Efektivitas Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Kementerian Keuangan
40
Media Informasi Kerugian Negara Sebanyak 36 piutang
TPTGR di Kementerian Keuangan yang
pengurusannya dilakukan oleh DJKNPUPN,
terdapat 19 piutang yang dilimpahkan sebelum
tahun 2009 dan hingga saat ini belum mendapatkan
penyelesaian, baik lunas maupun status Piutang
Sementara Belum Dapat Tertagih PSBDT. Selain
itu, dari tabel di atas dapat pula diketahui
bahwa tingkat efektiitas penagihan paksa oleh
PUPNPUPNC yaitu sebesar 3.18 dari total
jumlah piutang yang dilimpahkan.
Berdasarkan rekonsiliasi yang dilakukan antara Biro Perencanaan dan
Keuangan dan Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain diketahui bahwa
sepanjang tahun 2013 dari 6 KPKNL tersebut diketahui bahwa pada 3 KPKNL yaitu KPKNL
Jakarta V, KPKNL Bogor dan KPKNL Medan sejak tahun 2013 tidak terdapat perkembangan
pembayaran angsuran kerugian negara piutang TGR, sedangkan pada 3 KPKNL Lainnya yaitu
KPKNL Makassar, KPKNL Malang dan KPKNL Samarinda diketahui bahwa terdapat angsuran
yang dilakukan secara rutin oleh penanggung jawab kerugian negara meskipun jumlah angsuran
tidak terlalu besar.
Sebagian besar Piutang TPTGR yang dilimpahkan kepada PUPNDJKN dilaksanakan oleh KPKNL
Jakarta V 27 kasus, dan diketahui bahwa sepanjang TA 2013 tidak terdapat perkembangan
angsuran Piutang TPTGR di KPKNL Jakarta V. Hal tersebut disebabkan oleh besarnya porsi piutang
TPTGR yang diurus oleh KPKNL Jakarta V.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penagihan paksa yang
dilaksanakan oleh unit vertikal DJKNKPKNL belum efektif untuk menyelesaikan masalah piutang
Tuntutan Ganti RugiTuntutan Perbendaharaan yang mengalami kemacetan. Pelimpahan
penagihan piutang ke DJKN yang diharapkan menjadi jalan keluar terhadap piutang yang
mengalami kemacetan, ternyata belum banyak membantu dalam memecahkan permasalahan
tersebut.
P
enyelesaian kerugian negara melalui proses tuntutan ganti rugi di Kementerian Keuangan
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara. Tujuan utama tuntutan ganti rugi adalah agar kekayaan negara dapat segera dikembalikan
dan untuk meningkatkan disiplin serta tanggung jawab para pejabat negarapegawai negeri.
Tuntutan ganti rugi dimaksud dilakukan apabila terjadi kerugian negara yang disebabkan oleh
kelalaian atau pelanggaran hukum pejabat negara pegawai negeri dalam rangka pelaksanaan
wewenang administratifnya. Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004,
mendeinisikan kerugian
negara sebagai
kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Berbicara mengenai kerugian negara yang dapat terjadi karena pebuatan melanggar hukum, maka
implementasi proses tuntutan ganti rugi sangat mungkin bersinggungan dengan kerugian negara
yang disebabkan tindak pidana. Hubungan Antara
8.3. Perlunya Sinkronisasi Implementasi UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara Guna Kelancaran Penyelesaian Kerugian
Negara
41
Media Informasi Kerugian Negara proses tuntutan ganti rugi dan pidana ini terlihat
dalam Pasal 64 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa suatu
putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa
walaupun seseorang telah dipidana, namun negara tetap berhak untuk melakukan tuntutan
ganti rugi guna mencapai tujuan agar kekayaan negara yang hilang dapat segera dikembalikan.
Salah satu tindak pidana yang sering dikaitkan dengan kerugian negara adalah tindak pidana
korupsi. Proses pemberantasan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terkait dengan prinsip dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara bahwa suatu putusan
pidana tidak membebaskan pelaku dari tuntutan ganti rugi, telah sejalan pengaturannya dengan
Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor
yang mengatur bahwa pengembalian kerugian
negara tidak menghapuskan pemidanaan terhadap
pelaku. Kedua hal ini dapat diartikan bahwa apabila
terjadi kerugian negara maka kerugian tersebut
harus di ganti, dan apabila terpenuhi unsur pidana maka
pemidanaan harus dilakukan. Pasal 32 Undang-Undang
Tipikor mengatur bahwa bila tidak terbukti adanya tindak
pidana namun telah nyata terdapat kerugian negara, maka
kerugian negara dapat diajukan gugatan perdata. Begitu pula apabila putusan menyatakan bebas,
tidak menghilangkan hak negara untuk mengajukan gugatan. Terkait dengan ganti kerugian negara,
dalam Undang-Undang Tipikor dikenal adanya pidana tambahan berupa pembayaran uang
pengganti. Apabila penanggung jawab kerugian negara tidak dapat membayar uang pengganti,
maka akan diganti dengan pidana.
Secara normatif, terkait dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana, ketentuan
dalam Undang-Undang Pebendaharaan Negara dan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor
telah tampak sinkron. Namun, permasalahan yang muncul adalah pada tahapan implementasi dari
ketentuan tersebut. Pada Kementerian Keuangan, kasus-kasus kerugian negara yang diselesaikan
melalui proses tuntutan ganti rugi dicatat dalam laporan keuangan sebagai piutang tuntutan ganti
rugi. Pada tataran teknis, apabila piutang tidak dapat terselesaikan, untuk menghapuskan piutang
tersebut dari laporan keuangan haruslah melalui proses penagihan maksimal oleh PUPN dan
memperoleh persetujuan BPK.
Sampai dengan saat ini kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi yang
telah diproses oleh kejaksaan maupun KPK tidak tercatat dalam laporan keuangan Kementerian
Keuangan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa proses penyelesaian kerugian negara telah
dilakukan oleh Kejaksaan atau KPK dan tidak akan terkendala dengan proses penghapusan piutang
apabila kerugian negara tidak dapat dikembalikan melalui uang pengganti. Tekait hal ini, bila melihat
ketentuan dalam Undang-Undang Perbendaharaan dan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor,
s e b e n a r n y a proses pidana dan
proses tuntutan ganti rugi adalah
hal yang berbeda. Namun dalam
p e l a k s a n a a n n y a apabila seseorang
telah dipidana, akan sulit untuk menuntut
ganti kerugian untuk terselesaikan.
Adanya pengaturan mengenai pidana
tambahan berupa uang pengganti sebenarnya
cukup membantu dalam menghubungkan proses pemidanaan dan proses
tuntutan ganti rugi. Namun diperlukan koordinasi dalam pelaksanaannya. Koordinasi diperlukan
dalam hal jumlah kerugian negara yang nyata dan pasti. Sehingga jumlah kerugian negara dalam
proses pidana dan proses tuntutan ganti rugi tidak akan berbeda. Selain itu diperlukan pula koordinasi
dengan PUPNDJKN serta BPK untuk menyusun ketentuan terkait dengan proses penghapusan
kerugian Negara, bilamana penanggung jawab kerugian negara telah dipidana dan tidak dapat
melunasi penggantian kerugian negara melalui uang pengganti. Apabila telah terdapat koordinasi
yang baik dalam kedua hal tersebut, maka mencatat piutang TGR yang prosesnya melalui
pidana akan relatif tidak terkendala.
42
Media Informasi Kerugian Negara
B
e r d a s a r k a n Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 21 tahun 2012 tentang
Pedoman Pengamanan Barang Milik Negara di
Lingkungan Kementerian Keuangan, kendaraan dinas
bermotor dibagi menjadi 2 macam, yaitu kendaraan
dinas operasional jabatan KDOJ dan kendaraan
dinas operasional KDO. KDOJ yaitu kendaraan
bermotor perorangan milik negara yang digunakan untuk pelaksanaan tugas
pejabat negara dan pejabat struktural, sedangkan KDO, yaitu kendaraan bermotor selain Kendaraan
Dinas Operasional Jabatan.
Sesuai ketentuan KMK Nomor 21 tahun 2012 tersebut, kendaraan dinas tersebut peruntukannya
hanya untuk kepentingan dinas yang menunjang tugas dan fungsi Kementerian, dibatasi hanya
pada hari kerja kantor, digunakan hanya di dalam kota, dan untuk KDO dilarang untuk dibawa
pulang. Namun pada kenyataannya masih sering terjadi penyalahgunaan
penggunaan kendaraan dinas operasional. Selain
itu, tak jarang juga kendaraan dinas diparkir di
luar garasi yang seringkali pengamanannya kurang
memadai dan tidak sesuai dengan ketentuan standar
pengamanan yang ada. Meskipun persentasenya
relatif kecil dibandingkan total pemegang kendaraan
dinas, akan tetapi ini sangat berisiko terjadi kehilangan
kendaraan dinas yang mengakibatkan kerugian negara. Apabila yang bersangkutan terbukti
bersalah atau melawan hukum baik sengaja maupun lalai, maka mau tidak mau ia harus menanggung
dan memulihkan kerugian negara tersebut.
Sesuai data dari Biro Perencanaan dan Keuangan diperoleh informasi bahwa penyumbang kerugian
negara terbanyak adalah kehilangan barang milik negara, khususnya adalah kendaraan dinas.
Rincian kasus kehilangan kendaraan dinas selama 3 tahun terakhir adalah sebagai berikut: