commit to user
111
4.4 Implikasi Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo Terhadap
Perkembangan Batik Solo
Implikasi dekonstruksi makna simbolik Batik Solo meliputi dua hal, yaitu 1 implikasi terhadap popularitas Batik Solo; dan 2 implikasi terhadap
kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Solo.
4.4.1 Implikasi Terhadap Popularitas Batik Solo
Simbolisme tradisional lazimnya dijadikan sebagai alat untuk meninggikan martabat dan kemuliaan Herusatoto, 1984:125-128. Sebagaimana
Batik Solo merupakan produk budaya yang mencerminkan kosmologi dan filosofi Jawa dalam tata ragam hias, tata warna, serta tata pergunaannya. Namun demikian,
kini metafisika Batik Solo telah hilang seiring semakin derasnya rasionalisme dalam proyek modernisasi Barat. Simbolisasi hanya menjadi tanda pengenal saja.
Kini, pelaksanaan rangkaian upacara tradisional yang menggunakan Batik Solo cenderung hanya merupakan simbol identitas atau tanda pengenal
bahwa pelaksana upacara adalah orang Jawa, bahkan menjadi suatu representasi terhadap masyarakat sebagai suatu usaha untuk menghidupkan kembali adat-
istiadat Jawa yang hampir dilupakan orang dengan melakukan upacara yang mewah dan megah. Malahan, batik semakin ramai dibicarakan di dalam ruang
kultural melalui ke-Indonesia-an batik dalam proses pembangunan negara-bangsa dan ekonomi negara. Artinya, batik menjadi wacana budaya bangsa dalam rangka
membangun keagungan budaya tradisional RI. Sebagaimana pendapat
commit to user
112
Kuntowijoyo 2006:39-42 bahwa modernitas menjadikan tradisi sebagai fashion merupakan harga yang harus dibayar.
Berbeda dengan Orde Lama yang cenderung menjadi rezim ideologis- revolusioner, Orde Baru lebih mengarah pada rezim developmentalisme. Hal ini
dapat dimaknai bahwa Orde Baru tidak lagi menjadikan nasionalisme sebagai prioritas dalam merekatkan integrasi sosial secara politik, tetapi diganti
pembangunan ekonomi yang berbasis pada pasar bebas Arif, 2010:168-169. Politik ekonomi inilah yang secara langsung juga mendorong terjadinya
pergeseran makna Batik Solo dari benda budaya menjadi benda ekonomi karena dijadikan komoditas perdagangan secara besar-besaran.
Sebutan Batik Solo sebagai seni alus dan produk budaya adiluhung keraton merupakan pencitraan yang dilekatkan pada Batik Solo oleh masyarakat
pendukungnya. Citra yang melekat ini dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai upaya menyukseskan politik-ekonomi negara di tengah pengaruh pasar
bebas yang ada. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membungkus citra keagungan Batik Solo tersebut sebagai daya tarik wisata budaya dan belanja.
Sebagaimana pendapat Suaedy dalam Parani, 2011:43 yang mengatakan bahwa pemerintah Orde Baru memanipulasi keunggulan budaya Jawa termasuk Batik
Solo untuk tujuan pengembangan pariwisata. Pencitraan ini semakin diperkuat dengan pengakuan batik sebagai
warisan budaya takbenda oleh UNESCO pada tahun 2009. Akibatnya, popularitas batik semakin mendunia, pameran danatau kegiatan peragaan busana yang
menggunakan batik semakin banyak diminati dan dikunjungi. Sebagai contoh,
commit to user
113
pameran batik yang diberi judul “Indonesian Batik: A Living Heritage” Batik Indonesia: Warisan Budaya yang Hidup, yang diselenggarakan dua kota yang
berbeda, yaitu 1 tanggal 25 Januari 2012 hingga 14 Pebruari 2012 di Galeri Nasional Indonesia Jakarta; dan 2 tanggal 19 sampai dengan 29 Pebruari 2012 di
Pendhapi Gedhe, Komplek Balaikota Surakarta lihat Gambar IV.29.
Gambar IV.29: Seksi Batik Kerajaan Dalam Pameran “Batik Indonesia: Warisan Budaya yang Hidup” di Solo
Sumber: Dokumen Kawasaki
Dengan adanya pengakuan dari UNESCO dapat diartikan bahwa dunia merasa ikut memiliki dan merasa berkepentingan menjaga dan melestarikan batik
sebagai warisan budaya. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya sebuah lomba karya batik pada awal Nopember 2011 di The Palace Hotel, Amerika
Serikat, yang diberi nama American Batik Design Competition. Lomba ini diikuti sekitar 100 karya yang berasal dari 18 negara bagian di Amerika. Pada
commit to user
114
kesempatan ini, Dino Patti Djalal, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat memberikan pernyataan yang dimuat Harian Kompas, 25 Nopember 2011,
sebagai berikut. Harapannya, batik bukan lagi hanya menjadi milik orang Indonesia,
melainkan menjadi milik dunia. Kita tak perlu cemas orang lain mempelajari batik. Kita seharusnya seperti orang Inggris yang bangga
dengan bahasa Inggris yang dipakai di seluruh dunia. Ini berarti bahwa keagungan batik sebagai warisan budaya sudah menjadi
kebanggaan bersama yang mendunia. Batik tidak hanya menjadi bagian busana tradisional Indonesia, khususnya Jawa, tetapi telah menjadi bagian dari dunia
fashion yang mengglobal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa batik memiliki popularitas global yang mendunia. Sebagaimana pernyataan Erizabeth
Urabe, peraih juara pertama pada American Batik Design Competition, yang dimuat Harian Kompas, 25 Nopember 2011 sebagai berikut.
Saya belum pernah ke Indonesia. Saya belum pernah membatik. Ketika saya melihat pengumuman kompetisi ini, saya langsung mengikutinya.
Saya senang sekali menjadi pemenang lomba ini. Setelah ini, saya akan makin memperkenalkan batik ke seluruh dunia.
Popularitas batik yang mendunia ini menjadikan motif batik tidak lagi
harus mengacu kepada motif-motif tradisional yang sudah ada. Setiap seniman danatau pengrajin boleh mengembangkannya sesuai selera yang dimiliki.
Sebagaimana pernyataan seorang desainer yang menjadi salah satu juri dalam acara American Batik Design Competition, Tuty Cholid, yang dimuat Harian
Kompas, 25 Nopember 2011, “Saya kagum dengan karya-karya mereka. Mereka bisa mendesain dengan filosofi yang mendalam. Lihat saja karya mereka dengan
motif koboi, bison, gandum, dan lain-lain yang langsung memberi kesan Amerika
commit to user
115
Serikat” lihat Gambar IV.30 .
Gambar IV.30: American Batik Design Competition Sumber: Dokumen Kompas, 25 Nopember 2011
Lomba desain batik yang dilaksanakan di luar negeri tersebut menjadikan batik semakin dikenal dunia, bahkan desain batik berkembang sedemikian pesat
sesuai dengan kreativitas masing-masing sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para peserta, walaupun sebagian dari mereka belum mengenal batik
secara langsung sebelumnya. Fakta ini menunjukkan bahwa semakin mendunia popularitas batik, semakin bervariasi makna yang diberikan kepada batik. Ini
membuktikan bahwa makna bukan sesuatu yang “ada” melainkan “mengada”, tergantung pada pemahaman si subjek atas objek Pitana, 2010:285-286.
Sebagaimana Al-Fayyadl 2009:82 seperti berikut. Makna ada di balik layar, tetapi wujudanya bukan dalam bentuk
kehadiran, melainkan sebagai proses-menjadi yang terus-menurus
commit to user
116
menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantinya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu.
Pada tanggal 28 sampai 30 September 2011, sebuah kegiatan World Batik Summit 2011 WBS dilaksanakan di Jakarta Convention Center JCC dengan
tema “Indonesia: Global Home of Batik”. Kegiatan ini dihadiri oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono lihat Gambar IV.31.
Gambar IV.31: Menteri Perindustrian Mohamad S. Hidayat Memberikan Penjelasan Batik Wayang kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada World Batik Summit 2011
di JCC, Jakarta 28 September 2011 Sumber: Dokumen Situs Resmi Kementerian Perindustrian RI
http:www.kemenperin.go.idartikel2109Presiden-RI-Membuka-World-Batik-Summit-2011 diakses 14 Mei 2012
Kegiatan ini memiliki makna politis dan ekonomis yang cukup penting bagi Indonesia, sebagaimana tujuan dari WBS, yaitu “To confirm Indonesia’s
international role as the ‘Global Home of Batik’ within the world community”
dalam dokumen panitia WBS 2011. Ini berarti bahwa keberadaan Indonesia
commit to user
117
sebagai tuan rumah kegiatan menunjukkan bahwa adanya suatu pengakuan dunia batik merupakan produk budaya asli Indonesia yang telah diterima oleh dunia.
Pada gilirannya, batik bukan lagi dimaknai hanya sebagai modal budaya dalam perkembangan pariwisata Indonesia, namun dimaknai pula sebagai komoditas
atau modal ekonomi kreatif bangsa, bahkan menjadi warisan budaya dunia yang membanggakan bagi generasi muda.
Pada awal tahun 1972, Ali Sadikin, Gubernur Daerah Khusus Ibukota, mempromosikan busana batik sebagai pakaian resmi. Promosi ini ternyata
mengundang perhatian banyak pihak, bahkan popularitas batik semakin meningkat dan tersebar ke daerah-daerah. Hal ini ditandai dengan munculnya
seragam resmi batik bagi instansi-instansi pemerintah, perusahaan, danatau seragam-seragam sekolah, bahkan terciptanya beragam motif batik untuk berbagai
busana karya perancang-perancang busana yang cukup terkenal yang tergabung di dalam Persatuan Ahli Perancang Mode Indonesia PAPMI, seperti Iwan Tirta,
Harry Dharsono, Prayudi, dan Elsa Sunarya Pujiyanto, 2010:148 dan Widiastuti,1993:53.
Fakta tersebut membuktikan bahwa ada satu kesadaran bagi suatu generasi untuk mempertahankan dan mengembangkan batik sebagai karya budaya
bangsa, sebagaimana disampaikan Iwan Tirta 2009:125 berikut. Saya sadar bahwa daya hidup batik di masa depan akan memudar jika
para pembatik tidak memahami apa yang dikehendaki pasar. Di masa lampau,
keluarga keraton
merupakan ‘penuntu
selera’ yang
berkomunikasi dengan mereka yang membuat batik. Sekarang pasar tidak kontak langsung dengan pembuat batik, dan pola-pola bergantung pada
perantara. Para pembatik membutuhkan dorongan untuk terus berkarya, dan mudah-mudahan bakat dan kepintaran mereka akan mampu terus
menciptakan desain-desain menarik. Jika pengusaha perantara tidak
commit to user
118
artistik dan tanggap untuk merangsang pasar yang baru, maka seni batik akan kehilangan daya hidupnya. Ide-ide baru diperlukan untuk terus-
menerus diumpankan kepada mereka.
Ini berarti bahwa Iwan Tirta sebagai seorang perancang busana menyadari bahwa seni batik tidak bisa berkembang apabila tidak mampu
mengikuti perkembangan pasar atau selera pasar. Artinya, seni batik tidak boleh berhenti pada pemenuhan kebutuhan busana adat Jawa sehelai kain yang
bermakna dalam konteks budaya Jawa, namun harus dikembangkan ke wilayah fashion sepotong baju yang dinikmati oleh siapapun yang sesuai dengan
semangat zamannya lihat Gambar IV.32-34.
Gambar IV.32: Karya Busana Batik Iwan Tirta Dalam
Batik Fashion Show untuk Madame Imelda Marcos pada Tahun 1976
Sumber: Tirta, 2009:131 Gambar IV.33:
Karya Busana Batik Iwan Tirta Dalam Poster Promosi Garuda Indonesia
Australia Office Sumber: Tirta, 2009:135
commit to user
119
Gambar IV34: Motif yang Didesain Iwan Tirta untuk Seragam Garuda Indonesia oleh Chossy Lattu Dipakai dari Tahun1999
Sumber: Tirta, 2009:219
Batik dalam ruang fashion telah berhasil merepresentasikan diri sebagai busana internasional secara simbolik. Kemeja batik hasil karya Iwan Tirta
dikenakan oleh pemimpin negara yang hadir dalam konferensi APEC di Bogor pada tahun 1994 lihat Gambar IV.35-36. Mengenai proses penciptaan kemeja
batik Iwan Tirta tersebut, Auzaqilia memberikan penjelasan yang dimuat di wordpress.com
dengan judul
“Batik Indonesia
di Mata
Dunia” http:zaqiali.wordpress.com20101214, diakses tanggal 7 bulam Mei 2012
sebagaimana berikut. Batik masing masing pemimpin didesain sesuai ciri khas negara masing
masing gambarnya, mencerminkan semboyan dan motto masing masing negara namun tak meninggalkan kesan aslinya Indonesia dan dibuatnya
batik tulis, keuletan Iwan Tirta patut diacungi jempol, dan seluruh anggota APEC itu kagum dan bangga mengenakannya.
