Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Batik menjadi salah satu warisan adiluhung budaya Jawa. Keunikan dan kekhasan motif dan ragam hias Batik Solo yang sarat nilai filosofis menjadikannya sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan dikembangkan. Gagasan serupa pernah diutarakan oleh mantan Walikota Surakarta, Joko Widodo dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang dalam kutipan berikut. Batik adalah kerajinan yang mengandung filosofi, memiliki karakter dan nilai seni, serta menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Sebagai ikon budaya, batik merupakan lokal genius yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Semoga batik akan menjadi warisan sejarah yang mampu menjawab modernisasi dan terjaga eksistensi tradisinya Widodo, dalam Atmojo, 2008: 6. The art of Batik holds a special place in the hearts of Indonesia everywhere. It is our national costume and it is something with which the world identifies us, but is also something that we hold dear as a reminder of the traditions and skills that are our national heritage and that have been passed down over hundreds of years from generation to generation Anwar dalamTozu ed., 2007:6. Pengakuan ini tidak hanya datang dari masyarakat Solo sebagai pelaku budaya danatau pemerintah daerah dan pusat sebagai pemangku kekuasaan negara, tetapi juga dunia internasional. Oleh karena itu, dunia internasional yang telah menjadi bagian integeral dari budaya tersebut merasa berkepentingan untuk ikut menjaga dan mengembangkan batik. Hal ini terbukti dengan terpilihnya batik sebagai salah satu warisan budaya takbenda pada tanggal 2 Oktober 2009 oleh UNESCO. commit to user 2 Secara historis — batik sebagai produk budaya tradisional — kelahiran dan pengembangannya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kerajaan di Nusantara sebagai pemangku kebudayaan. Malahan dari sisi ragam hias, batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya. Berdasar pada pandangan tersebut, batik dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu batik keraton dan batik pesisiran Yayasan Harapan KitaBP 3 TMII, 1997:5. Sebagaimana Djoemena 1990a:8, yang dimaksud batik keraton adalah batik dari daerah Solo dan Yogyakarta. Sementara itu, batik pesisiran adalah semua batik yang pembuatannya dikerjakan di luar daerah Solo dan Yogyakarta. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Batik Solo termasuk batik keraton. Yayasan Harapan KitaBP 3 TMII 1997:5 menegaskan bahwa batik keraton adalah batik yang tumbuh dan berkembang di atas dasar-dasar filosofis kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang harmonis. Oleh karenanya, Batik Solo begitu terkait dengan kehidupan manusia Jawa sehingga tidak dapat terpisah dari kehidupan masyarakat Jawa, terutama kehidupan danatau kegiatan di dalam Keraton Kasunanan Surakarta. Sebagaimana pernyataan Paku Buwana IX, dalam Pujiyanto 2010:13, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono hamemangun wataking manungso jobo-jero memakai busana dan perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan batin dari si pemakai”. Solo sebagai pusat Kerajaan Mataram Jawa Kasunanan Surakarta eksis dengan segala tradisi serta adat-istiadat keratonnya. Keraton bukan hanya sekadar commit to user 3 kediaman raja-raja, melainkan juga merupakan pusat pemerintahan, agama, dan kebudayaan. Keadaan ini mempengaruhi juga produksi ragam hias, tata warna, dan pemakaiannya Djoemena, 1990a:10. Batik tradisional Solo lazimnya dipenuhi dengan motif klasik dan digunakan pada acara yang erat hubungannya dengan adat-istiadat manusia Jawa Widiastuti, 1993:5. Motif klasik batik diartikan sebagai ragam hias batik yang diciptakan pada zaman dahulu. Ragam hias tersebut bukan sesuatu yang hanya indah secara visual, tetapi juga sesuatu yang diberi makna yang erat hubungannya dengan falsafah hidup manusia Jawa. Ini berarti bahwa bagi manusia Jawa, keindahan ragam hias batik lebih dimaknai sebagai upaya untuk memberikan nafas dan jiwa dari busana tradisional. Implementasi keindahan ragam hias batik ini akhirnya menjadi busana tradisional Jawa yang sekaligus menjadi simbol kosmologi, dasar orientasi diri, dan cermin sikap hidup. Ilustrasi ini tampaknya dapat dijadikan pijakan argumentasi bahwa apabila makna filosofis dan proses pembuatan Batik Solo melalui proses pertimbangan yang rumit dan matang, maka Batik Solo dapat dianggap sebagai wujud budaya Jawa yang agung adiluhung. Secara filosofis, ragam hias pada batik tradisional Solo mengandung pesan dan harapan tulus yang diyakini akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi si pemakai. Ini semua dilukiskan secara simbolis sekaligus merupakan ciri khas Batik Solo Djoemena, 1990a:10. Artinya, batik tradisional Solo dapat dimaknai sebagai kain batik yang mengandung makna simbolis dalam ragam hiasnya yang penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan adat yang berlaku beserta suasana yang melingkupinya. commit to user 4 Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penerus Dinasti Mataram merupakan pemangku kebudayaan Jawa yang sekaligus pusat magis terbesar budaya Jawa. Oleh karenanya, sudah sepantasnya seni batik berkembang pesat di Jawa dan menjadikan Solo sebagai salah satu pusat batik di Jawa. Eksistensi Solo sebagai salah satu pusat batik di Jawa ini diperkuat dengan keberadaan beberapa kampung batik yang hingga saat ini tetap bertahan. Dua kampung batik di Solo yang menjaga dan mengembangkan batik sebagai warisan budaya Jawa, yaitu Kampung Batik Kauman dan Laweyan. Secara visual, dua kampung batik ini menyiratkan pernah mengalami masa kejayaan. Kejayaan ini merupakan bukti bahwa warga kedua kampung ini pernah berhasil meningkatkan kesejahteraan melalui usaha batik yang pada zamannya mampu memenuhi tuntutan kebutuhan busana tradisional Jawa. Batik tradisional Solo bukanlah semata-mata wujud karya ilmu rancang seni yang dilihat sebagai seni alus, tetapi sekaligus memiliki fungsi sebagai busana tradisional manusia Jawa yang dipakai baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup manusia Jawa terutama keluarga dan kerabat keraton dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana diungkapkan Geertz 1976:287, sebagai berikut. Batik, the final element in the alus art complex .... Also, like dance, music, and drama, batik was a spiritual discipline ... it took great inward concentration to work on such a piece of very detailed and delicate cloth painting; and a favorite symbol of mystic experience is still mbatik manah ―‘drawing a batik design on the heart’. Tidak dipungkiri bahwa busana tradisional Batik Solo dapat dimaknai sebagai batik tradisional Solo yang dipakai, baik dalam kehidupan sehari-hari commit to user 5 maupun dalam kegiatan adat manusia Jawa yang berkaitan dengan daur hidupnya secara spiritual. Namun demikian, harus diakui bahwa makna tersebut sudah mengalami perubahan sejalan dengan derasnya arus modernisasi yang ditandai dengan semakin canggihnya media informasi dan tumbuh suburnya budaya instan. Pengaruh ini telah membawa dampak cukup menyedihkan bagi keberlangsungan kampung-kampung batik di Solo. Permintaan atas kebutuhan batik sebagai busana tradisional Jawa semakin menurun akibat semakin pesatnya perkembangan mode dalam berbusana fashion. Akibatnya, mereka menggantungkan hidup pada usaha batik menjadi sesuatu yang dianggap kurang menguntungkan. Sebagaimana ditegaskan Musyawaroh 2009a dalam sebuah artikel on line sebagai laporan kegiatan pengabdian masyarakat tahun 2006-2009 di kampung Kauman seperti berikut http:musyawaroh.staff.uns.ac.idkauman-surakarta-kampung-lama- yang-terabaikan, diakses tanggal 20 Mei 2012. ... usaha batik di Kauman berangsur-mangsur merosot. Pengusaha batik banyak yang beralih profesi menjadi pegawai negeriswastausaha lain atau bahkan berhenti bekerja seiring dengan uzurnya usia. Hanya tinggal sebagian kecil pengusaha batik yang masih melanjutkan usahanya, ... Jumlah pengusaha batik yang aktif produksi dan menjual hasil usahanya di wilayah tersebut jauh berkurang dari sekitar 65, sekarang hanya tinggal 6, selebihnya melakukan pemrosesan batik di luar Kauman. Pararel dengan pernyataan tersebut, Sekimoto 2000:271 menjelaskan bahwa kondisi kampung Laweyan pada tahun 1975 sudah mulai mengalami keterpurukan, walaupun mereka masih tetap mempertahankan kegiatan pembatikan sebagai usahanya. Namun demikian, pada tahun 1991 kampung Laweyan tidak lagi dapat dikatakan sebagai kampung batik. Sebagian besar pengusaha batik telah gulung tikar dan tinggal sedikit pengusaha yang commit to user 6 melanjutkan usahanya dengan sekala relatif sangat kecil. Hal ini dipertegaskan Wijaya 2010:66, “... sebagian besar pabrikan batik cap di Surakarta terpaksa harus tutup di era tahun 1980-an. Sementara itu industri rumah tangga batik tulis dapat bertahan” . Semakin rendahnya minat pengusaha batik dan semakin sulitnya mencari pekerjapengrajin batik dari warga kampung-kampung batik mendatangkan akibat yang signifikan terhadap pengetahuan tentang batik itu sendiri bagi generasi bangsa, tidak terkecuali masyarakat Solo sebagai ahli waris batik. Batik semakin tidak dikenali sebagai karya seni yang melalui proses rumit dan memerlukan kesabaran tangan-tangan terampil. Hal ini diperparah lagi dengan munculnya pasar bebas di dunia perdagangan yang tidak mampu menolak hadirnya tekstil printing bermotif batik yang diperjualbelikan dengan harga yang jauh lebih murah daripada Batik Solo yang merupakan produk budaya Jawa yang berbasis pada kearifan lokal. Malahan pasar tidak lagi peduli tentang jenis, motif, dan makna filosofis di balik batik yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Apabila keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin Batik Solo semakin termarjinalkan dan tergantikan tekstil printing bermotif batik. Artinya, walaupun batik telah diakui sebagai warisan budaya UNESCO, namun masyarakat Solo gagal menjadi ahli waris yang mampu menjaga dan mengembangkan warisan adiluhung budaya Jawa yang membanggakan. Oleh karena itu, perlu tindakan cerdas dalam upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang Batik Solo dan menyikapi pengaruh global berkaitan dengan upaya membangun karakter dan kebanggaan bangsa yang mendunia. Pada titik ini, commit to user 7 penelitian tentang Batik Solo di wilayah keilmuan Kajian Budaya dipandang relevan untuk mengungkap makna kontemporer dalam konteks kekinian.

1.2 Rumusan Masalah