Batik Solo Dalam Konstelasi Global

commit to user 81 pembentukan negara nation building. Dalam proses tersebut, para pendiri negara menemukan kembali tradisi reinvented traditions kemudian membentuknya kembali reshaped dan membaharui lagi refurbished untuk membangun pusat kebudayaan bangsa. Dengan kata lain, hegemonisasi budaya dan proyek menciptakan kebudayaan nasional dipahami sebagai proses mempersatukan budaya dengan cara mengumpulkan dan mencampur aduk perbedaan-perbedaan daerah untuk kebutuhan tertentu. Dalam konteks ini, kebudayaan dianggap sebagai pola nilai persatuan yang tidak diragukan dan diintegrasikan sebagai sesuatu yang dijalankan masyarakat Featherstone, 2000:89-90. Pada titik inilah, Batik Solo dimaknai ulang sebagai wujud budaya nasional karena digunakan sebagai instrumen komunikasi visual yang ideologis, yaitu media komunikasi sosial dalam konteks nation building. Artinya, upaya membangun budaya nasional menjadi salah satu penyebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo.

4.2.2 Batik Solo Dalam Konstelasi Global

Globalisasi dan modernisasi merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Istilah “modern” berasal dari konsepsi Kant untuk menyatakan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan masa lampau mengenai sejarah universal. Ini berarti bahwa “modernisasi” adalah proses diferensiasi budaya dan otonomisasi sosial. Tegasnya, modernisasi merupakan upaya menuju suatu perubahan sosial dan budaya yang awalnya bersifat massif yang berkaitan dengan masyarakat kapitalis industri sebagai perubahan revolusioner. Sebagaimana Lubis commit to user 82 2004:4-7 menjelaskan bahwa “modernisme” tidak berkaitan dengan fakta-fakta perubahan sejarah, melainkan peningkatan kesadaran diri dalam mengerti derap modernisasi itu sendiri. Oleh karenanya, “modernisasi” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan keseluruhan prosesupaya untuk mejadikan satu budaya menjadi modern. Modernisasi lazim dianggap sebagai proses perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern sejajar dengan berbagai proses, yaitu: industrialisasi, urbanisasi, komodifikasi, rasionalisasi, diferensiasi, birokratisasi, persebaran pembagian kerja, perkembangan individualisme, dan proses pembangunan negara dan bangsa yang keseluruhannya diyakini menjadi kekuatan menuju kebenaran yang bersifat universal Fetherstone, 2000:87. Namun demikian, tidak dapat diabaikan bahwa dalam modernitas Barat Western modernity terkandung sistem nilai tersendiri dengan membedakan antara diri dan yang lain the othersliyan. Dalam proses diferensiasi tersebut terdapat sistem hierarki baik-buruk, atau sistem perpisahan antara subjek-objek. Malahan, dalam proses ini terdapat penemuan dan rekonstruksi dunia yang terjalin dengan bermacam dimensi seperti politik, ekonomi, dan kultural secara kompleks Yoshimi, 2010:15-20. Kondisi seperti inilah yang melahirkan argumen bahwa sebab terjadinya perubahan makna simbolik atas Batik Solo tidak dapat dilepaskan dari adanya konstelasi global. Industrialisasi lazim diakui sebagai salah satu proses dalam proyek modernisasi. Archer dalam Featherstone ed., 1991:99 menjelaskan proses ini seperti dalam kutipan berikut. commit to user 83 The core notion was simply an extended celebration of the impact of industrialization on society in general. Industrialism was represented as a prime mover, a new axial principle of social life, which standardized social structures by ‘the pure logic of the industrialization process’. This logic was deterministic and universalistic, irresistibly exerting ‘the tug of industrialism whatever ... initial differences’ of socio-cultural organization it encountered. Consequently, it furthered world-wide convergence towards a single stereotype ― modern society. Sejalan dengan Archer, Ramlen 2008:5 berpendapat bahwa transformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, yang sering disebut dengan industrialisasi, adalah satu proses perubahan budaya yang tidak dapat dihindari. Demikian juga yang terjadi atas Batik Solo. Kerumitan dan ketelitian kerja terampil tangan-tangan manusia secara perlahan, tapi pasti, mengalami pergeseran dengan adanya pengaruh industrialisasi yang selalu menuntut produksi dan hasil sebesar-besarnya dengan proses yang sesingkat- singkatnya. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari tuntutan pasar yang melahirkan permintaan yang semakin tinggi. Sementara itu, pemodal senantiasa berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menekan biaya produksi. Akibatnya, tenaga manusia harus digantikan dengan mesin. Sebagai contoh, gambaran nyata kondisi perdagangan tekstil di Nusantara pada awal abad ke-19, penduduk di Jawa, antara lain kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, naik drastis. Kenaikan penduduk yang sebagian besar merupakan imigran dari Belanda, Cina, India, dan Arab yang bertujuan mencari nafkah, terutama di bidang perdagangan tekstil yang sedang berkembang dengan baik karena peran dari VOC. Pada titik inilah, Batik Solo akhirnya menjadi salah satu objek komoditas yang mereka perdagangkan. commit to user 84 Keadaan ini membuat Kampung Kauman dan Laweyan sebagai pusat Batik Solo tidak mampu lagi memenuhi permintaan pasar. Selanjutnya, lahirlah beberapa tempat usaha batik yang dikelola orang Eropa di Solo, seperti Babaran Jonasan dan Mrs. Van Gentsch Gottlieb. Kedua pengusaha batik ini dikenal dengan pewarnaan soga yang khas. Karya kedua pengusaha ini mengawali produksi batik di Solo yang tidak berbasis pada nilai budaya keraton. Oleh karenanya, tata warna dan tata ragam hiasnya terkesan berbeda dan bebas dari aturan-aturan keraton. Hal inilah yang kemudian menginspirasi pengusaha batik berikutnya, yaitu Go Tik Swan untuk lebih berani berkreasi dalam mengembangkan dan memproduksi batik di Solo Veldhuisen, 2007:114. Pada masa ini dapat dikatakan sebagai awal terjadinya industri dan perdagangan batik di Solo Widiastuti, 1993:14, 29-30. Hal ini dipengaruhi oleh adanya empat faktor, sebagai berikut. 1 Inovasi teknik membatik dengan “cap”, yaitu teknik membatik yang menggunakan alat cap yang dibuat dari plat tembaga yang berbentuk stempel, untuk meletakkan cairan lilin dengan mengambarkan suatu rangkaian ragam hias pada permukaan kain Susanto, 1973:30. Teknik ini lebih disukai oleh pengusaha batik karena dapat meningkatkan angka produksi dengan biaya yang lebih murah Shiraishi, 1977:30-32. Akibatnya, pengrajin batik di Solo semakin tersingkir. 2 Inovasi teknik pewarna dengan “sintetis”, yaitu penggunaan pewarna pada batik yang bukan dari bahan alam soga, namun dengan menggunakan zat kimia sebagai pewarna tiruanbuatan yang berasal dari Jerman dan dibawa commit to user 85 oleh pedagang-pedagang dari Belanda Veldhuisen, 2007:112-115. Zat warna sintetis ini memudahkan proses pewarnaan dan ragam warna yang semakin bervariasi. Oleh karenanya, warna alami yang lazim digunakan untuk Batik Solo semakin ditinggalkan Yayasan Harapan KitaBP 3 TMII,1997:179-180. 3 Perkembangan mobilitas “kereta api”, yaitu kemudahan sistem transportasi menunjang keberlangsungan dan tingkat perdagangan antar-daerah. Oleh karenanya, perdagangan dan pasar Batik Solo tidak lagi hanya di Solo dan sekitarnya, namun sudah mencapai Batavia, bahkan luar Jawa. Batik keraton dikirim ke Semarang kemudian diekspor ke Sumatera, Kalimantan, dan Malaya Shiraishi, 1997:10-11. 4 Perkembangan pasar “nasional”, yaitu sejajar dengan perkembangan mobilitas dengan jalur kereta api, yakni pasar nasional mulai terbentuk untuk perdagangan. Pada masa ini, pasar-pasar di Kota Solo mengalami peningkatan aktivitas perdagangan sampai di pedalam Jawa Supariadi, 1998:90-95. Selain adanya beberapa faktor tersebut, proses industrialisasi batik di Indonesia diperkuat dengan adanya strategi ekonomi-politik Belanda pada masa kolonial. Sebagai contohnya, pada akhir abad ke-19, Nederlandsche Handels Maatschappiji NHM, The Douch Trading Society memiliki dua misi, yaitu 1 kontribusi yang memperluaskan pasar untuk produk kolonial dan sekaligus untuk produk Belanda di Nusantara; dan 2 penyelidikan untuk lebih mempercepatkan proses pembatikan dan meningkatkan efisiensi pekerjaan buruh dalam proses commit to user 86 pembatikan Veldhuisen, 2007:115. Pada masa itu, di Solo terdapat beberapa tempat produksi batik. Di antaranya, yaitu daerah Tegalasri, Kabangan, dan Laweyan yang memproduksi batik cap secara besar-besaran. Sementara itu, di daerah timur dan bagian pusat kota Soninten, Singosaren, Kauman, dan Kemlayan merupakan tempat produksi khusus batik tulis dan batik cap yang berkualitas tinggi Sugiarti dkk., 2010:34. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 terdapat beberapa pengusaha batik asing yang terkenal di Solo. Tiga di antaranya, yaitu 1 Godlieb dengan perusahaan Langendryan; 2 Jonas dengan perusahaan Jonasan; dan 3 Carpentier dengan perusahaan Sekarpace. Adapun pengusaha pribumi yang terkenal pada masa itu ada dua, yaitu 1 Partaningrat yang dikenal dengan batik cap Partan; dan 2 Wongsodinomo yang usahanya dilanjutkan oleh cucunya Santoso bersama istrinya, Danar Hadi Widiastuti, 1993:37. Sejalan dengan kehadiran dari beberapa pengusaha, revolusi industri telah membuka pintu terhadap sistem ekonomi kapitalis kapitalisme. Harapan utama kapitalisme adalah sebuah pasar bebas, tempat memperjualbelikan berbagai produk industri Ritzer dan Goodman, 2011:7-8. Sebagimana yang dikatakan Piliang 2003:88, “dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan”. Wirodiharjo 1954:35-36 mengatakan bahwa perdagangan memainkan peranan terbesar dalam lapangan produksi batik dan harga batik. Artinya, fungsi perdagangan yang seharusnya merupakan suatu pemberian jasa bagi produksi dan commit to user 87 konsumsi, namun pada kenyatannya perdagangan menentukan produksi dan konsumsi batik. Kenyataan ini juga menimpa Batik Solo yang mengalami kemunduran yang disebabkan oleh tiga hal berikut. 1 Kelemahan modal pengusaha batik dalam industri batik. Pengusaha batik seharusnya menyediakan banyak bahan untuk dapat menjaga keberlangsungan produksi dan pemenuhan permintaan pasar, namun karena keterbatasan modal maka kebutuhan bahan ini sering kali menjadi hambatan Wirodihardjo,1954:28-29. 2 Ketersediaan bahan kain impor. Persaingan perdagangan antara Jepang dan pihak Belanda di pasar Hindia Belanda menjadikan pengusaha dan pengrajin Batik Solo menjadi korban, bahkan cenderung hanya dijadikan objek permainan harga bahan kain batik yang berkualitas blacogrey yang banyak dipakai sebagai bahan batik. Sering kali, para pengusaha dan pengrajin kesulitan mendapat bahan kain tersebut karena harga yang tidak terjangkau Wirodihardjo, 1954:38. 3 Pergeseran selera pasar nasional atas Batik Solo. Pada awalnya, kain batik merupakan busana kalangan keraton yang eksklusif, bahkan lazim dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Namun demikian, setelah perang Diponegoro sekitar 1830-an, kain batik digunakan oleh bangsa Belanda sekadar sebagai bahan pakaian, hanya dijadikan bahan kain para perempuan dan pakaian santai para pria Taylor dalam Nordholt ed., 2005: 146-147. Hal ini ditandai dengan munculnya pengusaha batik Indo- Eropa, seperti Carolina von Franquemonto di Surabaya sekitar tahun commit to user 88 1840 lihat Gambar IV.19 dan Eliza van Zuylen di Pekalongan sekitar tahun 1890 lihat Gambar IV.20 Artinya, tidak ada lagi kesakralan yang sebelumnya melekat pada Batik Solo yang lazim dimaknai sebagai batik alus yang berasal dari keraton. Batik telah dijadikan sebagai komoditas perdagangan yang dimanfaatkan oleh kaum kapitalis sebagai pemenuhan selera pasar. Gambar IV.19: Batik Carolina von Franquemonto di Surabaya Sumber: Veldhuisen, 2007: 48 Gambar IV.20: Batik Eliza van Zuylen di Pekalongan Sumber: Veldhuisen , 2007: 48 commit to user 89 Masih dalam konteks konstelasi global ini, akibat interaksi dengan budaya luar, terutama pengaruh budaya yang dibawa oleh kolonial, menyebabkan terjadinya perubahan tata busana yang menuntut pembacaan ulang makna simbolik pada batik. Sebagai contoh, adanya pengaruh dari BelandaBarat dalam pengunaan busana, seperti busana Sikepan, Langenarjan, Beskap, dan busana Militer. Pengaruh ini dapat dengan jelas terlihat dalam seragam sekolah di Mambaul Ulum, lembaga pendidikan Islam formal yang berupa pesantren di Solo pada masa pemerintahan PBX. Pada masa ini, semua siswa wajib memakai sarung batik dan jas, sedangkan guru-gurunya memakai beskap dan ikat kepala Pusponegoro dkk., 2007:51. Fenomena itu dapat dilihat sebagai penanda sosial. Nordhholt 2005:1 mengatakan bahwa busana adalah kulit sosial dan kebudayaan. Perwujudan dalam busana dapat dipahami sebagai cerminan dari sosial budaya manusia. Artinya, busana mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik, religius. Adapun Simmel 1971:296-303 menekankan bentuk proses sosialisasi dalam sejarah busana. Hal itu tampak dengan melihat sejarah busana yang memainkan refleksi dari sejarah yang berusaha mengubah kondisi eksistensi individu dan sosial budaya. Busana menandakan suatu kelompok union masyarakat. Busana menekankan perbedaan kelompok dari yang lain the others, dan membentuk kontras logis terhadap yang lain hingga perbedaan dalam perwujudan busana menjadi realitas yang ada dalam kelompok tersebut. Busana menjadi gagasan mengenai nilai dan perubahan busana merupakan pemenuhan hasrat manusia akibat adanya diferensiasi budaya. Dengan demikian, perubahan tata busana dapat commit to user 90 dimaknai sebagai representasi perubahan sosial budaya secara visual. Berkaitan dengan budaya tradisional, sekitar tahun 1930-an, penguasa Belanda membangun sebuah wacana bahwa budaya Jawa adalah budaya tradisional dan budaya yang mereka Barat bahwa adalah budaya modern. Sebagai pembawa perubahan dan modernitas, mereka mewacanakan dirinya sebagai pelindung budaya tradisional Jawa. Tradisi-tradisi yang hidup di dalam masyarakat harus dipertahankan di bawah kendalinya Nordholt, 2005:28. Budaya tradisional Jawa harus dilestarikan sebagai kebenaran yang dibungkus dengan wacana humanisme danatau romantisime penguasa. Ini berarti bahwa angapan masyarakat tradisional, yaitu masyarakat Jawapribumi tidak boleh menjadi modern, dan harus tetap berada di dalam citra tradisional, sebagaimana kehendak pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa pada masa itu. Pada masa pergerakan, wacana itulah yang ditolak oleh Soekarno karena mengandung muatan diskriminasi. Sebagaimana dijelaskan Ardhiati 2005: 257- 280, sejak masa SD di Mojokerto dan Hogere-bur’gerschool HBS atau Sekolah Menengah di Surabaya, Soekarno diwajibkan berbusana sebagai seorang bumiputra pada umumnya, yaitu kain batik dan beskap atau kemeja Jawa. Sementara itu, teman-teman sekelasnya yang mayoritas anak-anak Belanda berbusana model Barat. Perbedaan busana tersebut dirasakan Soekarno sebagai pembeda antara penguasa dan yang dikuasai. Hal ini sangat tidak menyenangkan bagi Soekarno sebagai seorang anak bumiputra. Oleh karena itu, Soekarno menginginkan adanya perubahan tata busana bagi bumiputra agar tidak ada perlakuan yang berbeda. Setelah lulus HBS, Soekarno mulai berbusana gaya Barat commit to user 91 yang ditambah dengan mengenakan peci. Setelah kemerdekaan RI, Soekarno sebagai Presiden RI menjadikan kain batik dan kebaya sebagai busana nasional bagi kaum wanita. Walaupun baju kebaya merupakan hasil perpaduan budaya Barat dan Nusantara, bahkan adanya pengaruh dari Cina, namun kebaya yang dipadukan dengan kain batik mampu menjadi busana nasional RI bagi kaum wanita Indonesia Taylor dalam Nordholt ed., 2005:146-163 lihat Gambar IV.21-25. Gambar IV.21: Gusti Bendara Raden Ajeng Retno Puwoso Putri Susuhunan Paku Buwana X Berpakaian Kebaya dan Batik Keraton Sumber: Dokumen Pitana dari Koleksi Yayasan Pawiyatan Karaton, Yayasan Surakarta Gambar IV.22: Wanita Eropa Berpakaian Kebaya dan Batik Belanda Sekitar Tahun 1900 Sumber: Dartel 2005:4 commit to user 92 Gambar IV.23: Wanita Indo-Sino Berpakaian Kebaya dan Batik Pesisir Sarong pada Awal Abad ke-20 Sumber: Knight-Achjasi dan Damais, 2005:44 Gambar IV.24: Gusti Putri Mangkunegoro, Ibu Hartini Soekarno, dan Kanjeng Ratu Pakubuwana Berpakaian Kebaya dan Batik pada Tahun 1963 Sumber: Pusat Dokumentasi Wastra dan Busana Indonesia, 2009:19 Gambar IV.25: Baju Kebaya dan Batik Sekarang, Karya Anne Avantie Sumber: Avantie dan Andiyanto, 2012:88 commit to user 93 Pada masa Orde Baru, kemeja batik menjadi busana nasional kaum pria di Indonesia. Penggunaan kemeja batik oleh kaum pria sebagai busana nasional dapat dikatakan bahwa batik mampu bersaing dengan produk budaya modern yang datang dari Barat. Pemerintah Orde Baru memiliki otoritas sehingga dipatuhi oleh masyarakat. Pemerintah Orde Baru sangat mengunggulkan modern. Padahal, kebenaran realitas bukan hanya datang dari yang modern, tetapi yang dilabeli tradisional pun memiliki kebenaran sendiri. Pada titik inilah, terminologi the others liyan harus tetap diposisikan sebagai entitas yang diakui keberadaan dan memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang, termasuk Batik Solo dan masyarakat pendukungnya dalam membangun identitas budayanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Finkelstein 2007:116, busana fashion merupakan sarana komunikasi visual dalam membangun identitas budaya masyarakat pendukungnya. Realitas-realitas tersebut menunjukkan bahwa industrialisasi, perdagangan bebas, dan perang wacana dalam pembangunan identitas budaya masyarakat dalam era global merupakan salah satu penyebab terjadinya pemaknaan ulang terhadap eksistensi Batik Solo. Dengan kata lain, telah terjadi dekonstruksi makna simbolik Batik Solo yang disebabkan adanya konstelasi global yang meliputi industrialisasi, perdagangan bebas, dan perang wacana dalam pembangunan identitas budaya masyarakat. commit to user 94

4.3 Proses Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo