Kajian Pustaka: Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Batik

commit to user 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI:

BATIK SOLO, MAKNA SIMBOLIK, DAN DEKONSTRUKSI

2.1 Kajian Pustaka: Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Batik

Kajian tentang Batik Solo yang dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kajian ini tidak ditujukan untuk memahami Batik Solo sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni batik. Dalam kajian ini, Batik Solo merupakan objek material dari kajian tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Solo. Kendala penelitian yang memfokuskan kajian pada Batik Solo untuk membongkar atau membuat pemaknaan kembali Batik Solo adalah terlalu kompleksnya permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kondisi ini dapat dimengerti karena banyaknya simbolisasi dan falsafah hidup manusia Jawa yang tersimpan dalam perwujudan Batik Solo. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni batik secara umum danatau perwujudan batik semata-mata, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsep- konsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan. Dengan demikian, kajian pustaka ini diarahkan bukan hanya pada pustaka-pustaka hasil penelitian batik saja, tetapi juga pada pustaka-pustaka yang dapat digunakan untuk membangun konsep dan aplikasi teori. Hasil penelitian Yayasan Harapan KitaBP-3 TMII 1997 tentang latar belakang kehidupan bangsa Indonesia, adat-istiadat, dan seni budaya yang commit to user 14 diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Indonesia Indah telah jelas mengungkapkan konsep seni batik yang memiliki pengertian sebagai citra budaya Indonesia yang memiliki keunikan. Dari pustaka ini, setidaknya diperoleh informasi keberadaan dua jenis batik yang ada di Jawa, yakni batik keraton dan batik pesisiran. Batik Solo dikelompokkan ke dalam batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang harmonis. Konsep yang berupa lingkaran konsentris yang menempatkan batik keraton sebagai ungkapan sebuah falsafah hidup kebudayaan Jawa hampir selalu dirujuk oleh penelitian-penelitian tentang batik keraton. Setidaknya, konsep lingkaran konsentris yang menghasilkan seni batik yang diungkapkan oleh Yayasan Harapan KitaBP 3 TMII cukup banyak memberikan gambaran tentang konsep dasar orientasi pola seni batik. Sebuah penelitian yang lebih fokus pada mitos dan makna batik oleh Nian S. Djoemena 1990a yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning mengungkapkan mitos dan makna ragam hias batik Nusantara yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah geografis. Walaupun karya penelitian ini bukan penelitian yang difokuskan kepada Batik Solo, setidak-tidaknya mitos dan makna ragam hias batik yang dimiliki masing-masing daerah termasuk Solo dapat membantu untuk membangun konsep makna simbolis batik dalam penelitian ini. Hasil penelitian lain yang lebih fokus pada Batik Solo adalah sebuah tesis commit to user 15 karya Widiastuti 1993 yang berjudul “Pergeseran pada Batik Surakarta: Periode Tahun 1950-1990”. Widiastuti cukup jelas dan detail dalam mengungkap pergeseran perwujudan Batik Solo, baik dari sisi teknis, maupun dari sisi ragam hias dan tata warna. Penelitian tersebut menempatkan Batik Solo sebagai objek seni-budaya yang memiliki makna simbolik sebagai kaintextile. Hasil penelitian ini tidak hanya dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, namun melengkapi juga pemahaman konsep tentang Batik Solo yang telah diperoleh dari pustaka karya Yayasan Harapan Kita BP 3 TMII. Selanjutnya, sebuah hasil penelitian yang lebih fokus tentang batik keraton Kasunanan dan Mangkunegaran oleh Pujiyanto 2010 yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Dari empat hasil penelitian tentang batik tersebut, dapat dicatat dua hal penting. Pertama, keempat kajian di atas jelas tidak dilakukan dalam wilayah ilmu Kajian Budaya. Kedua, keempat kajian di atas memiliki kesamaan dalam memposisikan Batik Solo dan makna yang melekat sebagai seni-budaya tradisional yang berkaitan dengan kegiatan adat manusia Jawa sehingga Batik Solo yang selama ini dianggap sebagai hasil karya seni budaya Jawa tanpa sadar commit to user 16 hanya dipandang sebagai peninggalan budaya. Selanjutnya, pustaka karya Iwan Tirta 2009 yang berjudul Batik Sebuah Lakon merupakan hasil penelitian praktisi batik sekaligus pengusaha batik. Walaupun buku ini bukan karya dari kalangan akademis, tetapi buku ini merupakan studi kasus atas batik dari seorang pengusaha batik dengan latar belakang sebagai seniman sekaligus pengusaha batik. Artinya, pustaka ini memiliki informasi-informasi yang dapat dijadikan data untuk melihat pergeseran danatau perkembangan dunia batik dalam konteks busana batik modern. Selanjutnya, dua hasil penelitian yang dilakukan oleh Sekimoto Teruo tentang batik, yaitu 1 sebuah artikel jurnal yang diberi judul ‘A Marginalized Tradition: Batik and Javanese Modernity’ dalam jurnal ilmiah, Minzokugaku- Kenkyu The Japanese Journal of Ethnology 2000; dan 2, artikel yang diberi judul ‘Batik as a Commodity and a Cultural Object’ dalam karya pustaka diedit oleh Yamashita dan Eades dengan judul “Globalization in Southeast Asia: Local, National, and Transnational Perspectives” 2003. Kedua artikel ini setidaknya memberikan informasi penting mengenai kondisi batik yang semakin termarginalkan pada era modern. Sebuah hasil penelitian tentang fashion yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul After a Fashion yang telah dilakukan Joanne Finkelstein 2007 memfokuskan pada wujud fenomena fashion secara keseluruhan dengan cara interdisipliner. Dalam penelitiannya, fashion diposisikan sebagai fenomena sosial yang menghasilkan produk budaya. Karya ini mampu memberi dasar konsep mengenai fashion secara teoretis. commit to user 17 Malcolm Barnard 2011, dengan judul Fashion sebagai Komunikasi Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender ini memandang fashionpakaian sebagai sarana komunikasi visual serta dipahami sebagai artefak budaya yang mengacu pada tentang diri. Kedua penelitian tentang fashion di atas jelas tidak mengungkapkan tentang Batik Solo, namun informasi dari keduanya dapat digunakan untuk membangun gambaran konsep penelitian ini untuk mengungkapkan tentang Batik Solo sebagai busana di wilayah ilmu Kajian Budaya. Artinya, penelitian ini tidak memandang Batik Solo hanya sebagai produk rancang seni tradisional, melainkan lebih mengacu pada wujud kekinian dalam pemaknaanya secara simbolis. Hasil penelitian lain yang lebih fokus pada pakaian Indonesia diedit oleh Henk Schulte Nordholt 2005 yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Outward Appearances Trend, Identitas, Kepentingan. Karya ini membahas persoalan-persoalan pakaian yang muncul di Indonesia. Nordholt 2005:v mengungkapkan bahwa pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan. Artikel- artikel yang ada di dalam buku ini memandang masing-masing masalah melalui wujud pakaian. Ini menunjukkan bahwa pakaian bukan hanya objek material melainkan cerminan dari fenomena sosial. Artikel-artikel dalam pustaka ini tidak membahas permasalahan pakaian dengan teori dekonstruksi, namun upaya-upaya yang telah dilakukan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan fungsi pakaian yang merupakan bagian objek material kajian ini. Terakhir, sebuah penelitian yang fokus pada arsitektur Keraton Surakarta telah dilakukan oleh Titis S. Pitana 2010 dalam disertasi yang berjudul commit to user 18 “Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta”. Disertasi ini jelas bukan tentang batik, setidaknya disertasi ini mampu memberikan gambaran konsep dan cara kerja dekonstruksi dalam suatu kerja penelitian di wilayah Kajian Budaya. Kajian beberapa pustaka di atas menunjukkan bahwa kajian tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dalam wilayah Kajian Budaya merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, penelitian mengenai Batik Solo dalam keilmuan Kajian Budaya ini perlu dilakukan.

2.2 Konsep: Dekonstruksi Makna Simbolik dan Batik Solo