Kawasaki Naomi S 701008006
commit to user
DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIK BATIK SOLO
TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kajian Budaya
Oleh Kawasaki Naomi
S 701008006
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
(2)
commit to user i
DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIK BATIK SOLO
TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kajian Budaya
Oleh Kawasaki Naomi
S 701008006
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
(3)
commit to user ii
DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIK BATIK SOLO
TESIS
Oleh
Kawasaki Naomi
S 701008006
Komisi Pembimbing
Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD
NIP.19500709 198003 1 003 ...
... Januari
2013
Pembimbing II Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop. Arch
NIP.19680609 199402 1 001
... ... Januari 2013
Telah dinyatakan memenuhi syarat
pada tanggal Januari 2013
Ketua Program Studi Kajian Budaya
Program Pasca Sarjana UNS
Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum.
NIP. 19640918 198903 1 001
(4)
commit to user iii
DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIK BATIK SOLO
TESIS Oleh Kawasaki Naomi
S 701008006
Tim penguji
Jabatan Nama Tanda Tanggan Tanggal
Ketua Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum.
NIP. 19640918 198903 1 001 ... ... Januari 2013
Sekretaris Dr. Nooryan Bahari, M.Sn.
NIP. 19650220 199003 1 001 ... ... Januari 2013
Anggota Penguji
Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD
NIP.19500709 198003 1 003 ... ... Januari 2013 Dr. Titis Srimuda Pitana, ST.,
M.Trop. Arch
NIP.19680609 199402 1 001 ... ... Januari 2013
Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal Januari 2013
Direktor Program Pascasarjana UNS Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS. NIP. 19610717 198601 1 001
Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum. NIP. 19640918 198903 1 001
(5)
commit to user iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
1. Tesis yang berjudul : “DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIK BATIK SOLO” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas No17, tahun 2010).
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs- UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakkan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Kajian Budaya PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Kajian Budaya PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, ... (diisi tanggal ujian pendadaran) Mahasiswa,
Kawasaki Naomi S701008006
(6)
commit to user v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“
一期一会
” “Ichigo-Ichie”“a-once-in-a lifetime chance”
一期
(Ichigo) berarti seumur hidup,一会
(Ichie) berarti hanya sekali saja dapat ditemuiSegala hal yang ditemui pada saat ini
adalah sesuatu yang hanya sekali saja dapat ditemui.
Tidak ada waktu yang persis sama selain sekarang dan
tidak ada pertemuan selain sekarang ini.
(
山上宗二記
: Yamagami Souji Ki)Tesis ini saya persembahkan kepada
Orang tua dan mertua yang selalu mendukung cita-citaku; semua dosen UNS yang telah memberikan perhatian hangat kepadaku, teman-teman keluarga besar UNS yang selalu memberikan motivasi; masyarakat Solo yang telah menerima saya dengan ramah, terutama keluargaku di Solo; Suamiku tercinta.
(7)
commit to user x
DAFTAR ISI
HaL
JUDUL ... i
PENGESAHAN PEMBIMBING TESIS ... ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1. Tujuan Umum ... 8
1.3.2. Tujuan Khusus ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1. Manfaat Teoretis ... 9
1.4.2. Manfaat Praktis ... 9
(8)
commit to user xi
BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI: BATIK SOLO, MAKNA SIMBOLIK, DAN
DEKONSTRUKSI ... 13
2.1. Kajian Pustaka: Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Batik ... 13
2.2. Konsep: Dekonstruksi Makna Simbolik dan Batik Solo ... 18
2.2.1. Dekonstruksi Makna Simbolik ... 18
2.2.2. Batik Solo ... 23
2.3. Landasan Teori: Dekonstruksi dan Semiotika ... 25
2.3.1. Teori Dekonstruksi ... 25
2.3.2. Teori Semiotika ... 29
BAB III. METODE PENELITIAN ... 32
3.1. Rancangan Penelitian ... 32
3.2. Lokasi Penelitian ... 35
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 36
3.4. Teknik Pemilihan Informan ... 37
3.5. Instrumen Penelitian ... 37
3.6. Teknik Pengumpulan Data ... 38
3.7. Teknik Analisis Data ... 39
3.8. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 40
BAB IV. PEMBAHASAN: GAMBARAN UMUM, SEBAB, PROSES, IMPLIKASI DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIK BATIK SOLO ... 41
4.1. Gambaran Umum Kota Solo dan Batik Solo ... 43
(9)
commit to user xii
4.1.2. Batik Solo Sebagai Warisan Adiluhung
Budaya Jawa ... 48
4.1.2.1. Ragam Hias Batik Solo ... 50
4.1.2.2. Teknik Pembuatan Batik Solo ... 54
4.1.2.3. Penggunaan Batik Solo ... 59
4.1.3. Simbolisasi Batik Solo ... 62
4.1.3.1. Batik Solo Sebagai Ekspresi Kosmologi Jawa ... 62
4.1.3.2. Batik Solo Sebagai Ekspresi Daur Hidup Manusia Jawa ... 69
4.2. Sebab Terjadinya Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo ... 73
4.2.1. Jejak-jejak Perubahan Pemaknaan atas Batik Solo ... 73
4.2.2. Batik Solo Dalam Konstelasi Global ... 81
4.3. Proses Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo ... 94
4.3.1. Dari Seni Alus (Adiluhung) Menjadi Warisan Budaya ( Heritage) ... 95
4.3.2. Dari Daur Hidup (Siklus Hidup) Menjadi Fashion ... 106
4.4. Implikasi Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo Terhadap Perkembangan Batik Solo ... 111
4.4.1. Implikasi Terhadap Popularitas Batik Solo ... 111
4.4.2. Implikasi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Solo ... 126
4.4.2.1. Batik Solo Menjadi Modal Budaya Dalam Pembangunan Ekonomi Kota Solo ...
(10)
commit to user xiii
4.4.2.2. Batik Solo Menjadi Kebanggaan
Masyarakat Solo ... 134
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 142
5.1. Simpulan ... 142
5.2. Saran ... 144
DAFTAR PUSTAKA ... 146
LAMPIRAN ... 164
(11)
commit to user xiv
DAFTAR TABEL
HaL Tabel IV.1 Ragam Hias Batik Solo Dalam Upacara Daur Hidup 72
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.1 Diagram Rancangan Penelitian 35
Gambar IV.1 Letak Kota Solo 43
Gambar IV.2 Peta Kota Solo 44
Gambar IV.3 Pemandangan Pasar Klewer dari Luar 46
Gambar IV.4 Letak PGS dan BTC 46
Gambar IV.5 Pemandangan PGS dari Luar 47
Gambar IV.6 Pemandangan BTC dari Luar 47
Gambar IV.7 Ragam Hias Parang Dalam Karya Go Tik Swan Beragam-hias “Parang Baris Suryo Guritno”
yang Disembahkan Kepada PB XII 52
Gambar IV.8 Batik Ragam Hias Parang Solo
(Parang Barong) 54
Gambar IV.9 Batik Ragam Hias Parang Yogyakarta
(Parang Barong Seling) 54
Gambar IV.10 Canting Tulis 58
Gambar IV.11 Pecanting di Ndalem Hardjonagaran Solo 58
Gambar IV.12 Canting Cap 59
Gambar IV.13 Perajin Cap di Batik Gunawan Stiawan 59 Gambar IV.14 Susuhunan Paku Buwana X Bersama Garwa Padmi
Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang Memakai Cinde dan
(12)
commit to user xv
Gambar IV.15 Orang-orang yang Memakai Nyamping (Kain Panjang) dan Udeng/Blangkon (Ikat Kepala) di Pengadilan pada
Zaman Kolonial 62
Gambar IV.16 Skema Sangkan Paraning Dumadi dan Papat Keblat
Kalima Pancer Dalam Kosmologi Manusia Jawa 68 Gambar IV.17 Batik Indonesia Karya Go Tik Swan Beragam-hias
Parang Parung 80
Gambar IV.18 Batik Indonesia Karya Go Tik Swan Beragam-hias
Sido Luhur 80
Gambar IV.19 Batik Carolina von Faranquemonto di Surabaya 88 Gambar IV.20 Batik Eliza van Zuylen di Pekalongan 88 Gambar IV.21 Gusti Bendara Raden Ajeng Retno Puwoso Putri
Susuhunan Paku Buwana X Berpakaian Kebaya dan
Batik Keraton 91
Gambar IV.22 Wanita Eropa Berpakaian Kebaya dan Batik Belanda
Sekitar Tahun 1900 91
Gambar IV.23 Wanita Indo-Sino Berpakaian Kebaya dan Batik Pesisir
(Sarong) pada Awal Abad ke-20 92
Gambar IV.24 Gusti Putri Mangkunegoro, Ibu Hartini
Soekarno, dan Kanjeng Ratu Pakubuwana Berpakaian
Kebaya dan Batik pada Tahun 1963 92
Gambar IV.25 Baju Kebaya dan Batik Sekarang,
Karya Anne Avantie 92
Gambar IV.26 Sertifikat Warisan Budaya Takbenda Oleh UNESCO 104 Gambar IV.27 Pria Jawa di Lingkungan Kerja Pengadilan 106
Gambar IV.28 Penari Wanita Jawa 106
Gambar IV.29 Seksi Batik Kerajaan Dalam Pameran “Batik Indonesia:
(13)
commit to user xvi
Gambar IV.30 American Batik Design Competition 115 Gambar IV.31 Menteri Perindustrian Mohamad S. Hidayat Memberikan
Penjelasan Batik Wayang Kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada World Batik Summit 2011
di JCC, Jakarta 28 September 2011 116
Gambar IV.32 Karya Busana Batik Iwan Tirta Dalam
Batik Fashion Show untuk Madame Imelda Marcos pada
Tahun 1976 118
Gambar IV.33 Karya Busana Batik Iwan Tirta Dalam Poster Promosi
Garuda Indonesia Australia Office 118
Gambar IV.34 Motif yang Didesain Iwan Tirta untuk Seragam Garuda
Indonesia oleh Chossy Lattu (Dipakai dari Tahun1999) 119 Gambar IV.35 Kemeja Batik Iwan Tirta Dalam Kongres APEC 1 120 Gambar IV.36 Kemeja Batik Iwan Tirta Dalam Kongres APEC 2 120 Gambar IV.37 Kemeja dan Dress Batik Bola di PGS 124 Gambar IV.38 Konsumen yang Sedang Memilih Kemeja
Batik Bola di PGS 124
Gambar IV.39 Slogan Solo, The Spirit of Java 126 Gambar IV.40 Wacana “Solo Ibukota Batik” Dalam Media Massa 126 Gambar IV.41 Gate Kauman Kampung Wisata Batik 128 Gambar IV.42 Kostum SBC Bermotif Flora yang Ditampilkan Dalam
Acara Dies Nataris UNS 2012 131
Gambar IV.43 Kostum SBC Bermotif Jawa Tengah yang Ditampilkan
Dalam Acara Dies Nataris UNS 2012 131
Gambar IV.44 Kostum SBC Bermotif Jawa Tengah yang Ditampilkan
Dalam Acara Dies Nataris UNS 2012 131
Gambar IV.45 Karya Busana Batik 1 Dalam SBF 2012 132 Gambar IV.46 Karya Busana Batik 2 Dalam SBF 2012 132
(14)
commit to user xvii
Gambar IV.47 Karya Busana Batik 3 Dalam SBF 2012 133 Gambar IV.48 Seragam Batik Pemerintah Kota Solo dan Guru SMP
Kota Solo yang Terbuat dari Tekstil Printing Bermotif
Batik 136
Gambar IV.49 Seragam Batik SD Muhammadiyah 4 Serakarta yang Terbuat dari Tekstil Printing Bermotif Batik, Dalam
Ragam Hias Terdapat Lambang Sekolah 136 Gambar IV.50 Gapura Bibis Wetan RW XX Kal Gilingan Solo 136 Gambar IV.51 Motif Batik yang Digambarkan atas Gapura Bibis Wetan
RW XX Kal Gilingan Solo 136
Gambar IV.52 Batik Solo Trans (BST) 137
Gambar IV.53 Becak yang Dihiasai Motif Batik 137
Gambar IV.54 Motif yang Digambarkan atas Becak
(Ragam Hias Parang) 137
Gambar IV.55 G.P.H. Puger B.A. Berbusana Adat Jawa dalam Acara
Jemenangan Dalem Tahun 2011 138
Gambar IV.56 Busana Adat Jawa Dalam Acara Ritual Satu Sura
Tahun 2009 138
Gambar IV.57 Slogan “Wayang Orang Budayaku, Jati Diriku dan
Kebanggaanku” Dalam Acara Karnaval Wayang Orang 139 Gambar IV.58 Peserta Anak-anak SD Dalam Karnaval
Wayang Orang 140
Gambar IV.59 Peserta Siswa-siawa Dalam Karnaval
Wayang Orang 140
Gambar L.4.1 Kawun 174
Gambar L.4.2 Turuntum 174
(15)
commit to user xviii
Gambar L.4.4 Slobog 174
Gambar L.4.5 Wahyu Tumrun 175
Gambar L.4.6 Sidoasih 175
Gambar L.4.7 Sidodadi 175
Gambar L.5.1 Parang Pamor 177
Gambar L.5.2 Cakar Pintu Retno 177
Gambar L.5.3 Sido Dadi Mulyo 178
Gambar L.5.4 Wora Wari 178
Gambar L.5.5 Derimo Mukti 179
Gambar L.5.6 Turun Wahyu Temurum 179
Gambar L.6.1 Sawat Lar Bergaya Mangkunegaran
– Karya Iwan Tirta 1990-an 181
Gambar L.6.2 Parang Rusak Barong – Karya Iwan Tirta 181
Gambar L.6.3 Modang 182
Gambar L.6.4 Cumukiran Gaya Solo 182
Gambar L.6.5 Cumukiran Dalam Batik Solo 182
(16)
commit to user xix
DAFTAR LAMPIRAN
HaL
Lampiran 1 Daftar Informan 164
Lampiran 2 Pedoman Wawancara 168
Lampiran 3 Kalender of Cultural Event Solo 2012 170 Lampiran 4 Contoh Ragam Hias Batik Solo Dalam Daur Hidup 174 Lampiran
5 Contoh Pemilihan Ragam Hias Batik Solo Pakem dari
Kampung Batik Kauman untuk Upacara Pernikahan 176 Lampiran
6 Contoh Ragam Hias Larangan yang Dikeluarkan
(17)
commit to user vi
ABSTRAK
Kawasaki, Naomi. S701008006. 2012: Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo. Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembimbing 1 Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD, dan Pembimbing 2 Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop. Arch.
Batik Solo merupakan salah satu wujud budaya adiluhung Jawa yang diakui sebagai bagian Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO. Sebagai produk budaya, Batik Solo dapat diposisikan sebagai teks budaya yang harus dibaca untuk mengungkap makna simbolik yang dikandungnya sesuai dengan ruang dan waktu dari si pemakna (subjek). Sebagaimana logika dekonstruksi dalam memahami realitas Batik Solo, pemaknaan Batik Solo harus dipandang sebagai suatu proses dan juga harus dimaknai secara kontekstual. Sementara itu, dekonstruksi terjadi karena adanya pergeseran pemahaman subjek atas objek yang dipandang sebagai realitas ciptaan (produksi, konstruksi) atau diciptakan kembali (reproduksi, rekonstruksi).
Penelitian ini dilakukan dalam ranah ilmu Kajian Budaya dengan menggunakan metode analisis data kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Di dalam penelitian ini teori Dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaannya dibantu dengan teori Semiotika Komunikasi Visual dari Umberto Eco yang digunakan secara eklektik.
Hasil yang diperoleh penelitian ini ada tiga. Pertama, dekonstruksi makna simbolik Batik Solo yang terjadi disebabkan oleh kematian metafisika yang didorong kedua aspek, yakni: (1) jejak-jejak perubahan pemaknaan atas Batik Solo; dan (2) Batik Solo dalam konstelasi global. Kedua, proses yang terjadi dalam dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dapat dipahami melalui dua proses, yaitu: (1) dari seni alus (adiluhung) menjadi warisan budaya (heritage); dan (2) dari daur hidup (siklus hidup) menjadi fashion. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik Batik Solo memiliki dua implikasi, yiatu: (1) implikasi terhadap popularitas Batik Solo; dan (2) implikasi terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Solo.
(18)
commit to user vii
ABSTRACT
Kawasaki, Naomi. S701008006. 2012: Deconstruction of the Symbolic Meaning of the Solo Batik. Thesis. Postgraduate Studies in Cultural Study. Sebelas Maret University Surakarta. Supervisor 1 Prof. Dr. NanangRizali, MSD. Supervisor 2 Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M. Trop. Arch.
Batik Solo is a one of Javanese adiluhung (high valued) cultures form which was recognized as a part of Intangible Cultural Heritage by UNESCO. As a cultural product, Batik Solo can be positioned as a cultural text which should be read for expressing symbolic meaning within it, in accordance with time and space by subject. In the same manner as the logic of deconstruction to understand the reality of Batik Solo, the interpretation of Batik Solo should be considered as a process and be interpreted contextually. Meanwhile deconstruction occurs because of the change of subject’s understanding toward the object which considered as constructed reality (production, construction) or re-constructed reality (reproduction, reconstruction).
This study was conducted in the field of Cultural Studies by using qualitative data analysis method, descriptive and interpretative data analysis technique and hermeneutic approach. In this study, Derrida’s Deconstruction theory is positioned as the grand theory to answer the three study problems which is in its application supported by Umberto Eco’s Visual Communication Semiotics theory which is used eclectically.
There are three results which were acquired in this study. First, deconstruction of the symbolic meaning of the Batik Solo is triggered by the death of metaphysics which is endorsed by two aspects, namely (1) traces of interpretation change on the Batik Solo; and (2) Batik Solo in global constellation. Second, the process continued due to the deconstruction of the symbolic meaning of the Batik Solo can be comprehended by two processes; (1) from the alus (adiluhung) art to be the heritage; (2) from life cycles to be fashion. Third, deconstruction of the symbolic meaning of the Batik Solo has two implications; (1) implication toward the popularity of Batik Solo; and (2) implication toward social economy and culture of Solo society.
(19)
commit to user viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Penolong karena atas kehendak-Nyalah penulisan tesis ini bisa diselesaikan. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD, Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop. Arch atas bimbingan dan tuntunan yang telah diberikan dengan penuh perhatian sehingga tesis ini terwujud.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang disampaikan kepada Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Ketua Program Magister (S2) Program Studi Kajian Budaya UNS atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjalani studi di Program Magister (S2) Kajian Budaya UNS.
Demikian juga, terima kasih penulis tujukan kepada semua dosen UNS yang telah memberikan sedemikian banyak sesuatu kepada penulis tidak hanya ilmu pengetahuan bahkan perhatian baik untuk melanjutkan studi penulis di UNS, para dosen S2 Kajian Budaya, para dosen jurusan Sastra Indonesia, dan para dosen penulis temui di UNS. Demikian juga senior-senior ilmu Kajian Budaya yang telah memberi ruang kesadaran baru kepada penulis dengan menggunkan sekian banyak waktu untuk memperluaskan pemahaman khususnya ilmu Kajian Budaya. Semoga Tuhan senantiasa memberikan kemuliaan dan kebijaksanaan agar mereka selalu ditempatkan dalam kegembiraan dan keindahan kehidupan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada masyarakat Solo yang telah menerima penulis sebagai keluarga besar untuk menyelasaikan penelitian ini, juga keluarga penulis di Solo yang saya cintai. Demikian juga teman-teman di keluarga besar UNS yang selalu memberikan motivasi kepada penulis. Setiap rasa hangat yang penulis terima di kota Solo sejak awal pelajaran di UNS, ternyata membantu begitu banyak terhadap kehidupan dan penelitian selama ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada mereka. Semoga Tuhan yang Maha Esa selalu melindungi mereka dan membalas pertolongan mereka. Rasa terima kasih juga penulis haturkan pada peran para informan. Mereka telah memberikan informasi yang berharga bagi penelitian ini.
(20)
commit to user ix
Secara khusus, penulis sampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan mertua yang selalu mendukung cita-cita untuk melanjutkan studi di Indonesia. Tidak lupa pula, rasa terima kasih penulis haturkan pada suami tercinta yang selalu memberikan jalan dengan penuh rasa cinta dan hormat yang tidak dapat dilupankan. Sekali lagi terima kasih atas doa-doa yang diberikan olehnya.
Solo, Nopember 2012 Penulis
Kawasaki Naomi S701008006
(21)
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Batik menjadi salah satu warisan adiluhung budaya Jawa. Keunikan dan
kekhasan motif dan ragam hias Batik Solo yang sarat nilai filosofis
menjadikannya sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan dikembangkan.
Gagasan serupa pernah diutarakan oleh mantan Walikota Surakarta, Joko Widodo
dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang dalam kutipan berikut.
Batik adalah kerajinan yang mengandung filosofi, memiliki karakter dan nilai seni, serta menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Sebagai ikon budaya, batik merupakan lokal genius yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Semoga batik akan menjadi warisan sejarah yang mampu menjawab modernisasi dan terjaga eksistensi tradisinya (Widodo, dalam Atmojo, 2008: 6).
The art of Batik holds a special place in the hearts of Indonesia everywhere. It is our national costume and it is something with which the world identifies us, but is also something that we hold dear as a reminder of the traditions and skills that are our national heritage and that have been passed down over hundreds of years from generation to generation (Anwar dalamTozu (ed.), 2007:6).
Pengakuan ini tidak hanya datang dari masyarakat Solo sebagai pelaku
budaya dan/atau pemerintah daerah dan pusat sebagai pemangku kekuasaan
negara, tetapi juga dunia internasional. Oleh karena itu, dunia internasional yang
telah menjadi bagian integeral dari budaya tersebut merasa berkepentingan untuk
ikut menjaga dan mengembangkan batik. Hal ini terbukti dengan terpilihnya batik
sebagai salah satu warisan budaya takbenda pada tanggal 2 Oktober 2009 oleh
(22)
commit to user
2 Secara historis — batik sebagai produk budaya tradisional — kelahiran
dan pengembangannya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kerajaan
di Nusantara sebagai pemangku kebudayaan. Malahan dari sisi ragam hias, batik
merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya.
Berdasar pada pandangan tersebut, batik dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu
batik keraton dan batik pesisiran (Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII, 1997:5).
Sebagaimana Djoemena (1990a:8), yang dimaksud batik keraton adalah batik dari
daerah Solo dan Yogyakarta. Sementara itu, batik pesisiran adalah semua batik
yang pembuatannya dikerjakan di luar daerah Solo dan Yogyakarta. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Batik Solo termasuk batik keraton. Yayasan
Harapan Kita/BP 3 TMII (1997:5) menegaskan bahwa batik keraton adalah batik
yang tumbuh dan berkembang di atas dasar-dasar filosofis kebudayaan Jawa yang
mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia
dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).
Oleh karenanya, Batik Solo begitu terkait dengan kehidupan manusia Jawa
sehingga tidak dapat terpisah dari kehidupan masyarakat Jawa, terutama
kehidupan dan/atau kegiatan di dalam Keraton Kasunanan Surakarta.
Sebagaimana pernyataan Paku Buwana IX, dalam Pujiyanto (2010:13),
“Nyandhang panganggo hiku dadyo srono hamemangun wataking manungso
jobo-jero (memakai busana dan perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan
batin dari si pemakai)”.
Solo sebagai pusat Kerajaan Mataram Jawa (Kasunanan Surakarta) eksis
(23)
commit to user
3 kediaman raja-raja, melainkan juga merupakan pusat pemerintahan, agama, dan
kebudayaan. Keadaan ini mempengaruhi juga produksi ragam hias, tata warna,
dan pemakaiannya (Djoemena, 1990a:10). Batik tradisional Solo lazimnya
dipenuhi dengan motif klasik dan digunakan pada acara yang erat hubungannya
dengan adat-istiadat manusia Jawa (Widiastuti, 1993:5). Motif klasik batik
diartikan sebagai ragam hias batik yang diciptakan pada zaman dahulu. Ragam
hias tersebut bukan sesuatu yang hanya indah secara visual, tetapi juga sesuatu
yang diberi makna yang erat hubungannya dengan falsafah hidup manusia Jawa.
Ini berarti bahwa bagi manusia Jawa, keindahan ragam hias batik lebih dimaknai
sebagai upaya untuk memberikan nafas dan jiwa dari busana tradisional.
Implementasi keindahan ragam hias batik ini akhirnya menjadi busana tradisional
Jawa yang sekaligus menjadi simbol kosmologi, dasar orientasi diri, dan cermin
sikap hidup. Ilustrasi ini tampaknya dapat dijadikan pijakan argumentasi bahwa
apabila makna filosofis dan proses pembuatan Batik Solo melalui proses
pertimbangan yang rumit dan matang, maka Batik Solo dapat dianggap sebagai
wujud budaya Jawa yang agung (adiluhung).
Secara filosofis, ragam hias pada batik tradisional Solo mengandung
pesan dan harapan tulus yang diyakini akan membawa kebaikan dan kebahagiaan
bagi si pemakai. Ini semua dilukiskan secara simbolis sekaligus merupakan ciri
khas Batik Solo (Djoemena, 1990a:10). Artinya, batik tradisional Solo dapat
dimaknai sebagai kain batik yang mengandung makna simbolis dalam ragam
hiasnya yang penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan adat yang berlaku
(24)
commit to user
4 Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penerus Dinasti Mataram
merupakan pemangku kebudayaan Jawa yang sekaligus pusat magis terbesar
budaya Jawa. Oleh karenanya, sudah sepantasnya seni batik berkembang pesat di
Jawa dan menjadikan Solo sebagai salah satu pusat batik di Jawa. Eksistensi Solo
sebagai salah satu pusat batik di Jawa ini diperkuat dengan keberadaan beberapa
kampung batik yang hingga saat ini tetap bertahan. Dua kampung batik di Solo
yang menjaga dan mengembangkan batik sebagai warisan budaya Jawa, yaitu
Kampung Batik Kauman dan Laweyan. Secara visual, dua kampung batik ini
menyiratkan pernah mengalami masa kejayaan. Kejayaan ini merupakan bukti
bahwa warga kedua kampung ini pernah berhasil meningkatkan kesejahteraan
melalui usaha batik yang pada zamannya mampu memenuhi tuntutan kebutuhan
busana tradisional Jawa.
Batik tradisional Solo bukanlah semata-mata wujud karya ilmu rancang
seni yang dilihat sebagai seni alus, tetapi sekaligus memiliki fungsi sebagai
busana tradisional manusia Jawa yang dipakai baik dalam kegiatan yang berkaitan
dengan daur hidup manusia Jawa terutama keluarga dan kerabat keraton dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana diungkapkan Geertz (1976:287),
sebagai berikut.
Batik, the final element in the alus art complex .... Also, like dance, music, and drama, batik was a spiritual discipline ... it took great inward concentration to work on such a piece of very detailed and delicate cloth painting; and a favorite symbol of mystic experience is still mbatik manah ―‘drawing a batik design on the heart’.
Tidak dipungkiri bahwa busana tradisional Batik Solo dapat dimaknai
(25)
commit to user
5 maupun dalam kegiatan adat manusia Jawa yang berkaitan dengan daur hidupnya
secara spiritual. Namun demikian, harus diakui bahwa makna tersebut sudah
mengalami perubahan sejalan dengan derasnya arus modernisasi yang ditandai
dengan semakin canggihnya media informasi dan tumbuh suburnya budaya instan.
Pengaruh ini telah membawa dampak cukup menyedihkan bagi keberlangsungan
kampung-kampung batik di Solo. Permintaan atas kebutuhan batik sebagai busana
tradisional Jawa semakin menurun akibat semakin pesatnya perkembangan mode
dalam berbusana (fashion). Akibatnya, mereka menggantungkan hidup pada usaha
batik menjadi sesuatu yang dianggap kurang menguntungkan. Sebagaimana
ditegaskan Musyawaroh (2009a) dalam sebuah artikel on line sebagai laporan
kegiatan pengabdian masyarakat (tahun 2006-2009) di kampung Kauman seperti
berikut
(http://musyawaroh.staff.uns.ac.id/kauman-surakarta-kampung-lama-yang-terabaikan/, diakses tanggal 20 Mei 2012).
... usaha batik di Kauman berangsur-mangsur merosot. Pengusaha batik banyak yang beralih profesi menjadi pegawai negeri/swasta/usaha lain atau bahkan berhenti bekerja seiring dengan uzurnya usia. Hanya tinggal sebagian kecil pengusaha batik yang masih melanjutkan usahanya, ... Jumlah pengusaha batik yang aktif produksi dan menjual hasil usahanya di wilayah tersebut jauh berkurang dari sekitar 65, sekarang hanya tinggal 6, selebihnya melakukan pemrosesan batik di luar Kauman.
Pararel dengan pernyataan tersebut, Sekimoto (2000:271) menjelaskan
bahwa kondisi kampung Laweyan pada tahun 1975 sudah mulai mengalami
keterpurukan, walaupun mereka masih tetap mempertahankan kegiatan
pembatikan sebagai usahanya. Namun demikian, pada tahun 1991 kampung
Laweyan tidak lagi dapat dikatakan sebagai kampung batik. Sebagian besar
(26)
commit to user
6 melanjutkan usahanya dengan sekala relatif sangat kecil. Hal ini dipertegaskan
Wijaya (2010:66), “... sebagian besar pabrikan batik cap di Surakarta terpaksa
harus tutup di era tahun 1980-an. Sementara itu industri rumah tangga batik tulis
dapat bertahan” .
Semakin rendahnya minat pengusaha batik dan semakin sulitnya mencari
pekerja/pengrajin batik dari warga kampung-kampung batik mendatangkan akibat
yang signifikan terhadap pengetahuan tentang batik itu sendiri bagi generasi
bangsa, tidak terkecuali masyarakat Solo sebagai ahli waris batik. Batik semakin
tidak dikenali sebagai karya seni yang melalui proses rumit dan memerlukan
kesabaran tangan-tangan terampil. Hal ini diperparah lagi dengan munculnya
pasar bebas di dunia perdagangan yang tidak mampu menolak hadirnya tekstil
printing bermotif batik yang diperjualbelikan dengan harga yang jauh lebih murah
daripada Batik Solo yang merupakan produk budaya Jawa yang berbasis pada
kearifan lokal. Malahan pasar tidak lagi peduli tentang jenis, motif, dan makna
filosofis di balik batik yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Apabila
keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin Batik Solo
semakin termarjinalkan dan tergantikan tekstil printing bermotif batik. Artinya,
walaupun batik telah diakui sebagai warisan budaya UNESCO, namun
masyarakat Solo gagal menjadi ahli waris yang mampu menjaga dan
mengembangkan warisan adiluhung budaya Jawa yang membanggakan. Oleh
karena itu, perlu tindakan cerdas dalam upaya meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang Batik Solo dan menyikapi pengaruh global berkaitan dengan
(27)
commit to user
7 penelitian tentang Batik Solo di wilayah keilmuan Kajian Budaya dipandang
relevan untuk mengungkap makna kontemporer dalam konteks kekinian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat diidentifikasi tiga
permasalahan yang disajikan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut.
Pertama, Batik Solo mengandung simbol-simbol yang bermakna pesan
dan harapan bagi manusia Jawa dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena itu,
makna simbolik Batik Solo harus tetap dicari sesuai dengan ruang dan waktu si
pemakna. Dengan kata lain, interpretasi terhadap simbol yang dikandung dalam
perwujudan Batik Solo tidak akan pernah berhenti atau akan terus-menerus
mengalami dekonstruksi.
Kedua, dekonstruksi makna simbolik Batik Solo pada masa kekinian
akan membawa pengaruh pada struktur kognitif para pengusaha batik dan
masyarakat Solo yang selanjutnya melahirkan makna baru dalam perkembangan
Batik Solo.
Ketiga, pemahaman makna yang lahir akibat terjadinya dekonstruksi
makna simbolik Batik Solo akan mengantarkan pemahaman terhadap nilai-nilai
kekinian Batik Solo yang berakar pada budaya Jawa.
Dari identifikasi permasalahan tersebut selanjutnya, sebagai fokus kajian
dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan seperti berikut.
(1) Mengapakah terjadi dekonstruksi makna simbolik Batik Solo ?
(28)
commit to user
8 (3) Bagaimanakah implikasi dekonstruksi makna simbolik tersebut terhadap
perkembangan Batik Solo?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini hendak mengungkap Batik Solo berkaitan
dengan makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, ditempuh
dengan upaya mendeskripsikan dekonstruksi makna simbolik Batik Solo yang
berakar pada budaya Jawa dengan kearifan-kearifan lokalnya yang tercermin
dalam busana tradisional Jawa. Pada gilirannya, penelitian ini berusaha
menemukan dan menjelaskan rekonstruksi budaya tersebut dalam rangka
memperkaya budaya Indonesia sebagai bagian kerja keilmuan Kajian Budaya
dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
1.3.2 Tujuan Khusus
(1) Untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang
sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo.
(2) Untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang
proses dekonstruksi makna simbolik Batik Solo.
(3) Untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang
implikasi dekonstruksi makna simbolik Batik Solo terhadap
(29)
commit to user
9
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan tentang batik dalam khazanah keilmuan Kajian
Budaya. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
melengkapi kajian-kajian terdahulu tentang batik Jawa dan Nusantara. Selanjutnya,
bagi kalangan akademis dapat dimanfaatkan untuk acuan melihat ruang-ruang
kosong yang mungkin ditinggalkan dalam penelitian ini.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas
cara pandang masyarakat terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di
tengah pengaruh dunia global. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
oleh para pengambil kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial budaya
terutama para pengrajin batik dan masyarakat pecinta batik.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab.
Masing-masing bab dijelaskan secara singkat seperti berikut.
Bab I adalah “Pendahuluan”. Bab ini menguraikan latar belakang
masalah penelitian ini dengan mengidentifikasikan masalah, membatasi masalah,
dan memberi masalah yang dirumskan. Dalam bab ini terdapat empat bagian,
(30)
commit to user
10 penelitian. Dengan menguraikan masalah penelitian ini, menggambarkan dasar
argumentasi dalam penelitian ini kaitannya makna simbolik Batik Solo. Batik
Solo diposisikan objek penelitian di wilayah keilmuan Kajian Budaya sebagai teks
yang harus dibaca ulang sesuai dengan runang dan waktu untuk mengembangkan
pengetahuan mengenai Batik Solo.
Bab II adalah “Kajian Pustaka, Konsep, dan Landasan Teori: Batik Solo,
Makna Simbolik, dan Dekonstruksi”. Bab ini menguraikan penelitian-penelitian
yang telah dilakukan untuk merupakan dan/atau membangun konsep. Berdasar
pada konsep yang dibangun dalam penelitian ini, dapat memperoleh teori yang
digunakan dalam penelitian ini dengan tepat. Teori yang digunakan dalam
penelitian merupakan pisau analisis atas masalah yang dimiliki peneliti. Dalam
penelitian yang dilakukan di wilayah keilmuan Kajian Budaya, teori yang
digunakan berada di sekitar gagasan-gagasan posmodern. Oleh karena itu,
menjelaskan landasan teori penelitian ini, yakni teori Dekonstruksi dari Derrida
(grand-theory) dan teori Semiotika Visual Komunikasi (middle-theory) yang
diperoleh Umberto Eco.
Bab III adalah “Metode Penelitian”. Bab ini menguraikan proses kerja
penelitian ini yang merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif dan
teknik analisis data secara deskriptif dan interpretatif yang menggunakan
pendekatan hermeneutik. Proses kerja penelitian ini terdiri atas delapan bagian,
yaitu rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, teknik
(31)
commit to user
11 analisis data, dan teknik penyajian hasil analisis data. Bab ini menjelaskan proses
kerja yang dilakukan dalam penelitian ini.
Bab IV adalah “Pembahasan: Gambaran Umum, Sebab, Proses, Implikasi
Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo”. Bab ini merupakan bagian inti
penelitian ini yang terdiri atas empat sub bab. Pertama menjelaskan tentang Kota
Solo dan Batik Solo secara umum. Kota Solo merupakan lokasi penelitian dan
Batik Solo merupakan objek material kajian ini yang memiliki keunikan. Untuk
menguraikan keunikan kedua hal tersebut bub 4.1 dibagi tiga, yaitu (1) Kota Solo
sebagai pusat batik; (2) Batik Solo sebagai warisan adiluhung budaya Jawa; dan
(3) simbolisasi Batik Solo. Dengan menjelaskan ketiga hal penting
mengambarkan keunikan-keunikan Kota Solo dan Batik Solo, berikutnya akan
menjadi dasar informasi atas lokasi dan objek material dalam penelitian ini.
Kedua dalam ketiga sub bab (4.2, 4.3, dan 4.4), menganalisis data yang diperoleh
dalam proses kajin ini untuk membahas tiga hal penting yang sesuai dengan
tujuan penelitian ini, yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik
Batik Solo; (2) kejelasan tentang proses dekonstruksi makna simbolik Batik Solo;
dan (3) kejelasan tentang implikasi dekonstruksi makna simbolik Batik Solo
terhadap perkembangan Batik Solo.
Bab V adalah “Simpulan dan Saran”. Bab ini menjelasakan simpulan
yang diperoleh penelitian ini melalui analisis. Simpulan yang diperoleh peneliti
diuraikan dalam bab ini terdapat tiga hal yang sesuai dengan rumusan masalah
penelitian ini. Dijelaskan sebagai jawaban dari tiga rumusan masalah, yaitu (1)
(32)
commit to user
12 dekonstruksi makna simbolik Batik Solo terjadi?; dan (3) bagaimanakah implikasi
dekonstruksi makna simbolik tersebut terhadap perkembangan Batik Solo?
Kemudian saran yang diajukan dalam penelitian ini diuraikan di sini terdapat dua
hal yang sesuai dengan manfaat penelitian, yaitu manfaat teoretis dan manfaat
praktis. Simpulan dan saran penelitian ini disajikan sebagai hasil penelitian ilmu
(33)
commit to user
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI:
BATIK SOLO, MAKNA SIMBOLIK, DAN DEKONSTRUKSI
2.1 Kajian Pustaka: Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Batik
Kajian tentang Batik Solo yang dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian
Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kajian ini
tidak ditujukan untuk memahami Batik Solo sebagai sebuah perwujudan fisik dari
ilmu seni batik. Dalam kajian ini, Batik Solo merupakan objek material dari kajian
tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Solo. Kendala penelitian yang
memfokuskan kajian pada Batik Solo untuk membongkar atau membuat
pemaknaan kembali Batik Solo adalah terlalu kompleksnya permasalahan yang
menyertai dan mempengaruhinya. Kondisi ini dapat dimengerti karena banyaknya
simbolisasi dan falsafah hidup manusia Jawa yang tersimpan dalam perwujudan
Batik Solo. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya
mengandalkan pengetahuan seni batik secara umum dan/atau perwujudan batik
semata-mata, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman
konsep-konsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan. Dengan demikian, kajian
pustaka ini diarahkan bukan hanya pada pustaka-pustaka hasil penelitian batik
saja, tetapi juga pada pustaka-pustaka yang dapat digunakan untuk membangun
konsep dan aplikasi teori.
Hasil penelitian Yayasan Harapan Kita/BP-3 TMII (1997) tentang latar
(34)
commit to user
14 diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Indonesia Indah telah jelas
mengungkapkan konsep seni batik yang memiliki pengertian sebagai citra budaya
Indonesia yang memiliki keunikan. Dari pustaka ini, setidaknya diperoleh
informasi keberadaan dua jenis batik yang ada di Jawa, yakni batik keraton dan
batik pesisiran. Batik Solo dikelompokkan ke dalam batik keraton, yaitu batik
yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa yang
mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia
dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).
Konsep yang berupa lingkaran konsentris yang menempatkan batik
keraton sebagai ungkapan sebuah falsafah hidup kebudayaan Jawa hampir selalu
dirujuk oleh penelitian-penelitian tentang batik keraton. Setidaknya, konsep
lingkaran konsentris yang menghasilkan seni batik yang diungkapkan oleh
Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII cukup banyak memberikan gambaran tentang
konsep dasar orientasi pola seni batik.
Sebuah penelitian yang lebih fokus pada mitos dan makna batik oleh
Nian S. Djoemena (1990a) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul
Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning mengungkapkan mitos dan
makna ragam hias batik Nusantara yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah
geografis. Walaupun karya penelitian ini bukan penelitian yang difokuskan
kepada Batik Solo, setidak-tidaknya mitos dan makna ragam hias batik yang
dimiliki masing-masing daerah termasuk Solo dapat membantu untuk membangun
konsep makna simbolis batik dalam penelitian ini.
(35)
commit to user
15 karya Widiastuti (1993) yang berjudul “Pergeseran pada Batik Surakarta: Periode
Tahun 1950-1990”. Widiastuti cukup jelas dan detail dalam mengungkap
pergeseran perwujudan Batik Solo, baik dari sisi teknis, maupun dari sisi ragam
hias dan tata warna. Penelitian tersebut menempatkan Batik Solo sebagai objek
seni-budaya yang memiliki makna simbolik sebagai kain/textile. Hasil penelitian
ini tidak hanya dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, namun melengkapi
juga pemahaman konsep tentang Batik Solo yang telah diperoleh dari pustaka
karya Yayasan Harapan Kita/ BP 3 TMII.
Selanjutnya, sebuah hasil penelitian yang lebih fokus tentang batik
keraton Kasunanan dan Mangkunegaran oleh Pujiyanto (2010) yang diterbitkan
dalam bentuk buku dengan judul Batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran
Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini
cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam
hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk
melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran.
Dari empat hasil penelitian tentang batik tersebut, dapat dicatat dua hal
penting. Pertama, keempat kajian di atas jelas tidak dilakukan dalam wilayah ilmu
Kajian Budaya. Kedua, keempat kajian di atas memiliki kesamaan dalam
memposisikan Batik Solo dan makna yang melekat sebagai seni-budaya
tradisional yang berkaitan dengan kegiatan adat manusia Jawa sehingga Batik
(36)
commit to user
16 hanya dipandang sebagai peninggalan budaya.
Selanjutnya, pustaka karya Iwan Tirta (2009) yang berjudul Batik Sebuah
Lakon merupakan hasil penelitian praktisi batik sekaligus pengusaha batik.
Walaupun buku ini bukan karya dari kalangan akademis, tetapi buku ini
merupakan studi kasus atas batik dari seorang pengusaha batik dengan latar
belakang sebagai seniman sekaligus pengusaha batik. Artinya, pustaka ini
memiliki informasi-informasi yang dapat dijadikan data untuk melihat pergeseran
dan/atau perkembangan dunia batik dalam konteks busana batik modern.
Selanjutnya, dua hasil penelitian yang dilakukan oleh Sekimoto Teruo
tentang batik, yaitu (1) sebuah artikel jurnal yang diberi judul ‘A Marginalized
Tradition: Batik and Javanese Modernity’ dalam jurnal ilmiah,
Minzokugaku-Kenkyu The Japanese Journal of Ethnology (2000); dan (2), artikel yang diberi
judul ‘Batik as a Commodity and a Cultural Object’ dalam karya pustaka diedit
oleh Yamashita dan Eades dengan judul “Globalization in Southeast Asia: Local,
National, and Transnational Perspectives” (2003). Kedua artikel ini setidaknya
memberikan informasi penting mengenai kondisi batik yang semakin
termarginalkan pada era modern.
Sebuah hasil penelitian tentang fashion yang diterbitkan dalam bentuk
buku dengan judul After a Fashion yang telah dilakukan Joanne Finkelstein
(2007) memfokuskan pada wujud fenomena fashion secara keseluruhan dengan
cara interdisipliner. Dalam penelitiannya, fashion diposisikan sebagai fenomena
sosial yang menghasilkan produk budaya. Karya ini mampu memberi dasar
(37)
commit to user
17 Malcolm Barnard (2011), dengan judul Fashion sebagai Komunikasi
Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender ini
memandang fashion/pakaian sebagai sarana komunikasi visual serta dipahami
sebagai artefak budaya yang mengacu pada tentang diri.
Kedua penelitian tentang fashion di atas jelas tidak mengungkapkan
tentang Batik Solo, namun informasi dari keduanya dapat digunakan untuk
membangun gambaran konsep penelitian ini untuk mengungkapkan tentang Batik
Solo sebagai busana di wilayah ilmu Kajian Budaya. Artinya, penelitian ini tidak
memandang Batik Solo hanya sebagai produk rancang seni tradisional, melainkan
lebih mengacu pada wujud kekinian dalam pemaknaanya secara simbolis.
Hasil penelitian lain yang lebih fokus pada pakaian Indonesia diedit oleh
Henk Schulte Nordholt (2005) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul
Outward Appearances Trend, Identitas, Kepentingan. Karya ini membahas
persoalan-persoalan pakaian yang muncul di Indonesia. Nordholt (2005:v)
mengungkapkan bahwa pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan.
Artikel-artikel yang ada di dalam buku ini memandang masing-masing masalah melalui
wujud pakaian. Ini menunjukkan bahwa pakaian bukan hanya objek material
melainkan cerminan dari fenomena sosial. Artikel-artikel dalam pustaka ini tidak
membahas permasalahan pakaian dengan teori dekonstruksi, namun upaya-upaya
yang telah dilakukan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan
fungsi pakaian yang merupakan bagian objek material kajian ini.
Terakhir, sebuah penelitian yang fokus pada arsitektur Keraton Surakarta
(38)
commit to user
18 “Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta”. Disertasi ini jelas
bukan tentang batik, setidaknya disertasi ini mampu memberikan gambaran
konsep dan cara kerja dekonstruksi dalam suatu kerja penelitian di wilayah Kajian
Budaya.
Kajian beberapa pustaka di atas menunjukkan bahwa kajian tentang
dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dalam wilayah Kajian Budaya
merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan
demikian, penelitian mengenai Batik Solo dalam keilmuan Kajian Budaya ini
perlu dilakukan.
2.2 Konsep: Dekonstruksi Makna Simbolik dan Batik Solo
Dalam menjelaskan dan memberikan batasan tentang pusat perhatian
penelitian ini perlu dijelaskan konsep-konsep yang digunakan. Untuk maksud ini,
urutan konsep yang dipaparkan terbagi menjadi dua satuan (unit) rumusan konsep,
yaitu: (1) dekonstruksi makna simbolik dan (2) Batik Solo.
2.2.1 Dekonstruksi Makna Simbolik
Konsep dekonstruksi makna simbolik terdiri atas tiga unsur, yaitu
dekonstruksi, makna, dan simbolik. Ketiganya masing-masing dijelaskan sebagai
berikut. Pertama, dekonstruksi merupakan gagasan atau pemaknaan lain dari
makna yang telah ada sebelumnya (liyan). Hal ini dapat diartikan bahwa
dekonstruksi adalah suatu pemikiran mengenai pengakuan (affirmation) terhadap
(39)
commit to user
19 sebagai pembongkaran atas konstruksi dan/atau pemaknaan ulang atas teks
(termasuk teks budaya) untuk mengungkap makna-makna yang tertunda dari teks
itu sendiri (Pitana, 2010:23). Piliang (2003:247), juga mengatakan hal yang serupa
bahwa “setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi”.
Dekonstruksi lahir sebagai kebangkitan posmodernisme yang dipelopori
oleh Derrida melalui keseluruhan pemikiran yang dimiliki posmodern. Paradigma
ini menjadi paradigma yang secara kritis berhadapan dengan sistem (atau
paradigma) berpikir sebelumnya sebagai tradisi berpikir Barat (strukturalisme)
(Pitana, 2010:23). Dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida menolak tiga tradisi
berpikir strukturalis, yaitu (1) logosentrisme: (2) falosentrisme; dan (3) oposisi
biner (Takahashi, 2008:50-82). Penolakan terhadap ketiga pemikiran tersebut
dapat disimpulkan bahwa Derrida menolak kesatuan antara bentuk (penanda)
dengan petanda (isi) yang disebut metafisika kehadiran (metaphysics of presence)
(Lubis, 2004:97, Norris, 2009:9-10 ).
Lebih tegas, Norris (2009: 13-14) menjelaskan tentang dekonstruksi
sebagai berikut.
... dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dengan chaos, antara perdamaian dengan peperangan ...
Lebih jauh, Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan menolak
“metafisika kehadiran (metaphysics of presence)”, yaitu menolak adanya makna
mutlak atau tunggal. Istilah metafisika yang diungkapkan Derrida menyebut
(40)
commit to user
20 (singnifier) tidak berkaitan langsung dengan petanda (signified). Penanda dan
petanda tidak berkorespondensi satu-satu, namun melihat tanda sebagai struktur
perbedaan. Tanda harus dibaca dalam pengertian “disilang”. Dalam hal ini, tanda
tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama, melainkan makna mencul pada
konteks berbeda-beda. Dalam perspektif Derrida, setiap makna transenden ilusif,
karena kehadiran muncul dalam “oposisi biner” konseptual seperti materi/roh,
subjek/objek, topeng/kebenaran, tubuh/jiwa, teks/makna, interior/eksterior,
representasi/kehadiran, kenampakan/esensi (Sarup, 2011:45-59). Istilah pertama
dianggap superior. Istilah inilah milik logos, yaitu kebenaran (kebenaran dari
kebenaran) (Piliang, 2003:125).
