Prosesi Tradisi Perkawinan Masyarakat Samin

commit to user masyarakat Samin dibuat nyaman dan kadangkala mereka tidak menyadarinya bahwa dalam perbincangannya terkandung sosialisasi peraturan dari PEMDA.

C. Pembahasan

1. Prosesi Tradisi Perkawinan Masyarakat Samin

Tradisi perkawinan masyarakat Samin secara umum tidak ada bedanya dengan yang biasa berlaku dimasyarakat umum. Dalam masyarakat Samin, perkawinan dapat dinyatakan sah, jika sudah disahkan oleh orangtua pengantin perempuan dan disaksikan oleh warga sekitar. Menurut mereka, perkawinan yang dilaksanakan di KUA hanyalah untuk memenuhi peraturan pemerintah. Bahkan sebagian kecil masyarakat Samin yang tinggal di Desa Kemantren masih ada yang belum mencatatkan perkawinannya ke KUA. Hal ini juga dilakukan oleh pasangan pengantin yang dijadikan objek dalam penelitian ini. Cara pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Samin dimulai dengan cara jawab yang dilakukan oleh calon pengantin laki-laki kepada orangtua calon pengantin perempuan. Terdapat beberapa fersi pengucapan jawab dan sadat dalam perkawinan masyarakat Samin. Hal ini dikarenakan jawab dan sadat tidak menggunakan bahasa baku dan memiliki sifat fleksibel. Menurut masyarakat Samin, bahasa yang digunakan dalam pengucapan jawab dan sadat tersebut adalah termasuk bahasa Jawa ragam krama inggil. Bahasa tersebut untuk selanjutnya akan diwariskan kepada generasi penerusnya secara turun temurun. Untuk itu dapat dikatakan bahwa hal ini termasuk salah commit to user satu bentuk tradisi lisan. Maka dari itu dapat ditemukan pengucapan jawab dan sadat yang berbeda-beda, namun intinya adalah sama yakni meminta ijin dan mengikat janji. Menyikapi berbagai fersi jawab dan sadat yang memiliki lebih dari satu fersi, maka dalam pembahasan ini akan disajikan satu fersi saja yakni dipilih fersi yang dituturkan oleh Sardji yang akrab disapa mbah Sardji. Jawab yang diucapkan oleh calon pengantin laki-laki yakni: Pak, Mbok lampah kula mriki wau gadhah karêp ajêng suwito kalih Panjênêngan. Anane kula suwito Panjênêngan sêkalian, kula gadhah karêp ajêng ngarêpakên turun ndiko estri pangaran... Niki yen Sampeyan pun nglêgakakên mbenjangipun badhe kula jak nglampahi tatane tiyang sikêp rabi . Selanjutnya orangtua calon pengantin perempuan yang dijawab oleh calon pengantin laki-laki tadi, akan nari menanyakan kepada calon pengantin perempuan. Jika calon pengantin perempuan telah setuju, maka calon pengantin laki-laki calon suami akan melaksanakan nyuwito. Nyuwito adalah suatu pengabdian diri magang atau ngengger ditempat orangtua calon pengantin perempuan sampai mereka berdua “ rukun ” bersetubuh. Kemudian Bapak dari calon pengantin perempuan menjawab: E iya Le wis tak tampa panyuwitanêm, anakku mbok jawab ya wis tak lêgakna. Sêpisan iki wae kanggo sêlawase ngantio dadi kaken-kaken lan ninen-ninen .” Jika mereka berdua calon pengantin telah rukun , maka calon pengantin laki-laki akan menemui orangtua dari calon pengantin perempuan dan berkata E, Pak, Mbok niki turun ndiko mpun rukun, tatane tiyang mpun kula lampahi. commit to user Bapak dari calon pengantin perempuan menjawab: E, ya Le nek ngono wong tuwa tak tata, têrus nglumpukna wong dikon nyêkseni, disadat. Pada saat pelaksanaan upacara perkawinan, pihak calon pengantin perempuan harus disaksikan oleh orangtuanya. Akan tetapi untuk pihak calon pengantin laki-laki tidak wajib disaksikan oleh orangtuanya. Perkawinan juga disaksikan oleh warga setempat yang hadir. Perkawinan diawali dengan pengucapan sadat wali ikrar. Sadat menurut mereka berasal dari kata pisahe adat , yakni berpisahnya adat yang semula seorang diri bersama orangtuanya, menjadi memisah karena sudah memiliki pasangan hidup atau sudah tidak sendiri lagi. Bunyi sadat wali tersebut adalah sebagai berikut: Ya para sêdherek sêdaya, sêpuh utawi anem ingkang sampun nglêmpak wontên ing ngriki, kula ken nêkseni ucap kula kaliyan putra nganten. Niki kula duwe turun anak wedok pêngarane ... nama calon pengantin perempuan wis tak lêgakna janji karo pênganten lanang ... nama calon pengantin laki-laki. Iki wis enek kandhane pênganten lanang nek wis padha dhêmêne. Kula sêkseni sanjange pênganten lanang, nek mpun dinikah. Tampa Ten Pengucapan sadat wali tersebut akan dilanjutkan dengan pengucapan sadat nganten oleh calon pengantin laki-laki. Bunyi sadat nganten yaitu Nggih Pak mpun kula tampa wit Jêng Nabi jênêng kula lanang sênêng rabi, tata dhêmên wedok pêngaran ... nama calon pengantin perempuan kukuh jawab dhêmên janji, tak nikah mpun kula lampahi . commit to user Setelah upacara perkawinan dengan adanya pengucapan sadat wali dan sadat nganten dilaksanakan, maka mereka berdua telah sah menjadi pasangan suami isteri, walaupun perkawinan tersebut tidak dicatatkan ke KUA. Masyarakat Samin juga memiliki tradisi merayakan pesta perkawinan yang dikenal dengan istilah adang akeh . Pelaksanaan adang akeh mencerminkan bahwa masyarakat Samin sangat suka bergotong royong, saling membantu, dan sangat menjunjung tinggi nilai kerukunan serta kekeluargaan. Jadi dalam pelaksanaan adang akeh , mereka tidak menggunakan jasa karang taruna maupun tenaga kerja dari luar. Semua pekerjaan yang ada selama adang akeh berlangsung, akan dikerjakan bersama oleh para saudara dan tetangga yang jumlahnya cukup banyak sehingga terasa ringan. Tidak hanya dalam hal pekerjaan, mereka juga tidak perlu menyewa kekurangan peralatan rumah tangga seperti peralatan di dapur dan meja-kursi untuk para tamu yang jumlahnya tidak sedikit. Semua kekurangan tersebut dapat tertutupi dengan adanya bantuan pinjaman dari para warga sekitar. Pelaksanaan pesta perkawinan tersebut dapat dikatakan berlangsung secara sederhana dan tidak dijumpai adanya pelamina untuk kedua pengantin.Hal ini dikarenakan menurut masyarakat Samin, upacara perkawinan yang paling penting adalah pada saat kawinan yang dijumpai adanya pengucapan sadat dan telah disahkan oleh orangtua. Selain itu, menurut mereka maksud dari dihadirkannya pelamina untuk pengantin adalah merupakan lambang kebahagiaan dua orang pengantin yang disandingkan. Jadi hal itu hanya merupakan perlambang. Oleh karena itu commit to user menurut mereka tidak perlu menghadirkan pelamina seperti itu, pada kenyataannya pengantin sudah rukun . Perlambang-perlambang tersebut sudah berada pada diri masing-masing pengantin. Untuk itulah mereka tidak menghadirkan pelamina pada saat pesta perkawinan. Selain tidak dijumpai adanya pelaminan pada saat pelaksanaan upacara pesta perkawinan, juga ditemukan ciri khas dalam menerima sumbangan dari para tamu. Sumbangan yang dibawa para tamu baik perempuan maupun laki- laki, semuanya membawa sandhang pangan atau bahan-bahan sembako. Hal ini dikarenakan masyarakat Samin tidak menerima sumbangan berupa uang pada saat pesta perkawinan. Menurut masyarakat Samin, ketika pesta upacara perkawinan berlangsung, para tamu akan disuguh makan dan minum. Untuk itulah jika para tamu ingin menyumbang, maka sumbangan mereka berupa sandhang pangan , bukan berupa uang. Ada yang berpendapat jika sumbangannya berupa uang, dapat menimbulkan kesan jual beli. Hal ini dikarenakan mereka sebagai tamu yang usai disuguh makan dan minum, kemudian memberikan sumbangan berupa uang, hal itu terkesan seperti orang membeli makan dan minum di warung yang kemudian dibayar dengan uang. Padahal dalam adang akeh tersebut, mereka tidak berdagang, jadi tidak perlu ada yang membeli. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pada jaman dahulu uang adalah barang yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada jaman penjajahan, untuk itu masyarakat Samin tidak mau menerima uang, yang mereka butuhkan untuk hidup adalah sandhang pangan . Selain itu ketika ada pihak pemerintah commit to user Belanda yang mempunyai hajat, mereka akan menggunakan uang sebagai sumbangan. Menyikapi hal tersebut, menurut masyarakat Samin maka pendahulunya sewaktu itu pada jaman penjajahan telah mengikrarkan janji bagi para pengikutnya maupun generasi penerus yang mau mengikutinya kelak. Janji tersebut yakni menyatakan bahwa ketika salah seorang masyarakat Samin mempunyai hajat, mereka jangan sampai mau menerima sumbangan yang berupa uang. Olah karena itu, walaupun pada jaman sekarang Indonesia sudah merdeka, masih ada masyarakat Samin yang tetap tidak mau menerima sumbangan berupa uang. Hal ini menjadikan pada jaman sekarang ada dua macam cara dalam menerima sumbangan, yakni masih ada yang tidak mau menerima sumbangan berupa uang dan ada yang sudah mau menerima sumbangan berupa uang. Jadi hal itu merupakan hak pribadi. Adakalanya bagi masyarakat Samin yang sudah mau menerima uang, cara yang digunakan yakni orang yang menerima uang bukan yang punya hajat, melainkan sang pengantin. Jadi menurut mereka tamu yang memberikan uang tadi memiliki tujuan memberikan uang saku kepada pengantin, bukan menyumbang untuk pesta perkawinan. Selanjutnya jika hasil dari sumbangan pada saat pesta perkawinan tersebut masih banyak, maka sumbangan tersebut akan ditukar dengan uang. Hal ini berdasarkan penuturan Sariman, yaitu “ Lha nak asile akeh ki ya nak butuhe urung cukup, ya diijolna itungan. Dadine ijol .” Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa prosesi perkawinan masyarakat Samin yang dilaksanakan di desa Kemantren masih tetap commit to user berpegang pada tradisi masyarakat Samin yang terdahulu. Walaupun pada jaman sekarang sudah banyak dijumpai beberapa pengaruh dari perkembangan jaman. Kemudian mengenai sumbangan pada saat upacara pesta perkawinan walaupun wujudnya sandhang pangan atau bahan-bahan sembako, namun pada hakekatnya juga akan kembali berupa uang. Meskipun demikian sumbangan yang berupa sembako memiliki kelebihan yang cukup signifikan, yakni ketika hendak menanak nasi maupun memasak sayuran atau lauk yang lain, dapat langsung menggunakan bahan dari hasil sumbangan.

2. Makna Simbolik dalam Tradisi Perkawinan Masyarakat Samin