80
1.1. Latar Belakang
Komoditi perkebunan merupakan salah satu komponen sektor pertanian yang memberikan peranan penting dan mempunyai kontribusi cukup besar terhadap
pembangunan ekonomi nasional. Ketika Indonesia diterpa krisis multidimensi pertengahan tahun 1997, hampir seluruh sektor pembangunan ekonomi telah
mengalami kelumpuhan, namun sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan telah memberikan andil dalam meningkatkan devisa negara. Kondisi
tersebut menggambarkan bahwa subsektor perkebunan merupakan sektor basis yang banyak diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, dan merupakan sumber
mata pencaharian utama bagi sebagian penduduk di beberapa provinsi. Dalam tahun 2002, dari total penerimaan sektor pertanian sebesar US 5.364 juta,
subsektor perkebunan telah menyumbangkan sekitar 88,76 dari perolehan devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas Ditjenbun, 2004.
Di lain sisi, gambaran kegagalan pembangunan ekonomi pada saat terjadinya krisis, memberikan hikmah pentingnya merubah paradigma pembangunan yang
selama ini bercorak sektoral, lebih bertumpuh pada kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan tidak berbasis sumberdaya domestik. Dengan semakin
terbatasnya sumberdaya alam yang tidak terbaharui unrenewab le serta menurunya kapasitas produksi sumberdaya alam terbaharui renewable
recsources, memberikan isyarat bahwa di masa akan datang paradigma pembangunan ekonomi tidak lagi didasarkan kepada kegiatan-kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam, namun lebih mengarah kepada pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis komunitas lokal local community-based
economy dan sumberdaya domestik domestic resource-based economy. Menurut Rustiadi 2000 bahwa pembangunan yang berbasis komonitas lokal
merupakan pembangunan yang ditujukan dan dilaksanakan oleh masyarakat
81
lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan yang disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi lingkungan sumberdaya alamnya,
sedangkan pembangunan yang berbasis sumberdaya domestik dalam penggunaannya harus mencakup sumberdaya fisik-alam natural resource,
sumberdaya manusia human capital sumberdaya sosial social capital dan sumberdaya buatan man-mad capital.
Sektor pembangunan ekonomi yang memenuhi kriteria dan kondisi paradigma pembangu nan tersebut adalah sektor pertanian. Salah satu komoditas
perkebunan dari sektor pertanian yang memberikan andil dalam pembangunan ekonomi nasional adalah tanaman kakao. Ditinjau dari sudut pengusahaan maka
komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, karena secara nasional hampir 87 persen pengembangan kakao diusahakan oleh perkebunan
rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara PBN dan Perkebunan Besar Swasta PBS, Ditjenbun 2004.
Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan, 1993-2003
Luas Areal Ha Produksi ton
Tahun PR
PBN PBS
Jumlah PR PBN
PBS Jumlah
1993 1994
1995 1996
1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
376.636 415.522
428.923 488.815
380.811 436.576
534.670 641.133
710.044 798.628
801.332 65.525
69.760 66.021
63.025 62.455
58.261 59.990
52.690 55.291
54.815 54.815
93.124 111.729
107.484 103.491
85.791 77.716
73.055 56.094
56.114 60.608
61.487 535.285
597.011 602.428
655.331 529.057
572.553 667.715
749.917 821.449
914.051 917.634
187.529 198.001
231.991 304.013
263.846 369.887
304.549 363.628
476.924 511.379
512.251 40.638
42.086 40.933
36.456 35.644
46.307 37.064
34.790 33.905
34.083 34.310
29.892 29.894
31.941 33.530
30.729 32.733
25.862 22.724
25.975 25.693
26.079 258.059
269.981 304.866
373.999 330.219
448.927 367.475
421.142 536.804
571.155 572.640
Sumber : Ditjenbun 2004 Keterangan : Angka Sementara.
Peranan komoditi kakao terhadap penyerapan tenaga kerja dan penghasil devisa, mendorong pemerintah untuk lebih menfokuskan perhatiannya pada
82
pengembangan komoditas ini. Kondisi riel di lapangan menunjukkan bahwa pada tahun 1993 luas areal kakao hanya mencapai 535.285 ha dengan produksi
nasionalnya sebesar 258.059 ton, namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan luas areal sebesar 914.051 ha, pertambahan luas areal tersebut telah
mendorong peningkatan jumlah produksi kakao nasional sebesar 571.155 ton. Dari peningkatan produksi tersebut perkebunan kakao rakyat memberikan
kontribusi produksi kakao sebesar 511.379 ton dari total produksi nasional. Pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Provinsi Maluku, pada umumnya
hampir sama dengan daerah lain di luar pulau Jawa, yaitu secara monokultur maupun kebun campuran. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik petani pada
wilayah ini yang memiliki keragaman dalam pola usahatani. Secara historis pengusahaan tanaman perkebunan di wilayah ini, sudah lama berlangsung. Di
mana komoditi perkebunan yang menjadi perioritas pengembangan dan sumber pendapatan petani, pada mulanya adalah tanaman cengkeh, kelapa dan pala.
Secara umum aktivitas masyarakat Kabupaten Buru masih berorientasi pada usaha tanaman perkebunan dan menjadikan komoditi perkebunan sebagai
sumber mata pencaharian utama. Pengembangan tanaman kakao di Kabupaten Buru sebagian besar adalah perkebunan rakyat yang diusahakan oleh petani
lokal dalam skala kecil dan pengelolaannya masih bersifat tradisional, karena belum ada yang diusahakan oleh perkebunan besar negara maupun perkebunan
besar swasta. Dalam pengembangannya komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan harga berbagai
komoditi perkebunan, di lain sisi karena ditunjang oleh keadaan agroklimat wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman perkebunan.
Di tinjau dari aspek agronomis, tanaman kakao mulai berproduksi pada umur tiga tahun dengan umur ekonomisnya sekitar dua puluh tahun.
Pengusahaan tanaman kakao oleh petani memiliki spesifikasi tersendiri dalam
83
sistem usahatani farming system. Sebab dalam pelaksanaannya, tanaman ini sering dibudidayakan dengan pola sistem tumpangsari dengan tanaman
perkebunan lainnya, seperti kelapa dan tanaman buah-buahan. Bahkan dalam penanamannya kebanyakan diawali dengan penanaman pohon pelindung yang
nantinya mempunyai nilai ekonomis baik secara langsung maupun tidak langusng. Penanaman kakao rata-rata diusahakan pada lahan-lahan yang hak
kepemilikannya adalah milik perorangan dan hak kepemilikan bersama hak ulayat. Proses pembentukan hak-hak masyarakat atas lahan ini umumnya
bersifat turun-temurun dan pengakuan atas hak-hak property right masyarakat telah berlangsung lama sejak mereka ada dilokasi tersebut.
Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional maupun dunia menyebabkan laju pertumbuhan pengusahaan komoditas ini
semakin pesat, bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan lainya seperti kelapa, cengkeh, pala, jambu mete dan kopi. Sehingga dalam
kurung waktu delapan tahun pengembangan komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, baik luas areal maupun produksinya. Di mana pada tahun
1995 luas lahan pengembangan kakao hanya sebesar 830 ha dengan jumlah produksinya 115,5 ton, maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 5.764,43 ha
dengan jumlah produksinya 4.893,18 ton yang diusahakan oleh 9.894 KK Disbun dan Hortikultura Kab. Buru, 2004.
Di samping permintaan pasar, pengaruh harga sangat signifikan terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat. Hal ini dikarenakan komoditi kakao
merupakan komoditi ekspor sehingga pengusahaannya lebih banyak disebabkan oleh adanya isyarat harga komoditas tersebut di pasar internasional. Akan tetapi
peningkatan tersebut tidak signifikan dengan produksi dan kualitas biji mutu hasil kakao. Rendahnya mutu hasil dan volume produksi tersebut, kemungkinan
84
disebabkan oleh terjadinya spasial monopsoni yang berakibat pada tidak kompetitifnya harga komoditi kakao.
Dalam sistem tataniaga, permintaan pasar terhadap komoditi kakao oleh industri pengolahan kebanyakan dalam bentuk biji kakao yang bermutu tinggi
yaitu biji kakao yang fermentasi sempurna full fermentation, namun dalam kenyataannya ada juga permintaan pasar dalam bentuk biji kakao setengah
fermentas yang sudah tentu harganya lebih rendah. Pemasaran komoditi kakao oleh petani di Kabupaten Buru sering dilakukan lewat perdagangan antar pulau
dalam wilayah Provinsi Maluku dan antar Provinsi. Dalam sistem pemasarannya, pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau memiliki peranan yang cukup
kuat dalam menentukan harga komoditi kakao. Peranan mereka yang cukup menonjol tersebut disebabkan posisi
bargaining petani sangat lemah dalam pengusahaan maupun tataniaga komoditi kakao, kondisi ini dipicu pula oleh tidak terorganisirnya kelembagaan petani dan
belum tertata sistem kelembagaan pemasaran dengan baik. Di samping itu institusi-institusi adat yang ada di masyarakat lokal kurang diberdayakan serta
kurang mendapat porsi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam. Kelembagaan formal yang dibentuk pemerintah seperti KUD atau koperasi
kurang berperan dalam pengembangan komoditi kakao maupun memberikan pelayanan yang baik bagi petani dalam peningkatan produksi, perbaikan kualitas
dan pemasaran. Pembentukan kelompok tani yang merupakan wadah bertemunya para petani dalam mensinergikan berbagai pemikiran dalam
meningkatkan usahanya lebih bersifat temporer, hanya mengejar target dan tidak berkelanjutan. Sehingga kelembagaan tataniaga yang berkembang di tingkat
petani adalah kelembagaan informal berupa sistem kontrak tradisional melalui sistem kekerabatan dan kepercayaan antar petani dengan tengkulakpengusaha.
85
Kegiatan perdagangan memainkan peranan penting dalam perekonomian, karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan
harus diciptakan kondisi yang dapat menjamin kelancaran pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri. Pemasaran kakao tentunya melalui beberapa
lembaga pemasaran yang ada dalam suatu sistem pemasaran. Sistem pemasaran yang produktif dan efisien tergantung pada efisiensi penggunaan
sumberdaya dan proses penciptaan kegunaan waktu, keguna an bentuk serta kegunaan tempat dalam pergerakan barang dan jasa dari kegiatan produksi.
Produksi komoditas pertanian yang tinggi yang tidak diikuti dengan sistem pemasaran yang baik, maka produksi tersebut tidak dapat memberikan manfaat
yang besar dalam usaha peningkatan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani.
Kelancaran pemasaran akan tercapai melalui upaya penyempurnaan lembaga pemasaran serta sistem pemasaran, keadaan ini diharapkan dapat
mendorong kegiatan produksi, sehingga dapat memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan petani serta pertumbuhan pembangunan wilayah.
Berangkat dari berbagai hal tersebut, maka kondisi ini menarik dilakukan penelitian untuk mengetahui berbagai faktor dalam “Pengembangan Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku”.
1.2. Perumusan Masalah