Analisis Lokasional Karakteristik Petani Perkebunan Kakao

188 untuk perluasan areal tanaman kakao. Hal tersebut didasarkan pada kondisi riel di lapangan yang memperlihatkan bahwa petani melakukan perluasan areal tanamannya jika tanaman kakao yang diusahakan sebelumnya sudah menghasilkan. Sebab pada umumnya petani dalam melakukan perluasan areal sering menghadapi kendala keterbatasan tenaga kerja serta keterbatasan modal usaha. Parameter dugaan kebijakan pemerintah otonomi daerah bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman kakao pada taraf 1 persen. Artinya bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000 telah memberikan insentif kebijakan yang merangsang serta semakin memacu petani untuk melakukan perluasan areal tanaman kakao. Fakta ini ditunjang dengan semakin meningkatnya luas areal tanaman kakao setelah diberlakukannya otonomi daerah, di mana pada tahun 1999 luas areal yang diusahakan petani hanya seluas 1.473 ha dan mengalami peningkatan seluas 5.764,43 ha tahun 2003. Dengan kata lain, adanya otonomi memungkinkan pemerintah daerah untuk mengorientasikan pembangunan infrastruktur sebanyak mungkin di setiap sentra produksi, sehingga memberikan peluang harga kakao lebih baik serta memudahkan petani untuk mengakses informasi pasar dan dapat memasarkan hasil panennya.

6.1.4. Analisis Lokasional

Pengembangan suatu sektor pada suatu wilayah idealnya harus memiliki keunggulan komparatif maupun kompotitif. Pendekatan yang dipakai untuk mengidentifikasi dan mengetahui potensi sektor-sektor yang dimiliki oleh suatu wilayah adalah dengan analisis lokasional. Analisis ini digunakan untuk mengetahui secara spasial perkembangan usaha perkebunan kakao rakyat dan berbagai jenis usaha perkebunan lainnya yang dikembangkan oleh masyarakat 189 di wilayah Kabupaten Buru. Untuk mengetahui sektor basis pemusatan dari berbagai pengembangan usaha perkebunan dibeberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Buru maka digunakan location quotient analysis LQ. Sedangkan Shift-Share Analysis SSA digunakan untuk memahami dan mengidentifikasi pergeseran pengembangan usaha perkebunan kakao dan berbagai komoditi perkebunan lainnya di Kabupaten Buru dalam dua titik waktu. Indikator yang digunakan dalam location quotient analysis dan shift-share analysis adalah luas areal berbagai jenis komoditi perkebunan yang sedang dikembangkan oleh petani di Kabupaten Buru. Gambaran keunggulan komparatif beberapa komoditi perkebunan yang dikembangkan petani di Kabupaten Buru yang merupakan hasil dari Location Quotient Analysis disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20. Hasil Location Quotient Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 KomoditiSektor Kecamatan Kakao Cengkeh Kelapa Pala Kopi Jambu Mete Buru Selatan 0,942 0,978 1,157 0,681 2,281 0,093 Buru Selatan Timur 0,616 1,881 0,781 2,146 1,081 0,665 Buru Utara Timur 0,259 0,145 1,496 0,016 0,048 4,599 Buru Utara Selatan 1,861 0,826 0,674 0,359 0,487 0,308 Buru Utara Barat 1,795 0,338 0,967 0,938 0,086 0,179 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 20 menunjukkan bahwa komoditi kakao yang diusahakan masyarakat merupakan sektor basis yang memiliki keunggulan komparatif yang didasarkan pada nilai LQ1, yaitu bagi masyarakat di kecamatan Buru Utara Selatan dan Buru Utara Barat. Komoditi cengkeh, pala, dan kopi merupakan komoditi basis di kecamatan Buru Selatan Timur, sedangkan komoditi yang merupakan basis di kecamatan Buru Selatan adalah kelapa dan kopi. Disamping menjadi komoditi basis di kecamatan lain kelapa dan juga jambumete merupakan komoditi basis di kecamatan Buru Utara Timur, kedua komoditas ini menjadi komoditi primadona yang sudah cukup lama 190 dikembangkan oleh masyarakat Buru Utara Timur melalui bantuan PRPTE Proyek Peremajaan Rehabilitasi Dan Perluasaan Tanaman Ekspor maupun melalui KIMBUN Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan dan atau APBD I dan APBD II Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sehingga luas areal komoditi kelapa dan jambumete jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Buru. Di sisi