Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

ikan yang melebihi JTB dan potensi lestarinya juga merupakan perbuatan sikap dan perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan terhadap generasi yang akan datang. 2 Landasan normatif Landasan normatif ini didasarkan pada aturan adat istiadat atau konsensus masyarakat setempat yang pada umumnya tidak tertulis dan berbeda- beda aturannya antara satu tempat dan tempat yang lainnya. 3 Landasan konstitusional Landasan konstitusional merupakan landasan resmi legal yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik bersifat lokal, nasional, regional maupun institusional Landasan konstitusional berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yang mengikat setiap pelaku perikanan tangkap Pengusaha, ABK dan Nelayan. Landasan ini berisi perintah, larangan dan sangsi-sangsi bagi para pelanggarnya. Intensitas pengaturan di bidang perikanan merupakan wujud dinamika pembentukan regulasi terhadap kegiatan perikanan. Intervensi regulasi di bidang perikanan pada umumnya meliputi perlindungan terhadap nelayan kecil guna mencegah terjadinya konflik dengan nelayan komersial. Selain dari itu telah pula dikeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kemampuan reproduksi jenis-jenis ikan tertentu. Landasan Konstitusional yang berlaku di Indonesia antara lain meliputi: 1 Desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya kelautan dan Perikanan. Undang-undang No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan keweanangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai sampai sejauh 1 dari 2 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut teritorial dan perairan kepulauan. Dalam bidang perizinan, kewenangan Pemerintah Daerah untuk perizinan diberikan kepada provinsi untuk kapal 10-30 GT dan daya mesin 30-90 PK sedangkan KabupatenKota untuk kapal 10 GT dan daya mesin 30 PK. Juga telah dilaksanakan perbantuan proses pelayanan perizinan pusat oleh Pemerintah Daerah dalam hal perpanjangan izin. 2 Larangan penggunaan alat penangkap jenis trawl 1 Kepres Nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl, bertujuanuntuk melindungi kelestarian sumberdaya selain untuk melindungi kepentingan nelayan kecil; 2 Keppres Nomor 85 tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang; 3 SK. Mentan Nomor 503 tahun 1980 mengenai langkah-langkah penghapusan jaring trawl tahap I 4 SK. Dirjen Perikanan Nomor 340 tahun 1997 mengenai penjabaran Teknis dari SK Mentri Pertanian No. 503 tahun 1980, khususnya mengenai petunjuk teknis penggunaan alat-alat penangkap ikan menyerupai trawl. 3 Ketentuan tentang ukuran mata jaring 1 SK Mentan No. 1231975 mengatur ukuran mata jaring purse seine yang digunakan dalam penangkapan jenis ikan pelagis adalah 60 mm; 2 SK Mentan No. 197 tahun 1996 mengatur ukuran panjang maksimum jaring jenis gill net yaitu 5 km; 3 SK Mentri Pertanian RI No. 123KptsUm31975 mengatur lembar mata jaring jenis purse seine untuk penangkapan ikan kembung, layang, selar, lemuru dan ikan-ikan pelagis sejenisnya, melarang purse seine yang menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inchi pada bagian sayap dan kurang dari 1 inchi pada bagian kantong. 4 Pengaturan jalur penangkapan ikan 1 SK Mentan No. 6071976 pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi nelayan kecil sehingga kapal-kapal ukuran menengah keatas harus beroperasi lebih jauh sehingga tidak mengganggu nelayan kecil dan tidak menimbulkan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan. 2 SK. Mentan Pertanian RI No. 392KptsIK. 120499 mengatur jalur- jalur penangkapan ikan dan melarang alat-alat tangkap dan kapal-kapal perikanan dari jalur penangkapan ikan lebih rendah, tetapi sebaiknya dari jalur penangkapan ikan yang lebih rendah boleh memasuki jalur penangkapan ikan yang lebih tinggi lebih jauh lagi dari garis pantai. Yang dimaksud dengan jalur penangkapan ikan adalah 1 Jalur Penangkapan Ikan I a : 0-3 mil laut 2 Jalur Penangkapan Ikan I b : 3-6 mil laut 3 Jalur Penangkapan Ikan II : 6-12 mil laut 4Jalur Penangkapan Ikan III : 12-200 mil laut atau batas terluar dari ZEE Selanjutnya peraturan ini melarang penggunaan jaring jenis gillnet dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm dan pukat cincin purse seine untuk penangkapan tunacakalang yang berukuran mata jaring kurang dari 75 mm, kecuali untuk pukat teri dan jaring angkat lift net. Selain itu juga melarang panjang total rangkaian gillnet lebih dari 1.000 meter beroperasi di jalur penangkapn ikan I b 3-6 mil laut dan lebih dari 2.500 meter beroperasi di jalur penangkapan Ikan II 6-12 mil laut 5 Pengawasan Penangkapan Ikan 1 Kep. Menteri KP No. Kep. 02MEN2002 menetapkan pedoman pelaksanaan pengawasan penangkapan ikan. Pengawasan perikanan bidang penangkapan meliputi pengawasan terhadap penangkapan ikan dan atau pengangkutan ikan. Prinsip pengawasan bidang penangkapan terdiri atas pemantauan, pemeriksaan, pengamatan dan atau penyidikan. 2 Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor 14DJ-PSDKP2002 perihal tata cara pengawasan penangkapan dan atau pengangkutan ikan adalah: 1 Pelaksanaan pemeriksaan dokumen perizinan usaha perikanan; 2 Pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan; 3 Pelaksanaan pemeriksaan alat penangkapan ikan; 4 Pelaksanaan pemeriksaan alat bantu penangkapan ikan; 5 Pelaksanaan pemeriksaan daerah operasi penangkapan ikan; 6 Pelaksanaan pemeriksaan nakhoda dan anak buah kapal; 7 Pelaksanaan pemeriksaan suaka perikanan, jenis-jenis ikan yang dilindungi dan lingkungan sumberdaya ikan yang sedang direhabilitasi; 8 Pelaksanaan pemeriksaan penerapan log book perikanan LBP dan Lembar Laik Operasional LLO kapal perkanan; dan 9 Hasil pemeriksaan dan pengambilan keputusan. 6 UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan 1 Pasal 3 huruf i, tujuan pelaksanaan pengawasan perikanan adalah untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dilakukan secara lestari dan berkesinambungan. 2 pasal 67, masyarakat dapat diikutsertakan dalam pengawasan perikanan. Kelompok Masyarakat Pengawas Pokwasmas. 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan. Pokok-pokok isinya antara lain: 1 Larangan melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya 2 Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia atau badan Hukum Indonesia, kecuali dalam bidang penangkapan sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan Internasioanal atau hukum internasional yang berlaku. 3 Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki Ijin Usaha Perikanan IUP, kecuali nelayan atau perorangan lainnya yang sifatnya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 4 Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan, kecuali nelayan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 8 Pengaturan Usaha Perikanan 1 PP No. 15 tahun 1990 junct. PP No. 46 tahun 1993 junct. PP 1412000 junct. PP No. 542000 tentang usaha perikanan dan SK Mentan No. 428 tahun 1999 tentang perubahan SK Mentan No. 815 tahun 1990 yang mengatur langkah-langkah pengendalian pemangfaatan sumberdaya ikan. 2 SK Mentan No. 561 tahun 1973 dan No. 40 tahun 1974 mengenai kewajiban pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan hasil sampingan secara optimal. 3 PP No. 54 Tahun 2002 dan Kep. Menteri Kalautan dan Perikanan No. 10MEN2003 tentang usaha perikanan. Menetapkan kewajiban bagi setiap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan baik kapal berbendera asing maupun Indonesia, harus dilengkapi dengan surat penangkapan ikan SPI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan IUP. 4 Kepmen No. 10 Tahun 2004 Tentang Perizinan Usaha Perikanan 5 Permen No. 17 Tahun 2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 9 Integrasi Perikanan Kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir 1 Kep. Mentri KP No. 41 Tahun 2000 menetapkan pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat 2 RUU pesisir yang juga mengakomodir kegiatan perikanan tangkap sebagai bagian integral pengelolaan pesisir sedang dalam tahap pembahasan. 10 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, kemudian direvisi menjadi UU No. 45 Th 2009. Pokok- pokok isinya antara lain: 1 Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang- undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang disepakati. 2 Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian sumberdaya. 11 Peraturan Daerah 1 Perda No 03 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Usaha Kelautan dan Perikanan di Wilayah kabupaten Tanah Laut. 2 Perda No 22 Tahun 2004 tentang susunan organisasi dan tata kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut 3 Perda No 9 Tahun 2006 tentang penangkapan ikan dan perlindungan sumberdaya perikanan Perairan laut dan Perairan umum 4 Keputusan Mentri Kelautan Dan Perikanan Nomor KEP.13MEN2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Ikan. 5 Kewenangan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 18 ayat 1 berbunyi: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya wilayah laut”. Pasal 18 ayat 3 berbunyi: ”Kewenangan Daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut meliputi: 1 Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. 2 Pengaturan administratif 3 Pengaturan tata ruang 4 Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah 5 Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan 6 ikut serta dalam pertahanan kalautan negara. Pasal 18 ayat 4 berbunyi: ”Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut untuk provinsi dan 13 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupatenkota 4 mil. 6 Perda provinsi Kalimantan Selatan No 24 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan di Kalimantan Selatan 7 Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No 53 Tahun 2007 tentang pembentukan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan tingkat Provinsi di Kalimantan Selatan. 2.6 Kelembagaan Perikanan Tangkap Kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main rule of the game dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Kelembagaan mengatur 3 tiga hal pokok dalam konteks eksploitasi sumberdaya yaitu: 1 pengaturan, 2 pemanfaatan, 3 transfer serta distribusi sumberdaya. Agar dapat berfungsi dengan baik kelembagaan haruslah mapan solid dan survive selama periode waktu tertentu yang ditujukan oleh dinamikanya yang terus berlangsung berdampingan dengan teknologi dan pola kehidupan masyarakat, sehingga interaksi kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan teknologi baru yang sustainable terhadap sumberdaya Anwar 2000. Menurut Purwaka 2003 lembaga adalah lembaga-lembaga, lembaga pemerintah maupun non pemerintah, baik lembaga departemen maupun non departemen, baik lembaga di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumber daya perikanan laut secara terpadu. Keterpaduan ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan dari lembaga- lembaga terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini memudahkan setiap lembaga saling mengkoordinasi dan kerjasama satu sama lain untuk meminimalkan konflik kepentingan antar lembaga. Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, hukum pengelolaannya meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan laut. Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan pemerintah, swasta dan masyarakat, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan dalam rangka implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di bidang kelakutan dan perikanan. Lembaga yang bertanggungjawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan seluruh jajarannya sampai ketingkat pemerintah terendah. Namun keberadaannya, juga memerlukan dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintah yang terkait, seperti: Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan keamanan, Departemmen Koperasi dan pengusaha kecil serta Depatemen Departemen lain yang terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga formal seperti perkoperasian nelayan, nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI, juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh Purwaka 2003 menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat, karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaan- kelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masing- masing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikaan akan kuat dan tangguh, mantap dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan institutional arrangement dan kerangka kerjamekanisme kelembagaannya institutional framework. Disisi lain kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Koentjaranigrat 1974 menandaskan bahwa kelembagaan masyarakat atau lembaga sosial disebut sebagai pranata sosial yang meliputi serangkaian kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakuan berpola yang mantap, bersama-sama dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan juga partisipan orang-orang yang mendukungnya. Lebih lanjut Koentjaranigrat 1979 membagi kelembagaan kedalam 8 delapan golongan sebagai berikut: 1 KinshipDomestic institutions : memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan; 2 Economic institution : memenuhi pencarian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusi harta benda; 3 Educational institution: memenuhi kebutuhan penerangan dari pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna; 4 Scientific institutions: memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam semesta; 5 Estetic dan rekreational: memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahan dan rekreasi; 6 Religious institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan dengan Tuhan dan alam gaib; 7 Political institution : memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaaran atau kehidupan bernegara; 8 Somatic institution : memenuhi jasmaniah manusia. Menurut Uphoff 1986 kelembagaanorganisasi terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek kelembagaan” aspek kultural dan “aspek keorganisasian” aspek struktural. Aspek kultural merupakan aspek yang dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan jiwa kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural merupakan aspek yang statis namun lebih visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”. Lebih lanjut Uphoff 1986 menandaskan bahwa analisis kelembagaan pada sebuah di desa dilakukan pada tiga level, yaitu: 1 level superstruktur, yaitu mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki pengaruh kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaanorganisasi; 2 level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana kelembagaan tersebut hidup; 3 level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan kelembagaan yang ada di desa satu per satu. Colleta et al. 2000 menyatakan pengembangan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien dalam melaksanakan pembangunan. Pendekatan resolusi konflik alternatif atau yang dikenal dengan ADR menurut Hadikusuma 1992 telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Proses resolusi konflik secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam mayarakat. Konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari ADR sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan resolusi konflik dari masyarakat Indonesia sendiri. Menurut Santoso dan Hutapea 1992, terdapat beberapa alasan yang dapat dilihat sebagai peluang pengembangan ADR di Indonesia, yaitu: 1 faktor ekonomis. ADR memiliki potensi sarana resolusi yang lebih ekonomis, baik ditinjau dari aspek biaya dan waktu; 2 faktor ruang lingkup yang dibahas. Adar memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dapat dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang berkonflik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya; 3 faktor keahlian. ADR memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit yang disebabkan oleh substansi kasus yang penuh dengan persoalan-persoalan ilmiah karena dapat diharapkan adanya pihak ketiga yang ahli di bidangnya sebagai penengah langsung; 4 faktor membina hubungan baik. ADR mengandalkan cara-cara resolusi koperatif sehingga sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Hadikusuma 1992 menandaskan bahwa jika dibandingkan proses resolusi konflik melalui ADR sebagai model resolusi konflik antara Indonesia dan Amerika, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. ADR di Indonesia merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang diikuti secara turun temurun dan bagian dari budaya lokal, sedangkan di Amerika merupakan bentuk baru dari strategi konflik yang sengaja diciptakan untuk menghindari resolusi konflik melalui pengadilianlitigasi yang dinilai banyak kelemahannya. 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Secara komprehensif, penelitian dilakukan sejak bulan Agustus-Desember 2008 pada tahap I satu dan dilanjutkan pada bulan Januari-Juni 2009 untuk penelitian tahap II. Penelitian dilakukan pada 3 tiga kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan desa atau daerah penelitian dilakukan secara purpossive yaitu wilayah yang merupakan basis aktor yang terlibat dalam konflik perikanan tangkap, yaitu: 1 Desa Dirgahayu 2 Desa Hilir Muara Kabupaten Kotabaru 3 Desa Takisung, 4 Tabanio 5 Pagatan Besar Kabupaten Tanah 6 Desa Wiritasi Kabupaten Tanah Bumbu. Peta wilayah penelitian disajikan pada Gambar 5.

3.2 Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 2 dua tahap yaitu 1 Survai PISCES merupakan tahap deskripsi yang terdiri dari: identifikasi konflik dan eskalasi konflik, pemetaan konflik, penggambaran akar masalah, tipologi dan faktor penyebab konflik serta peran kelembagaan yang menangani konflik, 2 Survai persepsi merupakan tahap preskripsi yaitu penyusunan komponen analisis SEM dan merumuskan model pengelolaan konflik. 3.3 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan jenisnya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari 2 dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif merupakan data yang berupa angka-angka untuk kebutuhan analisis dalam penelitian ini, meliputi: perkembangan jenis alat tangkap, produksi perikanan, jumlah kapal penangkap ikan, jumlah nelayan. Data kualitatif meliputi deskripsi jenis ikan, jenis alat tangkap ikan , jenis konflik, penyebab konflik, aktor yang terlibat, sejarahkronologis kejadian, tempat kejadian, akar masalah, resolusi konflik yang dilakukan, peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah penelitian, dokumentasi surat kesepakatan serta kelembagaan sosial masyarakat baik formal maupun non formal. Gambar 5 Peta tiga kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan yang menjadi lokasi penelitian P . K A L I M A N T A N 3° 3 ° 0° ° 3° 3 ° 6° 6 ° 111 ° 111 ° 114 ° 114 ° 117 ° 117 ° Data kualitatif yang ditransformasi menjadi kuantitatif melalui survei persepsi meliputi: persepsi terhadap faktor penyebab konflik, tingkat kepuasan terhadap teknik resolusi konflik yang digunakan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan tangkap, pemahaman masyarakat tentang pengelolaan sumber daya perikanan tangkap dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan sumber daya perikanan tangkap berasaskan keadilan. Data yang digunakan bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan di lapangan, pada tahap I survei PISCES yang berfungsi untuk melakukan identifikasi terhadap konflik perikanan tangkap meliputi posisi konflik PGIE, akar permasalahan konflik meliputi sumber konflik dan tipologi konflik, perkembangan konflik times line, hubungan antar actor dan lembaga pengelolaan konflik institutional wheel. Data tersebut diperoleh melalui wawancara mendalam indepth interview terhadap beberapa orang informan kunci key informan dengan menggunakan pedoman wawancara interview guide dan observasi. Pada tahap II survei persepsi yang berfungsi untuk identifikasi model pengelolaan konflik terhadap faktor penyebab konflik perikanan tangkap, resolusi konflik dan outcome. Data tersebut diperoleh menggunakan kuisioner terstruktur dilakukan secara purposive terhadap beberapa orang responden yang dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti. Responden terdiri atas personal dari DKP, Lanal, Polair, DPR, PPI, kemudian juga Kepala Desa, tokoh masyarakat, nelayan lokal yang terdiri atas pemilik kapal, ABK, pedagang penampung, nelayan andon, anggota organisasi nelayan POKMASWAS, INSAN, AMNES, HNSI, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat WALHI, serta akademisi. Data dikumpulkan dari 200 responden, sesuai dengan ketentuan yang ditandaskan oleh Solimun 2002 yang menyatakan bahwa agar diperoleh analisis jalur stabil maka jumlah sampel paling tidak sebanyak 5 kali jumlah parameter yang ada dalam model. Model yang dirumuskan pada penelitian ini mempunyai koefisien jalur path coeffisien = 2 dan = 17, sedangkan error variance yang berkaitan dengan variable endogen y = 2 dan covarian mencapai 20 buah, sehingga parameter ideal berjumlah 40 buah. Dengan demikian maka jumlah responden sama dengan ukuran sampel yaitu sebanyak 200 = 5 kali 40 buah parameter. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait terdiri dari data produksi, dokumen surat pernyataan resolusi konflik serta penelusuran pustaka terhadap hasil penelitian terdahulu serta klipping surat kabar. 3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data primer Pengumpulaan data primer konflik dan resolusi konflik dilakukan dengan pendekatan PISCES participatory institutional survei and conflict evaluated exercise yang dikembangkan Bennett dan Jolley 2000. PISCES terdiri dari empat bagian, yaitu: 1 Participatory Geographic Information Exercise PGIE Metode ini menggunakan spot mapping atau sketch mapping untuk memperoleh informasi dasar keadaan geografis wilayah yang digambarkan dalam bentuk peta transek. PGIE sangat cocok digunakan untuk menggambarkan wilayah penelitian yang relatif sempit. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu menggambarkan peta lokasi kejadian terjadinya kasus konflik perikanan tangkap. Pengumpulan data dilakukan dengan cara snowballing melalui key informan yang mengetahui secara langsung atau yang terlibat dalam konflik atau secara tidak langsung berdasarkan dokumen-dokumen di masa lalu serta klipping surat kabar. 2 Time Lines Metode ini untuk mengumpulkan data perkembangan perikanan tangkap yang terkait dengan konflik yang pernah terjadi di masa lalu dan disusun berdasarkan waktu kejadiannya. Dalam penelitian ini data yang dihimpum meliputi sejarahkronologis konflik perikanan tangkap termasuk perubahan teknologi alat tangkap, implementasi suatu peraturan, runtutan waktu terjadinya konflik serta perkembangan resolusi konflik yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan melalui data sekunder yang tercatat pada instansi terkait seperti DKP, TNI AL dan Polair, kemudian dilengkapi dengan data primer yang diperoleh dengan cara snowballing terhadap key informan yang mengetahui secara langsung atau yang terlibat dalam konflik atau secara tidak langsung berdasarkan cerita dimasa lalu di masa lalu serta klipping surat kabar. 3 Institutional Wheels Metode ini menggambarkan pola hubungan antar kelompok. Metode ini sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi konflik yang muncul antar kelompok. Selain itu dalam institutional wheels dapat digambarkan peranan kelompok dan organisasi, pengaruh masing-masing pihak yang terkait terhadap pihak yang lain, serta dampak hubungan tersebut baik yang bersifat positif maupun negatif. Data yang terhimpun dalam bentuk pemetaan konflik perikanan tangkap. Pengumpulan data melalui data sekunder terhadap dokumentasi resolusi konflik atau surat pernyataan tentang kesepakatan penyelesaian konflik yang tercatat pada instansi terkait seperti Dinas Perikanan, TNI AL dan Polair serta dokumentasi dari pelaku konflik, kemudian dilengkapi dengan data primer yang diperoleh dengan cara snowballing melalui key informan yang menuntun meberikan petunjuk terhadap informan berikutnya atas rekomendasi informan sebelumnya sehingga dapat diketahui informan yang mengetahui secara langsung atau yang terlibat dalam konflik ataupun yang tidak terlibat langsung, namun mengetahui kejadian dimasa lalu. 4 Semi Structured Interview SSI Semi Structured Interview adalah pola pertanyaan berupa daftar pertanyaan kuisioner terstruktur atau pedoman wawancara interview guide dilakukan melalui wawancara mendalam indepth interview terhadap beberapa orang informan kunci key informan. Daftar pertanyaan kuisioner merupakan penuntun mengawali pertanyaan yang kemudian berkembang menjadi pertanyaan terbuka. Pertanyaan dimaksudkan untuk mengumpulkan data identifikasi konflik, identifikasi akar permasalahan konflik yang dikelompokan berdasarkan pola atau tipologi konflik Charles 1992 dan sumber konflik Gorre 1999. Pada tahap kedua, survey persepsi ditujukan untuk membangun model pengelolaan konflik yang terdiri dari variabel laten KONFLIK, RESOLUSI dan OUTCOME menurut persepsi responden yang dilakukan secara purposive terhadap beberapa orang responden. Responden terdiri dari DKP, Lanal, Polair, anggota DPR, PPI, Kepala Desa, tokoh masyarakat, nelayan lokal yang terdiri dari pemilik kapal, ABK, pedagang penampung, nelayan andon, organisasi nelayan POKMASWAS, INSAN, AMNES, HNSI, Lembaga Swadaya Masyarakat WALHI, serta akademisi. Pengumpulan data pada tahap survey persepsi dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner terstruktur dengan daftar pertanyaan tertutup dengan skala ordinal 1-5 item pernyataan Lampiran 8, hal ini ditujukan untuk memenuhi Software Lisrel dari Joreskog dan Sorborn 2005 yang menyatakan asumsi tentang banyaknya nilai untuk variable lebih baik menggunakan skala minimal 5 lima butir. Jenjang yg cocok sebenarnya tergantung pada populasi penelitian, semakin banyak smakin lengkap, contohnya untuk kelompok masyarakat terdidik dapat menjawab lebih tajam, namun pada masyarakat pedesaan jawaban berjenjang 3 tiga atau 5 lima adalah sesuai. Dalam penelitian ini menggunakan skala likert lima kategori.

3.4.2 Data sekunder

Metode pengumpulan data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung, beberapa catatan yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder ini meliputi perkembangan jenis alat tangkap, perkembangan produksi perikanan tangkap tahunan, dokumentasi surat persetujuan resolusi konflik, dokumentasi regulasi dan informasi pendukung lainnya yang erat kaitannya dengan penelitian. Data sekunder diperoleh melalui instansi DKP, Polair, TNI AL, Kepala Desa dan pelaku dokumen surat pernyataan kesepakatan dari pelaku konflik.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari tiga kelompok yaitu variabel faktor penyebab konflik, variabel resolusi konflik dan variabel outcome. Jenis konflik perikanan tangkap yang berhasil diidentifikasi pada survai PISCES di lokasi penelitian yaitu: konflik alat tangkap dan konflik daerah tangkap. Tidak semua alat tangkap yang digunakan oleh nelayan menyebabkan konflik. Alat tangkap yang dipandang atau dipersepsikan nelayan merupakan alat tangkap ramah lingkungan dan tidak melanggar Undang-Undang dan tidak berakibat over fishing tidak berpotensi terjadinya konflik seperti alat tangkap trammel net, pancing, bubu, rawai, perangkap, jaring lingkar, rakang serta penggunaan alat tangkap yang memiliki kapasitas yang sama dan digunakan pada jalur yang sama antak kelompok nalayan tidak berpotensi sebagai konflik. Konflik perikanan tangkap yang terjadi tercakup ke dalam 9 kasus yaitu: 1 kasus purse seine, 2 kasus daerah tangkap, 3 kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara, 4 kasus lampara dasar, 5 kasus bagan apung, 6 kasus seser modern, 7 kasus gill net, 8 kasus penggunaan bom, 9 kasus cantrang.

3.5.1 Indikator faktor penyebab konflik KONFLIK

Berdasarkan analisis tipologi konflik pada penelitian tahap I survei PISCES terdapat 11 indikator atau faktor penyebab konflik yaitu: kondisi perekonomian masyarakat X 1 , banyak sedikitnya pihak yang terlibat X 2 , keberadaan pihak yang bertolak belakang X 3 , isu yang berkembang di masyarkat X 4 , jumlah nelayan X 5 , kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya X 6 , keberadaan tokoh dalam konflik X 7 , persepsi masyarakat terhadap stok X 8 adanya keinginan tertentu dalam masyarakat X 9 , keberadaan peraturan dan penegakan hukum X 10 , latar belakang budaya dan adat X 11 . Pada tahap II indikator penyebab konflik perikanan tangkap yang diukur melalui survei persepsi responden dengan menggunakan pengukuran skala ordinal 1-5 Lampiran 8

3.5.2 Indikator kepuasan terhadap teknik resolusi konflik RESOLUSI

Berdasarkan pemetaan teknik resolusi konflik pada tahap I dan mengacu pada teknik resolusi konflik yang didopsi dari Priscoli 2002 terdapat beberapa indikator tingkat kepuasan teknik resolusi konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di daerah penelitian yaitu: litigasi X 1 tercermin pada pertanyaan 1 sampai 2, negosiasi X 2 tercermin pada pertanyaan 3 sampai 5, fasilitasi X 3 tercermin pada pertanyaan 6 sampai 7, avoidance X 4 tercermin pada pertanyaan 8 sampai 10. Persepsi responden dengan menggunakan pengukuran skala ordinal 1-5 Lampiran 8

3.5.3 Indikator outcome OUTCOME

Pengelolaan sumber daya perikanan berbasis resolusi konflik terdiri dari tiga indikator yaitu 1 peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap, tercermin pada pertanyaan nomor 1 sampai 8; 2 pemahaman pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, tercermin pada pertanyaan nomor 9 sampai 29; 3 pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkeadilan, tercermin pada pertanyaan nomor 30 sampai 37 Lampiran 8

3.6 Analisis Data

3.6.1 Trend potensi sumberdaya perikanan Untuk memperlihatkan hasil tangkapan per unit upaya, CPUE atau cf, sebagai fungsi upaya f adalah model linear yang disarankan oleh Schaefer Sparre dan Venema 1992 : c i f i = a + bxf i, jika f i  -ab………………………………….1 Tahap-tahap yang perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan suatu sumberdaya adalah: 1 Hasil tangkapan per upaya penangkapan Catch per Unit Effort CPUE i i effort catch  i=1,2,….,n………………………………… 2 Keterangan : CPUE i = hasil tangkapan per upaya penangkapan dalam tahun i catch i = hasil tangkapan dalam tahun i effort i = upaya penangkapan dalam tahun i 2 Standardisasi upaya penangkapan Bila di suatu daerah terdapat berbagai alat tangkap maka salah satunya harus dipakai sebagai standar dan alat tangkap lain distandardisasi terhadap alat tangkap tersebut. Hal ini disebabkan karena kemampuan tangkap tiap alat tangkap berbeda-beda. Dengan demikian, standardisasi ini bertujuan untuk menyeragamkan satuan upaya yang berbeda menjadi satu satuan upaya yang seragam Gulland 1982 diacu dalam Oemry 1993. Upaya dapat dinyatakan sebagai jumlah seluruh satuan perlakuan antara kemampuan penangkapan fishing power setiap tahun dengan waktu penangkapan atau dengan jumlah satuan operasi. Rumus yang dipakai untuk menstandardisasi upaya penangkapan adalah sebagai berikut Gulland 1982 : 1 Menghitung Fishing Power Index FPI FPI st dst i i CPUE CPUE  …………………………………………4 Keterangan : FPI = Fishing Power Index CPUE dst = CPUE alat tangkap yang akan distandardisasi CPUE st = CPUE alat tangkap standar 2 Menghitung Upaya Standar f s = FPI x f dst …………………………………………………5 Keterangan : f s = upaya penangkapan hasil standardisasi f dst = upaya penangkapan yang akan distandardisasi 3 Analisis CPUE Nilai CPUE dihitung kembali dengan nilai upaya penangkapan yang baru, yaitu nilai upaya penangkapan setelah dilakukan standardisasi upaya penangkapan. Adapun nilai hasil tangkapan tetap sama. CPUEs i i i effort catch  i=1,2,….,n……………………………..…6 Keterangan : CPUEs i = hasil tangkapan per upaya penangkapan yang telah distandardisasi dalam tahun i tontrip catch i = hasil tangkapan dalam tahun i ton effort i = upaya penangkapan alat tangkap yang telah distandardisasi ditambah dengan upaya penangkapan alat tangkap standar dalam tahun i trip 4 Analisis regresi Untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan f terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan CPUE digunakan analisis regresi. Persamaan regresi linear sederhana dimaksudkan untuk mengetahui besarnya pengaruh antar peubah, dan bisa juga untuk mengetahui meramal nilai satu atau lebih peubah Harahap 1987 diacu dalam Batubara 1999. Analisis terhadap hubungan antara upaya penangkapan effort dengan CPUE diperoleh dengan menggunakan analisis kuadrat terkecil, yaitu dengan cara meminimumkan error simpangan. Hubungan fungsi tersebut adalah : Y =  + x + e………………………………………………………..7 Keterangan : Y = peubah tak bebas CPUE dalam tontrip x = peubah bebas effort dalam trip e = simpangan ,  = parameter regresi penduga nilai a dan b Kemudian diduga dengan fungsi dugaan yaitu : Ŷ = a + bx…………………………………….………………8 sehingga e = Y – Ŷ, dan diperoleh Σe 2 = Y – Ŷ 2 . Dengan “metode kuadrat terkecil” nilai Σe 2 diminimumkan. Nilai e akan minimum bila turunan pertama fungsi sama dengan nol, sehingga nilai dugaan dapat diperoleh sebesar a dan b. Nilai a dan b selanjutnya dapat ditentukan, yaitu Hayat, 1997 :        x x n y x - xy n b 2 2 n x b - y a    Setelah diketahui nilai a dan b, selanjutnya dapat ditentukan beberapa persamaan yang diperlukan, antara lain adalah Sparre dan Venema 1992 : 1 Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan f : CPUE = exp a + bf