201
kakao kering yang dihasilkan bermutu rendah atau asalan dan fermentasi yang tidak sempurna.
Dalam saluran pemasaran ini hubungan antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar dan eksportir sangat cukup kuat. Hal ini terlihat dari
cukup tersedianya informasi harga yang diperoleh disetiap level lembaga pemasaran. Disamping itu, terdapat jalinan kerjasama antara lembaga
pemasaran tersebut dalam permodalan. Kurang memadainya pembangunan infrastruktur di setiap wilayah
penelitian, terutama infrastruktur informasi harga, prasarana dan sarana transportasi serta pengaruh secara spasial kondisi wilayah Maluku yang
merupakan daerah kep ulauan. Selain itu, belum terhubungkannya wilayah selatan Kabupaten Buru dengan kota Namlea melalui transportasi darat,
sehingga petani di wilayah tersebut sedikit terisolir dalam memperoleh informasi harga maupun untuk berakses ke pasar. Menyebabkan informasi harga hanya
dikuasai dan tersedia pada pedagang besar maupun pedangang pengumpul asymmetric information, hal inilah yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya
spasial monopsoni.
6.2.2. Marjin Tataniaga
Untuk melihat jalur pemasaran komoditi kakao di Kabupaten Buru, maka digunakan pedekatan dengan analisis marjin pemasaran. Manfaat penggunaan
analisis marjin pemasaran adalah untuk mengidentifikasi struktur pasar yang dilakukan oleh petani dalam memasarkan hasil komoditi kakao di Kabupaten
Buru. Struktur pasar dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan petani dalam menentukan harga jual dari hasil komoditinya. Di samping itu analisis
marjin pemasaran juga memperlihatkan kemampuan masing-masing lembaga pemasaran terhadap nilai produk yang di pasarkan. Dalam hal ini keuntungan
202
yang diperoleh oleh setiap pelaku pemasaran harus sesuai dengan biaya atau perlakuan yang diberikan tehadap produk yang dipasarkannya. Indikasi yang
digunakan untuk menelusuri analisis marjinnya adalah komoditi kakao yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Buru.
Dalam analisis ini, marjin pemasaran komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru ditelusuri berdasarkan saluran pemasaran yang ada di lapangan. Marjin
pemasaran ini terbentuk karena biaya dan profit pemasaran yang merupakan konsekuensi dari fungsi-fungsi pemasaran saluran pemasaran yang dijadikan
oleh pelaku pemasaran. Sehingga dapat diketahui penyebaran marjin pemasaran di setiap level atau tingkat pelaku pemasaran yang terlibat langsung dalam
pemasaran kakao. Di Kabupaten Buru diidentifikasi terdapat dua jalur pemasaran yang sudah terbentuk, yang selama ini digunakan petani. Kedua jalur tersebut
adalah : 1 Petani sebagai pelaku utama dalam pemasaran ini, menjual kakao ke pedagang pengumpul. Di mana harga yang diterima petani merupakan harga
bersih karena dalam saluran pemasaran ini semua biaya yang terkait dengan proses pemasaran ini ditanggung langsung oleh pedangan pengumpul.
