85
Kegiatan perdagangan memainkan peranan penting dalam perekonomian, karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan
harus diciptakan kondisi yang dapat menjamin kelancaran pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri. Pemasaran kakao tentunya melalui beberapa
lembaga pemasaran yang ada dalam suatu sistem pemasaran. Sistem pemasaran yang produktif dan efisien tergantung pada efisiensi penggunaan
sumberdaya dan proses penciptaan kegunaan waktu, keguna an bentuk serta kegunaan tempat dalam pergerakan barang dan jasa dari kegiatan produksi.
Produksi komoditas pertanian yang tinggi yang tidak diikuti dengan sistem pemasaran yang baik, maka produksi tersebut tidak dapat memberikan manfaat
yang besar dalam usaha peningkatan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani.
Kelancaran pemasaran akan tercapai melalui upaya penyempurnaan lembaga pemasaran serta sistem pemasaran, keadaan ini diharapkan dapat
mendorong kegiatan produksi, sehingga dapat memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan petani serta pertumbuhan pembangunan wilayah.
Berangkat dari berbagai hal tersebut, maka kondisi ini menarik dilakukan penelitian untuk mengetahui berbagai faktor dalam “Pengembangan Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku”.
1.2. Perumusan Masalah
Pembangunan pertanian tidak saja tercermin dari peningkatan luas areal dan produksi, tetapi juga harus diikuti dengan perbaikan mutu hasil, penguasaan
managemen usahatani, penataan sistem kelembagaan dan pemasaran. Sehingga dapat memiliki daya saing baik di pasar nasional, regional maupun
internasional, dengan tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan mendatangkan devisa bagi negara.
86
Pada umumnya struktur perekonomian Kabupaten Buru masih bertumpuh pada sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian yang memberikan andil
terhadap distribusi pendapatan daerah adalah subsektor perkebunan. Berdasarkan distribusi Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Buru
periode tahun 1998-2002 menunjukan bahwa peranan sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan sangat besar
terhadap penambahan pendapatan daerah dan pembangunan wilayah. Tabel 2. Distribusi Presentasi PDRB Kabupaten Buru Atas Dasar Harga Berlaku
Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor lainya Tahun 1998-2002
SektorSubsektor 1998
1999 2000
2001 2002
Pertanian 47,32
58,49 62,38
62,,48 62,05
Tanaman 11,03
18,16 21,81
21,07 21,86
Perkebunan 16,87
24,69 27,23
29,59 27,05
Peternakan 1,52
2,93 3,05
2,98 3,03
Kehutanan 15,79
9,39 6,69
6,28 6,19
perikanan 2,11
3,31 3,59
3,56 3,90
Sumber : BPS Kabupaten Buru, 2003
Untuk sektor pertanian, kontribusi dari subsektor perkebunan bila dibandingkan dengan subsektor lainya menunjukan peningkatan yang cukup
signifikan terhadap penerimaan PDRB Kabupaten Buru. Tercatat dari tahun 1998 penerimaan PDRB dari subsektor perkebunan sebesar 16,87 persen, dan terjadi
kenaikan sebesar 29,59 persen 2001, namun mengalami penurunan pada tahun 2002 yaitu 21,86 persen. Walaupun demikian, subsektor perkebunan
masih tetap memperlihatkan kontribusinya yang besar terhadap penerimaan PDRB Kabupaten Buru bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi
tersebut mengindikasikan bahwa subsektor perkebunan merupakan subsektor andalan di Kabupaten Buru yang banyak diusahakan oleh masyarakat dan perlu
mendapatkan perhatian dalam pengembangannya. Komoditi perkebunan yang banyak diusahakan dan merupakan komoditi
unggulan di Kabupaten Buru adalah kelapa, kakao, cengkeh, pala, jambu mete
87
dan kopi. Di mana komoditi kakao merupakan komoditi primadona yang sangat diminati untuk dibudidayakan oleh petani disamping komoditi kelapa dan komoditi
perkebunana lainnya. Tanaman perkebunan yang pada awalnya menjadi prioritas pengembangan
oleh masyarakat di Kabupaten Buru adalah tanaman cengkeh dan kelapa. Namun faktor merosotnya harga cengkeh dan belum membaiknya harga kelapa
di pasar nasional maupun lokal, dan semakin membaiknya prospek harga kakao di tingkat petani menyebabkan semakin besar perhatian petani pada
pengembagan komoditi kakao. Pilihan petani terhadap pengembangan komoditas ini juga dipicu oleh begitu besarnya tuntutan kebutuhan pokok
keluarga tani yang terus meningkat, sementara meningkatnya kebutuhan tersebut tidak seiring dengan pendapatan petani, selain itu pula faktor
keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan menjadi kendala dalam mencari pekerjaan lain. Kondisi inilah yang menjadikan tanaman kakao sebagai
komoditi perkebunan yang memiliki luas lahan terbesar kedua setelah kelapa. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru masih
memiliki peluang dan potensi yang cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih mengandalkan tanaman
perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Ketersedian lahan potensial yang masih luas dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah
dalam pengembangan tanaman kakao setelah pemekaran Kabupaten Buru pada tahun 1999, turut memberikan peluang yang besar terhadap pengembangan
usaha tanaman kakao di wilayah ini. Permasalahan yang perlu dikaji kemudian adalah terkait dengan penguasaan perkebunan kakao rakyat yang masih
terbatas dengan tingkat produktivitas dan kualitas yang masih rendah, fluktuasi harga dan pasar komoditi ini yang tidak stabil, serta tingginya harga beberapa
input produksi yang sebagian besar didatangkan dari luar wilayah Maluku
88
menyebabkan margin yang diterima petani menjadi lebih rendah. Kendala lainnya yang berhubungan dengan pemasaran kakao adalah yang terkait dengan
aspek kelembagaan tataniaga yang sampai saat ini belum ditata dengan baik dan penguasaan manajemen usahatani.
Secara teknis pertanian, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih mengarah pada perluasan areal tanaman, peningkatan produktivitas tanaman
serta perbaikan mutu hasil. Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kab. Buru 2003 bahwa produktivitas tanaman kakao di Kabupaten
Buru sekitar 1,12 tonha, angka tersebut masih jauh dibawah tingkat produktivitas potensial yang bisa dicapai tanaman kakao yaitu sebesar 2,0 tonha Spillane,
1995. Permasalahan rendahnya produktivitas atau produksi ini kemungkinan juga terkait dengan luas kepemilikan lahan yang rata-rata masih dibawah skala
ekonomi usahatani yaitu 0,66-1,00 haKK, karena agak sulit untuk meningkatkan produksi bila petani memiliki areal yang sempit.
Masalah lain yang sering dialami petani adalah kendala minimnya modal usaha, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani, kurangnya penggunaan
teknologi pertanian, maupun penataan kelembagaan petani dan sistem pemasaran, kemungkinan merupakan penyebab produksi kakao yang dihasilkan
petani belum optimal, sehingga keuntungan yang diperoleh para petani juga belum maksimum. Disamping itu, optimalisasi lahan sangat rendah, hal ini terkait
dengan cara pengelolaan yang kurang intensif dan masih bersifat tradisional, yang berakibat pada tingkat efisiensi pengusahaan yang juga belum pada kondisi
yang efisien secara ekonomi. Oleh karena itu, sampai saat ini usahatani kakao belum mampu menjadi sumber pendapatan utama bagi keluarga tani di
Kabupaten Buru. Permasalahan produktivitas dan perbaikan mutu produksi sangat
berpengaruh terhadap penerimaan marjin dan insentif oleh petani, dan sering
89
dikaitkan dengan tingkat motivasi dan pengetahuan petani. Hal ini mengisyaratkan bahwa tingkat marjin dan insentif sangat terkait dengan aspek
kelembagaan pemasaran dan manajemen usaha tani. Bila peran kelembagaan petani terorganisir dengan baik dan sistem
kelembagaan pemasaran semakin kuat, akan memberikan peluang usaha petani kakao semakin besar, serta bargaining position petani dengan pemerintah
semakin kuat. Dengan demikian semakin mendorong petani dalam mengembangkan usaha komoditi kakao dan meningkatkan produksinya, yang
pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Permasalahan lain yang sering dihadapi petani di wilayah pedesaan yaitu
mengalami berbagai kendala infrastruktur dan komunikasi yang masih sederhana. Informasi pasar langkah dan mahal untuk diperoleh, sehingga harga
tidak berfungsi sebagai kordinator informasi untuk pengalokasian sumber daya secara efisien serta kelembagaan pertukaran formal seperti KUD dan Koperasi
tani yang tadinya diharapkan dapat memberikan peranan dalam penentuan harga ternyata kinerjanya semakin kurang mengembirakan. Kondisi inilah yang
menyebabkan petani kakao lebih memilih sistem kelembagaan pertukaran diluar institusi pasar extra market institution dalam bentuk kelembagaan principle-
agent, walaupun konsekuensinya akan menerima harga yang lebih kecil Anwar, 1998. Opsi kelembagaan sering dihubungkan dengan kuatnya ikatan antara
petani dengan tengkulak, dan hubungan ini lebih bersifat emosional karena kelembagaan formal yang selalu diharapkan kurang memberikan akses dalam
menampung semua jenis transaksi yang diperlukan oleh petani. Persoalan mendasar dari hubungan perinciple-agent adalah adanya informasi yang
asimetrik, di mana satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dari pihak lain sehingga menimbulkan persoalan buruknya pilihan adverse selection yang
bersifat ex-ante dan menimbulkan persoalan bencana moral hazard yang
90
bersifat ex-post. Hal ini mengakibatkan terjadinya agency cost atau biaya transaksi yang sangat berpengaruh terhadap kelembagaan yang dipilih oleh
petani kakao dalam tataniaga pemasaran hasil. Komponen permasalahan tersebut, mencerminkan bahwa tingkat
kesejahteraan petani kakao di Kabupaten Buru belum mencapai taraf hidup optimal. Kondisi ini perlu dikajian lebih mendalam terhadap pengembangan
perkebunan kakao rakyat, baik itu dalam perluasan lahan usaha, produktivitas tanaman, perbaikan mutu hasil, maupun penataan sistem kelembagaan petani
dan pemasarannya, yang disesuaikan dengan potensi wilayah sehingga dapat meningkatkan pengembangan pembangunan wilayah yang pada akhirnya adalah
untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani. Mengacu pada berbagai uraian permasalahan tersebut, maka dapat
ditetapkan beberapa masalah yang perlu dikaji, antara lain: 1. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif pola pengusahaan
perkebunan kakao rakyat terhadap pemanfatan potensi luas lahan di Kabupaten Buru ?
2. Bagaimana kinerja finansial dan ekonomi pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru ?
3. Bagaimana marjin tataniaga dan integrasi pasar sebagai opsi kelembagaan petani dalam sistem tataniaga komoditi kakao di Kabupaten Buru ?
4. Bagaimana respon luas areal terhadap harga kakao dalam pengembangan usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru?
5. Bagaimana peran dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat, khususnya terhadap proteksi harga input dan
ouput di Kabupaten Buru ?
91
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian