Dari Seni Alus Adiluhung Menjadi Warisan Budaya

commit to user 95 Busana adalah “representamen” dari beberapa kemungkinan “objek” yang memperoleh berbagai kemungkinan “interpretan”. Proses dari “representamen” ke “objek” ke “interpretan” ini disebut proses “semiosis”. Proses semiosis canon ini memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dengan entitas lain yang disebut sebagai objek, dan menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan. Gerakan yang tidak berujung-pangkal ini oleh Eco dan Derrida kemudian dirumuskan menjadi proses semiosis tanpa-batas unlimited semiosis Budiman, 2011:17-18, Hoed, 2011:144. Proses ini kemudian digunakan untuk memahami kejelasan proses dekonstruksi makna simbolik Batik Solo.

4.3.1 Dari Seni Alus Adiluhung Menjadi Warisan Budaya

Heritage Batik Solo merupakan salah satu perwujudan seni alus atau adiluhung yang sakral dari kebudayaan Jawa, yang tidak dapat dipisahkan dari pemahaman manusia Jawa atas kosmosnya. Sebagaimana Geertz 1976:261, batik merupakan salah satu seni dari enam alus kompleks Alus Art Complex budaya Jawa, yakni 1Wayang shadow play, 2 Gamelan percussion orchestra, 3 Lakon literary plot or scenario, 4 Joged Javanese court dancing, 5 Tembangs poems, 6 Batik textile of wax registed dye. Sejak masa kekuasaan Sultan Agung abad ke-17, batik sudah menjadi salah satu karya seni alus Kerajaan Mataram untuk menemuhi kebutuhan busana dalam keraton. Sejak masa itu, proses membatik bukan hanya proses berkarya seni, namun telah menjadi suatu bagian pelatihan proses olah batin putri-putri commit to user 96 keraton. Hal ini telah digambarkan dalam karya sastra Jawa yang berjudul Suluk Pangolahing Sandang Pangan, sebagai berikut dalam Pujiyanto, 2010:24-25. Suluk mbatik kang pinurweng singir, Lah tawus babo bathiken pisan, Tenunan wupanigase, Ywa tinggal polanipun, Lawansira den ngati-ati, Kang winadan punapa? Dhasaripun alus, Malamira pethak, Wua dinuga lanceng sedeng sawatawis, Ancathing pengengrengan. Myang panembokan jegulireki, Wajan ginenen latu tos ika, Bandhul lan gawangane, Apan pepak sadarum, Pirantine wong arsa mbatik, Dhasar alus utama, Tinulis jelngunt, Mangkana upamanira, Yen dhedhasar wadhag gya tinulis ngremit, Karyane yekti ilang. Datan pantes yen tinulis becik, Walantenen den kongsi prayitna, Aja dumeh baut, Sabarang karya bisa, Ayu rupa, ayu gawe, ayu ati, Aja kibir jubriya. suluktembang, Dhandanggulo:W.316 di Sono Pustaka Yogyakarta Artinya: Suluk batik menjadi awal lagu ini, Maka silakan mulai membatik, Bahan tenunan telah siap sedia, Tetapi jangan tinggalkan polanya, Dan hendaknya berhati-hati, Apa yang masih kurang? Kain dasarnya halus, Lilinnya putih, Sebab sudah dicampur lilin lanceng sedikit, Canting rengrenganpun siap sudah. Sarana lainnya, cantik tembokan, jegul sudah ada, Wajan dipanasi dengan api, Bandul gacangannya sudah pula sedia, Bukanlah seluruh keperluan orang membatik sudah lengkap? Dibatik terasa lebut dan mengasikkan, Begitulah kiranya, Tetapi kalau dasarnya kasar, Tanpa diolah dahulu, Dan dibatik dengan rumit, Tidak mungkin kita akan melihat hasil yang baik. Itu tidak layak untuk dibatik dengan baik, Dicuci saja agar kembali seperti semula, Sebab kalau jelak dasarnya, Babarannya akan menggangu perasaan saja, Gadisku waspadalah, Jangan karena mampu lalu lupa diri, Dalam segala karyamu, Hendaknya dapat serasi, commit to user 97 Cantik di wajah, indah di karya, dan luhur di hatimu, Jangan sekali-kali takabur dan tinggi hati. Karya sastra ini dengan jelas menyatakan bahwa proses membatik bukan hanya melibatkan sesuatu yang bersifat lahiriah, namun batiniah juga. Hal ini sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa yang meyakini bahwa manusia terdiri atas bagian lahiriah dan batiniah. Batin merupakan kenyataan yang sejati. Lahiriah dari diri manusia adalah badan dengan segala hawa nafsu dan daya-daya rohani. Dapat dikatakan bahwa badan merupakan wilayah kerajaan roh manusia De Jong, 1984:14. Ini berarti bahwa batik dengan proses pembatikan merupakan suatu perpaduan dari lahiriah dan batiniah yang melibatkan rasa perasaan terdalam manusia. Dalam kegiatan membatik, keluhuran hati dari si pembatik akan muncul dalam karyanya sendiri. Keselarasan rasa pembatik penting dapat diperumpamakan seperti sama halnya perpaduan bahan-bahan yang halus dengan kemampuan teknik pembatikan yang tinggi. Pada sisi yang lain, diungkapkan bahwa apabila jiwa pembatik belum siap, maka tidak mungkin menghasilkan karya yang baik dan rumit. Proses menciptakan batik merupakan ekspresi pengalaman spiritual. Oleh karenanya, tidak dapat hanya dipandang sebagai kegiatan produksi kain textile. Proses membatik memiliki kandungan rohaniah melalui olah batin yang merupakan cerminan kosmologi manusia Jawa yang lazim dianggap sebagai media perenungan dan meditasi. Penciptaan batik mengandung pengalaman mistis mbatik manah yang berarti totalitas pencurahan jiwa dan raga Yayasan Harapan KitaBP 3 TMII,1997:60. Dengan demikian, karya batik dianggap sebagai commit to user 98 sesuatu yang sakral, bahkan kain batik dan kekhususan ragam hiasnya diyakini memiliki kekuatan magis. Pernyataan di atas diperkuat dengan adanya dua cerita dalam babad yang berkaitan dengan keberadaan batik. Pertama, kisah Pangeran Adipati Anom Amangkurat II yang melihat seorang gadis sedang membatik. Pangeran Adipati Anom begitu tertarik memperhatikan aktivitas gadis tersebut hingga membuatnya jatuh cinta. Namun ternyata, gadis itu adalah gadis yang disimpan oleh ayahnya untuk dijadikan selir. Karena menahan rasa yang terus bergejolak, pangeran jatuh sakit. Dalam kondisi sakit inilah, pangeran dirawat oleh gadis tersebut. Kedekatan mereka berdua akhirnya membuat gadis tersebut pun jatuh cinta pada pangeran. Hal ini menyebabkan kemarahan sang ayah. Akhirnya pangeran diperintahkan oleh sang ayah untuk membunuh sang gadis. Peristiwa inilah yang menjadi penyebab terjadinya kekacauan kerajaan Mataram dan perang Trunajaya Sabdacarakatama 2010:101. Kedua, kisah kelahiran ragam hias Truntum lihat Lampiran 4: Contoh Ragam Hias Batik Solo Dalam Daur Hidup. Kisah tersebut diawali karena rasa sedih dan kurang perhatian Sunan Paku Buwana III kepada permaisuri. Hal ini membuat setiap malam sang permaisuri berteman dengan bintang. Kemudian, permaisuri mengisi waktu dan menumpahkan perasaanya dengan cara membatik. Bintang yang selalu menemani malam-malam permaisuri menjadi objek yang mendominasi ragam hias karyanya. Pada suatu saat, raja melihat karya batik yang rapi dan bagus tersebut dan menanyakan arti ragam hias yang dikandungnya. Permaisuri bercerita kepada raja bahwa ragam hias tersebut sebagai ungkapan rasa commit to user 99 sedih karena tidak diperhatikan oleh raja, sebagaimana yang permaisuri alami. Mendengar cerita tersebut, raja baru menyadari betapa sedihnya perasaan sang permaisuri, bahkan rasa cinta raja seakan bersemi kembali. Akhirnya, raja memberi nama ragam hias yang mampu mengembalikan rasa cinta tersebut dengan nama itu Truntum. Sejak itulah, Truntum merupakam simbol berseminya danatau kembalinya cinta Djoemena,1990a:13-14, Sentalu dalam Tozu ed., 2007:206. Dari dua kisah tersebut menunjukkan secara jelas bahwa kegiatan membatik bukan hanya persoalan fisik, namun lebih pada kegiatan yang melibatkan rasa perasaan terdalam manusia. Dari dua kisah tersebut, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni sebagai berikut. 1 Kegiatan membatik tidak dimaknai sebagai kerja, tetapi “pekerjaan”. Artinya, mereka membatik bukan untuk mencari uang mata pencaharian yang mengacu pada kekayaan harta benda. Dalam konteks budaya Jawa, pekerjaan adalah satu dari lima unsur “kewajiban” yang disebut “hidup atas nama Tuhan”, yakni badan, keturunan, masyarakat, pekerjaan, dan penguasa. Pekerjaan merupakan suatu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan bekerja, seorang dapat mengisi kehidupannya secara pribadi, namun apabila manusia pribadi terlepas dari masyarakat maka kerja tidak begitu berharga De Jong, 1984:31-32. Dengan demikian, kegiatan membatik adalah sesuatu yang sakral karena bukan untuk mecari kekayaan material, melainkan pekerjaan untuk mencari keselarasan antara lahiriah dan batiniah. commit to user 100 2 Cinta dalam kedua kisah tersebut menujuk kepada hubungan antara pria dan wanita. Dalam konteks budaya Jawa, hubungan pria dan wanita dalam ikatan rumah tangga merupakan sesuatu yang sakral. Dari ikatan perkawinan yang ada dalam rumah tangga tersebut, manusia menjalankan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan untuk melahirkan keturunan De Jong, 1984:30-31. Batik yang melambangkan cinta tersebut dihubungkan dengan konsep penciptaan manusia yang sakral. 3 Munculnya rasa cinta terhadap seorang wanita bukan hanya karena kecantikan wajah, melainkan bisa datang dari hal lain, seperti keahlian, ketelitian, dan keterampilannya dalam membatik yang melibatkan segenap rasa perasaan terdalam. Hal ini dapat dipahami dari sisi sikap dan estetika orang Jawa yang tidak ingin menonjol dan keinginan untuk mengabdikan hidupnya dengan cara mengekspresikan segala sesuatunya dengan simbolperlambang untuk mengkomunikasikannya. Dalam kehidupan manusia Jawa, komunikasi dimaksudkan sebagai sesuatu kesatuan antara rasa, karsa, cipta, dan karya, yang diungkapkan untuk menyampaikan pembaharuan Ronald,1997:234, 277. Dengan uraian tersebut, cara komunikasi semacam ini yang secara tidak langsung mencerminkan estetika kehidupan manusia Jawa. Dengan demikian, wanita membatik dapat dipahami sebagai wanita indah yang mampu menggunakan cara komunikasi yang baik. Keterampilan membatik merupakan unsur estetis wanita yang dapat mengkait rasa para pria karena mereka menonjol bukan commit to user 101 kecantikan wajah lahir, tetapi mengabadikan diri dengan keterampilan membatik danatau karya batik yaitu sebagai proses olah batiniah batin. Dalam konteks budaya Jawa, batik sebagai hasil karya seni Jawa yang terlahir dari kepekaan perasaan seseorang merupakan pantulan pengalaman dari pembatiknya. Perasaan dan pengalaman tersebut terakumulasi dalam nilai-nilai seni dan dipancarkan kembali dalam bentuk karya. Pesan-pesan yang ada di dalamnya tidak dapat langsung terbaca karena terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik Ronald,1997:32. Atas dasar inilah, Batik Solo sebagai produk budaya Jawa yang terlahir dari rasa perasaan terdalam manusia Jawa dapat dikatakan sebagai produk budaya alus. Geertz 1976:232-233 mengatakan,“Alus means pure, refined, polished, polite, exquisite, ethereal, subtle, civilized, smooth. A man who speaks flawless high-Javanese is alus, as is the high-Javanese itself ” serta “Kasar is merely the opposite: impolite, rough, uncivilized; a badly played piece of music, a stupid joke, a cheap piece of cloth”. Ini berarti bahwa konsep alus dan kasar memiliki keterkaitan dengan konsep lahir dan batin. Konsep alus merupakan keterampilan batin dan kehalusan pengalaman subjektif yang ditransformasikan ke dalam ruang seni, yaitu Batik Solo. Dalam pandangan orang Jawa, konsentrasi merupakan suatu sikap yang melatarbelakangi pembedaan antara dunia makrokosmos jagad gede dan mikrokosmos jagad cilik. Konsentrasi diri merupakan jalan menuju Tuhan dengan usaha mencapai keselarasan antara jagad gede dan jagad cilik. Sejalan dengan hal ini, Geertz 1976:287 mengungkapkan tentang batik sebagai seni alus commit to user 102 bahwa, “batik was a spiritual discipline. ... it took great inward concentration to work on such a piece of very detail and delicate cloth painting; and a favorite symbol of mystic experience is still mbatik manah ...”. Secara bebas, dapat diartikan bahwa kerapian dan kerumitan dalam perwujudan Batik Solo merupakan ekspresi dari pengalaman mistis mbatik manah. Batik bukan semata-mata keindahan dalam perwujudan sebuah kain, melainkan lebih pada keindahan batin manusia yang merupakan representasi dari konsentrasi diri manusia dalam proses seni yang disebut seni alus. Sejak kemerdekaan RI, pemerintah berusaha mewujudkan nation building, yaitu membangun nasionalisme dan budaya nasional. Oleh karenanya, kebudayaan daerah harus dikembangkan demi terwujudnya kebudayaan bangsa kebudayaan nasional yang membanggakan bagi bangsa Indonesia secara nasional Latif, 2011:354. Dalam konteks pembangunan budaya bangsa ini, batik menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan dan dijadikan sebagai kebanggaan budaya nasional. Batik sebagai salah satu warisan budaya Nusantara, keberadaannya tidak hanya penting untuk dilestarikan, namun juga dikembangkan untuk dapat diangkat sebagai kebanggaan bangsa. Batik bukan lagi milik keraton-keraton di Jawa, tetapi telah dijadikan milik bangsa Indonesia secara keseluruhan. Upaya ini pertama kali dilakukan oleh Soekarno sebagai Presiden pertama RI yang dibantu oleh Go Tik Swan, pengusaha dan pengrajin batik keturunan Tionghoa dari Solo Pujiyanto, 2010:147. commit to user 103 Selanjutnya, pada masa Orde Baru, batik menjadi komoditas yang cukup diandalkan dan menjadi salah satu daya tarik wisata belanja yang dikembangkan. Dengan dibungkus ‘wacana sebagai warisan budaya adiluhung budaya keraton’, batik menjadi komoditas yang memiliki nilai jual cukup tinggi Parani, 2011:26- 48. Ini berarti bahwa negara memaknai Batik Solo sebagai peninggalan zaman warisan budaya yang harus dilestarikan dan dapat dimanfaatkan dalam sektor pariwisata. Filosofi dalam perwujudan Batik Solo tidak dibaca lagi sebagai ekspresi kosmologi Jawa. Terlebih lagi, Batik Solo dimaknai sebagai produk budaya tradisional. Artinya, dalam wacana tradisional, Batik Solo hanya mengacu pada masa lalu sebagai oposisi biner modernisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sekimoto dalam Yamashita eds., 2003:112 berikut. Tradition is a living part of contemporary reality, albeit in a marginalized form. The real dichotomy is not that between tradition and modernity but that between the power center which subjugates and dictates the nature of traditions, and marginalized realities ... Dalam memposisikan batik sebagai warisan budaya heritage, tidak berhenti pada tingkat nasional, namun juga pada tingkat internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengakuan oleh UNESCO bahwa batik sebagai warisan budaya dunia yang bersifat takbenda Intangible Cultural Heritage yang berasal dari Indonesia dan diberi nama “Batik Indonesia Indonesian Batik”. Fakta ini terbukti dengan dimasukkannya Batik Indonesia ke dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity pada tanggal 2 Oktober tahun 2009 lihat Gambar IV.26. commit to user 104 Gambar IV.26: Sertifikat Warisan Budaya Takbenda Oleh UNESCO Sumber: Referensi dalam WorkshopSeminar Nasional IKM Batik dan Pameran Eco-Batik, Pada tanggal 21-23 Juni 2011 di Balai Besar Kerajinan dan Batik Menurut Pitana 2010:152, dalam penggunaan gagasan dekonstruksi Derrida, setiap masyarakat yang menghasilkan makna budaya dipercaya memiliki pusatnya masing-masing untuk menetapkan kebenaran. Pusat merupakan kuasa kultural. Sebaliknya, apabila pusat yang mutlak harus ada, maka pusat itu tidak lain adalah teks budaya. Dengan kata lain, tidak ada makna yang dapat dibaca selain makna objektif. Realitasnya, “pusat” bukanlah sesuatu yang tunggal karena ia lebih dimaksudkan sebagai fungsi dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual dalam upaya menemukan pusat-pusat baru Pitana, 2010:204. Hal ini dapat dipahami bahwa perbedaan danatau perubahan pusat yang dimiliki masing- masing masyarakat menyebabkan dekonstruksi makna simbolik. Sebagaimana proses yang terjadi dalam dekonstruksi makna simbolik yang berupa pemaknaan commit to user 105 ulang atas Batik Solo. Hal tersebut menunjukkan bahwa makna adalah produk dari situasi- situasi yang terkait serta dari suatu perbedaan tanda yang berkaitan dengan tanda- tanda lain. Oleh karena itu, makna dapat dipahami hanya dalam konteksnya Cavallaro, 2004:20-32. Sebagaimana pengertian tanda oleh Derrida yang memiliki jejak trace atau tanda bekas, yaitu, sesuatu yang mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas Pitana, 2010:250. Dapat dikatakan bahwa jejak tidak memiliki substansi melainkan hanya menuju objek- objek lain. Kehadiran makna bukan sesuatu yang ada, tetapi mengada yang dapat ditelusuri melalui jejak-jejak yang ditorehkan. Jejak selalu mendahului objek Ratna, 2007 138. Batik Solo sebagai produk budaya memiliki metafisikanya sendiri sebagai seni alus dan sakral yang mengekspresikan kosmologi dan falsafah hidup Jawa. Dalam perkembangannya, Batik Solo menjadi bagian dari Batik Indonesia Indonesian Batik yang menjadi kebanggaan nasional, bahkan kemudian menjadi kebanggaan dunia yang diakui UNESCO sebagai bagian warisan budaya takbenda. Kenyataan ini menunjukkan bahwa telah terjadi dekonstruksi makna simbolik busana tradisional Jawa, yaitu Batik Solo, dari seni alus yang sakral menjadi benda warisan budaya heritage. Proses “kemenjadian” Batik Solo ini tidak dapat hanya dilihat dari sisi ilmu rancang seni, melainkan lebih pada pemaknaan ulang oleh banyak subjek yang tidak pernah berhenti. commit to user 106

4.3.2 Dari Daur Hidup Siklus Hidup Menjadi Fashion