayan kecil artisanal fisheries dari pada di daerah yang sumberdaya perikanannya dikelola dengan skala komersial. Nelayan kecil adalah nelayan yang sumber pendapatannya sebagian besar dari perikanan. Jika ketersediaan sumberdaya perikanan semakin terbatas maka pendapatan mereka juga akan terganggu Tokrisna et al. 2002 diacu dalam Budiono 2005. Prekondisi yang mendukung pengelolaan konflik dan merupakan landasan pijakan untuk bersikap dan berperilaku secara bertanggung jawab terhadap operasi penangkapan ikan yang dijalankan meliputi landasan moral, landasan normatif dan landasan konstitusional 1 Landasan moral Landasan moral ini merupakan landasan hakiki yang harus dimiliki oleh setiap perilaku perikanan tangkap. Landasan moral bersumber pada rasio pemikiran, perasaan, keyakinan agama dan kepercayaan secara umum. Misalnya setiap orang percaya pencurian terumbu karang yang akan melenyapkan sumberdaya ikan karang perbuatan yang salah. Penangkapan ikan yang melebihi JTB dan potensi lestarinya juga merupakan perbuatan sikap dan perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan terhadap generasi yang akan datang. 2 Landasan normatif Landasan normatif ini didasarkan pada aturan adat istiadat atau konsensus masyarakat setempat yang pada umumnya tidak tertulis dan berbeda- beda aturannya antara satu tempat dan tempat yang lainnya. 3 Landasan konstitusional Landasan konstitusional merupakan landasan resmi legal yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik bersifat lokal, nasional, regional maupun institusional Landasan konstitusional berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yang mengikat setiap pelaku perikanan tangkap Pengusaha, ABK dan Nelayan. Landasan ini berisi perintah, larangan dan sangsi-sangsi bagi para pelanggarnya. Intensitas pengaturan di bidang perikanan merupakan wujud dinamika pembentukan regulasi terhadap kegiatan perikanan. Intervensi regulasi di bidang perikanan pada umumnya meliputi perlindungan terhadap nelayan kecil guna mencegah terjadinya konflik dengan nelayan komersial. Selain dari itu telah pula dikeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kemampuan reproduksi jenis-jenis ikan tertentu. Landasan Konstitusional yang berlaku di Indonesia antara lain meliputi: 1 Desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya kelautan dan Perikanan. Undang-undang No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan keweanangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai sampai sejauh 1 dari 2 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut teritorial dan perairan kepulauan. Dalam bidang perizinan, kewenangan Pemerintah Daerah untuk perizinan diberikan kepada provinsi untuk kapal 10-30 GT dan daya mesin 30-90 PK sedangkan KabupatenKota untuk kapal 10 GT dan daya mesin 30 PK. Juga telah dilaksanakan perbantuan proses pelayanan perizinan pusat oleh Pemerintah Daerah dalam hal perpanjangan izin.