Dekonstruksi tidak mengandaikan adanya makna objektif (benar), maka
yang menjadi fokusnya bukan pada pencarian makna objektif, melainkan
pencarian makna baru melalui kebebasan penafsiran (Lubis, 2004:103). Dalam hal
ini, dekonstruksi Derrida tidak hanya menunjuk perubahan sebagai akibat dari
kehancuran metafisika kehadiran (makna final), bahkan disebutkan bahwa tidak
ada “autentitas murni” yang dibayangkan seperti Levi-Strauss (Sarup, 2011:57),
melainkan bersifat terbuka yang harus dibaca/dimaknai ulang (Lubis,
2004:117-124).
Kedua, makna merupakan hasil interpretatif manusia atas objek. “Makna”
diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek
dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu
sama lain (Pitana, 2010:24).
(41)
commit to user
21 sesuatu yang telah didefinisikan dan ditetapkan secara kultural dapat juga disebut
sebagai sebuah entitas (Eco, 2009:97). Selain itu, makna merupakan bentukan
yang sarat dengan nilai, yang mengakomodasikan kepentingan para pihak yang
terkait (Abdullah, 2006:8). Makna adalah sesuatu yang sangat kontekstual dalam
setiap kubudayaan. Sebagaimana Cavallaro (2004:20-42), makna adalah produk
dari situasi-situasi yang terkait (contingent situation). Makna adalah produk dari
suatu perbedaan tanda yang terkait dengan tanda-tanda lain. Makna bukan sesuatu
yang terberi, melainkan konstruksi budaya dalam produksi tanda-tanda secara
sosial. Artinya, apabila ada perubahan sosial budaya, maka makna akan berubah
sesuai dengan kepentingan para pemakna secara interpretatif.
Ketiga, simbolik, yaitu berangkat dari asumsi antoropologi dalam
interpretivisme simbolik, manusia adalah hewan pertama pencarian makna yang
menggunakan simbol (Arif, 2010:113). Menurut Geertz (dalam Sutrisno dan
Putranto, 2005:212), budaya adalah lengkung simbolis. Pemahaman Arif
(2010:110-113) terhadap simbol melalui pemikiran Geertz mengenai kebudayaan
seperti berikut. Penglihatan terhadap kebudayaan dalam sistem sosial adalah
sebuah “pencarian makna”. Kebudayaan yang dipahami oleh Geertz dapat dibagi
menjadi empat, yaitu (1) sistem keteraturan dari makna dan simbol; (2) suatu pola
makna yang ditransmisikan secara historis; (3) suatu peralatan simbolik untuk
mengontorol perilaku; dan (4) suatu sistem simbol dan makna. Melalui keempat
pemahaman ini, kebudayaan didefinisikan sebagai fenomena sosial atas sistem
simbol dan makna antar-subjek yang dimiliki bersama.
(42)
commit to user
22 sebagai jaringan yang sangat kompleks dari tanda-tanda, simbol-simbol,
mitos-mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang membutuhkan pendekatan
hermeneutis, yaitu interpretasi. Secara sederhana, ‘simbolik’ diartikan sebagai
pengantaraan pemahaman terhadap objek yang manifestasi dan karakteristiknya
tidak terbatas pada isyarat fisik. Dengan kata lain, simbol adalah segala sesuatu
yang dimaknai. Makna tidak melekat pada objek melainkan diberi oleh manusia
(subjek) yang menafsirkan simbol itu. Artinya, makna simbol tidak berada pada
simbol itu sendiri, melainkan berada pada manusia itu sendiri yang dikatakan
Heddy Shri Ahimsa-Putra (dalam Subiyantro, 2011:21).
Cassirer (1990:48) memaparkan perbedaan antara tanda dan simbol
sebagai berikut.
Simbol – bila diartikan secara tepat – tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang pembahasan yang berlainan: tanda adalah bagian dari dunia fisik; simbol adalah bagian dari dunia-makna manusiawi. Tanda adalah “operator”, simbol adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan dipergunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial: simbol hanya memiliki nilai fungsional.
Dari paparan tersebut, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi makna
simbolik adalah pembongkaran terhadap pengertian yang diberikan subjek di atas
konstruksi. Dengan kata lain, pemahaman terhadap objek yang bersifat tidak
teraba dibongkar dengan menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu
logosentrisme, falosentrisme, dan oposisi biner. Pandangan mengenai
pembongkaran makna berkaitan dengan Batik Solo sebagai artefak yang telah
(43)
commit to user
23
2.2.2 Batik Solo
Sejauh ini, asal-usul batik belum secara pasti diketahui secara arkeologis.
Pada umumnya, batik dipahami sebagai sebuah teknik celup kain yang menghias
permukaan tekstil dengan cara menahan pewarna (resist dye) (Tirta, 2009:17).
Teknik ini dapat dijumpai di benua Afrika, Amerika, Asia dan Eropa, bahkan
sering dianggap sebagai salah satu tahapan pencapaian dalam peradaban manusia
yang universal. Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:146)
menjelaskan arti kata batik adalah “kain bergambar yang pembuatannya secara
khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian
pengolahannya melalui proses tertentu”, dari celup sampai dijemur.
Dalam konteks Batik Solo, batik berarti gambar yang ditulis pada kain
dengan mempergunakan malam sebagai media sekaligus penutup kain (wax
registered method) (Yudoseputro, 2008:217). Lebih jauh, Widiastuti (1993:17)
menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama,
pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian
kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan
canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian
dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang
tinggi.
Batik Solo lazimnya dikategorikan sebagai batik keraton, yaitu batik
yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa, yang
mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia
(44)
commit to user
24 (Yayasan Harakan Kita//BP 3 TMII, 1997:5). Hal ini dapat diamati dari ragam
hias dan tata warna Batik Solo yang mengandung makna simbolis yang berdasar
pada falsafah hidup manusia Jawa. Sebagaimana ungkapan oleh PB IX mengenai
busana, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono hamemangun wataking
manungso jobo-jero”, yang artinya, ‘memakai busana dan perlengkapannya itu
menandakan watak lahir dan batin dari si pemakai’ (dalam Pujiyanto, 2010:13).
Dari adanya pandangan-pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa Batik
Solo merupakan pantulan falsafah hidup Jawa yang dilandasi kedisiplinan
spiritual, misalnya pengendalian diri, tata cara (etika), dan keselarasan (hormoni)
yang bermakna sangat penting bagi manusia Jawa. Bahkan, dari sisi ragam hias,
tata warna, dan tata pakai, secara simbolik Batik Solo mengandung makna pesan
dan harapan yang tulus demi terciptanya kebaikan dan kebahagiaan bagi si
pemakai (Djoemena, 1990a:10). Dengan demikian, Batik Solo menjadi bagian
penting dalam kehidupan manusia Jawa yang tidak dapat terpisah dari daur
hidupnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi
makna simbolik Batik Solo sebagai berikut: dekonstruksi makna simbolik Batik
Solo adalah pembongkaran terhadap makna-makna yang telah dilekatkan atas
Batik Solo yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah budaya Jawa, khususnya
di Solo yang perwujudannya mengandung makna-makna yang mengacu pada
nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks
(45)
commit to user
25
2.3 Landasan Teori; Dekonstruksi dan Semiotika
Penelitian ini merupakan penelitian Kajian Budaya (Cultural Sutudies)
yang membongkar makna dengan menjadikan busana tradisional (batik),
khususnya Batik Solo sebagai objek materialnya. Sebagaimana paradigma Kajian
Budaya yang berada pada paradigma posmodernisme, penelitian ini diposisikan
dalam sistem berfikir kritis posmodernisme dengan suatu pendekatan yang
merupakan sudut pandang filosofis hermeneutik kritis. Berkaitan dengan itu,
teori-teori yang digunakan adalah teori-teori-teori-teori yang berkembang sekitar gagasan
posmodernisme.
Dalam penelitian ini, teori Dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai
teori utama (grand-theory) dalam menganalisis dekonstruksi makna simbolik
Batik Solo. Adapun teori Semiotika Komunikasi Visual dari Umberto Eco
diposisikan sebagai teori pendukung (middle-theory) yang digunakan secara
eklektik.
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida pada intinya menolak
tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu (1) logosentrisme; (2) falosentrisme; dan (3)
oposisi biner (Takahashi, 2008:50-82). Ketiga penolakan tersebut dijelaskan oleh
Pitana (2010:34-36), sebagai berikut.
(1) Penolakan terhadap logosentrisme, yaitu penolakan cara pandang dalam tradisi berpikir Barat (strukturalisme, modernisme) yang menganggap akal, pikiran, logos sebagai pusat kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari akal, pikiran, atau logos tersebut. Bahasa merupakan representasi dari konsepnya. Alasannya, bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna,
(46)
commit to user
26 konsep, atau realitas. Akan tetapi, bahasa lisan dapat diterima sebagai logosentrisme. Bahasa tulisan, teks, tidak dapat diterima karena bahasa tulisan otomatis telah terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis menjadi "tanda" sendiri, yang bukan mewakili suatu makna tetapi, menciptakan maknanya sendiri, dalam hubungan dengan "tanda-tanda" lain yang berada bersamanya. Ini berarti bahwa tidak ada pusat makna apa pun, kecuali praktik pemaknaan yang terjadi pada saat teks tersebut dihadapi penerima atau pembacanya. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi tanda-tanda yang bebas, kata-kata yang bebas, bahasa yang bebas dimaknai dan otomatis akan memunculkan makna yang beragam, plural.
(2) Penolakan terhadap falosentrisme, yakni cara pandang dalam tradisi berpikir Barat yang berpijak pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa yang maskulin itu bersumber pada diri sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya, katagori feminin sebagai sesuatu yang disingkirkan secara konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan suatu esensi pada diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan.