commit to user
120
Gambar.IV35: Kemeja Batik Iwan Tirta Dalam Kongres APEC 1 Sumber: http:nippon.comjataganies Diakses tanggal 3 Mei 2012
Gambar IV.36: Kemeja Batik Iwan Tirta Dalam Kongres APEC 2 Sumber: http:primeministers.naa.gov.auimage.aspx?id=tcm:13-22437
Diakses tanggal 3 Mei 2012
Adanya fenomena perkembangan baju batik tersebut, Ir. Adji Isworo Josef M.Sn wawancara pada bulan Pebruari 2012 menyatakan seperti berikut.
commit to user
121
Saya merasa sangat aneh ketika melihat baju batik pada mulanya, pada waktu saya masih anak SD. Pemakai baju batik pun sangat terbatas,
adanya paksaan sebagai baju seragam misalnya pegawai negeri, namun lama-lama bisa diterima oleh masyarakat. Tersebarnya baju batik dalam
masyarakat sekitar tahun 1970-an. Selama 40 tahun model dan cara pemakaian terus berkembang hingga pemakaian baju batik pun mulai
merasa terbiasa, bahkan akhirnya baju batik menjadi kebanggaan bangsa Indonesia dengan senang hati. Pada mulanya produksi baju batik
ditugaskan kepada Batik Keris. Kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa proses persatuan antara penguasa dan pengusaha.
Pernyataan tersebut sejalan dengan Adorno dalam Piliang, 2003:89, kebudayaan industri cultural industry, termasuk industri fashion, merupakan
suatu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan pada mekanisme kekuasaan dan produser dalam penentuan bentuk,
fungsi, dan maknanya. Busana tradisional Jawa yang mencerminkan kosmologinya dalam perwujudan dan tata berbusananya merupakan hasil dari
dekonstruksi busana Jawa yang dinikmati oleh siapapun di ruang publik dalam wilayah fashion.
Derrida dalam Al-Fayyadl, 2009:204 menyatakan bahwa “berakhirnya modernitas yang serentak dirayakan dengan berakhirnya metafisika the end of
metaphysics ditandai dengan pergeseran penting dari sejarah history ke kesejarahan historicity”. Artinya, dalam perkembangannya produk budaya
tradisional hanya dilihat menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekstrinsik. Nilai- nilai yang telah dikandung dalam perwujudan Batik Solo serta tata berbusana
sebagai simbol kosmologi Jawa yang berpusat pada Keraton Solo serta Raja dijadikan hanya nilai fungsional, tanda status sosial, identitas, dan kemampuan
ekomoni. Dalam terminologi Jawa, kondisi tersebut dapat diungkapkan sebagai
commit to user
122
“wadah” tanpa “isi” karena Batik Solo hanya dijadikan bagian dari industri fashion.
Kematian metafisika Batik Solo diperkuat dengan adanya perkembangan batik di wilayah industri fashion. Ragam hias batik tersebar sebagai motif textile
desain dalam perwujudan baju dalam pengunaannya yang tidak terbatas. Hal ini sejalan dengan ungkapan Carmanita dalam fashion Pro, 2009:38 mengenai
fashion, “Trend masa kini adalah individual, pemilihan busana tergantung pada selera masing-masing individu yang menggunakan busana tersebut”. Artinya
makna Batik Solo pun muncul semakin banyak sesuai dengan penafsiran- penafsiran masing-masing subjek yang lazim disebut dengan permainan tanda
free play of signifier dengan mengorbankan petanda dan makna yang berujung pada kematian petanda dan makna the death of signified dalam gagasan
semiotika Eco Piliang, 2003:233. Khusus berkaitan dengan perkembangan fashion di Solo dan batik
Kauman, Atmojo 2008:51 menjelaskan sebagai berikut. Di tengah perkembangan dunia fashion yang modern ini, batik Kauman
memadukan motif tradisional dengan motif kontemporer sehingga terciptalah satu kereasi yang sangat memesona. Banyak koleksi busana
batik Kauman yang diminati turis-turis asing. Kereativitas para desainer lokal dalam memadukan motif-motif batik makin menambah khazanah
koleksi pakaian yang disajikan, antara lain gaun-gaun batik bertekstur yang berpadu dengan motif batik handmade.
Ini berarti bahwa di balik perkembangan ruang fashion, kebutuhan kain batik
tidak lagi hanya mengacu pada kain batik yang dihasilkan melalui proses tangan yang sangat rumit dan harganya mahal, namun tekstil batik tekstil printing
bermotif batik yang dapat digunakan secara lebih kreatif tanpa batas sebagai
commit to user
123
busana. Fashion merupakan salah satu instrumen komunikasi dalam masyarakat.
Oleh karenanya, fashion memiliki peran sebagai untuk menjaga keberlangsungan suatu kebudayaan Finkelstein, 2007:116. Di sisi lain, fashion memiliki peran
cukup penting untuk menghasilkan lebih banyak diferensiasi budaya Bourdieu dalam Finkelstein, 2007:49. Sebagai contoh, melalui perkembangan ruang
fashion atas batik, Batik Solo tidak lagi merupakan posisi tunggal, melainkan menjadi salah satu bagian dari keanekaragaman batik dalam industri fashion di
Indonesia. Pararel dengan hal tersebut, atas perkembangan seni kontemporer,
termasuk rancang fashion, Piliang 2003:99 mengatakan bahwa nilai seni dan komoditi tidak lagi berkaitan dengan substansi nilai guna seni atau komoditi
tersebut, melainkan dengan permainan tanda dan kode-kodenya, yaitu, penciptaan citra-citra yang melimpah ruah sebagai tanda, dalam rangka menandai diferensi
dan menciptakan efek humoristik. Hal ini ditandai dengan munculnya sebuah tren busana batik dari Kota Solo, yaitu batik dengan motif bola lihat Gambar IV.37-
38.
commit to user
124
Gambar IV.37: Kemeja dan Dress Batik Bola di PGS
Sumber: Dokumen Joglosemar, 1 Mei 2012
Gambar IV.38: Konsumen yang Sedang Memilih Kemeja
Batik Bola di PGS Sumber: Dokumen Joglosemar,
1 Mei 2012
Tren batik bola ini merupakan bukti bahwa batik benar-benar menjadi media pemenuhan nafsu selera manusia atas fashion. Popularitas sepak bola logo
soccer team diadopsi dalam perwujudan ragam hias batik yang kemudian digemari masyarakat. Terlebih lagi ketika ragam hias tersebut diproduksi secara
masal dan dengan teknik printing yang lebih murah. Pada titik ini, batik telah benar-benar didekonstruksi bukan saja pada motif ragam hiasnya, tetapi juga pada
teknik pembuatannya yang bukan lagi melalui proses pembatikan yang sebenarnya. Semua itu dilakukan atas tujuan keuntungan yang sebesar-besarnya,
sebagaimana semangat kapitalisme untuk senantiasa melipatgandakan modal. Kondisi tersebut seperti yang diungkapkan Finkelstein 2007:180 bahwa
commit to user
125
yang penting atas komoditas fashion adalah nilai kultural secara simbolik daripada nilai gunanya, dan juga masyarakat mengenalkan busana batik tanpa proses.
Artinya, masyarakat modern cenderung lebih berorientasi pada hasil dibanding dengan suatu proses. Oleh karenanya, demi kepentingan pasar dan kapitalisme,
batik yang sesungguhnya telah terdekonstruksi menjadi tidak ubahnya dengan bahan tekstil pada umumnya yang menekan biaya produksi serendah-rendahnya,
namun menuntut keuntungan yang sebesar-besarnya. Makna simbolik Batik Solo yang dilekatkan pada perwujudan serta
pergunaannya tidak lagi mengacu pada “proses” penciptaan secara spiritual the death of signified, melainkan hanya mengacu pada motif tekstil yang bercorak
batik sebagai fashion, yaitu “hasil” dari produksi industri permainan tanda free play of signifier. Batik dimaknai ulang direkonstruksi hanya sebagai motif
dalam sebuah busana yang dihiasai corak batik demi kepentingan kapitalisme, di baliknya tidak lagi dimaknai didekonstruksi sebagai sebuah karya tanggan yang
diciptakan melalui proses teknik pembatikan. Dalam kondisi yang seperti ini, masyarakat semakin dijauhkan dari
pemahaman atas batik yang sesungguhnya yang proses pembuatannya menuntut kerumitan, ketelitian, dan kesabaran. Masyarakat semakin tidak peduli perbedaan
batik yang sesungguhnya dengan tekstil printing bermotif batik, bahkan sering kali tidak lagi mampu membedakannya.
commit to user
126
4.4.2 Implikasi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya