Ruang Lingkup dan Kebaruan

sumberdaya alam. Konflik ini seringkali timbul karena adanya perbedaan pemanfaatan sumberdaya atau perbedaan dalam cara pengelolaannya. Perbedaan pendapat juga terjadi ketika masing-masing memiliki kepentingan yang saling tidak mendukung, atau ketika prioritas dari beberapa kelompok pengguna tidak terwakili dalam kebijakan, program dan proyek yang ada. Bentuk dan intensitas konflik berbeda dalam tempat dan waktu. Konflik muncul dalam berbagai bentuk, dari mulai pelanggaran aturan hingga tindakan sabotase dan kekerasan. Kadangkala konflik tetap terselubung dan bersifat laten Hart dan Castro 2000. Sebagian besar masyarakat pesisir dan nelayan bergantung pada perikanan tangkap. Dengan demikian, permasalahan konflik yang dihadapi masyarakat pesisir dan nelayan dapat dikaji melalui kerangka analisis konflik dan paradigma perikanan. Akar konflik terjadi didasarkan pada perbedaan sistematis dalam hal prioritas yang dilakukan oleh berbagai aktor perikanan. Secara umum, kompleksitas debat kebijakan perikanan muncul akibat perbedaan world view perikanan. Tiap paradigma menekankan pada satu dari tiga kelas utama dari sasaran kebijakan yaitu konservasi, rasionalisasi, atau paradigma sosialkomunitas Charles 1992. Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan Sasaran Kebijakan Paradigma Konservasipengelolaan sumberdaya Konservasi Kinerja ekonomiproduktivitas Rasionalisasi Kesejahteraan masyarakatkeadilan Sosialkomunitas Sumber : Charles 1992 Paradigma konservasi didasarkan pada anggapan bahwa tugas utama pengelolaan perikanan adalah mengurus ikan dan menyelamatkan stok ikan. Nelayan dipandang kurang lebih sebagai bagian dari predator yang bertindak untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini menghasilkan usaha-usaha penelitian biologi yang ditujukan untuk memastikan agar jumlah penangkapan berada dalam kapasitas keberlanjutan dari stok ikan. Paradigma ini dan penekanan pada pemeliharaan stok ikan dan pengelolaan berbasis biologi, serta didasarkan pada pemahaman bahwa penghidupan nelayan dan industri perikanan bergantung pada stok ikan. Paradigma rasionalisasi menekankan pada sasaran pencapaian efisiensi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dalam perikanan. Paradigma ini memiliki asumsi bahwa masyarakat harus memaksimalkan rente perikanan, dalam arti manfaat ekonomi dari perikanan harus lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan untuk menangkap ikan. Perikanan yang belum mencapai efisiensi ekonomi dan memaksimumkan rente yang dirasionalisasi antara lain melalui pengurangan jumlah nelayan, karena nelayan dianggap sebagai suatu perusahaan yang memaksimumkan keuntungan tanpa memperdulikan keberlanjutan perikanan dilihat dari kinerja ekonomi. Paradigma sosialkomunitas berfokus pada kesejahteraan masyarakat, keadilan distribusi, dan manfaat sosial dan budaya perikanan lainnya. Perikanan diberikan pada nelayan sebagai komunitas pesisir. Pandangan sosialkomunitas biasa didiskusikan dalam ilmu sosial. Terdapat elemen advokasi yang kuat pada paradigma ini, yang berusaha melindungi nelayan kecil yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi. Paradigma ini biasanya didukung oleh serikat nelayan, koperasi nelayan dan orang-orang yang tinggal atau berhubungan dengan masyarakat nelayan. Ketiga paradigma ini dapat digambarkan pada ’segitiga paradigma’ Gambar 2 yaitu sebuah kerangka terintegrasi dimana debat kebijakan perikanan dapat dianalisis. Konflik perikanan dapat dianalisis sebagai refleksi tarik-menarik antara tepi-tepi segitiga, dimana proposal kebijakan yang ’ekstrim’ berada relatif dekat dengan salah satu tepi, dan usaha resolusi konflik biasanya ditujukan untuk mencapai ’bagian dalam’ segitiga. Studi kasus terhadap berbagai konflik perikanan yang terjadi di banyak negara menunjukkan bahwa perikanan yang bebas dari konflik adalah perikanan yang telah mencapai keseimbangan kebijakan, yang menjamin kondisi perikanan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi dan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut dari segitiga paradigma, namun lebih mengandung keseimbangan antara segitiga paradigma perikanan, yaitu pada bagian dalam segitiga paradigma Muhammad 2006. Paradigma konservasi Kebijakan yang Ekstrim di sudut segitiga Kebijakan seimbang Paradigma di dalam segitiga Paradigma Rasionalisasi sosialkomunitas Gambar 2 Keseimbangan kebijakan terhadap konflik perikanan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut Sumber : Charles 1992

2.3.2 Prinsip dasar konflik

Keadaan dimana keseimbangan hidup masyarakat terusik akibat terjadinya perebutan status sumberdaya alam atau perebutan kekuasaan, situasi dimana ada dua kelompok sosial atau lebih memiliki tujuan yang bertentangan, dan dua pihak tersebut juga memiliki sarana yang tidak sejalan, sehingga menyebabkan diantara mereka terjadi ketidaksesuaian, ketidakharmonisan, dan bahkan pertentangan yang menyebabkan pertengkaran. Itulah prinsip dasar konflik Frank 2003. Santoso 2002 menyebutkan bahwa konflik dalam pengertian kolektif kadang-kadang didefinisikan sebagai suatu kondisi, kadang-kadang sebagai suatu proses, dan kadang-kadang sebagai suatu peristiwa. Galtung mendefinisikannya sebagai suatu peristiwa: Suatu aksi-sistem dikatakan sedang mengalami konflik bila sistem memiliki dua atau lebih tujuan yang tidak sama. “Coser mula-mula mendefinisikannya sebagai suatu proses, “suatu perjuangan terhadap nilai dan tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumberdaya dimana tujuan saingannya adalah menawarkan, melukai dan menghilangkan rivalnya.” Dalam pemahaman konvensional, konflik dianggap sebagai suatu peristiwa, pertikaian dengan kekerasan atau tanpa kekerasan antara dua kelompok. Batasan teori konflik lain adalah perbedaan yang umumnya dibuat para teoritikus konflik antara apa yang disebut konflik realistis dan non realistis Coser, atau konflik rasional dan non rasional Schelling atau perilaku destruktif dan perilaku konflik Galtung. Esensi perbedaan ini terletak antara tindakan yang menjadi alat penanaman nilai yang diperjuangkan dan tindakan destruktif demi kepentingan mereka sendiri. Malik et al. 2003 mengungkapkan bahwa secara psikologis, konflik merupakan refleksi dari kondisi psikis manusia dalam rangka interaksi manusia, maka manusia pasti berkonflik. Konflik selalu ada di alam maupun dalam kehidupan manusia sebagai individu. Walaupun demikian, konflik tidak selalu berakibat negatif. Secara positif konflik dapat mengubah, jika dikelola justru akan menciptakan perubahan. Konflik dapat pula mendorong manusia melakukan mobilisasi sumberdaya menggunakan cara-cara baru. Konflik juga membawa manusia pada klasifikasi pilihan-pilihan kekuatan untuk mencapai penyelesaian. Dari situ terlihat bahwa konflik selalu menyangkut dua sisi, yakni ancaman atau bahaya dan peluang atau kesempatan. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif Kartikasari et al. 2000. Konflik memiliki pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak Golledge dan Stimson 1997 dan konflik sering terjadi ketika tujuan individu, kelompok atau masyarakat tidak sejalan. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu memiliki kepentingan melalui persepsi dunia yang diinginkannya, dimana pada saat yang bersamaan individu tadi berusaha memelihara stabilitas, ketahanan dan konsistensi dari gambaran dunia yang didapat dari persepsi tersebut. Kondisi lingkungan yang dibangun build enviroment merupakan ekspresi dan interpretasi ruang yang dilakukan oleh manusia. Keputusan tersebut biasanya sangat dipengaruhi oleh cara manusia memandang dan mengevaluasi sistem keruangan tersebut Gunawan 2000. Pruit dan Rubin 1986 menyatakan bahwa secara singkat istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Dalam konteks selanjutnya makna konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan perceived deivergence of interest, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kepentingan dimaksud adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral, dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat