commit to user
18
“Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta”. Disertasi ini jelas bukan tentang batik, setidaknya disertasi ini mampu memberikan gambaran
konsep dan cara kerja dekonstruksi dalam suatu kerja penelitian di wilayah Kajian Budaya.
Kajian beberapa pustaka di atas menunjukkan bahwa kajian tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Solo dalam wilayah Kajian Budaya
merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, penelitian mengenai Batik Solo dalam keilmuan Kajian Budaya ini
perlu dilakukan.
2.2 Konsep: Dekonstruksi Makna Simbolik dan Batik Solo
Dalam menjelaskan dan memberikan batasan tentang pusat perhatian penelitian ini perlu dijelaskan konsep-konsep yang digunakan. Untuk maksud ini,
urutan konsep yang dipaparkan terbagi menjadi dua satuan unit rumusan konsep, yaitu: 1 dekonstruksi makna simbolik dan 2 Batik Solo.
2.2.1 Dekonstruksi Makna Simbolik
Konsep dekonstruksi makna simbolik terdiri atas tiga unsur, yaitu dekonstruksi, makna, dan simbolik. Ketiganya masing-masing dijelaskan sebagai
berikut. Pertama, dekonstruksi merupakan gagasan atau pemaknaan lain dari makna yang telah ada sebelumnya liyan. Hal ini dapat diartikan bahwa
dekonstruksi adalah suatu pemikiran mengenai pengakuan affirmation terhadap orang lain Takahashi, 2008:180. Secara leksikal, “dekonstruksi” diartikan
commit to user
19
sebagai pembongkaran atas konstruksi danatau pemaknaan ulang atas teks termasuk teks budaya untuk mengungkap makna-makna yang tertunda dari teks
itu sendiri Pitana, 2010:23. Piliang 2003:247, juga mengatakan hal yang serupa bahwa “setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi”.
Dekonstruksi lahir sebagai kebangkitan posmodernisme yang dipelopori oleh Derrida melalui keseluruhan pemikiran yang dimiliki posmodern. Paradigma
ini menjadi paradigma yang secara kritis berhadapan dengan sistem atau paradigma berpikir sebelumnya sebagai tradisi berpikir Barat strukturalisme
Pitana, 2010:23. Dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu 1 logosentrisme: 2 falosentrisme; dan 3 oposisi
biner Takahashi, 2008:50-82. Penolakan terhadap ketiga pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa Derrida menolak kesatuan antara bentuk penanda
dengan petanda isi yang disebut metafisika kehadiran metaphysics of presence Lubis, 2004:97, Norris, 2009:9-10 .
Lebih tegas, Norris 2009: 13-14 menjelaskan tentang dekonstruksi sebagai berikut.
... dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan
makna yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dengan chaos, antara
perdamaian dengan peperangan ...
Lebih jauh, Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan menolak “metafisika kehadiran metaphysics of presence”, yaitu menolak adanya makna
mutlak atau tunggal. Istilah metafisika yang diungkapkan Derrida menyebut “mengada sebagai kehadiran”. Dekonstruksi dalam perspektif Derrida, penanda
commit to user
20
singnifier tidak berkaitan langsung dengan petanda signified. Penanda dan petanda tidak berkorespondensi satu-satu, namun melihat tanda sebagai struktur
perbedaan. Tanda harus dibaca dalam pengertian “disilang”. Dalam hal ini, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama, melainkan makna mencul pada
konteks berbeda-beda. Dalam perspektif Derrida, setiap makna transenden ilusif, karena kehadiran muncul dalam “oposisi biner” konseptual seperti materiroh,
subjekobjek, topengkebenaran, tubuhjiwa, teksmakna, interioreksterior, representasikehadiran, kenampakanesensi Sarup, 2011:45-59. Istilah pertama
dianggap superior. Istilah inilah milik logos, yaitu kebenaran kebenaran dari kebenaran Piliang, 2003:125.
Dekonstruksi tidak mengandaikan adanya makna objektif benar, maka yang menjadi fokusnya bukan pada pencarian makna objektif, melainkan
pencarian makna baru melalui kebebasan penafsiran Lubis, 2004:103. Dalam hal ini, dekonstruksi Derrida tidak hanya menunjuk perubahan sebagai akibat dari
kehancuran metafisika kehadiran makna final, bahkan disebutkan bahwa tidak ada “autentitas murni” yang dibayangkan seperti Levi-Strauss Sarup, 2011:57,
melainkan bersifat terbuka yang harus dibacadimaknai ulang Lubis, 2004:117- 124.
Kedua, makna merupakan hasil interpretatif manusia atas objek. “Makna” diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek
dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain Pitana, 2010:24.
Dari sudut pandangan semiotika, makna adalah unit kultural. Segala
commit to user
21
sesuatu yang telah didefinisikan dan ditetapkan secara kultural dapat juga disebut sebagai sebuah entitas Eco, 2009:97. Selain itu, makna merupakan bentukan
yang sarat dengan nilai, yang mengakomodasikan kepentingan para pihak yang terkait Abdullah, 2006:8. Makna adalah sesuatu yang sangat kontekstual dalam
setiap kubudayaan. Sebagaimana Cavallaro 2004:20-42, makna adalah produk dari situasi-situasi yang terkait contingent situation. Makna adalah produk dari
suatu perbedaan tanda yang terkait dengan tanda-tanda lain. Makna bukan sesuatu yang terberi, melainkan konstruksi budaya dalam produksi tanda-tanda secara
sosial. Artinya, apabila ada perubahan sosial budaya, maka makna akan berubah sesuai dengan kepentingan para pemakna secara interpretatif.
Ketiga, simbolik, yaitu berangkat dari asumsi antoropologi dalam interpretivisme simbolik, manusia adalah hewan pertama pencarian makna yang
menggunakan simbol Arif, 2010:113. Menurut Geertz dalam Sutrisno dan Putranto, 2005:212, budaya adalah lengkung simbolis. Pemahaman Arif
2010:110-113 terhadap simbol melalui pemikiran Geertz mengenai kebudayaan seperti berikut. Penglihatan terhadap kebudayaan dalam sistem sosial adalah
sebuah “pencarian makna”. Kebudayaan yang dipahami oleh Geertz dapat dibagi menjadi empat, yaitu 1 sistem keteraturan dari makna dan simbol; 2 suatu pola
makna yang ditransmisikan secara historis; 3 suatu peralatan simbolik untuk mengontorol perilaku; dan 4 suatu sistem simbol dan makna. Melalui keempat
pemahaman ini, kebudayaan didefinisikan sebagai fenomena sosial atas sistem simbol dan makna antar-subjek yang dimiliki bersama.
Lebih jauh, Pitana 2010:25 menjelaskan bahwa budaya dapat dipahami
commit to user
22
sebagai jaringan yang sangat kompleks dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos- mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang membutuhkan pendekatan
hermeneutis, yaitu interpretasi. Secara sederhana, ‘simbolik’ diartikan sebagai pengantaraan pemahaman terhadap objek yang manifestasi dan karakteristiknya
tidak terbatas pada isyarat fisik. Dengan kata lain, simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai. Makna tidak melekat pada objek melainkan diberi oleh manusia
subjek yang menafsirkan simbol itu. Artinya, makna simbol tidak berada pada simbol itu sendiri, melainkan berada pada manusia itu sendiri yang dikatakan
Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam Subiyantro, 2011:21. Cassirer 1990:48 memaparkan perbedaan antara tanda dan simbol
sebagai berikut. Simbol – bila diartikan secara tepat – tidak dapat dijabarkan menjadi
tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang pembahasan yang berlainan: tanda adalah bagian dari dunia fisik;
simbol adalah bagian dari dunia-makna manusiawi. Tanda adalah “operator”, simbol adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila
dipahami dan dipergunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial: simbol hanya memiliki nilai
fungsional.
Dari paparan tersebut, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi makna simbolik adalah pembongkaran terhadap pengertian yang diberikan subjek di atas
konstruksi. Dengan kata lain, pemahaman terhadap objek yang bersifat tidak teraba dibongkar dengan menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu
logosentrisme, falosentrisme, dan oposisi biner. Pandangan mengenai pembongkaran makna berkaitan dengan Batik Solo sebagai artefak yang telah
mengalami pergeseran.
commit to user
23
2.2.2 Batik Solo