Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap
ikan yang melebihi JTB dan potensi lestarinya juga merupakan perbuatan sikap dan perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian
sumberdaya ikan terhadap generasi yang akan datang. 2 Landasan normatif
Landasan normatif ini didasarkan pada aturan adat istiadat atau konsensus masyarakat setempat yang pada umumnya tidak tertulis dan berbeda-
beda aturannya antara satu tempat dan tempat yang lainnya. 3 Landasan konstitusional
Landasan konstitusional merupakan landasan resmi legal yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik bersifat lokal, nasional, regional maupun
institusional Landasan konstitusional berupa peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku, yang mengikat setiap pelaku perikanan tangkap Pengusaha, ABK dan Nelayan. Landasan ini berisi perintah, larangan dan sangsi-sangsi bagi para
pelanggarnya. Intensitas pengaturan di bidang perikanan merupakan wujud dinamika pembentukan regulasi terhadap kegiatan perikanan. Intervensi
regulasi di bidang perikanan pada umumnya meliputi perlindungan terhadap nelayan kecil guna mencegah terjadinya konflik dengan nelayan komersial.
Selain dari itu telah pula dikeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kemampuan reproduksi
jenis-jenis ikan tertentu. Landasan Konstitusional yang berlaku di Indonesia antara lain meliputi:
1 Desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya kelautan dan Perikanan. Undang-undang No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan keweanangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai sampai sejauh 1 dari 2 mil laut diukur
dari garis pantai ke arah laut teritorial dan perairan kepulauan. Dalam bidang perizinan, kewenangan Pemerintah Daerah untuk
perizinan diberikan kepada provinsi untuk kapal 10-30 GT dan daya mesin 30-90 PK sedangkan KabupatenKota untuk kapal 10 GT dan daya mesin
30 PK. Juga telah dilaksanakan perbantuan proses pelayanan perizinan pusat oleh Pemerintah Daerah dalam hal perpanjangan izin.
2 Larangan penggunaan alat penangkap jenis trawl 1 Kepres Nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl,
bertujuanuntuk melindungi kelestarian sumberdaya selain untuk melindungi kepentingan nelayan kecil;
2 Keppres Nomor 85 tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang; 3 SK. Mentan Nomor 503 tahun 1980 mengenai langkah-langkah
penghapusan jaring trawl tahap I 4 SK. Dirjen Perikanan Nomor 340 tahun 1997 mengenai penjabaran
Teknis dari SK Mentri Pertanian No. 503 tahun 1980, khususnya mengenai petunjuk teknis penggunaan alat-alat penangkap ikan
menyerupai trawl. 3 Ketentuan tentang ukuran mata jaring
1 SK Mentan No. 1231975 mengatur ukuran mata jaring purse seine yang digunakan dalam penangkapan jenis ikan pelagis adalah 60 mm;
2 SK Mentan No. 197 tahun 1996 mengatur ukuran panjang maksimum jaring jenis gill net yaitu 5 km;
3 SK Mentri Pertanian RI No. 123KptsUm31975 mengatur lembar mata jaring jenis purse seine untuk penangkapan ikan kembung, layang, selar,
lemuru dan ikan-ikan pelagis sejenisnya, melarang purse seine yang menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inchi pada bagian
sayap dan kurang dari 1 inchi pada bagian kantong. 4 Pengaturan jalur penangkapan ikan
1 SK Mentan No. 6071976 pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi nelayan kecil sehingga kapal-kapal ukuran menengah keatas
harus beroperasi lebih jauh sehingga tidak mengganggu nelayan kecil dan tidak menimbulkan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan.
2 SK. Mentan Pertanian RI No. 392KptsIK. 120499 mengatur jalur- jalur penangkapan ikan dan melarang alat-alat tangkap dan kapal-kapal
perikanan dari jalur penangkapan ikan lebih rendah, tetapi sebaiknya dari jalur penangkapan ikan yang lebih rendah boleh memasuki jalur
penangkapan ikan yang lebih tinggi lebih jauh lagi dari garis pantai. Yang dimaksud dengan jalur penangkapan ikan adalah 1 Jalur
Penangkapan Ikan I a : 0-3 mil laut 2 Jalur Penangkapan Ikan I b : 3-6 mil laut 3 Jalur Penangkapan Ikan II : 6-12 mil laut 4Jalur
Penangkapan Ikan III : 12-200 mil laut atau batas terluar dari ZEE Selanjutnya peraturan ini melarang penggunaan jaring jenis
gillnet dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm dan pukat cincin purse seine untuk penangkapan tunacakalang yang berukuran mata
jaring kurang dari 75 mm, kecuali untuk pukat teri dan jaring angkat lift net. Selain itu juga melarang panjang total rangkaian gillnet lebih
dari 1.000 meter beroperasi di jalur penangkapn ikan I b 3-6 mil laut dan lebih dari 2.500 meter beroperasi di jalur penangkapan Ikan II 6-12
mil laut 5 Pengawasan Penangkapan Ikan
1 Kep. Menteri KP No. Kep. 02MEN2002 menetapkan pedoman pelaksanaan pengawasan penangkapan ikan. Pengawasan perikanan
bidang penangkapan meliputi pengawasan terhadap penangkapan ikan dan atau pengangkutan ikan. Prinsip pengawasan bidang penangkapan
terdiri atas pemantauan, pemeriksaan, pengamatan dan atau penyidikan.
2 Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor 14DJ-PSDKP2002 perihal tata cara pengawasan
penangkapan dan atau pengangkutan ikan adalah: 1 Pelaksanaan pemeriksaan dokumen perizinan usaha perikanan;
2 Pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan; 3 Pelaksanaan pemeriksaan alat penangkapan ikan;
4 Pelaksanaan pemeriksaan alat bantu penangkapan ikan; 5 Pelaksanaan pemeriksaan daerah operasi penangkapan ikan;
6 Pelaksanaan pemeriksaan nakhoda dan anak buah kapal; 7 Pelaksanaan pemeriksaan suaka perikanan, jenis-jenis ikan yang
dilindungi dan lingkungan sumberdaya ikan yang sedang direhabilitasi;
8 Pelaksanaan pemeriksaan penerapan log book perikanan LBP dan Lembar Laik Operasional LLO kapal perkanan; dan
9 Hasil pemeriksaan dan pengambilan keputusan. 6 UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan
1 Pasal 3 huruf i, tujuan pelaksanaan pengawasan perikanan adalah untuk
menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan
tata ruang. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dilakukan secara lestari dan berkesinambungan.
2 pasal 67, masyarakat dapat diikutsertakan dalam pengawasan perikanan. Kelompok Masyarakat Pengawas Pokwasmas.
7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan. Pokok-pokok isinya antara lain:
1 Larangan melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya 2 Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia atau badan
Hukum Indonesia, kecuali dalam bidang penangkapan sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara republik Indonesia berdasarkan
ketentuan persetujuan Internasioanal atau hukum internasional yang berlaku.
3 Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki Ijin Usaha Perikanan IUP, kecuali nelayan atau
perorangan lainnya yang sifatnya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
4 Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan
lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan, kecuali nelayan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. 8 Pengaturan Usaha Perikanan
1 PP No. 15 tahun 1990 junct. PP No. 46 tahun 1993 junct. PP 1412000 junct. PP No. 542000 tentang usaha perikanan dan SK Mentan No. 428
tahun 1999 tentang perubahan SK Mentan No. 815 tahun 1990 yang
mengatur langkah-langkah pengendalian pemangfaatan sumberdaya ikan.
2 SK Mentan No. 561 tahun 1973 dan No. 40 tahun 1974 mengenai kewajiban pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan hasil
sampingan secara optimal. 3 PP No. 54 Tahun 2002 dan Kep. Menteri Kalautan dan Perikanan No.
10MEN2003 tentang usaha perikanan. Menetapkan kewajiban bagi setiap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan baik
kapal berbendera asing maupun Indonesia, harus dilengkapi dengan surat penangkapan ikan SPI yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dan IUP. 4 Kepmen No. 10 Tahun 2004 Tentang Perizinan Usaha Perikanan
5 Permen No. 17 Tahun 2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 9 Integrasi Perikanan Kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir
1 Kep. Mentri KP No. 41 Tahun 2000 menetapkan pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat
2 RUU pesisir yang juga mengakomodir kegiatan perikanan tangkap sebagai bagian integral pengelolaan pesisir sedang dalam tahap
pembahasan. 10 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, kemudian
direvisi menjadi UU No. 45 Th 2009. Pokok- pokok isinya antara lain: 1 Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan
implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang- undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau
otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang disepakati.
2 Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan
kelestarian sumberdaya.
11 Peraturan Daerah 1 Perda No 03 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Usaha Kelautan dan
Perikanan di Wilayah kabupaten Tanah Laut. 2 Perda No 22 Tahun 2004 tentang susunan organisasi dan tata kerja
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut 3 Perda No 9 Tahun 2006 tentang penangkapan ikan dan perlindungan
sumberdaya perikanan Perairan laut dan Perairan umum 4 Keputusan Mentri Kelautan Dan Perikanan Nomor KEP.13MEN2004
tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Ikan.
5 Kewenangan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 18 ayat 1
berbunyi: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya
wilayah laut”. Pasal 18 ayat 3 berbunyi: ”Kewenangan Daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut
meliputi: 1 Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. 2 Pengaturan administratif 3 Pengaturan tata ruang
4 Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah 5 Ikut serta
dalam pemeliharaan keamanan dan 6 ikut serta dalam pertahanan kalautan negara. Pasal 18 ayat
4 berbunyi: ”Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut untuk provinsi dan 13 dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupatenkota 4 mil.
6 Perda provinsi Kalimantan Selatan No 24 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan di Kalimantan Selatan
7 Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No 53 Tahun 2007 tentang pembentukan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang
Perikanan tingkat Provinsi di Kalimantan Selatan. 2.6 Kelembagaan Perikanan Tangkap
Kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main rule of the game dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini
kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan
lingkungannya menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Kelembagaan mengatur 3 tiga
hal pokok dalam konteks eksploitasi sumberdaya yaitu: 1 pengaturan, 2 pemanfaatan, 3 transfer serta distribusi sumberdaya. Agar dapat berfungsi
dengan baik kelembagaan haruslah mapan solid dan survive selama periode waktu tertentu yang ditujukan oleh dinamikanya yang terus berlangsung
berdampingan dengan teknologi dan pola kehidupan masyarakat, sehingga interaksi kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dengan
kedua komponen tersebut mampu menciptakan teknologi baru yang sustainable terhadap sumberdaya Anwar 2000.
Menurut Purwaka 2003 lembaga adalah lembaga-lembaga, lembaga pemerintah maupun non pemerintah, baik lembaga departemen maupun non
departemen, baik lembaga di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumber daya perikanan laut
secara terpadu. Keterpaduan ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan dari lembaga-
lembaga terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini memudahkan setiap lembaga saling mengkoordinasi dan kerjasama satu sama lain untuk
meminimalkan konflik kepentingan antar lembaga. Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, hukum pengelolaannya meliputi
semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan
sumberdaya wilayah pesisir dan laut. Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan
pemerintah, swasta dan masyarakat, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator
dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan dalam rangka implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di
bidang kelakutan dan perikanan. Lembaga yang bertanggungjawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan
seluruh jajarannya sampai ketingkat pemerintah terendah. Namun keberadaannya, juga memerlukan dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintah
yang terkait, seperti: Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan keamanan, Departemmen
Koperasi dan pengusaha kecil serta Depatemen Departemen lain yang terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga formal
seperti perkoperasian nelayan, nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI, juga memiliki peranan penting
terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh Purwaka 2003 menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat, karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaan-
kelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masing- masing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang
dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikaan akan kuat dan
tangguh, mantap dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja
pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan institutional arrangement dan kerangka kerjamekanisme kelembagaannya
institutional framework. Disisi lain kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang
saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Suatu bentuk kelembagaan
yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta
akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Koentjaranigrat 1974 menandaskan bahwa kelembagaan masyarakat atau
lembaga sosial disebut sebagai pranata sosial yang meliputi serangkaian kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakuan berpola yang mantap, bersama-sama
dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan juga partisipan orang-orang yang mendukungnya. Lebih lanjut Koentjaranigrat
1979 membagi kelembagaan kedalam 8 delapan golongan sebagai berikut: 1 KinshipDomestic institutions
: memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan; 2 Economic institution
: memenuhi pencarian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusi harta benda; 3 Educational institution: memenuhi kebutuhan
penerangan dari pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna; 4 Scientific institutions: memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan
menyelami alam semesta; 5 Estetic dan rekreational: memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahan dan rekreasi; 6 Religious institution: memenuhi
kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan dengan Tuhan dan alam gaib; 7 Political institution
: memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaaran atau kehidupan bernegara; 8 Somatic
institution : memenuhi jasmaniah manusia.
Menurut Uphoff 1986 kelembagaanorganisasi terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek kelembagaan” aspek kultural dan “aspek keorganisasian” aspek
struktural. Aspek kultural merupakan aspek yang dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan jiwa kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma,
kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural merupakan aspek yang statis namun lebih
visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek
solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”.
Lebih lanjut Uphoff 1986 menandaskan bahwa analisis kelembagaan pada sebuah di desa dilakukan pada tiga level, yaitu: 1 level superstruktur, yaitu
mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki pengaruh
kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaanorganisasi; 2 level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana kelembagaan
tersebut hidup; 3 level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan kelembagaan yang ada di desa satu per satu.
Colleta et al. 2000 menyatakan pengembangan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma
merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial
akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien dalam melaksanakan pembangunan.
Pendekatan resolusi konflik alternatif atau yang dikenal dengan ADR menurut Hadikusuma 1992 telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Proses resolusi konflik secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam mayarakat. Konsensus dan kompromi yang menjadi inti
dari ADR sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan resolusi konflik dari masyarakat
Indonesia sendiri. Menurut Santoso dan Hutapea 1992, terdapat beberapa alasan yang dapat
dilihat sebagai peluang pengembangan ADR di Indonesia, yaitu: 1 faktor ekonomis. ADR memiliki potensi sarana resolusi yang lebih ekonomis, baik
ditinjau dari aspek biaya dan waktu; 2 faktor ruang lingkup yang dibahas. Adar memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas,
komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dapat dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang berkonflik sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhannya; 3 faktor keahlian. ADR memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit yang disebabkan oleh substansi
kasus yang penuh dengan persoalan-persoalan ilmiah karena dapat diharapkan adanya pihak ketiga yang ahli di bidangnya sebagai penengah langsung; 4 faktor
membina hubungan baik. ADR mengandalkan cara-cara resolusi koperatif sehingga sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan
hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Hadikusuma 1992 menandaskan bahwa jika dibandingkan proses
resolusi konflik melalui ADR sebagai model resolusi konflik antara Indonesia dan Amerika, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. ADR di
Indonesia merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang diikuti secara turun temurun dan bagian dari budaya lokal, sedangkan di Amerika merupakan bentuk
baru dari strategi konflik yang sengaja diciptakan untuk menghindari resolusi konflik melalui pengadilianlitigasi yang dinilai banyak kelemahannya.
3 METODOLOGI PENELITIAN