(3) Penolakan terhadap oposisi pasangan (biner). Konsep pikiran oposisi biner ini ditolak oleh dekonstruksionisme karena realitas sesungguhnya tidak dapat ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu berada dalam kategori dualitas belaka. Menurut Derrida, sesungguhnya terdapat realitas-realitas yang lain yang mengantarainya atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tidak dualitas dikotomis, melainkan pluralitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat dipastikan/ditentukan dan tidak dominasional, sentralistis melainkan, menyebar dan sejajar.
Dekonstruksi Derrida sebagai teori utama dalam penelitian ini digunakan
dalam melakukan analisis. Analisis pertama, yang merujuk pada teori Derrida
untuk menganalisis sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo
dengan menggunakan teori dekonstruksi Derrida yang memandang
(mengabstraksikan) realitas sebagai realitas ciptaan (produksi, konstruksi) atau
diciptakan kembali (reproduksi, rekonstruksi). Dalam istilah “konstruksi”, realitas
itu adalah suatu konstruksi realitas baru sebagai hasil dari konstruksi realitas
sebelumnya yang didekonstruksi. Artinya, setiap proses dekonstruksi harus diikuti
(47)
commit to user
27 Pitana, 2010:36-37). Untuk menemukan realitas yang sebenarnya, dekonstruksi
memiliki tiga konsep teoretis, yaitu traces (jejak-jejak), present-abscent
(kehadiran dan ketidakhadiran), dan differance (penangguhan) (Al-Fayyadl,
2005:7-164, Lubis, 2004:101-122, dan Norris, 2009).
Dekonstruksi pada analisis pertama dengan mengedepankan
present-abscent (kehadiran dan ketidakhadiran) dan differance (penangguhan)
dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami kejelasan sebab terjadinya
dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dengan membongkar metafisika
kehadiran Batik Solo sebagai busana tradisional Jawa.
Pada analisis kedua, proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik
Batik Solo dilakukan dengan mengedepankan teori dekonstruksi yang
memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat organik dan decentering.
Organik yang dimaksud adalah pemikiran yang memandang segala jaringan saling
berhubungan. Derrida telah membuat suatu penegasan bahwa “sekecil apa pun
unsur jaringan yang ada dipandang sebagai entitas” (Al-Fayyadl, 2012, 75-77,
Pitana, 2010:37-38). Sementara itu, decentering adalah struktur tanpa pusat dan
tanpa hierarki. Artinya, tidak ada sesuatu yang lebih penting daripada yang lain,
asal unsur dan pusat tidak lagi memiliki prioritas utama (Al-Fayyadl, 2012, 77-78).
Kerja dekonstruksi dilakukan dengan memahami dan mengkaji teks yang
semula dianggap kurang penting misalnya, masyarakat Solo sebagai pelaku
kegiatan yang menciptakan dan memakai Batik Solo, tema minor yang berkaitan
dengan keberadaan masyarakat Solo. Dalam kaitan inilah, dekonstruksi
(48)
commit to user
28 sesuatu secara keseluruhan yang berdampingan, berada bersama, saling bekerja
sama tanpa peleburan atau meleburkan diri, kecuali hanya membaur, yakni
totalitas tanpa perbedaan hanya ilusi (Pitana, 2010:37-38).
Dekonstruksi dalam analisis kedua mengedepankan traces (jejak-jejak)
yang mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas. Dalam
hubungannya dengan konsep jejak, dekonstruksi mengganti konsep sejarah
(historisisme) dengan silsilah (Pitana, 2010:38). Sejarah tidak menyatakan hal
yang natural karena dihasilkan dari pergeseran perspektif, fakta-fakta, dan, bahkan
pemahaman-pemahaman, yang bersifat subjektif dan kultural (Rudyansjah,
2009:48-54). Hal ini mengacu pada perbedaan konseptual terhadap sejarah.
Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai perbedaan konsep antara “sejarah (history)”
dan “kesejarahan (historicity), yaitu perubahan dari “sejarah ideal (ideal history)”
ke “sejarah faktis/empiris (factical/empirical history). Sejarah ideal yang
dimaksud adalah sejarah yang dipahami dalam metafisika Barat. Hal itu
merupakan sejarah mutlak dengan tujuan tertentu, yaitu satu-satunya sejarah yang
benar, realitas universal. Di samping itu, sejarah faktis menyatakan bahwa sejarah
dipahami sebagaimana dialami oleh individu atau sekelompok orang. Sejarah ini
selalu berubah, mengalami pasang-surut, dan tidak selama konsisten. Dalam
pandangan Derrida, memperlakukan sejarah faktis sebagai konsekuensi yang
mempunyai implikasi mendalam pada tataran etis untuk melampaui sejarah
sebagai institusi dan cita-cita teleologis (Al-Fayyadl, 2009:203-219).
(49)
commit to user
29 ... deconstruction had blocked any appeal to such naively ‘positivist’ notion as truth, fact, historical evidence, or present accountability for past action, including such action as having written certain texts in a certain set of histrical and socio-political circumstances.
Dari pendapat terebut, teks dipandang sebagai fakta sejarah, silsilah
terlepas dari unsur penafsiran sekaligus kepentingan. Oleh karenanya,
dekonstruksi memandang realitas tidak otonom, tetapi realitas yang memiliki
silsilah atau jejak (Pitana, 2010:38).
Analisis ketiga, yaitu implikasi dekonstruksi makna simbolik Batik Solo
terhadap perkembangan Batik Solo dengan mengedepankan dekonstruksi Derrida
yang mengemukakan konsep reproduktif. Sebagaimana penjelasan Pitana,
(2010:38), reproduktif, yaitu pemikiran yang memandang segala sesuatu realitas
sebagai proses penciptaan atau penciptaan kembali secara terus menerus, tanpa
final.
2.3.2 Teori Semiotika
Umberto Eco, pakar semiotika telah menurunkan semiotika yang
berinduk kepada teori Pierce sebagai semiotika komunikasi visual yang kemudian
dikenal sebagai ‘logika budaya’ (dalam Walker, 2010:159). Semiotika adalah
“disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong”
(Eco, 2009:7). Dia melihat semiotika sebagai proses komunikasi untuk mengkaji
seluruh proses kultural. Proses komunikasi tersebut terjadilah respons interpretatif
di dalam si penerima atas sinyal dari sebuah sumber (tidak musti manusia),
walaupun penerima dalam komunikasi itu berperan sebagai saluran. Dia akan
(50)
commit to user
30 2009:9). Oleh karena ada proses komunikasi, maka tidak ada proses signifikasi
mutlak. Dalam hal ini, komunikasi diartikan sebagai “interaksi sosial melalui
pesan”, yang membuat individu menjadi anggota masyarakat. Tegasnya,
komunikasi bukan hanya menunjuk interaksi sosial yang terjadi namun
komunikasilah yang membentuk masyarakat (Barnard, 2011:43).
Eco (dalam Ibrahim, 2007:277) mengatakan bahwa busana merupakan
alat semiotik atau mesin komunikasi yang dipandang memiliki suatu fungsi
komunikatif. Berkaitan dengan hal ini, Fiske (dalam Ibrahim, 2007:41)
berpendapat bahwa busana sebagai mesin komunikasi dapat dimaknai sebagai
perwujudan interaksi sosial melalui pesan. Lebih jauh, Barnard (1996:vi)
menegaskan bahwa busana dapat dipandang sebagai bentuk komunikasi
artifaktual (artifactual communication).
Dalam kajian ini, teori semiotika yang digunakan adalah teori semiotika
komunikasi visual dari Umberto Eco yang kejelasan penggunaannya, sebagaimana
diungkapkan Pitana (2010:41-42) sebagai berikut.
Menurut teori semiotika komunikasi visual, dalam pemaknaan simbol terjadi proses semiosis dan canon. Proses semiosis merupakan suatu proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dengan entitas yang lain yang disebut objek. Hal tersebut lazim disebut signifikasi. Oleh karena proses semiosis menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan sehingga pada gilirannya sebuah interpretan akan menjadi representamen, menjadi interpretan lagi, menjadi representamen lagi, dan seterusnya, andifinitum.
Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa busana adalah
“representamen” (busana yang menutupi tubuh), yang memperoleh berbagai
kemungkinan “interpretan” (penafsiran secara indivisual, terutama sosial, yang
(51)
commit to user
31 “interpretan” disebut “semiosis (canon)”.
Sebagai teori pendukung (middle-theory), teori semiotika komunikasi
visual digunakan secara eklektik terutama dalam analisis proses terjadinya
dekonstruksi makna simbolik Batik Solo yang menekankan pada metaphor
(simbol) untuk menerangkan makna yang terkandung dari sehelai kain yang
(52)
commit to user
32
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan
melibatkan berbagai disiplin untuk memberikan kemungkinan yang sangat luas
atas data-data yang diperoleh dari objek penelitian. Berbagai bentuk dari objek
budaya yang selama ini tidak diperoleh perhatian dengan mekanisme penelitian
diharapkan akan terungkap secara ilmiah (Ratna, 2010:189). Atas upaya ilmu
Kajian Budaya tersebut, ciri yang dimilikinya sebagai ilmu adalah multidisiplin
serta interdisiplin untuk mengetahui dan memahami objek penelitian (Ratna,
2010:169).
Berdasar pada prinsip tersebut, paradigma Kajian Budaya berada di
wilayah posmodernisme dengan sistem berpikir kritis (Pitana, 2010: 46). Oleh
karena itu, aspek-aspek kebudayaanlah yang lebih berperanan, demikian juga
teori-teori kontemporer kebudayaanlah yang harus digunakan (Ratna, 2010:171).
Di samping itu, ontologis ilmu Kajian Budaya menyatakan bahwa segala sesuatu
terfragmen sebagai realitas budaya dipandang juga dianalisis dalam dunia
kontekstual. Artinya, Kajian Budaya mementingkan perspektif emic. Di titik ini,
suatu gejala dan fenomena budaya meliputi makna dan proses interpretasi pelaku
budaya (Faisal dalam Bungin, 2010:3-17). Penelitian ilmu Kajian Budaya
dilakukan untuk melihat makna di balik data yang diperoleh secara holistik untuk
(53)
commit to user
33 Atas tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis data
kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif dan interpretatif yang
menggunakan pendekatan hermeneutik. Secara umum, penelitian yang
menggunakan analisis data kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan,
termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan
pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan
setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel
terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar
tindakan partisipan dan memahami keadaan dalam lingkup yang terbatas (Pitana,
2010:46).
Dalam penelitian ini, teori dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai
teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam
penggunaannya dibantu dengan teori semiotika komunikasi visual dari Umberto
Eco yang digunakan secara eklektik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan atau sudut pandangan filosofis
hermeneutik. Hermeneutika filosofis disebut Gardamer merupakan usaha
melampaui perdebatan objektivisme dan relativisme terhadap ilmu pengetahuan
modern. Dalam ilmu-ilmu tentang manusia, kebenaran bergerak sesuai dengan
gerak manusia pengamat dan manusia yang diamati dalam lintasan ruang dan
waktu, karena kondisi objek dan subjek selalu berubah dengan latar ruang dan
waktunya (Muzir, 2010:17-26). Lebih lanjut Ricoeur (dalam Kaplan, 2010: 31)
(54)
commit to user
34 sesuatu yang coba dipahaminya dengan menginterpretasikannya”. Dalam hal ini,
interpretasi adalah sebuah ingatan akan makna (a recollection of meaning), suatu
kerja untuk menguraikan makna yang tersembunyi dan terdistorsi dalam makna
jelas, dan membuka berbagai tingkat makna yang diisyaratkan dalam makna
harfiah (Batik Solo sebagai teks) (Kaplan, 2010:26-41).
Interpretasi berfungsi untuk menjelaskan mengapa segala hal itu seperti
demikian, karena manusia tidak pernah berada di permulaan proses kebenaran
(pemaknaan) dan karena manusia menjadi bagian dari wilayah kebenaran (tatanan
makna historis) tertentu yang diasumsikan sebelumnya, seperti yang diungkapkan
Ricoeur (dalam Kaplan, 2010:64). Dalam pengertian tersebut, teks budaya (Batik
Solo) harus diinterpretasikan secara terbuka untuk mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan makna yang tersembunyi di baliknya, sehingga penelitian ini
dapat menemukan makna simbolik Batik Solo dalam konteks kekinian (lihat
(1)
commit to user
140 Gambar IV.58: Peserta Anak-anak SD
Dalam Karnaval Wayang Orang Sumber: Dokumen Kawasaki
Gambar IV.59: Peserta Siswa-siawa Dalam Karnaval Wayang Orang
Sumber: Dokumen Kawasaki
Kebanggaan warga Solo terhadap produk budaya Jawa yang berupa batik diperkuatkan dengan adanya pengakuan UNESCO atas Indonesian Batik sebagai warisan budaya takbenda pada tahun 2009. Sementara itu, kesuksesan Solo Batik
Carnival (SBC) turut serta memberi andil meningkatnya popularitas batik di mata
luar negeri karena even tersebut telah dijadikan even tahunan dan telah dikenal oleh masyarakat dunia. Hal ini dibuktikan dengan beberapa fakta, yaitu (1) SBC sukses mengikuti Festival Chingay di Singapura, 19-20 Pebruari 2010; dan (2) diundang tampil pada pesta budaya Tong-Tong di Den Haag, Belanda, pertengahan April 2010 (http://nasional.kompas.com/read/2010/03/06/03240450/, diakses tanggal 20 Mei 2012).
(2)
commit to user
141 identitas Solo. Dengan upaya mengangkat batik sebagai bagian dari identitas Solo menjadikan batik semakin dikenal dunia dan menjadikan ikon Kota Solo. Hal ini menjadikan bangga masyarakat budaya pemiliknya, yaitu masyarakat Solo. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa ikon kota yang berupa batik tersebut pada gilirannya menjadi ikatan ingatan kolektif masyarakat Solo yang membanggakan yang pada gilirannya dunia akan mengatakan bahwa “Batik is
(3)
commit to user
142
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Dekonstruksi Derrida merupakan sebuah cara pembacaan ulang atas teks (objek) termasuk teks budaya (objek budaya), yaitu pemaknaan lain dari suatu makna yang telah ada sebelumnya (liyan). Dalam konteks ini, Batik Solo merupakan sebuah teks budaya yang harus dibaca ulang sesuai dengan kebenaran realitas ruang dan waktu si pembaca. Dalam gagasan Derrida, realitas dipandang sebagai realitas ciptaan (produksi, konstruksi) atau diciptakan kembali (reproduksi, rekonstruksi). Realitas adalah suatu konstruksi kenyataan baru sebagai hasil dari konstruksi kenyataan sebelumnya yang didekonstruksi. Artinya setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi atau sebaliknya. Dalam hal ini, dekonstruksi makna simbolik Batik Solo harus dipandang sebagai suatu proses yang diawali dengan adanya suatu sebab terjadinya dekonstruksi yang kemudian dilanjutkan dengan mengungkap kejelasan implikasi dari konstruksi realitas baru tersebut sebagai hasil dekonstruksi itu sendiri.
Berdasarkan paparan dan analisis pembahasan untuk menjawab tiga pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini dapat dikemukakan tiga simpulan berikut.
Pertama, dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Batik Solo
merupakan pembacaan ulang atas Batik Solo sebagai benda budaya (teks budaya) yang disebabkan oleh dua fenomena, yakni: (1) pergeseran pemaknaan Batik Solo,
(4)
commit to user
143 yaitu mulai dari terjadinya involusi Batik Solo sejak masa kolonial hingga republik yang cenderung menggeser makna mistis filosofis yang terkandung dan merubahnya menjadi alat politik-ekonomi demi pembangunan negara bangsa yang baru lahir: dan (2) Batik Solo dalam konstilasi global, yaitu adanya tekanan industrialisasi dan modernisasi dalam kapitalisme global yang menjadikan Batik Solo sebagai komoditas ekonomi yang dilabeli sebagai benda warisan budaya.
Kedua, proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo
merupakan jejak-jejak yang terjadi di dalam dekonstruksi itu sendiri yang kejelasannya dapat diketahui dan dipahami melalui dua proses yang terjadi, yakni: (1) dari seni alus (adiluhung) menjadi warisan budaya (heritage), yaitu proses “kemenjadian” dari budaya lokal yang memiliki metafisikanya sendiri sebagai seni alus dan sakral yang mengekspresikan kosmologi dan filsafah hidup manusia Jawa yang kemudian menjadi warisan budaya dalam konteks glokalisasi; dan (2) dari daur hidup menjadi fashion, yaitu keterkaitan Batik Solo dengan daur hidup manusia dalam berbusana telah tergantikan oleh kepentingan pemenuhan nafsu selera yang menjadikan sakralitas penggunaan Batik Solo tergantikan oleh profanitas kepentingan pasar dalam pemenuhan selera dalam dunia fashion.
Ketiga, dekonstruksi makna simbolik Batik Solo memiliki dua implikasi,
yakni: (1) meningkatnya popularitas Batik Solo karena dimaknai sebagai komoditas, terutama di wilayah pariwisata dan fashion dalam konteks ekonomi kreatif, yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yaitu Batik Solo menjadi bagian dari keagungan warisan budaya dunia dan industri fashion: dan (2) meningkatnya kebanggaan masyarakat atas Batik Solo yang dapat diidentifikasi
(5)
commit to user
144 dari dua fakta sosial, yaitu Batik Solo menjadi modal budaya dalam pembangunan ekonomi Kota Solo dan pembentuk identitas masyarakat Solo.
5.2Saran
Ada dua saran dalam penelitian ini. Pertama, secara keilmuan (teoretis), dalam upaya memecahkan permasalahan-permasalahan penelitian yang berkaitan dengan pemaknaan simbol Batik Solo dalam ranah Kajian Budaya, objek pemaknaan tidak cukup hanya dimaknai secara tekstual sebagai objek seni, melainkan harus pula dimaknai secara kontekstual, artinya sesuai dengan semangat zamannya. Oleh karena itu, teori dekonstruksi Derrida yang dibantu dengan teori semiotika komunikasi visual Umberto Eco merupakan alat analisis yang cukup layak digunakan dan dikembangkan untuk penelitian-penelitian sejenis. Penelitian terhadap objek seni tradisional dipahami dari proses pemaknaan baru dalam konteks kekinian.
Kedua, dalam praktik keseharian, pemerintah dan masyarakat Solo
seharusnya tidak hanya memandang Batik Solo sebagai warisan budaya yang diunggulkan secara global dan sebagai modal budaya yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan ekonomi kota, melainkan harus pula dimaknai sebagai modal masyarakat yang akan diwarisi generasi berikutnya untuk dikembangkan lagi. Oleh karenanya, dalam konteks penguatan slogan The Spirit of Jawa dalam praktik pembangunan ekonomi kreatif, terutama dalam dunia pariwisata dan
fashion, Batik Solo perlu dikomodifikasi dan juga dilestarikan secara seimbang,
yaitu menjadikan Batik Solo sebagai komoditas yang memiliki nilai-guna dan nilai-tukar yang tinggi dalam konteks ekonomi global dan menjadi identitas Solo
(6)
commit to user
145 yang membanggakan karena filosofi yang terkandung di dalam setiap motif tradisional Batik Solo sejatinya memiliki sakralitas, spiritualitas, dan moralitas yang sangat tinggi yang perlu dilestarikan. Sementara itu, apabila kota dan masyarakat Solo ingin menjadi “Ibukota Batik” dan pewaris batik yang sesungguhnya, pemerintahan dan masyarakat Solo sudah saatnya membangun ruang kesadaran baru atas Batik Solo yang sedang dan akan terus berlangsung dalam masyarakat budaya, yaitu harus ada kebijakan yang lebih cerdas agar memperoleh efek sinergi dari upaya-upaya yang melibatkan pihak pemerintah, masyarakat, dan akademis.