commit to user
29
... deconstruction had blocked any appeal to such naively ‘positivist’ notion as truth, fact, historical evidence, or present accountability for
past action, including such action as having written certain texts in a certain set of histrical and socio-political circumstances.
Dari pendapat terebut, teks dipandang sebagai fakta sejarah, silsilah terlepas dari unsur penafsiran sekaligus kepentingan. Oleh karenanya,
dekonstruksi memandang realitas tidak otonom, tetapi realitas yang memiliki silsilah atau jejak Pitana, 2010:38.
Analisis ketiga, yaitu implikasi dekonstruksi makna simbolik Batik Solo terhadap perkembangan Batik Solo dengan mengedepankan dekonstruksi Derrida
yang mengemukakan konsep reproduktif. Sebagaimana penjelasan Pitana, 2010:38, reproduktif, yaitu pemikiran yang memandang segala sesuatu realitas
sebagai proses penciptaan atau penciptaan kembali secara terus menerus, tanpa final.
2.3.2 Teori Semiotika
Umberto Eco, pakar semiotika telah menurunkan semiotika yang berinduk kepada teori Pierce sebagai semiotika komunikasi visual yang kemudian
dikenal sebagai ‘logika budaya’ dalam Walker, 2010:159. Semiotika adalah “disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong”
Eco, 2009:7. Dia melihat semiotika sebagai proses komunikasi untuk mengkaji seluruh proses kultural. Proses komunikasi tersebut terjadilah respons interpretatif
di dalam si penerima atas sinyal dari sebuah sumber tidak musti manusia, walaupun penerima dalam komunikasi itu berperan sebagai saluran. Dia akan
menghubungkan entitas-entitas yang hadir dengan unit-unit yang tidak hadir Eco,
commit to user
30
2009:9. Oleh karena ada proses komunikasi, maka tidak ada proses signifikasi mutlak. Dalam hal ini, komunikasi diartikan sebagai “interaksi sosial melalui
pesan”, yang membuat individu menjadi anggota masyarakat. Tegasnya, komunikasi bukan hanya menunjuk interaksi sosial yang terjadi namun
komunikasilah yang membentuk masyarakat Barnard, 2011:43. Eco dalam Ibrahim, 2007:277 mengatakan bahwa busana merupakan
alat semiotik atau mesin komunikasi yang dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Berkaitan dengan hal ini, Fiske dalam Ibrahim, 2007:41
berpendapat bahwa busana sebagai mesin komunikasi dapat dimaknai sebagai perwujudan interaksi sosial melalui pesan. Lebih jauh, Barnard 1996:vi
menegaskan bahwa busana dapat dipandang sebagai bentuk komunikasi artifaktual artifactual communication.
Dalam kajian ini, teori semiotika yang digunakan adalah teori semiotika komunikasi visual dari Umberto Eco yang kejelasan penggunaannya, sebagaimana
diungkapkan Pitana 2010:41-42 sebagai berikut. Menurut teori semiotika komunikasi visual, dalam pemaknaan simbol
terjadi proses semiosis dan canon. Proses semiosis merupakan suatu proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dengan
entitas yang lain yang disebut objek. Hal tersebut lazim disebut signifikasi. Oleh karena proses semiosis menghasilkan rangkaian
hubungan yang tidak berkesudahan sehingga pada gilirannya sebuah interpretan akan menjadi representamen, menjadi interpretan lagi,
menjadi representamen lagi, dan seterusnya, andifinitum.
Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa busana adalah “representamen” busana yang menutupi tubuh, yang memperoleh berbagai
kemungkinan “interpretan” penafsiran secara indivisual, terutama sosial, yang dilatari kebudayaan penafsir. Proses ini dari “representamen” ke “objek” ke
commit to user
31
“interpretan” disebut “semiosis canon”. Sebagai teori pendukung middle-theory, teori semiotika komunikasi
visual digunakan secara eklektik terutama dalam analisis proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo yang menekankan pada metaphor
simbol untuk menerangkan makna yang terkandung dari sehelai kain yang disebut Batik Solo.
commit to user
32
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan melibatkan berbagai disiplin untuk memberikan kemungkinan yang sangat luas
atas data-data yang diperoleh dari objek penelitian. Berbagai bentuk dari objek budaya yang selama ini tidak diperoleh perhatian dengan mekanisme penelitian
diharapkan akan terungkap secara ilmiah Ratna, 2010:189. Atas upaya ilmu Kajian Budaya tersebut, ciri yang dimilikinya sebagai ilmu adalah multidisiplin
serta interdisiplin untuk mengetahui dan memahami objek penelitian Ratna, 2010:169.
Berdasar pada prinsip tersebut, paradigma Kajian Budaya berada di wilayah posmodernisme dengan sistem berpikir kritis Pitana, 2010: 46. Oleh
karena itu, aspek-aspek kebudayaanlah yang lebih berperanan, demikian juga teori-teori kontemporer kebudayaanlah yang harus digunakan Ratna, 2010:171.
Di samping itu, ontologis ilmu Kajian Budaya menyatakan bahwa segala sesuatu terfragmen sebagai realitas budaya dipandang juga dianalisis dalam dunia
kontekstual. Artinya, Kajian Budaya mementingkan perspektif emic. Di titik ini, suatu gejala dan fenomena budaya meliputi makna dan proses interpretasi pelaku
budaya Faisal dalam Bungin, 2010:3-17. Penelitian ilmu Kajian Budaya dilakukan untuk melihat makna di balik data yang diperoleh secara holistik untuk
merumuskan masalah penelitian itu sendiri Bungin, 2010:VI.