masyarakat yang berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Partisipasi didefinisikan secara umum dalam pengelolaan perikanan adalah suatu
proses keterlibatan individu dan masyarakat secara aktif dalam semua tahapan pengelolaan perikanan, dalam arti tujuan untuk mendorong hak menyampaikan
pendapat dan menjamin kebijakan yang mencerminkan aspirasi masyarakat. Partisipasi diartikan juga sebagai suatu kesepakatan diantara pihak yang
berkepentingan yakni pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membangun hubungan dan proses yang dibutuhkan dalam merencanakan dan melaksanakan
pengelolaan perikanan sehingga mempunyai basis serta legitimasi yang kuat. Berkaitan dengan upaya meningkatkan peranserta masyarakat dalam resolusi
konflik, merujuk pada pengalaman Jepang, Thailan, Philipina dan beberapa negara lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi
masyarakat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan Hanna 1980. Pada umumnya negara tersebut
menggunakan model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dan menghormati nilai budaya masyarakat.
Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu
keinginan rakyat, suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dan kehidupan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh
proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga berakhir dengan penilaian kebijakan Abidin 2004
Mengingat kegiatan pemanfaatan sumberdaya produksi ikan terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan, maka semua kebijakan yang diterapkan
mempertimbangkan keberadaan sumberdaya dalam jangka waktu relatif lama. Ketentuan umum UU No.9 tahun 1985 tentang perikanan, bahwa pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah semua upaya termasuk kebijakan dan non-kebijakan yang bertujuan agar sumberdaya itu dapat dimanfaatkan secara optimal dan
berlangsung terus menerus. Undang-undang No. 22 tahun 1999, kemudian membuka peluang yang lebih besar bagi daerah Kabupaten dan Kota, guna
mengoptimalkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara sinergis, mengatur memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi sumberdaya alam bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjamin fungsi keseimbangan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang melibatkan nelayan, maka faktor kunci yang perlu dipertimbangkan adalah
informasi yang akurat mengenai resolusi konflik, ketepatan, bentuk dukungan dan adaptasi disamping kondisi sumberdaya, karena menurut Dietz et al. 2003 begitu
prinsip-prinsip pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dipahami dengan baik, maka upaya-upaya untuk merubah perilaku pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang tidak bertanggung jawab dapat dirubah
5.3.4 Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan
Kalimantan Selatan
Melalui kuantifikasi terhadap model pengelolaan konflik, maka penyelesaian konflik dapat lebih efektif dan efesien dilakukan karena keyakinan
dan kepercayaan terhadap sasaran prioritas penangan konflik dapat segera dilakukan. Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan
Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Gambar 50. Pada model tersebut terlihat bahwa pengelolaan konflik perikanan tangkap harus dilakukan oleh stakeholder
melalui kelembagaan konflik berbasis komunitas. Langkah awal yang dilakukan adalah stakeholder harus mampu mendefinisikan konflik dengan jelas, pihak-
pihak yang terlibat, permasalahan tipologi dan sumber konflik yang terakumulasi sebagai faktor penyebab konflik. Melalui analisis SEM diperoleh
daftar prioritas indikator faktor penyebab konflik yang harus segera ditangani yaitu: kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor dan budaya. Langkah selanjutnya
diikuti dengan kemampuan menentukan teknik resolusi konflik yang tepat digunakan sesuai dengan jenis konflik. Mekanisme yang sesuai dan efektif
digunakan sebagai resolusi konflik yaitu melalui ADR Alternative Dispute Resolution
yang mengedepankan konsensus dan kompromi dengan teknik fasilitasi atau negosiasi. Setelah kedua langkah tersebut dilakukan maka proses
resolusi konflik dapat dilakukan dengan benar. Dengan demikian melalui sebuah kelembagaan ADR maka kesepakatan yang diperoleh dalam menyelesaikan
konflik alat tangkap kasus: purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, seser modern, bagan apung, konflik daerah tangkap pengavlingan laut
dilakukan lebih efektif. Dengan model tersebut pengelolaan konflik perikanan tangkap yang akan didukung dengan partisipasi penuh oleh stakeholder atau
partisipasi masyarakat. Kelembagaan pengelolaan konflik merupakan wadah yang dapat merubah dan menciptakan perilaku pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang bertanggung jawab.
Kelembagaan
Gambar 50 Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
KONFLIK Kompetisi
Faktor penyebab konflik
Oposisi Ekonomi
Aktor Budaya
RESOLUSI Fasilitasi
Negosiasi
OUTCOME Partisipasi
masyarakat
Keberlanjutan Perikanan
tangkap
KESEPAKATAN
FORUM
Umpa n ba
lik
OUT PUT
ADR
Pemerintah
Non Pemerintah
Tradisional
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari 1 yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah
tangkap disebabkan oleh pengkaplingan laut dan pada kasus purse seine disebabkan oleh adanya klaim jalur penangkapan; 2 mekanisme pengelolaan
terjadi pada kasus purse seine disebabkan implementasi perizinan oleh KKP, kasus lampara dasar dan kasus gillnet disebabkan pelanggaran jalur penangkapan,
kasus penggunaan bom disebabkan oleh pelanggaran Undang-Undang 3 alokasi internal terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar,
bagan apung, seser modern dan cantrang disebabkan adanya perbedaan kualitas dan kapasitas teknologi penangkapan.
Ditinjau dari sumber konflik terdiri dari 1 perbedaan nilai terjadi karena di satu sisi merupakan pengembangan teknologi seperti penggunaan lampu pada
purse seine, penggunaan papan layang pada lampara dasar, bagan apung dan seser modern namun menurut nelayan lain akibat pengembangan teknologi
menyebabkan over fishing; 2 masalah hubungan terjadi karena tidak adanya komunikasi terhadap masuknya purse seine di wilayah perairan Kalsel dan
kurangnya komunikasi terhadap pembagian wilayah tangkap yang disetujui oleh DKP Kabupaten; 3 faktor struktural terjadi karena implikasi kebijakan
pemerintah terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, gillnet dan penggunaan bom 4 perbedaan kepentingan terjadi karena adanya
penggunaan alat tangkap yang berorientasi ekspor pada kasus pengambilan teripang dan cantrang sementara nelayan local tidak menggunakan alat tangkap
tersebut. Lembaga yang berperan pada saat melakukan penyelesaian konflik, terdiri
dari lembaga pemerintah sebagai administrator, regulator dan fasilitator; lembaga non pemerintah sebagai inisiator, pelaksana dan kontrol sosial; dan lembaga
tradisonal sebagai wadah silaturahmi dan elemen perekat masyarakat. Pada tingkat desa telah dibentuk Pokmaswas yang merupakan pelaksana di tingkat
lapangan dengan keanggotaan sukarela yang terdiri dari masyarakat pesisir dan
LSM. Kelembagaan Pokmaswas ini bersinergi dengan kelembagaan lokal dan kelembagaan lainya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi antar
kelompok masyarakat. Dibentuknya Pokmaswas sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat,
sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Hai ini memberikan peluang tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat lokal. Sejauh ini kelembagaan yang
berperan dalam pengelolaan konflik telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang yang salah satunya adalah membentuk
kelompok kerja POKJA penanganan konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat Pusat, Provinsi sampai dengan Kabupaten dan menyusun pedoman umum
penanganan konflik nelayan antar daerah melalui mekanisme Alternative Dispute resolution
ADR. Inti dari ADR adalah membangun konsensus atau kompromi sesuai dengnan pendekatan musyawarah dan mufakat yang bersumber dari
masyarakat. Peran kelembagaan tersebut akan dikembangkan dan mendapat legitimasi, sehingga kesepakatan dapat diperoleh melalui forum yang dapat
dipertanggung jawabkan, bersifat mengikat dan memiliki kekuatan hukum Dalam model pengelolaan konflik, faktor penyebab konflik kompetisi,
oposisi, ekonomi, aktor, dan budaya secara seri berpengaruh terhadap resolusi konflik melalui fasilitasi negosiasi dalam forum ADR, yang selanjutnya
menentukan outcome partisipasi dan keberlanjutan perikanan tangkap. Faktor penyebab konflik berperan dalam menumbuhkan atau meredam
konflik; 1 kompetisi merupakan faktor tertinggi sebagai factor penyebab konflik, perbedaan tingkat teknologi penangkapan sangat berpeluang pada persaingan
antara unit penangkapan; 2 oposisi merupakan factor penyebab konflik, perbedaan strata dari penggunaan teknologi penangkapan Teknologi tinggi,
menengah dan tradisional dan adanya perhatian pemerintah terhadap salah satu kelompok nelayan seperti pembagian wilayah penangkapan dan pemberian izin
terhadap penggunaan purse seine dan pengambilan teripang memunculkan pihak oposisi yang merasa dirugikan terhadap adanya kebijakan tersebut; 3 Ekonomi
merupakan factor penyebab konflik, persepsi terhadap kesenjangan ekonomi telah mengakar di wilayah pesisir Kalsel karena perbedaan teknologi yang
digunakan; 4 aktor merupakan factor penyebab konflik, persepsi yang terbentuk