Kegiatan transportasi laut tersebut meningkatkan perekonomian lokal berupa arus barang dan manusia dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Disisi
lain, buangan limbah domestik dari kapal berpotensi menurunkan kualitas air laut. Perebutan fungsi laut yang mana bagi perusahaan merupakan jalur lalu-lintas
perdagangan sementara bagi nelayan merupakan wilayah fishing ground. Kondisi ini sering terjadinya konflik antara nelayan dan kapal-kapal yang melalui alur
tersebut. Kasus yang terjadi yaitu ditabraknya perahu nelayan oleh kapal-kapal
perusahan tambang, tabrakan perahu nelayan dengan speed boat
dan
terganggunya nelayan pada saat melakukan penangkapan ikan.
Disepanjang pantai Pulau Tabuan sudah terlihat kepingan-kepingan batubara yang mengendap akibat frekuansi lalu lintas dan loading batubara.
Konflik terjadi karena wilayah tangkap ikan yang dimiliki nelayan tradisional secara turun-temurun kini semakin sempit dan kualitasnya pun makin berkurang.
3 Interaksi antara pemanfaatan lahan budidaya dan penangkapan ikan
Penebangan hutan bakau menyebabkan tempat pemijahan beberapa jenis ikan rusak. Penurunan fungsi ekologi laut terlihat dengan menurunnya hasil
tangkap ikan bagi nelayan. Konflik ini memperlemah ikatan solidaritas nelayan tradisional dan petani tambak.
4 Interaksi pertambangan dengan petani tambak
Mengeluhnya petani tambak udang akibat adanya pelabuhan yang mencemari perairan laut yang menjadi sumber air tambak tersebut.
Kualitas air yang menurun mengakibatkan kerugian bagi petani tambak bahkan matinya usaha
tambak di daerah sekitar pertambangan.
4.2.3 Penahapan konflik
Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan memiliki kedinamisan yang
tinggi. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini menggambarkan
dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap-tahap konflik.
Dalam penelitian ini penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan informasi yang diperoleh
selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Kalimantan Selatan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan, yaitu 1 Prakonflik tahun 1960-1979;
2 Konfrontasi tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006; 3 Krisis tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 4 Akibat tahun 2001, 2006-2007 dan 2009; 5 Pasca
konflik tahun 2010-sekarang. Diagnosis pentahapan konflik adalah suatu cara untuk mengkaji tahap-tahap
dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningnkatan intensitas konflik dimasa depan dengan
harapan untuk menghindari pola itu terjadi. 8
Konfrontasi
Akibat
Konfrontasi Akibat Prakonflik
6
4
2
1960 1979
1980 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010 Keterangan:
Sumbu x = Tahun Sumbu y = Eskalasi konflik
Krisis = tindakan anarkis 2 kekerasan fisik 4 penyanderaan kapal dan 6 pembakaran kapal
Gambar 14 Grafik penahapan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan
1 Kondisi prakonflik tahun 1960-1979
Pada masa ini sumber daya yang tersedia masih banyak sehingga kehadiran nelayan dari manapun tidak dirasakan nelayan lokal sebagai pesaing dalam
memanfaatkan sumberdaya. Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open Konfrontasi
Krisis
Pasca konflik
Krisis Krisis
acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan ekspoitasi tanpa terikat kuat
pada batas-batas wilayah. Keberadaan nelayan dari provinsi Kalimantan Selatan seperti Kabupaten
Tanah Laut, Tanah Bumbu masuk ke perairan Kotabaru atau sebaliknya melakukan migrasi musiman dapat hidup berdampingan secara harmonis. Selain
itu kedatangan nelayan andon ke perairan Kalimantan Selatan masih berdampak positif yaitu sektor perdagangan maju, masyarakat dapat menjual jasa di bidang
bahan dan alat tangkap, perbekalan melaut dan penginapan, serta adanya peningkatan peluang bekerja yaitu menjadi ABK bagi nelayan andon. Adanya
peningkatan pendapatan masyarakat yang berusaha di bidang kios-kios dan warung makan.
2 Periode tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006 konfrontasi
Beberapa nelayan di Kotabaru ada yang masih menerapkan adanya pola penguasaan dan kepemilikan wilayah laut oleh kelompok masyarakat. Pola
tersebut terbagi berdasarkan zone wilayah yaitu zona daerah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun, yakni hak eksploitasi sumberdaya di
wilayah laut tertentu terbatas hanya untuk orang-orang dalam kelompok sosial wilayah tersebut. Namun dengan perkembangan zaman sebagian lagi dari nelayan
menganut paham open acces. Periode ini semakin banyak nelayan melakukan migrasi musiman yang
datang ke perairan Kalimantan Selatan dengan membawa teknologi baru atau melakukan modifikasi terhadap alat tangkap, kualitas dan kapasitas yang berbeda
pada fishing ground yang sama, membuat kenyamanan nelayan di perairan Kaliman Selatan merasa terganggu. Di perairan Kotabaru pada periode ini pula
mulai terjadi teguran-teguran bahkan terjadi pertikaian-pertikaian di laut dalam bentuk penolakan terhadap penggunaan alat tangkap yang berbeda dengan alat
tangkap nelayan lokal. Nelayan lokal memberikan peringatan-peringatan baik lisan maupun tertulis dan membuat perjanjian-perjanjian, walaupun pada akhirnya
banyak yang melangar kesepakatan yang dibuat. Beberapa langkah pengamanan telah dibuat seperti mengadakan perpolisian masyarakat oleh pihak kepolisian,
pembinaan dan sosialisasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan.
Kasus konflik daerah tangkap belum berakhir, pada tahun 2000-2005 terjadi lagi konfrontasi. Protes terhadap adanya pengkavlingan daerah penangkapan,
dianggap menimbulkan ketidakadilan terutama oleh pengguna lampara dasar. Menentukan tapal batas dengan cara membuat patok batas wilayah perairan
tempat operasional nelayan tradisional, menetapkan wilayah-wilayah tertentu yang dilarang beroperasinya nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar mini
atau lainnya dan melakukan razia justru menimbulkan konflik yang lebih luas. Pada tahun 2004 untuk menertibkan konflik daerah penangkapan yang
diperebutkan oleh nelayan di Kotabaru, maka dilakukan pertemuan antar nelayan. Diskusi dihadiri oleh Bupati Kotabaru, Kapolres, nelayan Kecamatan Kelumpang
Selatan, Kecamatan Kelumpang Tengah, Kecamatan Pulau Sebuku, Kecamatan Pulau Laut Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru. Kapolres
menyarankan untuk menciptakan areal tangkapan baru, kemudian Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru menyetujui pembagian wilayah penangkapan ditertibkan
kembali. Pembagian wilayahnya masing-masing yang terbagi dalam 6 daerah penangkapan Gambar 15. Daerah penangkapan di Kotabaru terbagi berdasarkan
wilayah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun mulai perairan pantai sampai 5 mil keperairan laut dengan batas sebagai berikut :
1 Zona Pudi - Sanakin -Tanjung Pemancingan 2 Zona
Pulau Simbangan-Tanjung
Tamiang-Sekandis-Talusi-Tanjung Semelantakan Rampa Cengal- Sesulung-Tanah Merah-Separe Kecil-Separe
Besar. 3 Zona Pembelacanan- Pantai-Tanjung Pulau Burung-Tanjung Ayun-Bui
MerahKapal Pecah 4 Zona Pemancingan-Sungai Dungun-Pulau Manti-Sungai Bali-Tanjung Lita
5 Zona Tanjung Mangkok-Tanjung Gunung-Gunung Tinggi-Sekapung-Pulau Kapak
6 Zona Labuhan Mas-Tanjung Serudung-Tanjung Seloka-Pulau Kerayaan Namun upaya pembagian wilayah penangkapan tersebut menimbulkan
konflik lebih meluas karena pencegahan terhadap pengguna lampara dasar mini dan sejenisnya di wilayah tertentu tidak didukung oleh nelayan lain khususnya
nelayan pengguna alat lampara dasar mini. Hal ini bahkan menuai tuduhan
terhadap pelanggaran perjanjian. Nelayan Sungai Dungun menilai nelayan Rampa melanggar jalur penangkapan yaitu nelayan lampara dasar mini hanya boleh
beroperasi pada kawasan di luar jalur nelayan Sungai Tanjung Bantai Langkang Baru ke arah Pulau Manti. Nelayan yang masuk ke wilayah tersebut akan
dipukuli, alat tanggkap dirampas bahkan perahu yang digunakan ditenggelamkan. Bagi nelayan yang mendapatkan perlakuan yang tidak lazim tentu saja
melawan dan meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami, akhirnya penyelesaian konflik melibatkan kepolisian. Organisasi INSAN menuntut
pencabutan patok batas diperairan selat sebuku kerena sangat merugikan dan Insan menuntut dihentikannya tindakan kekerasan serta menghendaki Dinas
perikanan harus tegas dan lebih peduli terhadap konflik yang terjadi. Konflik pengkavlingan laut berkaitan dengan musim udang, antara lain
udang windu Penaeus monodon, udang putih Penaeus indicus, udang jerbung Penaeus merguensis, udang cat Parapenaeopsis sculiptilis dan udang lurik
Metapenaeus canaliculatus. Dalam satu tahun terdapat 3 tiga musim yaitu: 1 musim Utara 2 musim Baratpancaroba dan 3 musim Tenggara. Pada ketiga
musim tersebut potensi udang berbeda-beda untuk setiap wilayah di Kabupaten Kotabaru. Pada musim Utara potensi udang maksimun di daerah Selat Laut tapi
minimum di wilayah lain Tabel 15. Tabel 15 Pola musim udang di Kabupaten Kotabaru
No Musim
Bulan Potensi
Udang Perairan
1 Musim Utara
Januari- April
maksimum Selat laut: antara lain Senakin, Tg Gunung, Karang Piring, Tg
Pemancingan, Pulau Manti, Sei Dungun, Tg Lita, Pulau Kapak.
2 Musim Barat
Pancaroba Mei
Minimum Selat laut
3 Tenggara
angin Selatan
Juni- September
Maksimum Sekitar Senakin dan Tg Dewa, Tg Gunung, Tg Ayun, Karang
piring, Sebuli, Senakin, Pembelacangan, Pulau Kapak,
4 Musim Barat
Pancaroba Oktober-
Desember Minimum
Selat Laut, Pulau Sebuku
Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru