Dari Daur Hidup Siklus Hidup Menjadi Fashion

commit to user 106

4.3.2 Dari Daur Hidup Siklus Hidup Menjadi Fashion

Pada awalnya, Batik Solo berupa sehelai kain tanpa dipotong serta dijahit. Kain ini merupakan bagian dari busana tradisional Jawa busana adat Jawa yang digunakan sebagai penutup tubuh bagian bawah yang dililitkan dari pinggang sampai mata kaki waist wrapping lihat Gambar IV.27 -28. Gambar IV. 27: Pria Jawa di Lingkungan Kerja Pengadilan Sumber: Roojen, 1996:23 Gambar IV.28: Penari Wanita Jawa Sumber: Roojen, 1996:23 Batik Solo sebagai busana tradisional Jawa memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi biologis, yaitu sebagai pelindung tubuh. Kedua, fungsi sosial, yaitu busana sebagai bagian dari tata cara berkomunikasi dalam lingkungan sosial yang berkaitan dengan persoalan “kepantasan” dan “kesopanan” yang kemudian lazim disebut tata busana. Menurut Hoed 2011:145, tata busana harus dilihat dari tiga commit to user 107 dimensi, yaitu dimensi tubuh, pikiran, dan kebudayaan. Ketiga dimensi tersebut dapat dijelaskan seperti berikut. 1 Dimensi tubuh – dipahami dari bentuk dan fungsinya, yakni busana sebagai hal yang konkrit. 2 Dimensi pikiran – dipahami dari maknanya oleh orang yang memakai atau melihatnya, yakni busana sebagai hal yang komunikatif. 3 Dimensi kebudayaan – dipahami oleh manusia melalui jaringan pemahaman secara sosial, yakni busana sebagai hal yang interaktif. Dalam konteks budaya Jawa, batik lazim dikenal sebagai busana tradisional busana adat Jawa. Sebagaimana diungkapkan Prawirohardjo 2011:8, kain batik selalu menemani manusia Jawa pada semua tahapan dalam kehidupannya, yaitu sejak dilahirkan sampai menutup mata. Keterikatan antara manusia Jawa dan batik ini lebih jauh diungkapkan Widiastuti 2011b:1, seperti berikut. Orang Jawa tidak bisa dipisahkan dari batik. Batik membalut kehidupan mereka sejak lahir sampai dengan kematiannya nanti. Berbagai macam upacara adat yang terdapat di dalam masyarakat Jawa, merupakan pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur yang diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Ini berarti bahwa batik bagi orang Jawa tidak sekadar pakaian, tetapi produk budaya adiluhung yang merupakan ungkapan rasa perasaan terdalam manusia yang didasarkan pada filosofi hidup dan kehidupan Jawa. Ini sejalan dengan ungkapan PB IX dalam Pujiyanto, 2010:13, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono hamemangun wataking manungso jobo-jero artinya: memakai busana dan perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan batin dari si commit to user 108 pemakai”. Keterikatan orang Jawa dan batik yang didasarkan pada tahapan kehidupan manusia Jawa daur hidup, yang lazimnya dapat diamati dari jenis atau motif batik yang digunakan dalam upacara adat ritualslametan. Hal tersebut berkaitan dengan tahapan kehidupan manusia, yakni mulai dari kelahiran hingga kematian. Menurut Djoemena 1990a:10, ragam hias dan tata warna dalam perwujudan batik diciptakan dengan penuh pesan dan harapan yang tulus dan luhur semoga akan membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi pemakainya. Harapan ini semua dilukiskan sebagai ragam hias serta warna secara simbolis yang pada gilirannya dapat menjadi sumber kekuatan spiritual. Ragam hias batik diyakini mengandung muatan spiritual. Oleh karenanya, pada peristiwa penting dalam kehidupan, kain batik dengan ragam hias tertentu yang dikenakan disesuaikan dengan jenis ritual yang dilakukan, misalnya upacara kelahiran, pernikahan, danatau kematian Prawirohardjo, 2011:8. Secara tradisi, batik sebagai busana tradisional busana adat dalam konteks budaya Jawa merupakan cerminan diri lahir-batin yang menyatakan tata nilai sosial dan kebutuhan manusia dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini, busana dapat dimaknai sebagai “wadah pakaian” dengan “isi manusia” bagi manusia. Manusia Jawa meyakini bahwa antara “wadah” dengan “isi” diperlukan adanya keseimbangan, kesejajaran, bahkan keterpaduan, seperti sama halnya kepentingan keseimbangan antara lahir dan batin. Keseimbangan semacam ini merupakan jalan tercipta ketenteraman batin, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan Pitana, 2010:130. commit to user 109 Batik Solo yang lazim disebut batik keraton adalah sesuatu yang ditampilkan sebagai produk yang diagungkan serta dilengkapi dengan persepsi kultural untuk kepentingan kalangan keraton Pujiyanto, 2010:26. Dalam perkembangannya, batik sebagai pakaian dapat diartikan sebagai sarana komunikasi visual yang merupakan perwujudan kondisi danatau karakter sosial budaya manusia Nordholt, 2005:v. Secara sederhana, fashion diidentikkan dengan busana. Menurut Finkelstein 2007:14-15, karakteristik fashion dapat didefinisikan sebagai fenomena sosial, ekonomi, estetika, dan sekaligus fenomena dari semua. Pendapat ini sejalan dengan Barthes 2010:273 bahwa fashion merupakan sarana komunikasi visual yang berlaku pada ruang dan waktu fashion itu dihadirkan. Pendapat Barthes tersebut diperkuatkan Simmel 1971:303 dengan pernyataannya, sebagai berikut. Fashion always occupies the dividing-line between the past and the future, and consequently conveys a stronger feeling of present, at least while it is at its height, than most other phenomena. What we call the present is usually nothing more than a combination of a fragment of the past with a fragment of the future. Ini berarti bahwa fashion mengacu pada pakaianbusana yang memiliki wujud secara material, namun lebih fokus pada cita rasa kekinian sekarang yang bersifat sekadar momen yang tidak diraba, melainkan memiliki nilai fungsional dalam jaringan tanda. Sebagaimana Barnard 2011:12-18, fashion menampilkan segala produk danatau fenomena kultural. Dalam kehidupan modern, fashion merupakan cara untuk mereperesentasi diri, yaitu gaya style dengan hasrat untuk menjadi kebutuhan impulus-impulus baru. commit to user 110 Fashion membentuk identitas diri pemakainya dalam komunikasi visual, Ibrahim 2011:272 berpendapat bahwa identitas tersebut merupakan sesuatu yang terfragmen dan tidak stabil, hanya sebuah mitos atau ilusi. Malahan McQueen dan Knight dalam Gindt, 2011:439 berpendapat bahwa fashion adalah produk yang tidak terselesaikan. Ini berarti bahwa fashion bukan saja sarana sebagai representasi diri melalui komunikasi visual, namun juga sebagai pemenuhan nafsu selera. Apabila batik merupakan bagian yang terpisahkan dari cara berpakaian atau fashion, maka batik termasuk Batik Solo adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan pula dengan pemunuhan nafsu selera tersebut. Artinya, sakralitas dan metafisika seni alus yang dilandasi filosofi hidup manusia Jawa telah tergantikan dengan pemenuhan nafsu selera sesuai dengan zamannya. Rangkaian daur hidup yang melekat pada setiap motif yang digunakan dalam perwujudan batik tidak lagi menjadi acuan baku yang ditaati. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pergeseran pemaknaan Batik Solo dari sakralitas daur hidup menjadi pemenuhan selera fashion merupakan salah satu proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo. commit to user 111

4.4 Implikasi Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo Terhadap