176
nilai NPV yang positif dan BC ratio lebih besar dari satu. Indikator lainnya adalah nilai IRR yang diperoleh jauh lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku df
12 yang mengindikasikan bahwa sampai pada tingkat suku bunga bank 37,93 persen kegiatan usahatani perkebunan kakao masih dapat memberikan
keuntungan bagi petani. Dengan pengertian bahwa dari pada modal yang dimiliki disimpan di bank lebih baik di investasikan untuk usahatani kakao, karena akan
mendatangkan keuntungan manfaat yang lebih dibandingkan dengan disimpan di bank.
Dari hasil analisis kelayakan usaha baik secara finansial ma upun ekonomi pada usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru menunjukkan bahwa
usahatani kakao rakyat dapat memberikan keuntungan bagi petani, sehingga layak untuk diusahakan dikembangkan, tinggal bagaimana peran pemerintah
dalam menjembatani usaha yang dikembangkan oleh masyarakat tersebut terutama dalam peningkatan produktivitas tanaman dan perbaikan harga. Selain
itu pula perlu memotivasi petani dalam meningkatkan produktivitas usahanya, yaitu melalui perbaikan kualitas SDM untuk dapat memanfaat kan dan
menggunakan teknologi budidaya, penggunaan bibit unggul, membangun infrastruktur khususnya transportasi dan perannya dalam penyediaan informasi
harga berbagai komoditi serta perbaikan harga input produksi maupun output produksi. Sehingga diharapkan dapat memacu petani dalam meningkatkan
usahanya, yang pada akhirnya akan memperbaiki tingkat pendapatan petani dan meningkatkan pendapatan daerah serta mendatangkan devisa bagi negara
.
6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah
Pengembangan komoditi kakao di Kabupaten Buru lebih banyak merujuk pada kebijakan pemerintah pusat. Kondisi tersebut terlilhat dari berbagai program
yang berlangsung selama ini, yaitu lebih diarahkan pada perluasan
177
pengembangan komoditi tersebut, seperti program ketahanan pangan dan penge mbangan agribisnis. Selain itu pula secara nasional ada upaya pemerintah
untuk memberdayakan petani dan perbaikan pendapatannya. Namun demikian belum ada kebijakan khusus yang dilakukan oleh pemerintah daerah terkait
dengan perbaikan harga maupun melindungi petani dari distorsi harga. Hal ini dapat di pahami, karena Kabupaten Buru merupakan daerah yang baru
dimekarkan sehingga banyak mengalami keterbatasan infrastruktur. Oleh karena itu kajian yang dilakukan dalam analisis ini lebih mengarah pada kebijakan
program pemerintah pusat. Untuk mengkaji kebijakan pemerintah pada sektor perkebunan khususnya
pada komoditi kakao, dan peran sertanya dalam melindungi petani dari distorsi pasar sebagai bentuk wujud kepedulian pemerintah untuk mempertahankan
eksistensi usaha dan sekaligus merupakan insentif untuk memacu motivasi petani kakao rakyat dalam meningkatkan produktivitasnya. Maka akan di analisis
dengan menggunakan perhitungan Policy Analysis Matrix PAM. Hasil analisis PAM pada tingkat usahatani disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Matrik Hasil Analisis Kebijakan pada Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004
B i a y a I n p u t Keterangan
Penerimaan Tradable
Domestik Keuntungan
Harga Privat 163.857.628
1.046.701 33.084.399
129.726.528 Harga Sosial
207.615.936 923.931
27.723.112 178.968.893
Divergensi -43.758.308
122.770 5.361.287
-49.242.365 PP = 129.726.528 FT
= 5.361.287 NPCO = 0,789
SP = 178.968.893 NT = -49.242.365
NPCI = 1,133 OT = -43.758.308 PCR
= 0,203 EPC = 0,788
IT = 122.770
DRCR = 0,134 PC = 0,725
SRP = 0,000 Dari hasil analisis PAM pada komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru
diperoleh nilai DRCR dan PCR yang lebih kecil dari satu yaitu 0,134 dan 0,203, yang mengindikasikan bahwa untuk mendapatkan atau menghasilkan satu
satuan nilai tambah output pada harga sosial dan harga privat, hanya dibutuhkan
178
kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Dengan pengertian bahwa untuk menghemat satu satuan biaya pada harga sosial dan harga privat hanya
diperlukan korbanan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Ilustrasi tersebut menunjukkan pula bahwa usahatani kakao rakyat yang di
kembangkan petani di Kabupaten Buru memiliki keunggulan baik secara komparatif maupun privat. Makna lain dari nilai DRCR 1 memberikan arti
bahwa memproduksi kakao dalam negeri lebih menguntungkan dibandingkan dengan impor, karena hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar
13,4 persen, artinya produksi kakao domestik memiliki daya saing yang tinggi, sebab setiap satu dollar, devisa yang dihasilkan dalam usahatani kakao rakyat di
wilayah penelitian mampu memberikan nilai tambah sebesar 86,6 dolar. Nilai PCR usahatani kakao adalah 0,203, yang berarti bahwa untuk
meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat untuk usahatani kakao di Kabupaten Buru, diperlukan tambahan biaya faktor domestik
sebesar 0,203. Rendahnya nilai PCR ini menunjukkan pula bahwa usahatani kakao yang dikembangkan di Kabupaten Buru memiliki keunggulan secara privat.
Sekaligus memberikan gambaran bahwa usahatani kakao rakyat dapat mendatangkan profit karena dapat membiayai faktor domestik pada harga privat,
artinya usahatani kakao menunjukkan tingkat efisiensi secara finansial. Hasil analisis PAM ini memperlihatkan nilai DRCR lebih kecil dari PCR, yang
mengindikasikan bahwa pengembangan usahatani kakao rakyat memiliki keunggulan komparatif dan prospektif untuk terus dikembangkan, sekalipun tidak
ada intervensi dari pemerintah.
6.1.2.1. Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah
Ukuran divergensi yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam matrik PAM dapat diperoleh dari nilai transfer faktor FT, transfer bersih NT,
transfer input IT dan transfer output OT. Ukuran relatif digambarkan oleh nilai
179
koefisien proteksi output nominal atau nominal protection coeficient on output NPCO, koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coeficient on
input NPCI, koefisien proteksi efektif atau effective protection coeficien EPC, koefisien profitabilitas atau profitability coeficient PC dan rasio subsidi bagi
produsen atau subsidy ratio to producent SRP. Nilai faktor transfer FT sebesar Rp 5.361.287, me nunjukkan terjadinya
perbedaan antara harga sosial dan harga privat yang diterima petani untuk pembayaran faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Perbedaan nilai FT
yang terjadi bukan saja disebabkan oleh kurangnya pemberian subsidi atau proteksi pemerintah terhadap harga input-input produksi, namun dipengaruhi
pula oleh perbedaan penilaian pemberian upah tenaga kerja dan pajak yang tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya sosial. Nilai FT yang positif juga
mengindikasikan bahwa petani membayar input-input domestik dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya harga sosial. Kondisi tersebut
sekaligus memberikan informasi bahwa pada pasar tenaga kerja dan lahan tidak terjadi persaingan sempurna. Hal ini sejalan dengan pendapat Siregar dan
Romdhon 2004 bahwa nilai FT positif bukan disebabkan oleh faktor kebijakan subsidi dan proteksi dari pemerintah tetapi lebih dikarenakan oleh adanya
kegagalan pasar market failure pada pasar input non-tradable kapital. Sedangkan dampak yang muncul akibat kebijakan pemerintah dalam
usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru dapat dilihat pada nilai NT. Di mana nilai koefisien NT yang diperoleh adalah negatif -49.242.365, hal
tersebut merupakan akumulasi dari akibat keuntungan privat yang diterima petani jauh lebih kecil dari nilai keuntungan sosial, sehingga berimplikasi pada
terjadinya inefisiensi yang menyebabkan petani mengalami kehilangan surplus sebesar angka tersebut, dan surplus petani ini dinikmati oleh pelaku pasar input
dan output.
180
6.1.2.2. Dampak Kebijakan Harga Input
Instrumen kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektor pertanian tidak hanya pada penguatan terhadap harga output produksi tetapi juga pada
harga input produksi. Hal tersebut dapat diketahui dari analisis dampak divergensi dan kebijakan pemerintah terhadap harga input, berdasarkan nilai
transfer input IT. Sedangkan untuk mendeteksi apakah input produksi tersebut memperoleh proteksi atau tidak dari pemerintah akan terlihat dari nilai koefisien
proteksi input nominal NPCI. Nilai IT yang diperoleh dari usahatani kakao rakyat di wilayah penelitian bernilai positif IT0 sebesar Rp 122.770. Hal ini
mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang merugikan petani kakao, atau dengan kata lain belum adanya
kebijakan pemerintah yang berarti terhadap perbaikan harga input tradable, karena dalam hal ini petani lebih dirugikan dengan membayar harga input yang
lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Kemudian diperkuat lagi dengan hasil yang diperoleh dari nilai NPCI yang lebih besar dari satu NPCI1 yaitu 1,133,
yang menunjukkan tidak adanya upaya yang dilakukan pemerintah untuk memproteksi terhadap input tradable, sehingga petani menerima harga input
sebesar 11,33 persen yang lebih tinggi dari harga sosialnya. Kondisi ini selain karena upah tenaga kerja yang lebih tinggi dari standar upah yang berlaku, juga
dipengaruhi oleh belum adanya proteksi pemerintah terhadap harga input produksi yang dirasakan oleh petani kakao cukup mahal dan sulit untuk
dijangkau. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir sebagian besar sarana
produksi yang diperdagangkan umumnya berasal dari luar daerah, Sehingga harga komponen input produksi seperti peralatan usahatani dan pupuk daun
maupun obat-obatan yang digunakan sebagai pupuk dasar pada saat pembibitan, lebih tinggi dari harga sosialnya. Sedangkan untuk kegiatan lanjutan
181
petani tidak menggunakan pupuk dan obat-obatan, sehingga pengaruh kebijakan pemerintah terhadap faktor input pupuk tersebut tidak dijelaskan. Selain itu pula
kondisi wilayah Maluku yang merupakan daerah kepulauan, yang hanya dapat dilalui dengan transportasi laut, semakin mempersulit petani untuk memperoleh
komponen input produksi tersebut karena dibutuhkan biaya yang begitu besar. Di sisi lain mekanisme pasar yang terbentuk dalam pemasaran input tersebut belum
competitive market karena faktor kelembagaan pemasaran input produksi masih terbatas di Kabupaten Buru maupun Kota Ambon yang sangat kurang memadai
yang merupakan akumulasi dari akibat konflik sosial yang telah melanda wilayah ini serta faktor infrastruktur di lokasi penelitian yang masih sangat minim.
6.1.2.3. Dampak Kebijakan Harga Output
Dampak kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sektor pertanian, khususnya pengaruh kebijakan tersebut pada harga output suatu komoditas dan
mekanisme pasar output yang berlaku sekarang dapat di analisis melalui keofisien dampak kebijakan proteksi harga output nominal NPCO dan nilai
transfer output OT. Untuk melihat pengaruh kebijakan pemerintah terhadap harga output dapat dilihat dari selisih antara penerimaan atas harga privat
dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial, atau dapat juga diartikan bahwa OT merupakan nilai output yang digunakan untuk melihat
adanya peningkatan atau penurunan nilai penjualan. Apabila nilai OT lebih kecil dari nol OT0, maka hal tersebut memperlihatkan tidak ada keseimbangan
dalam penerimaan atau harga privatnya lebih rendah dari harga sosialnya, dapat juga dikatakan bahwa petani kakao rakyat selaku produsen menerima harga
yang lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima. Sehingga ada pengurangan penerimaan di pihak petani, artinya terjadi transfer surplus
pendapatan yang mengalir dari petani kakao ke konsumen selaku pembeli dan
182
sebaliknya bila nilai OT lebih besar dari nol OT0, maka petani kakao mendapatkan aliran surplus dari pembeli konsumen. NPCO merupakan ratio
penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dan harga sosial yang dijadikan sebagai tolok ukur dari transfer output. Nilai NPCO mengambarkan
dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak dikoreksi dengan kebijakan efisiensi sehingga menyebabkan devergensi harga privat dengan harga sosial
atas output. Apabila nilai NPCO1 menunjukkan adanya kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga efisiensinnya
harga pasar dunia. Berdasarkan hasil analisis Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai transfer
output OT yang negatif yaitu -43.758.308 dan nilai koefisien NPCO1 yaitu 0,789, yang mengindikasikan bahwa petani kakao di Kabupaten Buru telah
menerima dampak negatif dari instrumen kebijakan pemerintah serta pengaruh mekanisme pasar output yang berlaku sekarang, di mana harga kakao domestik
lebih rendah dari harga sosialnya. Menyebabkan, kondisi harga kakao rakyat saat ini secara relatif belum memberikan instrumen maksimal terhadap
pengembangan usahatani komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Selanjutnya bila dilihat dari hasil analisis tersebut yang digambarkan
dengan nilai koefisien NPCO, maka dapat dikatakan bahwa belum ada kebijakan yang berarti dari pemerintah untuk memperbaiki harga kakao di tingkat petani.
Hal tersebut ditunjukkan dengan harga kakao yang diterima petani saat ini yaitu sebesar 78,9 persen dari harga sosialnya. Artinya petani mengalami
pengurangan nilai keuntungan sebesar 21,1 persen dari harga yang seharusnya diterima. Dengan demikian terjadi pengalihan nilai yang seharusnya diterima
petani kakao selaku produsen telah jatuh ke konsumen pembeli. Kondisi ini memperlihatkan bahwa dalam pemasaran komoditi kakao rakyat di Kabupaten
Buru terjadi monopsono, akibat dari penentuan harga secara sepihak oleh
183
pedagang besar eksportir. Hal ini dapat dipahami karena komoditi kakao merupakan komoditi ekspor, sehingga penentuan harga sangat bergantung pada
permintaan pasar terutama pasar luar negeri, disamping itu faktor jarak juga turut mempengaruhi dalam penentuan harga oleh eksportir yang membuat bargaining
position petani semakin lemah, pada akhirnya sering terjadinya penentuan harga secara sepihak oleh eksportir yang berkedudukan di Surabaya.
6.1.2.4. Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output
Untuk mengkaji bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar dapat ditinjau dari pemberian insentif atau disinsentif terhadap
usahatani kakao rakyat dengan menggunakan koefisien proteksi efektif EPC, dan koefisien profitabilitas PC. Apabila nilai EPC 1 menunjukkan bahwa
dampak bersih dari kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif perlindungandukungan terhadap pengembangan usahatani kakao rakyat,
sebaliknya jika nilai EPC 1 memperlihatkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah akan menimbulkan insentif terhadap pengembangan produksi
komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Berdasarkan hasil analisis PAM memperlihatkan nilai EPC 1 yaitu
sebesar 0,788, hal ini mencerminkan bahwa usahatani kakao rakyat di Kabupaten Buru belum me ndapatkan tingkat efektifitas perlindungan dari
kebijakan pemerintah. Artinya pengaruh instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar input-output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif
terhadap pengembangan usahatani kakao rakyat di wilayah penelitian, sehingga harga privat yang seharusnya diterima petani kakao lebih rendah dari harga
sosialnya yaitu 78,8 persen. Kondisi ini dapat terjadi karena lebih disebabkan oleh mekanisme pasar yang bersifat distortif, di mana disatu sisi petani menerima
harga input sebesar 11,33 persen yang lebih tinggi dari harga sosialnya,
184
sedangkan di sisi lain petani juga menerima harga output sebesar 21.2 persen yang lebih rendah dari harga sosial yang seharusnya mereka terima.
Nilai PC 0,725 menunjukkan bahwa implikasi dari mekanisme pasar yang distorsif, sehingga terjadi kerugian yang dialami petani di mana nilai keuntungan
usahatani yang peroleh petani lebih kecil dari nilai sosial yang seharusnya diterima. Hal ini menandakan bahwa selama ini belum ada kebijakan pe merintah
yang berarti untuk digunakan sebagai payung untuk melindungi petani kecil dari dampak distorsi pasar. Kondisi tersebut dapat dipahami karena kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa belum ada kebijakan pemerintah terutama dalam permodalan baik itu input maupun output produksi, dengan kata lain kebijakan
pemerintah atau distorsi pasar yang ada tidak memberikan dampak terhadap pengembangan usahatani kakao di Kabupaten Buru yang digambarkan dengan
nilai SRP = 0,00. Dengan artian bahwa bila ada kebijakan pemerintah dalam hal pemberian subsidi kepada petani kakao, maka kebijakan tersebut tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pengembangan usaha, karena tidak ada proteksi yang kuat dari pemerintah.
Rendahnya nilai tambah yang diterima petani dari pada harga sosial yang seharusnya diterima menunjukkan sistem kelembagaan petani kakao baik secara
vertikal maupun horisiontal kurang kuat. Hal tersebut diperkuat dengan kenyataan di lapangan bahwa kelembagaan petani belum tertata dengan baik
dan disebagian besar wilayah penelitian belum ada kelembagaan usahatani yang diharapkan dapat mengakomodir dan memfasilitasi kepentingan petani baik
dalam hal pemasaran maupun penyaluran sarana produksi, sehingga posisi tawar bargaining position petani semakin lemah baik dalam harga input maupun
harga output. Penentuan harga dalam pasar output secara sepihak, baik itu yang dilakukan oleh pedagang pengumpul maupun oleh pedagang besar, fenomena
ini memperlihatkan adanya praktek monopsoni yang dijalankan oleh kedua
185
lembaga pemasaran tersebut. Sehingga petani kakao sering dirugikan karena selalu menerima harga yang lebih rendah akibat tidak adanya pilihan dalam
penjualan output. Instabilitas keamanan wilayah Maluku pada saat itu akibat terjadinya konflik sosial, menyebabkan banyak pengusaha yang lari keluar dari
wilayah Maluku dan belum mau kembali. Sehingga petani sulit untuk menjual hasil usahanya maupun sulit untuk mendapatkan input produksi, karena pasar
output hanya di kendalikan oleh beberapa pengusaha pedagang besar, itu pun terletak pada wilayah tertentu. Sementara desakan faktor ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, mengakibatkan petani menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul atau pedagagan besar dengan resiko menerima harga
yang lebih rendah dari harga yang sewajarnya. Dengan lemahnya instrumen kebijakan pemerintah dalam mekanisme
pasar input-output, maka dampak langsung terhadap petani kakao adalah berkurangnya manfaat usaha yang seharusnya mereka terima yaitu sebesar 78,8
persen EPC. Dalam artian bahwa perekonomian kakao rakyat di Kabupaten Buru terjadi pengalihan keuntungan dari pihak petani selaku produsen ke pihak
lain pelaku pasar input, pedagang pengumpul dan pedagang besar.
6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao