Tradisi Masyarakat Samin Gambaran Umum Masyarakat Samin dan Konteksnya

commit to user

3. Tradisi Masyarakat Samin

Seperti yang telah diuraikan didepan bahwa tradisi merupakan adat, kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Tradisi merupakan kebiasaan kolektif dan kesadaran kolektif sebuah masyarakat Taryadi, dkk, 2007:13. Masyarakat Samin juga memiliki banyak tradisi, akan tetapi masyarakat Samin termasuk golongan masyarakat yang menyederhanakan semua proses kehidupan sosialnya termasuk tradisi yang ada. Hal itu merupakan ciri khasdan cermin masyarakat Samin pada masa lampau. Selanjutnya penelitian yang telah dilaksanakan merupakan cermin masyarakat Samin pada masa sekarang yang tentunya telah mengalami beberapa pengaruh perkembangan jaman. Secara data yang tertulis dalam dokumen pemerintahan, masyarakat Samin tidak tercatat. Akan tetapi tradisi Samin masih dijalankan beberapa anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian tidak semua orang dapat membedakan atau menentukan antara masyarakat Samin dan non-Samin secara cepat dan tepat. Untuk menentukan anggota masyarakat Samin di desa Kemantren, diperlukan pengamatan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini sesuai dengan sifat tradisi yang bersifat dapat dilihat secara langsung dan tidak dapat dilihat secara langsung. Beberapa tradisi Samin yang dapat dilihat secara langsung dan masih dapat dijumpai di desa Kemantren, diantaranya adalah tradisi yang dilaksanakan secara individu dan kolektif. Tradisi masyarakat Samin yang dapat dilaksanakan secara individu yakni dapat dijumpai pada saat upacara commit to user kelahiran, khitan, perkawinan, dan kematian. Selanjutnya tradisi yang dilaksanakan secara kolektif dapat dijumpai pada saat sambatan icir menanam tanaman disawah secara bergotong royong. Kemudian tradisi yang tidak dapat dilihat secara langsung dapat dijumpai pada prilaku atau amalan dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa tradisi masyarakat Samin yang dapat dilihat dan dapat dilaksanakan secara individu, yakni: a. Kelahiran Masyarakat Samin mempercayai bahwa seorang anak yang lahir pasti membawa jênêng nama sendiri-sendiri yakni nama laki-laki dan nama perempuan. Masyarakat Samin meyakini bahwa tangisan bayi ketika dilahirkan merupakan bukti bahwa roh sudah ada dalam diri si bayi. Hal tersebut berarti si bayi telah mendapatkan tempat ngenger mengabdikan hidup. Seperti halnya pada masyarakat Jawa umumnya, masyarakat Samin juga mengenal selamatan kelahiran yang dilaksanakan dengan cara bancakan mbêl-mbêl yang dibagi-bagikan kepada tetangga. Selamatan kelahiran ini disebut mbrokohi turunan . Setelah upacara tersebut, si bayi kemudian diberi julukan atau aran nama. Orang tua kemudian melaporkan kepada sêsêpuh adat Samin atau pamong setempat. Selain upacara tersebut masyarakat Samin juga mempunyai adat ngalih jênêng pindah nama. Hal ini dilakukan jika seorang anak yang telah diberi nama, akan tetapi sering terkena penyakit. Maka namanya harus diganti. commit to user Masyarakat Samin meyakini bahwa nama harus diganti supaya tidak terserang penyakit lagi. Cara pemberian nama baru tersebut, dilakukan seperti halnya ketika sang bayi baru dilahirkan. b. Khitan Upacara khitan pada masyarakat Samin dilaksanakan seperti halnya masyarakat pada umumnya. Ketika anak laki-laki mereka telah mencapai usia balig, maka anak laki-laki tersebut dengan sendirinya akan meminta untuk dikhitan. Pada saat upacara khitan tersebut juga akan dibrokohi dengan jênang abang putih . Hal ini menyimbolkan bahwa anak laki-laki mereka telah mencapai usia menginjak dewasa yang sudah mengenal asal manusia jênang abang putih , mengenal rasa suka terhadap lawan jenis, dan telah mampu membedakan antara yang baik dan buruk. c. Perkawinan Menurut Samin perkawinan sangat penting. Dalam ajarannya, perkawinan merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “ atmaja utama ” yang artinya anak yang mulia. Perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Samin tersebut sudah dianggap sah walau yang mengawinkan hanya orang tua pengantin saja. Ajaran perkawinan tersebut terdapat dalam tembang pangkur sebagai berikut: Saha malih dadya garan, anggêlung gêlunganing pambudi, palakrama nguwoh mangun, memangun traping widya, kasampar commit to user kasandhung dadi prayogantuk, ambudya atmaja tama, mugi-mugi dadi kanthi. Cara pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Samin dimulai dengan cara jawab nglamar atau melamar kepada orang tua calon mempelai perempuan calon istri. Kemudian calon mempelai tersebut dita ri ditanya, jika ia setuju maka calon mempelai laki-laki calon suami akan melaksanakan ngenger. Apa bila dirasa kedua calon mempelai telah cocok, maka pada tahap selanjutnya adalah pengucapan sadat nikah dihadapan sesepuh Samin yang disaksikan oleh orangtua dan tetangganya. d. Kematian Masyarakat Samin mengibaratkan kematian sebagai salin sandangan berganti raga. Hal ini tercermin dalam ucapan Wong kuwi ora bisa mati, mung awake dipetri, uripe diênggo run têmurun . Maksud kalimat tersebut adalah manusia itu tidak bisa mati, hanya menyimpan ruh, hidup ruhnya akan digunakan oleh keturunannya. Karena itu, kematian tidak membuat masyarakat Samin sedih. Tidak ada tangis yang mengiringi kematian. Ketika jenazah akan diberangkatkan, tetua adat mengatakan raga boleh disimpan, tapi rohnya akan menjadi orang seperti semula. Masyarakat Samin tidak melakukan ritual lain seperti pembacaan do‟a. Akan tetapi ketika meletakkan jenazah dalam liang lahat, sesepuh Samin mengucapkan Sing dipepetri wadhage, uripe kok anggomak turun commit to user anak putu . Maksud kalimat tersebut adalah yang dipelihara jasmaninya, hidupnya ruhnya untuk digunakan diturunkan kepada anak cucu. Setelah proses pemakaman selesai, adakalanya masyarakat keturunan Samin meletakkan makanan atau minuman favorit si jenazah di atas pemakamannya. Selanjutnya tradisi yang dilaksanakan secara kolektif dapat dijumpai pada saat sambatan icir menanam tanaman disawah secara bergotong royong. Sambatan icir ini pada umumnya dapat dijumpai pada saat musim kemarau tiba. Tanaman yang ditanam diicir biasanya adalah kacang tanah dan jagung. Hal ini dapat dikatakan sebagai ciri khas dari masyarakat Samin karena pada masyarakat non-Samin, cara menanam tanaman disawah selanjutnya disebut icir tersebut sudah dilaksanakan dengan cara memperkerjakan tenaga kerja dengan imbalan berupa upah uang. Sambatan icir tersebut dapat dilihat dan dibedakan secara langsung dan tepat ketika kita berada di sawah. Pada umumnya sambatan icir memiliki jumlah yang lebih banyak dari pada menanam dengan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan sistem dari sambatan icir adalah saling membantu dan tidak ada upah yang berupa uang. Jadi jika ada seorang petani walaupun ia termasuk masyarakat non-Samin yang suka membantu icir kepada petani lain terutama masyarakat Samin, maka pada saat ia punya hajat icir , ia juga akan menerima bantuan dari masyarakat Samin. Selanjutnya yang menjadikan jumlah warga yang icir banyak adalah adanya gêthok tular dan rasa solidaritas yang tinggi dalam mayarakat Samin. commit to user

B. Hasil Penelitian

1. Prosesi Perkawinan Masyarakat Samin

Urutan prosesi perkawinan masyarakat Samin di Desa Kemantren yakni sebagai berikut: a. Jawab Prosesi perkawinan masyarakat Samin di Desa Kemantren dimulai dari jawab . Di tuturkan oleh Sardji yang akrab disapa Mbah Sardji sebagai sesepuh dari masyarakat Samin di desa tersebut, yakni: Pisanane kuwi kudu jawab Mboke karo Pake. Mêrga eneke bocah kuwi ya saka Mboke, Pake. Anak ngunu enek sing nandur, dadi nek arêp mek anake wong kuwi kudu taren sing duwe anak. Hasil wawancara pada hari Rabu, tanggal 28 September 2011. Dapat diterjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia yaitu pertama kali adalah jawab kepada Ibu dan Bapak. Karena asalnya anak adalah dari Ibu dan Bapak. Anak dapat diibaratkan ada yang menanam dan memiliki, jadi jika hendak memiliki anak tadi, harus meminta ijin kepada mempunyai anak. Hal ini senada dengan hasil wawancara bersama Sariman, pada hari Sabtu, tanggal 3 Desember yakni “ Nêmbung leh. Êngko nek nêmbung nek wis padha gêlême, êngko têrus bakale mara .” Jika diterjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia yakni yang pertama adalah jawab . Kemudian jika sudah sama-sama sepakat, dilanjutkan menemui orangtua. Lebih lanjut dituturkan oleh Sariman sebagai berikut: Carane nek wong Sikêp kuwi ya tuwa do tuwa. Mêngko sing cah wedok kuwi nek dikarêpna cah lanang kuwi gêlêm têgêse nyagohi, êngko têrus dijawab karo wongtuwane ngono. Dadi pêrsêtujuane