Batik Solo Konsep: Dekonstruksi Makna Simbolik dan Batik Solo

commit to user 23

2.2.2 Batik Solo

Sejauh ini, asal-usul batik belum secara pasti diketahui secara arkeologis. Pada umumnya, batik dipahami sebagai sebuah teknik celup kain yang menghias permukaan tekstil dengan cara menahan pewarna resist dye Tirta, 2009:17. Teknik ini dapat dijumpai di benua Afrika, Amerika, Asia dan Eropa, bahkan sering dianggap sebagai salah satu tahapan pencapaian dalam peradaban manusia yang universal. Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008:146 menjelaskan arti kata batik adalah “kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya melalui proses tertentu”, dari celup sampai dijemur. Dalam konteks Batik Solo, batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai media sekaligus penutup kain wax registered method Yudoseputro, 2008:217. Lebih jauh, Widiastuti 1993:17 menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama, pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang tinggi. Batik Solo lazimnya dikategorikan sebagai batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa, yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang harmonis commit to user 24 Yayasan Harakan KitaBP 3 TMII, 1997:5. Hal ini dapat diamati dari ragam hias dan tata warna Batik Solo yang mengandung makna simbolis yang berdasar pada falsafah hidup manusia Jawa. Sebagaimana ungkapan oleh PB IX mengenai busana, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono hamemangun wataking manungso jobo-jero”, yang artinya, ‘memakai busana dan perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan batin dari si pemakai’ dalam Pujiyanto, 2010:13. Dari adanya pandangan-pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa Batik Solo merupakan pantulan falsafah hidup Jawa yang dilandasi kedisiplinan spiritual, misalnya pengendalian diri, tata cara etika, dan keselarasan hormoni yang bermakna sangat penting bagi manusia Jawa. Bahkan, dari sisi ragam hias, tata warna, dan tata pakai, secara simbolik Batik Solo mengandung makna pesan dan harapan yang tulus demi terciptanya kebaikan dan kebahagiaan bagi si pemakai Djoemena, 1990a:10. Dengan demikian, Batik Solo menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia Jawa yang tidak dapat terpisah dari daur hidupnya. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi makna simbolik Batik Solo sebagai berikut: dekonstruksi makna simbolik Batik Solo adalah pembongkaran terhadap makna-makna yang telah dilekatkan atas Batik Solo yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah budaya Jawa, khususnya di Solo yang perwujudannya mengandung makna-makna yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang harmonis. commit to user 25

2.3 Landasan Teori; Dekonstruksi dan Semiotika