Elastisitas Trasmisi Harga Integrasi Pasar

207 yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya, jika proporsi harga yang diterima petani makin sedikit, bargaining position petani semakin kecil.

6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga

Penggunaan analisis elastisitas trasmisi harga adalah untuk mengkaji sejauh mana tingkat efisiensi pemasaran suatu komoditi atau justru berimplikasi pada distorsi harga. Jika nilai elastisitas transmisi harga posistif dan mendekati satu, maka perubahan harga di pasar referensi eksportir dapat ditransmisikan ke produsen. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai elastisitas trasmisi harga 30,98 persen, yang memberikan pengertian bahwa apabila terjadi perubahan harga di tingakat eksportir pasar referensi sebesar Rp 100 akan menyebabkan perubahan harga kakao di tingkat pasar lokal petani sebesar Rp 30,98. Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan harga di pasar referensi tidak ditransmisikan sepenuhnya ke pasar yang di bawahnya pasar lokal. Kondisi tersebut mengindikasikan terjadinya segmentasi harga yang disebabkan adanya praktek monopsoni oleh pedagang besar, baik yang ada di Ko ta Namlea maupun di Kota Ambon.

6.2.4. Integrasi Pasar

Komoditi kakao merupakan komoditi ekspor, sehingga dalam penentuaan harga sangat di tentukan oleh perubahan harga di level teratas yaitu permintaan pasar luar negeri. Namun yang diamati dalam analisis keterpaduan pasar integrasi pasar di wilayah penelitian adalah untuk melihat keeratan hubungan antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pedagang besar eksportir. Dalam analisis ini akan diamati fenomena perubahan harga kakao di tingkat pasar referensi pedagang besar dengan harga kakao di tingkat petani. Hasil analisis integrasi pasar komoditi kakao antara pasar di tingkat petani dengan pasar referensi di Kabupaten Buru dapat dilihat pada tabel 23. 208 Tabel 23. Hasil Pendugaan Koefisien Persamaan Regresi Harga Kakao di Kabupaten Buru Standard Peubah Koefisien T. Ratio P. Value Error Intercep 0,839 1,48 0,154 0,567 HTPt-1 0,513 2,57 0,018 0,199 HPB-HPBt-1 0,00411 2,82 0,011 0,00146 HPBt-1 0,173 1,21 0,241 0,143 R 2 = 0,487 F = 6,34 DW = 2,03 P. Value= 0,003 Dari hasil analisis integrasi pasar menunjukkan bahwa hasil perhitungan indeks integrasi pasar komoditi kakao di tingkat petani dengan pasar referensi pedagang besar baik yang terdapat di kota Namlea maupun di kota Ambon memperlihatkan Index of Market Integration IMC = -4,45. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek tercapai keseimbangan dan keterpaduan antara pasar referensi pedagang besar dengan pasar di tingkat petani, karena nilai yang diperoleh jauh lebih kecil dari satu. Dengan demikian bahwa perubahan harga di pasar referensi pedagang besar dapat direspon oleh perubahan harga kakao di tingkat petani. Di lain sisi nilai IMC 1 juga memberikan gambaran bahwa kondisi pada pasar referensi memiliki pengaruh yang dominan terhadap pembentukan harga di pasar lokal petani. Hal ini dapat di pahami karena komoditi kakao merupakan komoditi ekspor, di mana penentuan harga sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar baik pasar regional, nasional maupun luar negeri, sehingga perubahan harga di tingkat petani sangat tergantung pada penetapan harga oleh eksportir di Surabaya. Walaupun demikian, dalam penelusuran terhadap keterpaduan pasar di wilayah penelitian menunjukkan bahwa sering terjadi penetapan harga yang sepihak oleh pedagang pengumpul maupun pedagan besar. Disamping itu kondisi lokal wilayah yang turut berpengaruh terhadap informasi harga yang cukup sulit di peroleh petani di daerah pedesaan. Sehingga dalam penetapan harga petani sering kali dirugikan, di mana posisi tawar bargaining position 209 petani sangat lemah dalam penetapan harga atas komoditi kakao yang akan di jual. Kemudian dari hasil analisis Tabel 23 di peroleh nilai koefisien regresi perubahan harga komoditi kakao di tingkat pedagang besar adalah 0,00411, artinya jika terjadi perubahan harga kakao di tingkat pedagang besar pasar referensi sebesar Rp 1.000, maka harga kakao di tingkat petani hanya berubah Rp 4,11. Walaupun koefisien regresi tersebut bersifat signifikan, fenomena ini mengindikasi bahwa perubahan harga kakao di tingkat pedagang besar pasar referensi tidak berpengaruh kuat terhadap perubahan harga kakao di tingkat pasar lokal petani, dan memberikan ilustrasi bahwa dalam jangka panjang tidak tercapai keterpaduan pasar antar pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pedagang besar eksportir. Kondisi ini dapat dipahami karena kedudukan pedagang besar baik di Ambon atau di Namlea dan eksportir di Surabaya sebagai pembeli maupun pengekspor komoditi kakao jaraknya relatif berjauhan dengan sentra produksi yaitu petani selaku produsen.

6.2.5. Opsi Kelembagaan Petani