lain, kondisi topografi, tanah dan iklim di wilayah ini sangat cocok untuk pengembangan kedua komoditas tersebut. Penyebaran tanaman kelapa rata-rata pada wilayah pesisir sedangkan pembudidayaan tanaman jambumete pada wilayah ini lebih diorentasikan pada lahan-lahan yang kurang produktif untuk tanaman perkebunan lainnya. Komoditi kakao walaupun dari luas arealnya menempati urutan kedua terbanyak setelah kelapa, dan meskipun hanya merupakan sektor basis di kecamatan Butu Utara Selatan dan Buru Utara Barat, namun pengembangan komoditas ini secara spasial mengalami peningkatan yang cukup pesat dari komoditi lainnya, di mana pengembangannya hampir merata di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Buru. Karena pada awalnya pengembangan komoditas ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah melalui program diversifikasi yaitu dengan bantuan bibit unggul dan peralatan. Komoditi lainnya yang baru dikembangkan oleh masyarakat adalah komoditi pala dan kopi, sehingga menjadi komoditi basis di kecamatan Buru Selatan dan Buru Selatan Timur. Dari hasil analisis ini memperlihatkan bahwa komoditi kakao, cengkeh, kelapa, pala, kopi dan jambumete tersebar secara merata diseluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Buru. Kondisi ini menunjukkan pula bahwa karakteristik masyarakat Kabupaten Buru adalah petani perkebunan dan menggantungkan sebagian penghidupannya pada sektor ini. Semua jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan oleh petani memiliki karakteristik yang mampu menarik sejumlah pendapatan dari luar daerah, sehingga dapat meningkatkan 191 pendapatan masyarakat melalui kegiatan ekspor dan jasa. Dengan demikian pengembangan berbagai jenis komoditi tersebut mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan perputaran dan nilai siklus konsumsi, yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi, sosial dan peningkatan kesehatan. Fakta ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan merupakan sektor basis ekonomi bagi kebanyakan masyarakat Kabupaten Buru, dan memperlihatkan bahwa sejauh ini pemerintah daerah masih mengandalkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi wilayah pada subsektor perkebunan. Kondisi geografis wiliyah Maluku yang hampir sebagian besar terdiri dari lautan, menjadi suatu kendala tersendiri bagi petani dalam memasarkan hasil- hasil pertaniannya. Kondisi inilah menyebabkan tingginya biaya transportasi dan biaya transaksi transaction cost. Sehingga akan menyerap komponen biaya aktifitas ekonomi yang cukup banyak. Dengan demikian pada akhirnya akan mengurangi pendapatan yang diperoleh petani. Pembangunan infrastruktur oleh pemerintah belum memadai untuk melayani kebutuhan masyarakat seperti jalan dan dermaga pelabuhan. Pembangunan infrastruktur seperti jalan hanya dapat melayani wilayah kecamatan Buru Utara Timur dengan kecamatan Buru Utara Barat serta sebagian wilayah kecamatan Buru Utara Selatan. Sedangkan untuk menghubungkan wilayah lain dalam kabupaten dan provinsi maupun antar provinsi, diperlukan sarana transportasi laut. Hal inilah yang turut mempengaruhi akses masyarakat dalam memasarkan hasil usahanya. Meskipun demikian, potensi geografis wilayah Kabupaten Buru sangat srategis jika dapat memanfaatkan peluang jalur pelayaran, baik antar wilayah dalam provinsi maupun lintas pelayaran regional dan internasional, akan tetapi kondisi ini belum ditunjang oleh prasarana dan sarana transportasi laut yang memadai. Pelabuhan perintis, lokal dan rakyat baru tersedia pada kecamatan Buru Utara Timur Namlea, Buru Selatan Leksula dan Buru Selatan Timur Namrole. Prasarana 192 dan sarana transportasi tersebut seperti pelabuhan laut yang ada belum representatif untuk memenuhi kapasitas kebutuhan wilayah dan masyarakat. Akibatnya petani lebih memilih menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul di desa dari pada menjual ke tempat lain, walaupun dengan resiko menerima harga yang lebih rendah. Secara spasial komoditi kakao memiliki keunggulan komparatif pada wilayah kecamatan Buru Utara Barat dan Buru Utara Selatan, sebab pembangunan infrastruktur pada kedua wilayah tersebut sangat mendukung ke arah pengembangan usahatani kakao, seperti jalan yang berkembang dengan baik, yang mempermudah akses masyarakat dari kedua wilayah ini ke ibukota kabupaten. Sehingga turut pula memberikan kemudahan baik dalam hal informasi harga maupun pemasaran hasil pertanian, yang pada akhirnya pengembangan komoditi kakao di kedua wilayah ini lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain di kabupaten Buru. Walaupun komoditi kakao tersebar merata di seluruh wilayah kecamatan di kabupaten Buru dan memiliki keunggulan komparatif pada kecamatan Buru Utara Barat dan Buru Utara Selatan, tetapi keunggulan komparatif tersebut tidak dapat berlansung secara terus menerus tanpa ditunjang oleh kegiatan yang dapat mendukung kearah pengembangan komoditi tersebut, karena keunggulan komparatif bersifat sangat dinamis. Artinya keunggulan komparatif tersebut dapat berubah dan tentu dapat pula dikembangkan. Dengan demikian semua komponen yang terkait baik secara langsung maupun tidak, yang mempengaruhi keunggulan komparatif komoditas kakao harus ditingkatkan. Terkait dengan peningkatan pengembangan berbagai komoditi perkebunan tersebut diharuskan pula memperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga tidak terkesan eksploitatif dan merusak hutan dengan pembukaan lahan baru. Untuk itu, pengembangan komoditas tidak semata-mata untuk 193 mengejar keuntungan dengan berorientasi pada permintaan pasar, tetapi tentu saja harus mempertimbangkan pada local community dan domestic resources. Indikator utamanya adalah bahwa komoditas yang akan dikembangkan tersebut harus mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi dan mampu dikerjakan oleh tenaga kerja lokal, serta didukung oleh kapasitas dan kesesuaian lingkungan sumberdaya alam setempat. Ukuran keunggulan komparatif komoditi perkebunan dapat diketahui dengan nilai Location Quotient Analysis dengan mengunakan indikator luas areal tanaman perkebunan. Hasil Location Quotient Analysis diatas untuk lebih jelas dan lebih komprehensif dapat dijustifikasi dengan Shift-Share Analysis yang memperlihatkan kondisi kemajuan atau pertumbuhan luas areal pengembangan komoditi perkebunan pada suatu wilayah dibandingkan dengan total luas areal komoditi perkebunan di wilayah referensinya. Dalam shift-share analysis, ada 3 komponen analisis yang perlu diperhitungkan yaitu : growth a, propotional shift b, dan defferential shift c. Growth, mengambarkan laju pertumbuhan total luas areal semua jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan masyarakat di kabupaten Buru. Propotional Shift, mengambarkan perubahan relatif guna mengetahui konsentrasi luas areal masing-masing jenis komoditi tanaman perkebunan. Defferential Shift, menunjukkan keunggulan kompotitif suatu jenis perkebunan dalam luas areal pengembangan. Kondisi topografi wilayah yang berbukit dan bergunung turut mepengaruhi karakteristik masyarakat yang rata-rata mendiami wilayah pesisir yang seharusnya menjadi nelayan, tetapi justru membuat masyarakat lebih memilih pengembangan komoditi pertanian terutama subsektor perkebunan. Pengembangan komodti perkebunan oleh masyarakat tidak terlepas dari peranan pemerintah melalui program diversifikasi dan intensifikasi. Pada awalnya pengembangan komoditi perkebunan yang dikembangankan oleh masyarakat 194 adalah komoditi cengkeh, terutama di bagian selatan, utara selatan dan barat wilayah pulau Buru. Faktor harga yang pada saat itu lebih tinggi dari komoditi perkebunan lainnya, menyebabkan komoditas ini menjadi tumpuan pendapatan bagi keluarga tani dalam memperbaiki kondisi kehidupan keluarganya, sehingga menjadikan komoditi tersebut menjadi prioritas utama pilihan masyarakat dalam pembudidayaan. Dengan alokasi luas areal yang cukup luas dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya. Seirin dengan perubahan waktu dan semakin membaiknya harga beberapa komoditi perkebunan, telah mendorong masyarakat untuk mengembangkan berbagai komoditi perkebunan dengan syste m polyculture diversifikasi tanaman seperti tanaman kakao. Perubahan paradigma petani yang hanya bergantung pada salah satu komoditi perkebunan dengan sistem monokultur tersebut, menjadikan komoditi kakao yang paling tinggi dalam pengembangannya. Dengan begitu tingginya keinginan masyarakat dalam pengembangan komoditi perkebunan terutama tanaman kakao dibeberapa wilayah kecamatan secara akseleratif mendapat dukungan pemerintah melalui program pengembangan diversifikasi komoditi. Program tersebut sudah berlangsung lama sebelum pemekaran Kabupaten Buru dan menjadi salah satu prioritas program pemerintah Maluku pada tahun kegiatan 19961997. Sehingga laju pertumbuhan tanaman perkebunan seperti komoditi kakao mengalami peningkatan luas areal yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan lainnya. Kondisi inilah yang kemudian menjadi justifikasi dalam penggunaan shift-share analysis dengan melihat pada dua titik waktu tahun 1998 dan tahun 2003. Hasil Shift Share Analysis dengan indikator luas areal beberapa komoditi perkebunan tersaji dalam Tabel 21 berikut. 195 Tabel 21. Hasil Shift Share Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 Jenis Komoditi Karakteristik Kakao Cengkeh Kelapa Pala Kopi Jambu Mete Growth 0,41 Proportional shift 2,82 -0,51 0,01 -0,98 -0,87 -0,09 Kecamatan Pergeseran differensial Buru Selatan 8,35 -1,07 0,10 -1 ,48 0,26 0,00 Buru Selatan Timur 6,15 -0,57 0,48 -0,67 -0,16 0,00 Buru Utara Timur -0,13 -0,52 0,07 -0,96 -1,04 0,17 Buru Utara Selatan 2,62 -0,69 -0,57 -1,62 -1,24 1,54 Buru Utara Barat 2,29 -0,57 -0,01 -0,67 -0,76 -0,62 Jumlah 19,27 -3,42 0,07 -5,38 -2,95 1,09 Dari hasil analisis pada Tabel 21, memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan luas areal pengembangan beberapa komoditi pada subsektor perkebunan di Kabupaten Buru berlangsung dinamis, dan secara agregat masih mengalami pertumbuhan growth yaitu sebesar 0,14. Pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh semakin meluasnya pengembangan komoditi kakao oleh masyarakat yang ditandai dengan trend peningkatan luas areal komoditi kakao. Hasil ini sekaligus menunjukkan bahwa dari semua komoditi perkebunan yang dikembangkan masyarakat, hanya komoditi kakao yang memiliki tingkat peningkatan pertumbuhan luas areal yang positif dan paling tinggi, yang diperlihatkan dengan nilai proportional shift yang diperoleh sebesar 2,82. Disamping komoditi kakao, tanaman kelapa juga telah menunjukkan trend pertumbuhan luas areal yang positif, walaupun laju pertumbuhannya relatif rendah yaitu 0,01. Sedangkan semua komoditi perkebunan selain tanaman kakao dan kelapa memperlihatkan laju pertumbuhan luas areal yang negatif, diantaranya cengkeh -0,51; pala -0,98; kopi -0,87; dan jambumete -0,09. Gambaran yang diperoleh dari nilai proportional shift tersebut menandakan bahwa komoditi kakao cukup diminati masyarakat. Meskipun demikian fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan komoditi perkebunan yang diusahakan masyarakat lebih pada orientasi pasar market oriented, artinya 196 bahwa usaha yang dikembangkan masyarakat lebih mengarah kepada upaya pemenuhan kebutuhan keluarga. Sehingga sekalipun komoditi kakao memperlihatkan laju pertumbuhan luas areal yang positif dan paling tinggi dari laju pertumbuhan total wilayah dan komoditi perkebunan lainnya. Namun bukan berarti bahwa perluasan areal pengembangan komoditi kakao semata-mata dilakukan petani dengan penambahan pembukaan lahan baru, karena diantara petani ada yang melakukannya dengan mengintensifkan lahan perkebunan yang sudah ditanami komoditi perkebunan dengan pola tanam sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya, terutama dengan tanaman kelapa dan tanaman horitikultura. Disamping itu terdapat pula perubahan alih fungsi lahan dari komoditi cengkeh dengan komoditi perkebunan lainnya, dan hal ini terjadi ketika harga cengkeh menurun pada tahun 1988, dimana Badan Penyangga Cengkeh BPC memiliki peran tunggal dalam tata niaga cengkeh TNC sebagai sebuah institusi yang berfungsi dalam pemasaran komoditi cengkeh melalui koprasi unit desa KUD, baik dalam penentuan harga maupun kualitas dan stok yang harus dibeli. Irama yang dimainkan oleh BPC tersebut membuat para petani mengalihkan fungsi lahan cengkeh dengan komoditi perkebunan lainnya, seperti kakao, pala, kopi dan jambumete. Dengan tidak adanya perubahan harga cengkeh tersebut, menyebabkan masyarakat semakin pesimis dalam pemeliharaan dan perawatan tanaman cengkeh, sehingga areal-areal cengkeh semakin tidak terawat dan malah kebanyakan yang mati. Kondisi inilah yang membuat masyarakat untuk mengalih fungsikan areal-areal cengkeh tersebut dengan tanaman kakao dan komoditi perkebunan lainnya. Dalam pejalasan sebelumnya bahwa pola tanaman atau sistem pertanian yang dilakoni oleh petani di Kabupaten Buru berorientasi pada permintaan pasar faktor harga yang tujuannya adalah untuk memperbaiki tingkat pendapatan 197 keluarga, sehingga pada saat harga komoditi tertentu me nurun maka pola tanam petani akan berubah dan beralih kepada komoditi lain seirama dengan perkembangan harga pasar komoditi perkebunan. Faktor tersebut yang memungkinkan laju pertumbuhan luas areal komoditi kakao sangat tinggi. Dilain sisi perbedaan propotional shift luas areal komoditi kakao yang signifikan, menyebabkan agregat luas areal komoditi kakao sebagai salah satu di antara komoditi perkebunan yang memiliki koefisien differential shift yang positif dan paling tinggi nilainya 19,27, sedangkan komoditi perkebunan lainnya memiliki kemampuan kompetisi yang cenderung rendah dan negatif, seperti jambumete 1,09; kelapa 0,07; kopi -2,95; cengkeh -3,42 dan pala -5,38. Koefisien differential shift yang positif menunjukkan bahwa secara parsial kakao merupakan komoditi perkebunan yang memiliki keunggulan kompotitif di wilayah Kabupaten Buru. Keunggulan kompotitif dari luas areal komoditi kakao tertinggi dicapai kecamatan Buru Selatan, Buru Selatan Timur, Buru Utara Selatan dan Buru Utara Barat, kecuali kecamatan Buru Utara Timur yang memperlihatkan tingkat competitiveness yang negatif. Kondisi ini dapat dipahami karena sebagian besar wilayah kecamatan Buru Utara Timur memiliki lahan- lahan tandus dan marjinal yang kebanyakan hanya dapat di tumbuhi oleh tanaman kayuputih, sedangkan lahan yang dapat di manfaatkan oleh petani untuk pembudidayaan tanaman jambumete dan kelapa hanyalah pada bagian lereng bukit dan wilayah pesisir pantai. Tanaman Jambumete memiliki keunggulan kompotiti di kecamatan Buru Utara Selatan dan Buru Utara Timur. Keunggulan kompotiti komoditi kelapa terdapat di kecamatan Buru Selatan Timur dan Buru Selatan. Sedangkan keunggulan kompotitif luas areal komoditi kopi hanya terdapat di kecamatan Buru Selatan. Dari hasil location quotient analysis maupun shift share analysis membuktikan bahwa ternyata komoditi kakao disamping memiliki keunggulan 198 komparatif dan merupakan sektor basis, juga memiliki keunggulan kompotitif di wilayah Kabupaten Buru kecuali kecamatan Buru Utara Timur. Permasalahan infrastruktur sekarang ini perlu mendapat perhatian pemerintah daerah dan harus menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan, sehingga tidak menjadi kendala dalam pengembangan dan pemasaran hasil pertanian. Sekaligus dapat memberikan peluang usaha dan mejadi daya tarik bagi para investor luar daerah dalam menginvestasikan usahanya pada sektor ini. Permasalahan infrastruktur tersebut sangat mempengaruhi share yang diterima petani dari hasil usahatani perkebunan, karena input produksi yang sebagian besar didatangkan dari luar daerah, mengakibatkan terjadinya kecenderungan regional linkages yang tinggi, sementara output yang dihasilkan petani akan dijual pedagang pengumpul keluar daerah, yang akan memberikan keuntungan kepada daerah lain. Hal ini menyebabkan multiplier effect-nya tidak dapat ditangkap oleh lokal daerah dan justru dinikmati oleh daerah lain. Dari hasil analisis ini telah memberikan ilustrasi bahwa komoditi perkebunan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan wilayah bila hal tersebut didukung oleh infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu policy pengembangan komoditi perkebunan seharusnya mempertimbangkan kemampuan daya dukung lingkungan, SDM petani dan ketersediaan infrasturktur. 6.2. Kajian Sistem Pemasaran Kakao 6.2.1. Struktur Pemasaran