commit to user
50
Yogyakarta. Batik keraton diciptakan dan dikembangkan dengan dilandasi falsafah
kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual. Dengan kata lain, batik keraton adalah sebuah ungkapan falsafah hidup manusia Jawa Yayasan Harapan
KitaBP 3 TMII, 1997:5. Oleh karenanya, batik keraton atau Batik Solo merupakan salah satu warisan adiluhung budaya Jawa yang berpusat dan
dikembangkan di Solo.
4.1.2.1 Ragam Hias Batik Solo
Secara arkeologis, ragam hias yang muncul dalam kain batik telah dikenal dari peninggalan bangunan, sebagai relief danatau ornamen seperti yang
tampak pada hiasan Candi Lara Jonggrang Prambanan Yudoseputro, 2008:217. Sebagai contoh, tiga di antaranya yaitu: 1 ragam hias Lereng atau Liris telah
dikenal pada Candi Shiwa dalam Candi Dieng dan patung Mashuri di Semarang pada abad ke-9; 2 ragam hias Ceplok terdapat pada Candi Banon dekat Candi
Borobudur pada abad ke-9, pada patung Shiwa di Singasari pada abad ke-8, dan patung Buddha pada Candi Jago di Malang; dan 3 ragam hias Sido Mukti
terdapat pada patung Ganesa pada abad ke-8 di Singasari Sentalu dalam Tozu ed., 2007:204.
Ragam hias batik yang dapat ditemui pada relief-relief candi merupakan tempat sakral pada masa Hindu-Buddha. Hal itu membuktikan bahwa ragam hias
yang terdapat pada batik memiliki nilai sakral. Sebagaimana Coomaraswamy dalam Lipsey ed., 1977:3-10 menjelaskan bahwa candi lazimnya dianggap
commit to user
51
sebagai tempat sakral karena diyakini sebagai rumah Tuhan yang perwujudannya merupakan ekspresi dari penggabungan makrokosmos dan mikrokosmos. Apabila
ragam hias yang digunakan pada batik merupakan turunan ragam hias yang terdapat pada relief candi, maka ragam hias pada batik diyakini memiliki makna
sakral bagi manusia Jawa. Secara visual, ragam hias batik merupakan ekspresi keadaan diri dan
lingkungan penciptanya. Pada seni batik tradisional, kehadiran tiap motif, ragam hias dan desain hiasan erat hubungannya dengan fungsi busana yang dikenakan.
Dalam hal ini, ragam hias batik mengandung makna dalam konteks tertentu yang dikaitkan dengan pemakai batik dan saat dipakainya Yudoseputro, 2008:219.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa Batik Solo merupakan batik pakem. Artinya, batik bermotif klasik yang mempunyai makna filosofis pada setiap ragam
hiasnya, pemakaiannya juga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan dengan syarat-syarat tertentu Pesponegoro, Soim, Muttaqin, 2007:75.
Secara visual, motif klasik dapat dibagi menjadi dua, yaitu motif geometris dan non-geometris. Golonggan geometris terdiri dari bentuk-bentuk
ilmu ukur, yang dimulai dari titik, menjadi garis, lingkaran, segi tiga dan lain sebagainya. Contoh dari motif geometris, yaitu: Lereng, Parang, dan Ceplok.
Sementara itu, contoh motif non-geometris, yaitu terdiri dari motif flora, fauna, bangunan-bangunan, dan sayap dalam berbagai bentuk, serta benda-benda alam,
seperti Wahyu Tumurun dan Alas-alasan Prawirohardjo, 2011:10-12. Apabila Batik Solo lazim dianggap sebagai batik keraton, maka ragam
hiasnya dapat dipastikan memiliki keterkaitan dengan kisah-kisah yang diwarisi
commit to user
52
dari raja-raja sebelumnya. Salah satu contohnya, ragam hias Parang yang memiliki kisah sebagai berikut.
Pada zaman Mataram, ragam hias Parang diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma setelah melihat Laut Selatan lihat Gambar IV.7. Sultan
menyadari bahwa batu besar pun lama-lama dapat dihancurkan oleh ombak. Hal inilah yang kemudian mengilhami Sultan untuk menciptakan ragam hias yang
mengambil motif dari ombak sebagai simbol kekuatan gaib alam di luar manusia Sentalu dalam Tozu ed., 2007:199, Prawirohardjo, 2011:32.
Gambar IV.7: Ragam Hias Parang Dalam Karya Go Tik Swan Beragam-hias “Parang Baris Suryo Guritno”
yang Disembahkan Kepada PB XII Sumber: Iskandar 2011:200
Setelah Mataram Islam terpecah menjadi dua, Kasunanan Surakarta Keraton Solo dan Kasultanan Yogyakarta Keraton Yogyakarta, masing-masing
kerajaan pun memiliki ciri khas gaya batiknya sendiri. Perbedaan antara batik dari Keraton Solo dan Yogyakarta diungkapkan Djoemena 1990a:21-22, sebagai
commit to user
53
berikut. 1 Dari sisi ragam hias, batik Keraton Solo memiliki ragam hias yang lebih
cendurung merupakan perpaduan tata ragam hias geometris-non- geometris dengan ukuran yang lebih kecil daripada yang dimiliki oleh
Yogyakarta. 2 Dari sisi warna, batik Keraton Solo memiliki warna putih yang agak
kecoklatan ecru dan warna hitam yang kecoklatan daripada yang dimiliki oleh Yogyakarta.
Melengkapi pencirian yang dilakukan Djoemena, Sentalu dalam Tozu ed., 2007:197-204, memaparkan bahwa pada batik Keraton Solo terdapat warna
Sogan, yaitu warna coklat yang agak kekuningan sebagai warna dasar. Kemudian terdapat ragam hias yang lebih beraneka macam dan memiliki kecenderungan
feminin daripada batik Keraton Yogyakarta. Melengkapi pendapat ini, Pujiyanto 2010:39 menambahkan bahwa motif garis miring lazim dikenal dengan sebutan
motif Lereng pada gaya Solo dibuat dari arah kiri bawah serong ke kanan atas, sedangkan pada gaya Yogyakarta dari arah ke kanan bawah serong ke kiri atas
lihat Gambar IV.8, 9.
commit to user
54
Gambar IV.8: Batik Ragam Hias Parang Solo
Parang Barong Sumber: Tozu ed., 2007:29
Gambar IV.9: Batik Ragam Hias Parang Yogyakarta
Parang Barong Seling Sumber: Tozu ed., 2007:29
Varian gaya batik semakin berkembang lagi ketika Pura Mangkunegaran memisahkan diri dari Keraton Solo. Batik Solo terbagi menjadi dua gaya, yaitu
gaya Keraton Solo dan gaya Pura Mangkunegaran. Menurut Widiastuti 1993:39, perbedaan antara kedua gaya batik tersebut, yaitu ciri khas di Keraton Solo pada
umumnya adalah penggunaan ragam hias tumbuhan pada Ceplok dan warna soga, sedangkan di Pura Mangkunegaran penggunaan ragam hias tumbuhan pada Semen
dan warna coklat kekuningan.
4.1.2.2 Teknik Pembuatan Batik Solo