128
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Pemikiran
Permasalahan kegagalan pembangunan ekonomi di masa lalu sampai sekarang, lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat sentralistik
yang cenderung top-down, dengan membangun kutub-kutub pertumbuhan pada wilayah-wilayah berupa kota-kota besar, yang berasumsi bahwa dari pusat-pusat
pertumbuhan tersebut akan menetes tricle down effect kepada wilayah belakangnya hinterland di wilayah pedesaan. Namun pada kenyataannya
malahan terjadi net-transfer sumberdaya secara besar-besaran dari wilayah pedesaan ke pusat-pusat pertumbuhan. Kondisi inilah yang secara spasial
mengakibatkan terjadinya pemiskinan pada wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang luas.
Menurut Anwar 2001 bahwa paradigma pembangunan ekonomi wilayah hendaknya memperhatikan tiga komponen penting dalam pembangunan yang
terkait dengan penguatan basis ekonomi pedesaan, yaitu pertumbuhan growth, pemerataan equity dan keberlanjutan sustainability. Dalam konteks penguatan
basis ekonomi pedesaan tersebut, maka sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan yang merupakan sektor ekonomi yang banyak digeluti oleh
masyarakat kecil dan menengah harus menjadi per ioritas utama dalam pembangunan. Sebab sektor tersebut merupakan sektor primer yang banyak
memiliki keterkaitan langsung dengan sektor lain, memegang peranan penting dan merupakan basis ekonomi masyarakat pedesaan yang harus ditempatkan
sebagai sasaran pen gembangan dan perioritas pembangunan. Untuk pengembangannya perlu suatu strategi pembangunan yang berbasis komonitas
lokal dan sumberdaya domestik yang memiliki keunggulan komparatif dan
129
kompetitif, sehingga diharapkan nantinya dapat menunjang pembangunan dan memacu pengembangan perekonomian wilayah.
Salah satu komoditi perkebunan yang perlu mendapat perhatian dan diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan wilayah
Kabupaten Buru adalah tanaman kakao. Sebab komoditas ini merupakan salah satu komoditi ekspor, yang memiliki prospek pasar yang cukup baik dan sangat
diminati masyarakat dalam pengembangannya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengembangan komoditas ini lebih disebabkan oleh pengaruh
merosotnya harga cengkeh dan semakin membaiknya harga pasar kakao baik di tingkat petani, nasional maupun dunia, juga dipengaruhi oleh kondisi kebutuhan
hidup keluarga tani yang semakin tinggi. Sehingga dalam kurun waktu lima tahun terakhir tercatat komoditas kakao memperlihatkan laju pertumbuhan yang cukup
tinggi dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan lainnya. Karena merupakan komoditi ekspor, maka pengembangan tanaman kakao ini
diharapkan dapat memperbaiki pendapatan petani untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarga tani yang terus meningkat dan memberikan peluang
lapangan kerja, dan pada akhirnya diharapkan dapat memacu pertumbuhan pembangunan wilayah.
Untuk itu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru, yang diharapkan nantinya dapat
meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku bisnis yang terkait dengan usahatani kakao maupun memberikan kontribusinya terhadap peningkatan
perekonomian daerah adalah meliputi sistem usahatani, pengolahan dan pemasaran. Dalam pola usahatani yang perlu mendapat perhatian adalah alokasi
sumberdaya, terutama lahan dan tenaga kerja, penggunaan teknologi,
130
produktivitas dan keuntungan yang didapatkan dari pengusahaan kakao. Sedangkan aspek pengolahan hasil perlu mengungkapkan insentif petani
maupun pedagang yang sangat berperan dalam penentuan mutu kakao, hal ini mengingat mutu kakao di Indonesia masih tergolong rendah. Secara lebih
spesifik masalah yang akan dikaji dari aspek usahatani adalah proses produksi dan tataniaga komoditi kakao rakyat yang berhubungan langsung dengan tingkat
pendapatan dan kelayakan usaha, permasalahan perubahaan harga beberapa komoditi perkebunan terutama perubahan harga cengkeh dan kakao akan dikaji
dengan melihat perubahan terhadap pemanfaatan lahan usahatani kakao, dan berbagai peran dan kebijaksanaan pemerintah dalam mendorong
pengembangan pembangunan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru. Dalam konteks pembangunan perkebunan yang terkait dengan pengembangan
ekonomi wilayah, maka aspek yang tidak kala penting untuk dikaji adalah bagaimana pergeseran share dan competitIveness perkebunan kakao rakyat
guna mengetahui secara pasti dinamika dan perubahan aktivitas perekonomian berbasis komoditas dan sekaligus pertumbuhan ekonomi wilayah di Kab. Buru.
Untuk melihat rantai tataniaga kakao maka aspek terpenting yang perlu dikaji adalah proses pemasaran, faktor kelembagaan usahatani dan tingkat
pendidikan. Ketiga komponen ini mempunyai arti penting dan memberikan andil yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan bagi setiap pelaku usahatani
yang terlibat dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat. Pengorganisasian kelembagaan pemasaran yang ditata dengan sistem yang baik akan memberikan
efisiensi pemasaran. Untuk itu perlu dikaji sejauh mana tingkat efisiensi pemasaran yang mempengaruhi struktur insentif yang akan diterima petani.
Telaah yang akan dibahas mencakup gambaran pengorganisasian lembaga pemasaran yang terkait dengan perilaku petani dan pedagang, marjin tataniaga,
integrasi pasar, struktur pasar dan transmisi harga. Sehingga diharapkan akan
131
terungkap sejauh mana pemasaran merupakan kendala dalam peningkatan produksi kakao.
Secara umum di wilayah pedesaan dan kecamatan yang merupakan sentra-sentra produksi perkebunan kakao rakyat, mengalami banyak
keterbatasan infrastruktur dan memiliki kendala dalam mengakses informasi pasar, karena belum ada sistem informasi yang kuat dan akurat di pedesaan
menyebabkan petani banyak mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil usahanya. Kondisi geografis wilayah dan keterbatasan tersebut menyebabkan
petani harus menanggung resiko biaya transportasi yang tinggi serta harus menerima kehilangan waktu hanya untuk dapat menjangkau pusat pasar. Sebab
jarak antar wilayah sentra produksi dengan pasar cukup jauh, dan hanya dapat dijangkau melalui transportasi laut dengan membutuhkan waktu yang cukup
lama, belum lagi bila terjadi perubahan cuaca. Akses terhadap informasi pasar langkah dan mahal untuk diperoleh, akibatnya harga tidak berfungsi sebagai
kordinator informasi untuk pengalokasian sumberdaya secara efesien. Kondisi ini menyebabkan petani kakao memilih sistem kelembagaan diluar institusi pasar
extra market institution yang berupa kelembagaan principle–agent Anwar, 1998, meskipun akhirnya petani harus menerima resiko mendapat bagian harga
yang lebih kecil karena dalam proses penentuan harga petani cenderung bertindak sebagai price taker.
Opsi kelembagan ini sering dikaitkan dengan kuatnya ikatan antara petani dengan pedagang yang terbentuk secara historis dengan menekankan pada
unsur kekerabatan dan kepercayaan. Disamping itu karena adanya ketidak pastian tentang produk pertanian, maka transaksi pertukaran yang dijalankan
oleh petani kakao dengan pedagang pengumpul, pedagang pengumpul dengan pengusaha dilakukan melalui sistem kelembagaan pertukaran diluar institusi
pasar extra market institution yang biasanya memerlukan dukungan ikatan-
132
ikatan personal yang disebut dengan principle – agent dalam bentuk patron- client. Praktek ini lebih disukai masyarakat karena dapat memperkecil biaya
transaksi dari pada melalui sistem pertukaran ekonomi formal pada tingkat lokal spot exchange, Anwar, 1998. Persoalan dari hubungan principle – agent
adalah karena adanya informasi yang asimetrik, di mana suatu pihak memiliki lebih banyak informasi dari pada pihak lain. Sehingga informasi yang asimetrik
menimbulkan persoalan buruknya pilihan advers selection yang bersifat ex-ante dan persoalan bencana moral moral hazard yang bersifat ex-post. Artinya suatu
bentuk hubungan principle-agent berlangsung dengan satu korbanan yang dikenal sebagai biaya agensi agency cosst atau biaya transaksi yang sangat
berpengaruh terhadap opsi kelembagaan yang menjadi pilihan petani. Di samping itu, biaya transaksi menurut Hobbs 1997 opsi kelembagaan juga
berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, besarnya anggota keluarga, pendapatan dan aspek yang berkaitan dengan
karakteristik usaha. Peranan kelembagaan usahatani yang diharapkan dapat mengorganisir setiap pelaku usahatani dalam pengembangan perkebunan kakao
rakyat di wilayah penelitian belum terlihat sama sekali, yang ada hanya kelembagaan non-formal. Oleh karena itu aspek terpenting dari opsi
kelembagaan usahatani kakao rakyat di Kabupaten Buru hanya dapat dikaji secara diskriptif.
Persoalan lainnya dalam usahatani kakao di wilayah penelitian yang terkait dengan tingkat kesejahteraan petani adalah pengelolaan usaha perkebunan
kakao. Permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh petani yaitu tingginya harga beberapa komponen input produksi dan cukup sulit untuk memperolehnya,
seperti pupuk, pestisida, alat pertanian serta harga jual komoditi kakao di tingkat petani yang sering berfluktuatif dan cenderung lebih rendah dari yang
seharusnya dibayar konsumen, sehingga terjadi pengalihan surplus petani
133
kepada konsumen. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam memproteksi harga input dan output produksi dalam
pengembangan perkebunan kakao rakyat masih bersifat distortif. Untuk membuktikan dugaan kebijakan pemerintah tersebut bersifat distortif atau tidak,
maka dapat dilakukan dengan pendekatan Policy Analysis Matrix PAM, yang pada intinya adalah untuk mengetahui dengan jelas kebijakan pemerintah
terhadap proteksi input dan ouput, sekaligus untuk mengetahui aliran surplus dari produsen kepada konsumen dan sebaliknya, serta mengestimasi keunggulan
komparatif pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru. Oleh karena itu usaha untuk memperbaiki pendapatan petani dan
memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, maka kegiatan pembangunan seharusnya ditujukan dan dilakukan oleh masyarakat lokal untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat secara berkelanjutan. Hal tersebut perlu dilakukan dengan meningkatkan produksi, perbaikan mutu hasil dan sistem
kelembagaan petani yang kuat, yang mampu menekan terjadinya transaksi kost yang tinggi. Sehingga dapat mewujudkan perbaikan taraf hidup masyarakat
pedesaan, yang pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan kontribusi pendapatan kepada daerah dan
meningkatkan devisa negara.
134
Secara skemastik kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan alir berikut ini :
Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian Pengembangan Komoditi Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru
135
3.2. Hipotesis