Makna Simbolik dalam Perkawinan Adat Jawa

commit to user untuk memberikan pengalaman kepada temanten putri agar dapat hidup di lingkungan keluarga pria Hariwijaya, 2004:192. Lebih lanjut dijabarkan tujuan ngundhuh mantu oleh Maryono, dkk 2006: 88 yakni 1 pernyataan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terlaksananya perkawinan sepasang mempelai dengan selamat; 2 memperkenalkan sepasang mempelai baru yang telah berhasil membentuk keluarga baru kepada para keluarga, sanak keluarga, kerabat, dan tetangga di pihak mempelai pria; dan 3 mempererat tali persaudaraan antar dua keluarga yang telah berhasil dalam melakukan besanan. 10. Jenang Sumsuman Setelah acara demi acara berlangsung dengan sukses, maka acara berikutnya adalah pembubaran panitia. Acara ini ditandai dengan sajian jenang sumsum . Jenang sumsum adalah bubur halus yang terbuat dari tepung beras dan diberi cairan gula kelapa Hariwijaya, 2004: 199.

c. Makna Simbolik dalam Perkawinan Adat Jawa

Pada pengkajian tentang makna simbolik dalam perkawinan akan digunakan pendekatan semiotik. Pendekatan Semiotik pada dasarnya adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda, sign ; dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu signifiant penanda dan signifie petanda. Penanda adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu dan petanda adalah aspek kemaknaan atau commit to user konseptualnya. Namun demikian, penanda tidaklah identik dengan bunyi dan petanda bukanlah makna denotatif. Keduanya adalah kesatuan atau benda yang diacu oleh tanda itu Zainuddin, 2002: 139. Menurut Segers dalam Umar, 1985: 74 hubungan antara semiotik dan resepsi sastra dapat dilihat dalam hubungan “bagaimana semiotik dapat berfung si dalam penelitian resepsi sastra”, yang berhubungan dengan persoalan teks dan pembaca. Dalam hubungan ini, tanda dipahami sebagai bentuk komunikasi. Komunikasi antara teks dan pembaca menyangkut tiga hal, yaitu a horison penerimaan, b kode, dan c bahasa sebagai sistem arti kedua. Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain Eco, dalam Alex, 2004: 95. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda Eco, dalam Alex, 2004: 95. Disampaikan Van Zoest dalam Alex, 2004: 96 mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda sign dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”. Para pakar susastra sudah mencoba mendefinisikan semiotik yang berkaitan dengan bidang disiplin ilmunya. Dalam konteks susastra, Teeuw commit to user dalam Alex, 2004: 96 memberi batasan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi. Ia kemudian menyempurnakan batasan semiotik itu seba gai “model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun ” Teeuw, dalam Alex, 2004: 96. Dick Hartoko dalam Alex, 2004: 96 memberi batasan semiotik adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Kemudian Luxemburg dalam Alex, 2004: 96 menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya dan proses perlambangan. Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger dalam Alex, 2004: 96, dikatakan “Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan- aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti”. Menurut Alex 2004: 97 semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan seperti ahli fisika membongkar sesuatu zat dan kemudian menyediakan model teoretis untuk menunjukkan bagaimana semuanya bertemu di dalam sebuah struktur. Pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak bisa ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan commit to user sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari jalur logika, yakni: 1. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya: a. Qualism : penanda yang bertalian dengan kualitas. b. Sinsigns : penanda yang bertalian dengan kenyataan. c. Legisigns : penanda yang bertalian dengan kaidah. Awalan quali -, sin -, dan legi - disalurkan dari quality , singular , dan lex undang-undang, hukum, dan peraturan. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contohnya ialah sifat merah. Merah mungkin dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisign, karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar benar-benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk. Jadi, qualisign yang murni pada kenyataannya tidak ada. Maka, merah digunakan sebagai tanda, misalnya bagi sosialisme, untuk cinta memberi mawar merah pada seseorang, bagi bahaya atau larangan petunjuk jalan lalulintas. Namun warna itu harus memperoleh bentuk, misalnya pada bendera, pada mawar, pada papan lalulintas. Hal ini tidaklah mengurangi sifat qualisign merah sebagai tanda. Sinsign adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsign . Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya. commit to user Semua itu merupakan sinsign . Metafora yang digunakan satu kali adalah sinsign . Legisign adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda- tanda lalulintas merupakan legisign . Hal itu juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisional, seperti mengangguk berarti iya, mengerutkan alis, berjabat tangan, dan sebagainya. Semua tanda bahasa merupakan legisign , karena bahasa merupakan kode. Setiap legisign mengimplikasikan sebuah sinsign , sebuah second yang mengaitkannya dengan sebuah third , yakni peraturan yang berlaku umum. Jadi, legisign sendiri merupakan sebuah third . 2. Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya: a. Icon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya terlihat pada gambar atau lukisan; b. Index : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya; c. Symbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam masyarakat. 3. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya: a. Rheme or seme : penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir; commit to user b. Dicent or decisign or pheme : penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya; c. Argument : penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah. Kesembilan tipe penanda sebagai struktur semiosis itu dapat dipergunakan sebagai dasar kombinasi satu dengan yang lainnya. Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang Pateda, dalam Alex, 2004: 100. Jenis- jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic , kultural, naratif, natural, normatif, sosial, dan struktural. 1. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. 2. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. 3. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. 4. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. 5. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan folklore . 6. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. 7. Semiotik normative merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. 8. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. 9. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. commit to user Semiotika tersebut juga dapat dijumpai pada saat dilaksanakannya upacara pernikahan. Pelaksanaan upacara pernikahan khususnya pernikahan adat Jawa memiliki siratan makna yang cukup banyak. Tata cara pernikahan adat Jawa seperti yang telah disebutkan, biasanya dimulai dari lamaran, srah-srahan paningset, p asang tarub, siraman, malam midodareni dan kembar mayang, ijab kabul, panggih temanten, resepsi, ngundhuh ma ntu dan jenang sumsuman . Maksud lamaran adalah permohonan dari keluarga calon pengantin putra kepada keluarga calon pengantin wanita, untuk dijadikan pasangan hidup Hariwijaya, 2004: 15. Selanjutnya dilaksanakan srah-srahan paningset yang dilanjutkan dengan upacara pemasangan tarub. Pemasangan tarub maupun bleketepe yang merupakan rangkaian upacara perkawinan adat Jawa baik gaya Surakarta maupun Yogyakarta sudah selesai, di sekitar atapnya dipasang plisir gula kelapa yang berwarna merah-putih-merah. Artinya dalam menyongsong hidup baru harusdisertai tekad berani merah namun dengan niat yang suci putih. Setelah itu dihiasi dengan buntal yang terbuat dari lima macam daun, yaitu daun beringin bersifat mengayomi, kraton maksudnya maton , pendiriannya tetap, bayam-bayaman merah maksudnya ati ayem , hati yang tenang, pupus pisang maksudnya dipupus , dengan hati ikhlas, dan pandan maksudnya sepadan , setingkat. Pintu sebelah kanan rumah atau gerbang dipasang satu batang pisang raja yang sudah matang semua yang dilengkapi dengan buntutnya, satu commit to user jenjang cengkir atau kelapa gading muda, sebatang tebu wulung , dan berbagai dedaunan antara lain daun kluwih, daun apa - apa , dan daun alang - alang . Sedangkan pintu disebelah kiri rumah atau gerbang dipasang satu batang pisang pulut lengkap dengan satu tundun pisangnya yang sudah matang semua, serta satu janjang cengkir kelapa muda Hariwijaya, 2004: 80. Tarub maksudnya ditata kareben murub , yaitu tertata dihias dengan janur kuning, yakni daun kelapa muda ynag berwarna kuning. Meskipun upacara mantun dilaksanakan digedung pernikahan, hiasan tarub ini tetap akan dilaksanakan. Dahan kapas dengan bunga dan buahnya, melambangkan harapan mudah-mudahan di dalam hidup berumah tangga diberi kemurahan sandang Hariwijaya, 2004: 81. Selanjutnya hiasan padi seuntai mempunyai makna seseorang yang sudah berumah tangga wajib berusaha mencukupi pangannya. Daun kluwih adalah simbol kata linuwih , agar nanti bisa unggul. Daun alang-alang adalah simbol dari kata halangan, maksudnya agar tidak ada halangan suatu apa. Nanas sebagai simbol dari kesegaran, yakni perjamuan tersebut dapat menghadirkan kesegaran bagi semua yang hadir. Dahan beringin dengan daunnya melambangkan papan tempat yang teduh, nyaman, menyenangkan, ayem tentrem . Maksudnya seorang suami wajib ngayomi dan ngayemi terhadap istrinya Hariwijaya, 2004: 82. Ayom berarti teduh, sejuk, dan terlindungi. Suami yang berjiwa ayom berarti bisa dijadikan tempat berteduh, tempat berlindung yang menyejukkan. commit to user Ketiga perlambang tersebut bermakna, bahwa pengantin berdua selanjutnya harus sanggup menyelenggarakan rumah tangga yang kokoh dengan memenuhi syarat mutlak yaitu menciptakan trisana . Trisana tersebut yakni sandang atau busana , pangan atau baksana , dan papan atau sasana . Selain itu didalam upacara pernikahan juga terdapat hiasan kelapa muda kuning atau cengkir gading . Cengkir merupakan jarwa dosok dari kencenging pikir atau kemauan yang teguh kepada keelokan dan keindahan seperti keindahan cengkir kelapa gading. Kemudian hiasan tebu wulung . Tebu artinya antebing kalbu atau kesungguhan hati yang murni untuk mencapai satu tujuan. Wulung artinya hitam gelap, maksudnya tekad itu harus mantab tidak boleh terpecik pikiran yang lain. Hiasan yang lain adalah daun apa-apa bermaksud sebagai pengharapan semoga dalam melaksanakan hajat mantu dapat berlangsung lacar, selamat, serta tidak ada suatu kejadian apa-apa. Pisang tuwuhan berupa pisang dan perlu dipilih pisang yang paling baik. Terdapat bermacam-macam pisang seperti pisang kluthuk, pulut, mas, becici, dan raja . Pisang tersebut yang paling baik adalah pisang raja . Pisang raja pun terdapat bermacam-macam yakni raja kusta, raja sewu nagri , dan raja talun . Pada umumnya yang paling disukai adalah pisang raja talun . Pisang raja talun ini juga bermacam-macam yakni pisang raja talun mentah, masak karena diimbu, disemprong , korepen atau rusak. Pilihan biasanya jatuh pada pisang raja talun suluh , yakni yang masak di pohon. commit to user Adapun maksudnya adalah sebagai lambang bahwa tujuan bersuami istri yang hakiki, murni, dan luhur ialah agar supaya angudi ambabar tuwuh yaitu berusaha agar dapat melahirkan benih yang utama, terpilih, dan terpuji. Pisang raja talun suluh yaitu bibit pisang yang sangat baik dan melambangkan benih yang baik dan terpilih Hariwijaya, 2004: 85. Khusus upacara Adat perkawinan gaya Surakarta, usai upacara siraman diadakan upacara dodol dawet . Jual dawet ini simbol dari ungkapan kata semruwet , yang berarti penuh sesak. Maksudnya pada saat pesta pernikahan berlangsung diharapkan jumlah tamunya banyak, seperti penuhnya dawet yang dijual saat itu. Warna merah pada gula Jawa dan putih pada santan, merupakan suatu simbol keberanian dan kesucian serta simbol bertemunya laki-laki dan perempuan. Keberanian memasuki kehidupan baru dengan niat yang suci dan bersih. Prosesi upacara dodol dawet dilaksanakan oleh kedua orang tua calon pengantin putri. Sang ibu calon pengantin putri menjual dawet dengan dipayungi oleh bapak calon pengantin putri. Pembelinya adalah para tamu, yang terdiri dari keluarga besar dan kerabat dekat dengan menggunakan uang yang terbuat dari kreweng yaitu pecahan genteng. Uang kreweng hasil penjualan dawet tersebut dikumpulkan dalam kantong kecil yang terbuat dari kain lalu disimpan di tempat penyimpanan beras. Ini sebagai simbol bahwa hasilnya supaya dijadikan modal. Maksud yang terkandung didalamnya yakni supaya kedua mempelai dalam mengarungi bahtera commit to user kehidupan nanti, akan diberi rejeki yang lancar dan tidak mengalami kesulitan. Selanjutnya pada malam harinya akan dilangsungkan malam midodareni . Sebagai sebuah acara tirakatan , maka suasananya harus benar- benar terasa khidmat, yaitu tidak boleh ada gamelan yang dibunyikan, tidak boleh ada tarian, dan sebagainya. Saat berlangsung suasana yang khidmat, suara yang muncul hanyalah pembaca kidung-kidung yang berisi nasehat- nasehat yang sakral. Upacara malam midodareni bertujuan supaya calon pengantin putri mendapat restu dari bidadari, sehingga penampilan calon pengantin putri pada saat pernikahan akan tampak lebih cantik seperti bidadari. Upacara yang diselenggarakan setelah malam midodareni berlangsung adalah upacara kembarmayang . Ada pula yang menyebutnya dengan upacara dol tinuku atau tebusan kembar mayang . Prinsip keduanya sama, yakni mengikuti cerita legenda tentang turunnya wahyu kembar mayang . Digambarkan sang tuan rumah yang akan mempunyai hajat untuk mencari kembar mayang sebagai syarat untuk terselenggarannya acara panggih temanten. Upacara yang diselenggarakan sebelum panggih ini mempunyai makna yang cukup dalam. Dibalik upacara tersebut tersirat makna memberi peringatan kepada setiap manusia bahwa dalam mencapai kebahagiaan hidup diperlukan usaha. Kebahagiaan hidup harus diusahakan dan diiringi commit to user deng an do‟a. Upacara tersebut juga sekaligus merupakan lambang turunnya anugrah secara lahir maupun batin untuk kedua calon mempelai. Pelaksanaannya dimulai saat kedua orang tua calon pengantin putri mengutus seseorang untuk mencari kembar mayang . Hal ini disimbolkan dengan Kyai Saroyajati dan yang menerima dilambangkan dengan nama Kyai Wasitajati. Saat kedua utusan bertemu ada dialog yang mereka ucapkan. Kembar mayang yang merupakan sekar manca warna paringing dewa atau aneka macam bunga karunianya dewa, tidak bisa dibeli dengan uang, tetapi harus dengan tekad dan keteguhan hati, bekti ing laki atau berbakti kepada suami, dan manut miturut wong tuwa atau tunduk dan patuh kepada orang tua. Setelah berhasil mendapatkan kembar mayang , maka kedua utusan tersebut melapor kepada kedua orang tua calon pengantin putri bahwa ia telah berhasil membawa pulang kembar mayang dan tebusannya berupa suatu tindakan yang harus dilaksanakan oleh calon pengantin putri dalam kehidupan mendatang. Jika calon pengantin putri sudah menyanggupi persyaratan tersebut, maka kembar mayang boleh dipasang di rumahnya. Pada saat upacara panggih temanten, terdapat acara bucalan gantal . Ada empat buah gantal dan masing-masing pengantin mendapat dua gantal , yaitu gantal gondhang asih dan gantal godhang tutur . Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa kedua mempelai secara lahir batin telah menyatukan tekad dan rasa yang utuh untuk menghadapi suka-duka maupun pahit-getirnya kehidupan berumah tangga. Maksudnya agar commit to user keduanya saling mengasihi dan memberi nasehat. Sirih temu rose adalah simbolik, yaitu meski mempunyai dua permukaan yang berbeda namun rasanya sama. Merupakan lambang bersatunya antara perempuan dan laki- laki. Sirih mempunyai peran penting di zaman lampau. Orang mengundang tetangga dan kaum kerabatnya dengan mengirimkan sirih yang dilengkapi dengan kapur, gambir dan tembakau. Sirih merupakan alat penghubung silaturahmi dan kekeluargaan. Seorang jejaka yang menaruh hati pada seorang gadis dan ingin bertanya apakah gadis itu bersedia untuk diperistri, maka jejaka tersebut mengirimkan daun sirih yang sudah dijadikan gantal kepada si gadis. Persetujuan gadis disampaikan dengan mengirimkan gantal pula kepada jejaka. Dengan lambang tersebut berarti lamaran diterima dengan baik. Maka sebenarnya uncal-uncalan gantal dapat diartikan sebagai kirim-kiriman surat. Dalam hal uncal-uncalan gantal pada waktu pengantin bertemu, yang melempar gantal lebih dahulu adalah pengantin lelaki, sebab yang melamar adalah pengantin lelaki. Pengantin wanita mengarahkan ke kaki pangantin putra sebagai perlambang tunduk kepada sang suami. Sementara pengantin putra melempar ke arah jantung pengantin putri sebagai lambang kasih sayang. Mereka dapat juga saling berusaha melempar lebih dahulu. Maksudnya bukan untuk mencari kemenangan kalau di antara mereka bertengkar, namun sebagai lambang bahwa diantara mereka harus saling berlomba commit to user memberikan jiwa-raga mereka, atau saling berlomba untuk mendapat kemuliaan. Acara selanjutnya adalah upacara ngidak tigan, wiji dadi yang berarti menginjak telur, bibit jadi. Hal ini merupakan perlambang bahwa pengantin putra harus dengan tepat dapat memecahkan telur pengantin putri sehingga berhasil menurunkan benih dan mendapatkan keturunan yang baik. Pengantin putra tetap berdiri dengan kaki diposisikan menginjak telur yang ditaruh di atas nampan, sementara pengantin putri jongkok di depannya. Peristiwa ini memiliki banyak makna. Selain sebagai lambang peralihan dari masa lajang kedua pengantin yang akan memasuki dunia kehidupan baru yang berat dan penuh tantangan. Upacara ngidak tigan juga sebagai simbol pemecahan selaput dara pengantin putri oleh pengantin putra. Oleh karena itu, saat menginjak telur, pengantin putra berucap ambêdah korining kasuwargan . Upacara ngidak tigan adalah upacara tradisional yang dilakukan oleh pengantin adat Jawa. Sebagian masyarakat ada yang melanjutkannya dengan memberikan minum air putih toya wêning dari kêndi dengan maksud setelah pikirannya terbuka, pengantin diharapkan mampu memikirkan segala masalah dengan lebih bening dan tenang. Setelah pengantin putra menginjak telur, kemudian pengantin putri mencuci dan mengeringkan kaki pasangannya dengan handuk, dan selanjutnya kaki suaminya dimasukkan ke slop . Pengantin putri sungkem, sebagai perlambang bakti seorang istri kepada suaminya. Dengan mengulurkan tangannya, pengantin putra commit to user membangunkan pengantin putri yang masih jongkok. Makna yang terkandung didalamnya adalah bakti pengantin putri sangat dihargai oleh suaminya, sehingga suami mengangkat istrinya untuk berdiri sebagai mitra sejajar. Setelah itu tengkuk kedua mempelai diusap-usap dengan air setaman oleh kedua orang tua pengantin putri. Hikmah yang tersirat adalah supaya dalam menempuh hidup baru keduanya selalu diberi kesabaran, lapang dada, dan ketenangan dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan seperti sifat air. Sedangkan bunga setaman yang harum, sebagai lambang keluarga baru yang mampu menjaga nama harum atau nama baik keluarga, bangsa, dan agama. Kedua mempelai langsung menyucikan tanggannya di dalam bokor yang berisi bunga setaman. Hal tersebut merupakan simbol kesucian niat lahir batin dalam memasuki bahtera kehidupan yang sama sekali belum mereka kenal, mereka perlu mempersiapkan diri baik secara moral, material, maupun spiritual. Mengakhiri upacara tersebut, pengantin putri kemudian mengitari pengantin putra, sebagai simbol pelindung. Maksud yang terkandung didalamnya, supaya dalam membina bahtera rumah tangga, suaminya perlu dilindungi supaya tidak tergoda dengan wanita lainnya. Pada upacara adat Surakarta akan dilanjutkan dengan acara sinduran dan kacar - kucur . Pengalungan sindur di pundak pengantin, sebagai simbol penyatuan kedua pengantin. Secara sederhana sindur dapat diartikan isin mundur maksudnya apapun yang terjadi kedua pengantin harus bersikap commit to user malu untuk mundur berpisah. Kemudian upacara kacar-kucur merupakan lambang bahwa suami yang bertugas mencari nafkah untuk keluarga secara simbolik menyerahkan hasil jerih payahnya kepada istrinya. Prosesi selanjutnya adalah dhahar saklimah . Prosesi tersebut memiliki kandungan makna bahwa kedua mempelai supaya dapat hidup rukun, saling mengisi, dan tolong menolong. Prosesi tersebut dilanjutkan dengan prosesi ngunjuk rujak dêgan dan tilik pitik . Ngunjuk dêgan memiliki makna yang terkandung didalamnya yaitu sikap puas bapak dan ibu pengantin putri atas pesta perkawinan tersebut Hariwijaya, 2004: 168. Tilik pitik memiliki arti leksikalnya menengok ayam. Saat itu kedua orang tua pengantin putra datang untuk tilik atau menengok putranya yang tengah menikah dan sekaligus memberi restu. Untuk selanjutnya diadakan sungkeman sebagai wujud bahwa kedua pengantin akan patuh dan berbakti kepada kedua orang tua. Prosesi pernikahan adat Jawa akan mengenal dua jenis kirab . Pertama yaitu kirab kanarendran dan kedua yaitu kirab ksatriyan . Acara tersebut sekaligus menandai berakhirnya acara panggih yang merupakan puncak semua pesta pernikahan adat Jawa Hariwijaya, 2004: 184.

3. Nilai Kearifan Lokal