commit to user
73
hal ini, dapat dipahami upacara selamatan merupakan upacara sosio-ritual orang Jawa untuk menyenangkan kekuatan gaib dengan cara memberikan persembahan
agar memperoleh keselamatan.
4.2 Sebab Terjadinya Dekonstruksi Makna Simbolik Batik Solo
Aspek-aspek pendorong kematian metafisika Batik Solo yang terakumulasi menjadi penyebab utama terjadi dekonstruksi makna simbolik Batik
Solo dapat diuraikan dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1 jejak-jejak perubahan pemaknaan atas Batik Solo; dan 2 Batik Solo dalam konstelasi global.
4.2.1 Jejak-jejak Perubahan Pemaknaan atas Batik Solo
Pada masa Indonesia sebelum menjadi republik, Batik Solo lazim dimaknai sebagai hasil budaya Jawa yang adiluhung, yang berakar pada kearifan
lokal dan tidak dapat dilepaskan dari peran Keraton Kasunanan Surakarta yang selanjutnya lazim disebut Keraton Solo sebagai pemangku budaya Jawa.
Sebagaimana dikatakan Pitana 2010:3, “dalam lingkup kehidupan budaya Jawa, Keraton Solo oleh masyarakat Jawa sering dianggap sebagai pusat budaya batin
Jawa”. Dengan ungkapan yang berbeda, Tirta 2009:48 menjelaskan bahwa keraton adalah tempat kedudukan penentu selera dan penggerak penyempurnaan
seni batik. Oleh karenanya, Keraton Solo sering dianggap sebagai pusat kosmologi manusia Jawa. Ini berarti bahwa batik tradisional Solo tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan Keraton Solo. Setelah kerajaan Mataram terpecah-pecah, beberapa keputusan mengenai
commit to user
74
ragam hias dan tata cara berbusana batik dikeluarkan oleh Susuhunan di Solo pada tahun 1769, 1784, dan 1790. Dengan keputusan Raja Solo tersebut diketahui
beberapa jenis ragam hias batik yang hanya dapat dipakai oleh raja, keluarga raja, dan bangsawan, yaitu ragam hias Sawat, Parang Rusak, Cumukiran, dan Udan
Liris yang kemudian lazim disebut ragam hias larangan Pujiyanto, 2010:33; dan Yayasan Harapan KitaBP 3 TMII,1997:62. Pada perkembangan, tepatnya pada
abad ke-18, di Keraton Solo terdapat penambahan ragam hias yang dipakai selain yang keempat ragam hias tersebut, yaitu Kawung, Semen, dan Alas-alasan
Pujiyanto, 2010:33. Munculnya istilah ragam hias larangan tersebut dikarenakan adanya
maklumat Raja Solo. Salah satu maklumatnya sebagaimana yang dikeluarkan oleh Susuhunan Paku Buwana III 1749-1788 pada hari Minggu tanggal 24
Dulkangidah tahun Je tahun 1694 sekitar 1769 masehi yang berisi larangan mengenakan pakaian dan perlengkapan pakaian tertentu. Hal tersebut seperti
dalam paparan berikut lihat Lampiran 6: Contoh Ragam Hias Larangan yang Dikeluarkan PB III.
Peringatan surat perintah undang-undang Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapatin ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama,
memerintahkan kepada kalian semua seluruh rakyatku di Surakarta Hadiningrat, baik besar maupun kecil, di luar maupun di dalam kerajaan,
di kota di desa. Isi surat perintah undang-undang yang aku perintahkan kepada kalian semua rakyatku, jangan ada yang berani memakai pakaian
yang termasuk dalam laranganku, dan tingkah laku orang jangan ada yang berani melanggar laranganku... Adapun yang berupa kain jarit yang
termasuk dalam laranganku, batik sawat, batik parang rusak, batik cumangkiri yang bertelacap modang, bangun tulak, lenga teleng,
daregem dam tumpal, adapun batik cumangkirang yang bertelacap lungkungan atau kembang-kembang yang aku perbolehkan memakai
patihku dan kerabatku serta abdiku wadana, adapun mengenai landheyan tunggak semi bubunton yang boleh memakai hanya abdiku mantri,
commit to user
75
jangan ada orang yang berani memakai Margana, 2004:293. Berkaitan dengan ragam hias larangan ini, Tozu 1989:63; dan 2007:179
berpendapat bahwa ragam hias batik larangan ditentukan dan diperlukan untuk mempertahankan dan menunjukkan kekuasaan dan kewewenangan keraton
terhadap masyarakat Jawa atas perkembangan ruang perdagangan batik dengan menggunakan pembatasan ragam hias yang sering dimaknai secara mistis. Hal itu
terbukti bahwa pada mulanya kain batik itu sendiri sudah dapat menampilkan status pemakainya. Bahkan, teknik membatik yang tinggi, pada awalnya, sesuai
dengan ragam hias larangan, yakni hanya dimiliki kalangan keraton sebagai seni batin dan luhur putri-putrinya.
Pada perkembangan, teknik membatik dan kain batik tersebar ke dalam masyarakat di luar keraton. Oleh karenanya, nilai ragam hias batik yang dapat
membedakan status sosial kebangsawanan keraton dengan orang dari luar keraton semakin berkurang. Hal ini membuktikan bahwa interaksi budaya tidak dapat
dibatasi oleh batas wilayah kekusaan danatau otoritas kekuasaan, walaupun untuk menjaganya telah diupayakan dengan cara membungkusnya dengan larangan-
larangan yang bernuansa mistis. Sebagimana yang diungkapkan oleh Alit Veldhuijisen dalam Yayasan Harapan KitaBP 3 TMII, 1997:64 bahwa ragam
hias larangan adalah ungkapan visual yang berdasar pada kerangka pikir manusia Jawa, yaitu perluasan dari falsafah hidup manusia Jawa, termasuk konsep
kekuasaan dan pengakuan kekuatan alam. Dalam hal ini, tujuan ragam hias larangan adalah untuk menyatakan legitimasi Keraton Solo dengan cara
membedakan lingkungan Keraton Solo dengan masyarakat biasa, bahkan dengan
commit to user
76
lingkungan keraton yang lain, seperti Yogyakarta. Kendatipun demikian, ketika otoritas kekuasaan tidak bisa membendung
interaksi antarbudaya dan terjadinya difarensiasi kebudayaan, kekuatan otoritet kebudayaan keraton masih mampu membentuk etika dan perilaku manusia Jawa
dalam berbusana. Penggunaan kain batik dalam berbusana tetap dianggap sebagai pantulan nilai-nilai masyarakat Jawa sebagai etika sosial. Malahan, seperti yang
diungkapkan McKean dalam Smith ed., 1991:174 bahwa perkembangan Batik Solo dapat dipahami sebagai proses menghaluskan, dengan kata lain ke-rumit-an
involute, dengan menuju ke pendalaman kultural cultural inner sphere dalam konteks difarensiasi antara Batik Solo dengan batik-batik yang lain, seperti batik
Yogyakarta, maupun batik gaya Mangkunegaran. Proses difarensiasi batik tersebut menyebabkan kerumitan atas Batik Solo, baik secara fisik, filosofis, maupun tata
penggunaannya. Diferensiasi terjadi karena adanya interaksi dari berbagai penjuru atas
teks yang sama. Batik sebagai salah satu elemen di dalam kehidupan mengalami pemaknaan dari banyak orang atas interaksi yang beragam. Dalam hal ini, batik
harus dipahami ulang, untuk melihat pemaknaan lain. Dekonstruksi Derrida adalah gagasan danatau upaya mengakui the
others liyan, pemaknaan lain dari suatu makna yang telah ada sebelumnya Takahashi, 2008:180, yaitu pemaknaan ulang atas teks termasuk teks budaya
untuk mengungkap makna-makna yang tertunda dari teks itu sendiri Pitana, 2010:23. Artinya, setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi
Piliang, 2003:247. Dengan demikian, pemaknaan siombolik atas Batik Solo
commit to user
77
dapat dipahami sebagai proses kemenjadian. Kelahiran Batik Solo sebagai batik keraton dapat diartikan sebagai akibat kekuasaan dalam masyarakat Jawa yang
berpusat pada Keraton Solo, yang sekaligus merupakan hasil proses rekonstruksi pusat di ruang kebudayaan Jawa secara simbolik sebagai refleksi dari kekuasaan
hegemonik keraton atas rakyatnya. Sekarang, setelah Keraton Solo bukan lagi sebagai sebuah negara
kerajaan, maka menjadi kehilangan otoritas kekuasaan wilayah dan politis. Perkembangan Batik Solo lebih banyak ditentukan oleh kaum pengusaha.
Malahan, para pengusaha batik di Solo telah berhasil membuat basis perekonomian yang cukup besar melalui usahanya, yang menjadi basis munculnya
kelas majikan bumiputra. Pengusaha-pengusaha yang berperan besar atas Batik Solo yang dimaksud ada dua, yaitu para pengusaha dari Kampung Kauman dan
Laweyan. Keberadaan kedua kampung tersebut membawa Kota Solo menjadi pusat industri dan perdagangan batik yang mampu mendominansi pasar domestik
dan nasional hingga akhir 1910-an. Menurut Musyawaroh 2001:1-24, usaha batik di Kampung Kauman
dimulai sebagai kerja sambilan para istri abdi dalem di Kampung Kauman untuk memenuhi kebutuhanpesanan Keraton Solo. Kerja para istri tersebut merupakan
cara utama mencari nafkah tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Pada perkembangan awalnya tahun 1800 hingga tahun 1950, usaha
batik di Kampung Kauman cukup maju dan menjadi home industry andalan, bahkan dari hasil usaha tersebut mereka mampu membangun rumah yang megah
dan indah.
commit to user
78
Berbeda dengan Kauman, Kampung Batik Laweyan terbentuk sekitar awal tahun 1870-an dengan produk andalan batik yang menggunakan teknik cap.
Teknik ini memungkinkan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan jumlah kain yang diproduksi. Dengan demikian, Kampung Batik Laweyan berkembang
sebagai tempat produksi batik cap untuk “konsumen massa” dengan harga yang lebih murah.
Produk batik Kampung Kauman dan Laweyan berkembang dengan kekhasan masing-masing. Kampung Kauman membuat batik halus yang lazim
dikatakan batik pakem. Sementara itu, produk batik dari Kampung Laweyan lebih didominasi oleh batik cap. Oleh karenanya, Kauman menjadi kampung yang lebih
kuat dalam bidang sosial dan budaya Jawa, sementara Laweyan lebih kuat pada sisi ekonomi Shiraishi, 1997:30-35.
Sebagai produk budaya, ragam hias Batik Solo merupakan ekspresi dari kearifan lokal manusia Jawa. Namun demikian, dalam perjalanannya, ragam hias
Batik Solo telah banyak mengalami dan akan terus mengalami perubahan, sebagaimana budaya manusia itu sendiri yang hidup dan selalu mengalami
perubahan. Banyak hal menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Salah satunya, yaitu kondisi politik suatu bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan Iwan
Tirta 2009:153 berikut. Setelah Perang Dunia II, Indonesia berjuang selama lebih dari empat
tahun untuk
memperoleh pengakuan
sejak memproklamasikan
kemerdekaannya tahun 1945. Munculnya negara Indonesia muda juga memengaruhi seni batik. Sejak seluruh dunia mengakui Republik
Indonesia yang merdeka dan kolonialisme Belanda berakhir tuntas pada tahun 1950, terjadi lebih banyak perubahan lagi. Konsep negara kesatuan
merebak pula dalam seni batik .
commit to user
79
Dalam sejarah perkembangan Batik Solo nama dan peran Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro K.R.T. Hardjonagoro perlu diperhitungkan
karena beberapa inovasinya dalam pengembangan seni batik. Go Tik Swan 1931- 2008 adalah seorang keturunan Tionghoa yang menjadi tokoh batik di Indonesia
yang berasal dari Kota Solo. Dia menciptakan karya seni batik yang perwujudannya merupakan perpaduan antara batik Jawa Tengah dan batik Pesisir
Hardjonagoro dalam Tozu ed., 2007:194. Ide perpaduan ini diawali karena adanya perintah dari Presiden Soekarno
Presiden RI I untuk menciptakan sebuah karya yang memiliki motif yang dapat dijadikan sebagai motif batik Indonesia Iskandar, 2011:46. Akhirnya, Go Tik
Swan berhasil menciptakan “Batik Indonesia” dengan membawakan gaya baru dalam kalangan pembatikan lihat Gambar IV.17-18. Karya ini kemudian dapat
dimaknai sebagai produk budaya nasional Indonesia. Sebagaimana negara yang baru saja memperoleh kemerdekaannya, Indonesia memerlukan perwujudan
ikatan-ikatan budaya Latif, 2011:357, salah satunya diwujudkan dalam karya batik.
commit to user
80
Gambar IV.17: Batik Indonesia Karya Go Tik Swan Beragam
-hias Parang Parung Sumber: Pusat Dokumentasi Wastra dan
Busana Indonesia, 2009:79 Gambar IV.18:
Batik Indonesia Karya Go Tik Swan Beragam-hias Sido Luhur
Sumber: Pusat Dokumentasi Wastra dan Busana Indonesia, 2009:47
Hal itu berarti bahwa Batik Solo tidak lagi dimaknai hanya sebagai batik keraton, namun telah dijadikan sebagai wujud kebanggaan suatu bangsa dan
negara. Sebagaimana dikatakan Tozu 2007:181, berikut ini. Sukarno attempted to rediscover the “ethnic culture” which rooted in the
Indonesian traditional society and transform it into “nation culture” which all of the newly created nation would be able to share together by
appealing strong nationalism to the people.
Dari pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa seni batik merupakan reinterpretasi kebudayaan nasional RI yang diangkat dari kebudayaan daerah
Jawa. Dengan kata lain, makna yang telah ada sebelumnya telah diambil alih dan diperluas ke dalam konsep budaya nasional, bahkan telah dijadikan bagian
dari proses pembangunan bangsa nation building. Pada kaitan tersebut, kebudayaan nasional muncul sejajar dengan upaya
commit to user
81
pembentukan negara nation building. Dalam proses tersebut, para pendiri negara menemukan kembali tradisi reinvented traditions kemudian membentuknya
kembali reshaped dan membaharui lagi refurbished untuk membangun pusat kebudayaan bangsa. Dengan kata lain, hegemonisasi budaya dan proyek
menciptakan kebudayaan nasional dipahami sebagai proses mempersatukan budaya dengan cara mengumpulkan dan mencampur aduk perbedaan-perbedaan
daerah untuk kebutuhan tertentu. Dalam konteks ini, kebudayaan dianggap sebagai pola nilai persatuan yang tidak diragukan dan diintegrasikan sebagai
sesuatu yang dijalankan masyarakat Featherstone, 2000:89-90. Pada titik inilah, Batik Solo dimaknai ulang sebagai wujud budaya
nasional karena digunakan sebagai instrumen komunikasi visual yang ideologis, yaitu media komunikasi sosial dalam konteks nation building. Artinya, upaya
membangun budaya nasional menjadi salah satu penyebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik Batik Solo.
4.2.2 Batik Solo Dalam Konstelasi Global