2 Petani menjual langsung ke pedagang besar. Artinya bahwa dalam saluran pemasaran ini, petani dalam memasarkan hasil komoditi kakao tidak lagi melalui
pedagang pengumpul, tetapi berhubungan langsung dengan pedagang besar. Di mana harga yang ditawarkan ke petani cukup tinggi, namun harga tersebut
masih merupakan harga kotor karena belum dikoreksi dengan biaya-biaya lain yang timbul dalam proses pemasaran. Sehingga semua biaya yang timbul
melalui jalur pemasaran ini akan ditanggung oleh petani. Informasi lain yang ditangkap dari analisis marjin pemasaran adalah akan
terlihat efisien tidaknya sistem distribusi komoditi dari petani ke eksportir. Semakin panjang jalur pemasaran akan mengurangi share yang diperoleh petani
203
dibandingkan dengan harga di tingkat eksportir. Untuk mengetahui lebih jelas marjin pemasaran kakao rakyat di Kabupaten Buru disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Marjin Pemasaran Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004
Saluran I Saluran II
U r a i a n
Harga RpKg
Pangsa Harga
RpKg Pangsa
1. Harga Jual Petani 7.500
9.000
a. Biaya pemas a ran - Biaya Pengarunganpaking
- 10,5
- Biaya Transportasi -
250 - Biaya Bongkar-Muat
- 46,8
- Biaya Sortasi dan Timbang -
20 Total Biaya
- 327,3
Harga Bersih Petani 7.500
61,73 8.672,7
71,38
2. Pedagang Pemgumpul a. Harga beli
7.500 -
b. Marjin Biaya Total - Biaya Sortasi dan Timbang
20 -
- Biaya penjemuran ulang 32,5
- - Biaya pengarunganpaking
10,5 -
- Biaya bongkar-muat dan timbang 46,8
- - Biaya transportasi ke Pedagan Besar
250 -
- Penyusutan 22
- - Retribusi Desa
17,75 -
Total Biaya 399,55
- Harga Jual Pedagng Pengumpul
9.000 -
Keuntungan Bersih 1.100
9,06 -
Marjin Pemasaran 1.500
12,35 -
3.Pedagang Besar a. Harga Beli
9.000 9.000
b. Marjin Biaya Total - Biaya Muat dan Timbang
40 40
- Biaya sortasi 23
23 - Biaya pengeringan dan penyimpanan
225 225
- Biaya Penyusutan 10
11 - Biaya pengarunganpaking
12 15
- Biaya perizinan dan Pajak 275
275 - Biaya transportasi ke Surabaya
361 361
Total Biaya 946
950 Harga Jual di Ek sportir
12.150 12.150
Keuntungan Bersih 2.204
18,14 2.200
18,11
Marjin Pemasaran 3.150
25,93 3.150
25,93
Total Marjin Pemasaran 4.650
3.150 Total Biaya Pemasaran
1.345,55 1.277,3
Total Keuntungan 3.304,45
2.200 Sumber : Data primer diolah
Dengan demikian keuntungan ekonomi tidak ditransfer ke petani tetapi ditransfer ke lembaga pemasaran yang terlibat. Sementara risk premium selalu
204
menjadi tanggungan petani, sehingga lembaga pemasaran akan mentransfer risk tersebut ke petani. Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa marjin
pemasaran komoditi kakao yang ada di Kabupaten Buru melalui dua saluran pemasaran yaitu saluran I : petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan
eksportir. Saluran II : petani, pedagang besar dan eksportir. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa saluran pemasaran pertama yaitu dari
petani, pedagang pengumpul sampai ke tingkat eksportir di Surabaya memiliki marjin total pemasaran kakao sebesar Rp 4.650 per kg, sedangkan pada saluran
pemasaran kedua yaitu petani menjual langsung ke pedagang besar di Ambon atau Namlea dan terakhir ke eksportir di Surabaya memperoleh marjin total
pemasaran sebesar Rp 3.150 per kg. Dari marjin total pemasaran memperlihatkan bahwa saluran pemasaran I memiliki nilai marjin yang relatif
tinggi dibandingkan dengan saluran pemasaran II, karena pada saluran pemasaran I masih banyak melibatkan berbagai lembaga pemasaran. Akibatnya
efisiensi pemasaran berkurang dan nilai pangsa harga di tingkat petani terhadap harga pembeli relatif menjadi rendah.
Satu-satunya jalur yang dapat digunakan untuk pengangkutan biji kakao mulai dari petani, khususnya oleh pedagang pengumpul pada wilayah selatan
Kabupaten Buru ke Namlea atau Ambon maupun yang dilakukan oleh pedagang besar ke Su rabaya, adalah dengan menggunakan transportasi laut. Dengan
membutuhkan waktu antara 5 sampai 6 jam untuk sampai ke Namlea atau Ambon, dan 4 sampai 5 hari waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Surabaya.
Dalam proses pemasaran biji kakao kering pedagang besar lebih memilih untuk menjualnya ke eksportir di Surabaya dari pada ke Makasar. Kondisi ini lebih
dipengaruhi oleh begitu ketatnya penetapan standarisasi mutu oleh para eksportir di Makasar terutama kualitas biji kakao maupun fermentasi sempurna
full fermantion, sedangkan para eksportir di Surabaya tidak terlalu ketat dalam
205
penetapan standarisasi mutu maupun fermentasi. Selain itu kondisi ini dipengaruhi pula oleh mutu biji kakao kering yang dihasilkan petani berkualitas
asalan dan fementasi tidak sempurna. Pada Tabel 22 memperlihatkan, bahwa pedagang pengumpul selain
membeli hasil biji kakao dari petani, juga melalukan sortasi dan penjemuran ulang. Hal tersebut dilakukan karena kebanyakan biji kakao kering yang jual
petani mempunyai kadar air yang cukup tinggi diatas 7 , disamping itu juga biji kakao kering yang dihasilkan petani mengandung bahan ikutan kadar
kotoran diatas 1 persen, sehingga pedagang pengumpul menanggung biaya penyusutan sebesar Rp 22 per kg. Biaya penyusutan juga ditanggung oleh
pedagang besar yaitu sebesar Rp 10 per kg dan Rp 11 per kg pada saluran II, hal tersebut terjadi karena selain mendapat pasokan biji kakao kering dari
pedagang pengumpul, pedagang besar juga melakukan kontak pemasaran langsung melalui saluran pemasaran II, dengan membeli biji kakao kering dari
petani yang umumnya berkadar air masih diatas 7 persen. Penyusutan tersebut selain dipengaruhi oleh kadar air dan bahan ikutan lain, juga dipengaruhi pula
oleh faktor penyimpanan. Pada saluran pemasaran II harga ditingkat petani cukup tinggi bila
dibandingkan dengan saluran pemasaran I yaitu sebesar Rp 9.000 per kg dari harga di tingkat eksportir yaitu Rp 12.150 per kg. Walaupun demikian, petani
harus menanggung seluruh biaya dalam proses pemasaran sebesar Rp 327,3 per kg, diantaranya biaya pengarungan, transportasi, bongkar-muat, sortasi dan
timbang. Sehingga marjin pemasaran pada saluran pemasaran II ini petani mendapatkan harga bersih yaitu Rp 8.672,7 per kg 71,38 . Sedangkan
pedangan besar menanggung marjin biaya total sebesar Rp 950 per kg, dengan total marjin pemasaran yang diperoleh sebesar Rp 3.150 per kg. Hal tersebut
lebih menguntungkan petani, bila dibandingkan dengan saluran pemasaran I,
206
fenomena ini mengambarkan bahwa pada saluran pemasaran I kurang menguntungkan petani, sebab proporsi korbanan dan resiko yang harus
ditanggung petani selama usahatani serta waktu yang lama di hargai lebih rendah dari pada pedagang perantara pedagang pengumpul dan pedagang
besar yang tanpa resiko. Dalam proses pemasaran tersebut, baik itu saluran pemasaran I maupun
saluran pemasaran II marjin biaya total yang dialami oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar sama -sama ditekankan pada sortasi, penjemuran ulang,
penyimpanan yang berakibat pada terjadinya penyusutan, serta sebagian biaya pemasaran tersebut terserap juga pada biaya bongkar-muat, timbang,
transportasi, perizinan dan pajak. Hal ini dapat dipahami karena komoditi kakao merupakan komoditi ekspor sehingga sangat penting diperhatikan kualitasnya
terutama kadar air maupun bahan ikutan lain. Seluruh pelaku pemasaran dalam melakukan aktivitas pemasaran, baik itu
melalui saluran pemasaran I atau II, ternyata marjin biaya pemasaran yang dikeluarkan lebih besar adalah biaya transportasi.
Fenomena ini lebih disebabkan oleh kondisi wilayah penelitian yang merupakan daerah kepulauan, sehingga untuk menghubungkan satu wilayah
dengan wilayah lainnya dalam memasarkan hasil-hasil komoditi pertanian, maka transportasi yang sangat diperlukan dan mudah dapat dijangkau oleh pelaku
pemasaran adalah melalui transportasi laut. Dengan demikian, secara otomatis akan membutuhkan biaya yang cukup untuk dapat memasarkan hasil-hasil
komoditi tersebut. Marjin pemasaran ini mengambarkan bahwa, bagian harga yang diterima
petani menunjukkan proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam suatu jalur pemasaran komoditi. Sehingga semakin besar
proporsi harga yang diterima petani berarti petani memiliki bargaining position
207
yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya, jika proporsi harga yang diterima petani makin sedikit, bargaining position petani semakin kecil.
6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga