Kajian Pengembangan Kakao Analisis pengembangan perkebunan kakao rakyat di kabupaten Buru provinsi Maluku

93 pemangkasan adalah agar dapat merangsang pertumbuhan dan pembuahan yang lebih baik. Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur 3 tahun dengan umur ekonomis 20 sampai 25 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan dengan mengamati tanda yang terjadi pada buah tersebut. Buah yang masak, setelah kulit buah yang merah menjadi orange atau kulit buah yang hijau menjadi kuning, di mana perubahan warna kulit buah tersebut menandakan bahwa buah tersebut sudah masak dan siap dipanen. Secara fisiologi, pada saat demikian maka biji- biji dalam buah mulai lepas dari diding buah. Setelah panen, pengolahan biji kakao untuk siap dipasarkan meliputi kegiatan antar lain : fermentasi, pencucian dan penjemuran. Waktu yang diperlukan untuk fermentasi biasanya 2 sampai 3 hari, kemudian dilanjutkan dengan dilakukan pencucian dengan maksud untuk menghindari kapan atau jamur. Setelah pencucian, tahap selanjutnya biji kakao dikeringkan yaitu dengan penjemuran selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum dipasarkan ke pabrik pengolahan. Biji kakao digunakan dalam industri pengolahan untuk dijadikan berbagai produk makanan, minuman dan bahan campuran kosmetik. Sedangkan sebagai by product, kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan makanan ternak.

2.2. Kajian Pengembangan Kakao

Penelitian Widyastutik 2005 tentang mungkinkah Indonesia mencapai swasembada gula secara berkelanjutan?, yang dilakukan di Kabupaten Madium dengan tujuan untuk menganalisis kemungkinan Indonesia untuk mencapai swasembada gula secara berkelanjutan dan siapa yang sebenarnya menikmati 94 proteksi tinggi yang diberikan terhadap industri gula selama ini. Penelitian ini dengan menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix PAM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekonomi pengusahaan gula pada berbagai pola tidak menguntungkan. Nilai DRC1 mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan privat yang dimiliki oleh pengusahaan gula lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terlalu protektif terhadap sistem komoditi, yaitu dalam bentuk tarif impor dan penentuan harga referensi pada ouput, dan subsidi pada input. Untuk mencapai DRC=1, analisis simulasi menunjukkan diperlukannya upaya peningkatan efisiensi pengusahan gula dari subsistem agribisnis hulu hingga ke hilir yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak akan mungkin terwujud. Tambahan pula, proteksi yang tinggi yang diberikan kepada industri gula selama ini tidak dinikmati oleh petani tebu. Menurut Siregar dan Romdhon 2004 dalam penelitian tentang dayasaing industri kecil gula kelapa di Kabupaten Banyumas, dengan menggunakan pendekatan matriks analisis kebijakan dan opsi kelembagaan. Tujuannya dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kenerja finansial dan ekonomi pengusahaan gula kelapa dengan pendekatan analisis matriks kebijakan PAM, dan mengkaji faktor yang menyebabkan produsen memilih bentuk kelembagaan pemasaran tertentu. Hasilnya menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas gula kelapa memiliki dayasaing yang relatif tinggi. Pengusahaan komoditas tersebut memberikan keuntungan secara privat maupun secara sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan sosial lebih besar dibandingkan keuntungan privat. Lebih lanjut dikatakan bahwa distorsi ini terutama disebabkan oleh adanya kegagalan pasar, dan berkenaan dengan kontrak tradisional yang umumnya 95 mengikat produsen gula kelapa penderes. Sedangkan analisis fungsi logistik menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga penderes, karakteristik komoditas yang diusahakan dan karakteristik kelembagaan merupakan faktor- faktor penentu opsi kelembagaan pemasaran yang akan dipilih oleh penderes. Aris 2003 melakukan penelitian tentang analisis pengembangan agribisnis kelapa rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir. Peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan respon luas areal adalah harga riel kopra, harga riel tandan buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, peubah bedakala dan dummy otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa secara parsial hanya parameter peubah bedakala luas areal dan dummy otonomi daerah yang nyata, sedangkan parameter lainnya tidak nyata terhadap luas areal. Persamaan produktivitas peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kopra, harga riel tandan buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, tingkat suku bunga investasi, peubah bedakala dan dummy kebijakan pemerintah dibidang perkebunan kelapa. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kelapa respon terhadap harga kopra, harga sawit, upah riel tenaga kerja dan dummy program pemerintah, namun tidak respon terhadap peubah suku bunga investasi dan bedakala luas areal. Tetapi secara keseluruhan penawaran kelapa di Indragiri Hilir, luas areal lebih responsif dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga kopra dan tingkat upah dalam jangka panjang, namun dalam jangka pendek produktivitas lebih tinggi dan responsif dibandingkan luas areal. Elastisitas penawaran terhadap harga kopra dan upah tenaga kerja dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan elastisitas jangka pendek, hal ini disebabkan koefisien penyesuaian bernilai relatif kecil. Selanjutnya menurut Aris, dalam kajian kelayakan usaha dan kebijakan perkelapaan bahwa secara finansial kinerja usahatani kelapa rakyat di Indragiri 96 Hilir sudah tidak layak untuk diusahakan. Namun secara ekonomi usahatani kelapa rakyat di wilayah tersebut masih layak untuk dikembangkan, yang ditunjukkan dengan nilai BC ratio lebih besar dari satu, NPV yang positif dan IRR yang jauh lebih besar dari suku bunga bank. Untuk analisis kebijakan kelapa rakyat di Indragiri Hilir dengan menggunakan analisis PAM, memperlihatkan bahwa usahatani kelapa rakyat mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komparatif dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat PCR dan rasio biaya sumberdaya domestik DRC yang diperoleh lebih kecil dari satu. Penelitian Bafadal 2000, tentang produksi dan respon penawaran kakao rakyat di Sulawesi Tenggara. Dalam persamaan luas areal peubah yang dimasukkan adalah harga riel kakao, harga riel cengkeh, upah riel tenaga kerja, harga riel pupuk urea dan peubah bedakala. Sedangkan persamaan produktivitas, peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kakao, harga riel cengkeh, upah riel tenaga kerja, harga riel pupuk urea, curah hujan, luas areal dan peubah bedakala. Hasilnya menunjukkan bahwa luas areal tanaman kakao respon terhadap perubahan harga kakao, harga pupuk dan peubah bedakala. Sedangkan hasil respon produktivitas menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kakao tidak berpengaruh terhadap perubahan harga kakao, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, curah hujan dan luas areal. Lolowang 1999 dalam penelitian tentang analisis penawaran dan permintaan kakao Indonesia di pasar domestik dan internasional. Data yang digunakan adalah data sekunder runtun waktu 1969-1996, dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan simultan. Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku luas areal tanaman di Indonesia bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan harga kakao domestik, harga kopi do mestik, upah tenaga kerja dan 97 tingkat bunga bank. Produktivitas kakao di bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao domestik, harga pupuk dan areal tanaman. Lebih lanjut menurut Lolowang bahwa negara tujuan ekspor kakao Indonesia yaitu Amerika Serikat, Singapura dan Jerman dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Harga kakao dunia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap penawaran ekspor dunia, sedangkan terhadap permintaan impor dunia tidak responsif dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang. Harga kakao domestik tidak responsif terhadap harga kakao dunia, penawaran kakao domestik dan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan jangka panjang. Wardani, dkk 1997 menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk melihat hubungan antara masukan atau input dengan produktivitas kakao serta pengaruh faktor-faktor endowment faktor manajemen, lingkungan, intrinsik tanaman terhadap pergeseran fungsi produksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 21 peubah yang dimasukkan, terdapat 5 peubah yang berpengaruh nyata positif, 4 peubah berpengaruh negatif dan sisanya berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kakao. Peubah yang berpengaruh nyata adalah penggunaan pupuk urea 0,02, pupuk kieserite 0,02, fungisida tembaga 0,01 dan tenaga kerja tetap untuk pemupukan 0,02. Faktor endowment yang paling berpengaruh terhadap pergeseran fungsi produksi adalah penerapan manajemen. Manajemen kebun yang baik dapat menggeser fungsi produksi ke atas hingga 284,79 persen, dan manajemen yang kurang baik menggeser fungsi produksi ke bawah hingga 44,20 persen dari fungsi produksi rata-rata. 98 Menurut penelitian Noorsapto 1994 tentang keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kakao di perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta, dengan menggunakan pendekatan metode analisi s matriks kebijakan atau Policy Analysis Matrix PAM. Dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa semua sistem komoditas kakao adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Di mana ketiga bentuk pengusahaan tersebut memiliki keunggulan komparatif dan secara finansial mempunyai keunggulan kompetitif sebagai komoditi ekspor. Hal yang sama dilakukan oleh Yudhistira 1997, dalam penelitiannya tentang kajian keunggulan komparatif komoditas kakao di PBN Rajamandala Jawa Barat. Bahwa baik secara finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas kakao menguntungkan atau layak diteruskan. Dari analisis keuntungan privat diperoleh nilai Rp 303.909kg kakao kering, dan dengan analisis ekonomi diperoleh keuntungan sebesar Rp 498,54kg kakao kering. Artinya baik dalam pasar persaingan sempurna dan pasar terdistorsi ada campur tangan pemerintah maka pengusahaan kakao layak untuk dijalankan dikembangkan. Dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat PCR dan rasio biaya sumberdaya domestik DRC, pengusahaan komoditas kakao memiliki keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu, yaitu 0,76 dan 0,58. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iswandi 1996 terhadap pengusahan kakao oleh petani di Provinsi Sulawesi Tenggara, mengatakan bahwa secara finansial usaha kakao rakyat masih menguntungkan dengan net BC ratio pada df 18 sebesar 3,39, artinya setiap investasi sebesar Rp 1 akan memperoleh penerimaan bersih Rp 3,39. Dengan demikian, dari tinjauan investasi, pengusahaan ko moditas ini oleh petani memang layak. Sedangkan struktur pasar kakao menurut Iswandi adalah persaingan sempurna, karena 99 secara perorangan petani tidak mampu mempengaruhi volume pasar. Hal tersebut disebabkan sebagian besar petani kakao memiliki lahan yang berskala kecil. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran biji kakao adalah pedagang pengumpul desa, pedagang tingkat kabupaten, pedagang besar dan eksportir di Ujung Pandang, di mana ada hubungan kerjasama yang baik antara lembaga pemasaran dalam permodalan dan informasi harga. Bahwa petani menerima bagian harga sebesar 80 persen dari harga yang berlaku di tingkat eksportir. Harga di tingkat petani adalah Rp 2.000kg dan di tingkat eksportir Rp 2.500kg. Marjin pemasaran kotor yang diperoleh pedagang pengumpul sebesar Rp 100kg dengan keuntungan Rp 44kg. Pedagang di tingkat kabupaten memperoleh marjin kotor Rp 135kg, di mana keuntungannya sebesar Rp 47,7kg. Sedangkan pedagang besar di Ujung Pandang rata-rata memperoleh marjin kotor Rp 265kg, dan dari marjin tersebut keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 112,6kg. Sehingga total marjin pemasaran sebesar Rp 500kg yang dapat diperinci atas biaya pemasaran Rp 295,7kg dan keuntungan lembaga pemasaran Rp 204,3kg. Besarnya biaya pemasaran ini terserap pada bagian angkut, muat, bongkar dan timbang. Kondisi ini dapat difahami karena komoditas kakao adalah komoditas ekspor, sehingga kualitas terutama kadar air perlu diperhatikan, disamping itu faktor jarak antara petani dengan eksportir di Ujung Pandang menjadi salah satu penyebab tingginya biaya pemasaran. Dalam analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar, memperlihatkan nilai elastisitas transmisi harga adalah 0,80, artinya perubahan harga 1 persen pada tingkat eksportir hanya akan menyebabkan perubahan harga pada tingkat petani sebesar 0,80 persen. Sedangkan indeks keterpaduan pasar jangka pendek sebesar 0,94 dan dalam jangka panjang IMC adalah 0,36, artinya dalam jangka pendek pasar produsen atau petani kurang terpadu dengan 100 pasar referensi eksportir, di mana perubahan harga pada tingkat eksportir tidak kuat mempengaruhi perubahan harga pada tingkat petani. Hal ini dipengaruhi oleh faktor jarak yang relatif berjauhan antara kedudukan tempat eksportir dengan sentra produksi. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar 1991 tentang teknologi produksi pada tanaman lahan kering dengan menggunakan pendekatan multi-input multi- output. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa elastisitas harga penawaran terhadap harga sendiri dan harga tanaman lain dan harga output adalah inelastis. Elastisitas permintaan pupuk terhadap harga jagung dan harga kacang tanah adalah elastis, yaitu masing-masing 1.165 dan 1.795. Berdasarkan perhitungan return to scale dalam jangka pendek diperoleh hasil yang menurun. Hal tersebut memperlihatkan bahwa peningkatan keuntungan tidak dapat dilakukan tanpa peningkatan areal.

2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao