Relational [13]. Kurtosis Identifikasi, klasifikasi dan analisis struktur spesiea kawanan ikan pelagis berdasarkan metode deskriptor akustik

Tabel 2.11. Deskriptor akustik menurut Bahri Freon 2000 No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Back scatter energy [8]. Perimeter [2]. School Reverberation volume index [9]. Area [3]. Length [10]. Average depth [4]. Average hight [11]. Minimum Altitude [5]. Maximum hight [12]. Relatif Altitude [6]. Elongation [13]. Minimum depth [7]. Roughness school Pada perkembangan selanjutnya, LeFevre et al., 2000 mengembangkan perangkat lunak FASIT untuk mengidentifikasi bentuk, tekstur dan objek positif gerombolan ikan menggunakan deskriptor akustik. Hasilnya adalah gerombolan ikan Cod, Capelin, Red Fish dapat diidentifikasi sebesar 98. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.12. Tabel 2.12. Deskriptor akustik menurut LeFevre et al. 2000. No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Area [9]. Mean Amplitude [2]. Perimeter [10]. Maximum Amplitude [3]. Compactness [11]. Minimum Amplitude [4]. Roughness [12]. Amplitude Standard deviation [5]. Width [13]. Depth to the top of the object [6]. Height [14]. Depth to the centroid of the object [7]. Axis [15]. Distance from the object to the seabed [8]. Elongation SHAPES SHoal Analysis and Patch Estimation System untuk mencirikan kawanan sardin di Agulhas Bank Afrika Selatan diteliti oleh Coetzee 2000. Pada analisis echogram, ditekankan pada penggunaan scattering area sebagai variabel dalam menghitung scattering volume. Hasilnya adalah deskriptor akustik morfologi merupakan deskriptor akustik yang paling berperan dalam karakteristik kawanan ikan sardine. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Deskriptor akustik menurut Coetzee 2000. A Morphology B Internal Energetic [1]. Height apparent [9]. Mean echo intensity [2]. Length apparent [10]. Standard deviation of echo intensity [3]. Height real [11]. Coefficient of variation of echo intensity [4]. Length real [12]. Coefficient of Horizontal roughness [5]. Area [13]. Coefficient of Vertical roughness [6]. Volume [14]. Skewness [7]. Perimeter [15]. Kurtosis [8]. Fractal dimension C Correction data [16]. NND [18]. Number of cells [17]. NNA [19]. Ping to discard Lawson et al., 2001 mengidentifikasi spesies kawanan ikan pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan menggunakan deskriptor akustik dan informasi tambahan berupa data suhu dan salinitas. Hasilnya adalah kawanan ikan pelagis anchovy, sardine, round herring dapat diidentifikasi sebesar 88,3. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.14. Tabel 2.14. Deskriptor akustik menurut Lawson et al. 2001

A. Morphometric B. Energetic

[1]. Height [5]. Mean acoustic energy [2]. Length [6]. Standard deviation of acoustic energy [3]. Perimeter [7]. Skewness of acoustic energy [4]. Area [8]. Kurtosis of acoustic energy

C. Bathymetric

[9]. Mean school depth [10]. Altitude index

2.6 Perikanan Pelagis Di Perairan Selat Bali

Burhanudin Preseno 1982 diacu dalam Wudianto 2001 menyatakan bahwa perairan Selat Bali diperkirakan memiliki luas mencapai 900 mil persegi dan dibatasi oleh daratan Pulau Jawa di sebelah barat, daratan pulau Bali di sebelah timur, Laut Jawa Selat Madura dengan lebar 1 mil di sebelah utara dan Samudera Hindia dengan lebar 28 mil di sebelah selatan. Usaha penangkapan di perairan Selat Bali terutama ditujukan untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil seperti lemuru, tembang, dan layang. Alat tangkap yang umum digunakan oleh nelayan setempat yakni: pukat cincin, payang, jaring insang, rawai dasar, pancing, bagan, sero dan lainnya. Spesies kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali sebagian besar didominasi oleh jenis ikan lemuru Sardinella lemuru dengan kisaran 14-98, selanjutnya tongkol Auxis spp dengan kisaran 0.5-56, layang Decapterus sp dengan kisaran 0.1-61 dan ikan lainnya dengan kisaran 0.1-14 pada Tahun 1996-1998 Wudianto, 2001. Lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil yang berdasarkan buku statistika perikanan Indonesia, terdiri dari beberapa jenis antara lain: Sardinella longiceps, S. aurita, S. leiogaster, S. clupeiodes, dan Amblygaster sirm . Perairan Selat Bali umumnya didominasi oleh Sardinella longiceps . Tahun-tahun terakhir ini sebutan S. longiceps jarang digunakan sebagai sebutan nama ilmiah lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali Wudianto, 2001. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan Wongratana, 1982 diacu dalam Merta, 1992 mengidentifikasikan jenis lemuru di perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru Bleeker, 1853. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru di perairan selat Bali yang dilakukan oleh Wongratana,1982 adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella Subgenus : Harengula Species : Sardinella lemuru Bleeker, 1983 Budihardjo et al., 1990 menyebutkan bahwa sekitar 80 produksi total ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru Sardinella lemuru . Komposisi hasil tangkapan pada Gambar 2.4, menunjukkan bahwa spesies kawanan ikan pelagis kecil didominasi oleh lemuru. Produksi hasil tangkapan lemuru yang tinggi terjadi bulan Agustus sampai Desember. Nelayan di perairan Selat Bali membedakan ukuran panjang ikan lemuru hasil tangkapan menjadi 4 penamaan, yaitu: sempenit panjang maksimal 11 cm, protolan 15 cm, lemuru 18 cm dan lemuru kucing panjang minimal 19 cm Merta, 1992.

2.7 Pendugaan Kawanan Ikan Menggunakan Hidroakustik

Pendeteksian kawanan ikan dengan menggunakan peralatan hidroakustik dilakukan pertama kali oleh nelayan Norwegia sekitar tahun 1934. Selama Perang Gambar 2.4. Rata-rata bulanan produksi ikan dari pukat cincin berdasarkan jenis ikan, Tahun 1996-1998 Wudianto, 2001 Dunia II hidroakustik mengalami perkembangan yang luar biasa sebagai alat pendeteksi kapal selam. Setelah perang berakhir, pengetahuan tentang akustik diaplikasikan untuk pendeteksian ikan secara intensif, namun hasilnya belum terwujudkan secara kuantitatif. Nelayan saat itu hanya menterjemahkan echogram dari hasil echosounder ke dalam estimasi hasil tangkapan Widodo, 1999. Setelah diketemukannya integrator gema echo-integrator secara digital yang mampu mengkuantifikasikan hasil mengamatan akustik maka hidroakustik dapat diaplikasikan untuk pendugaan stok ikan Johanneson Mitson, 1983. Di Indonesia pemanfaatan metode akustik untuk pengkajian stok sumberdaya ikan dimulai sejak tahun 1972 dengan menggunakan Kapal Penelitian Lemuru milik FAO bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan Ditjen Perikanan Venema, 1996 diacu dalam Wudianto, 2001. Penggunaan metode akustik untuk pendugaan stok sumberdaya perikanan terdapat kelebihan dan kekurangannya. Thorne 1983 yang dikutip Wudianto 2001 mengungkapkan beberapa kelebihan metode akustik dibanding metode lainnya antara lain: 1 dengan metode akustik tidak tergantung pada ketersediaan data statistik perikanan seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan, 2 memiliki skala waktu yang lebih baik, 3 biaya operasional relatif rendah, 4 hasilnya memiliki ragam variance yang rendah atau ketelitian yang tinggi, dan 5 memiliki kemampuan untuk mengestimasi kelimpahan absolut ikan. Beberapa kekurangan pemanfaatan metode akustik antara lain: 1 lemah dalam memilah- milah ikan berdasarkan spesies, 2 kurang teliti digunakan untuk sampling ikan dekat permukaan dan dasar, 3 agak rumit dan komplek 4 diperlukan biaya awal yang tinggi, 5 diperlukan sampling biologi ikan dan 6 kemungkinan terjadi bias saat penentuan target strength dan kalibrasi. Menurut Scalabrin Masse 1993 pendeteksian kawanan ikan secara akustik dapat digolongkan menjadi 2 cara jika dilihat dari prinsip kerjanya yaitu: 1 pengamatan dari atas secara vertikal dengan echosounder dan 2 pengamatan dari arah samping secara mendatar dengan sonar. Sesuai dengan keterbatasan jangkauan alat, kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan echosounder yang prinsip kerjanya dari atas maka pengukuran terhadap panjang kawanan ikan hasilnya lebih teliti dibanding hasil pengukuran terhadap tingginya. Namun sebaliknya, jika penggunaan sonar hasil pengamatan tinggi kawanan ikan lebih akurat dibanding hasil pengamatan terhadap panjang kawanan.

2.7.1 Echosounder split beam system

Echosounder split-beam memiliki transducer yang dibagi dalam 4 kuadran. Arah target ditentukan dengan membandingkan sinyal yang diterima masing-masing kuadran. Transducer memiliki dua fungsi yaitu pertama, mengubah energi listrik menjadi pulsa akustik yang ditransmisikan, kadang-kadang disebut dengan ping; kedua, ketika target memantulkan