6. Badan Kehormatan DPRD
Menerima laporan baik internal dan eksternal tentang kedisiplinan Dewan. Badan Kehormatan mempunyai tugas:
• Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRD;
• Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRD serta sumpahjanji;
• Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan Pimpinan DPRD, masyarakat danatau pemilih;
• Menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh
DPRD; • Menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPRD berupa rehabilitasi nama baik
apabila tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD atas pengaduan pimpinan DPRD, masyarakat dan atau pemilih;
• Menyampaikan laporan atas keputusan badan kehormatan kepada paripurna DPRD; dan
• Dapat menjatuhkan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti melanggar kode etik DPRD.
Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan. Untuk melaksanakan tugasnya, Badan Kehormatan berwenang:
• Memanggil Anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan; dan
• Meminta keterangan pelapor, saksi, danatau pihak-pihak lain yang terkait, termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain.
2. Susunan Keanggotaan DPRD Kota Medan 2.1.Partai di DPRD Kota Medan
Pada pemilu Legislatif 2009 lalu, DPRD Kota Medan memiliki anggota sebanyak 50 orang yang mana berasal dari sejumlah partai yang berbeda-beda seperti ditunjukkan pada
tabel dibawah ini.
Tabel.1
Universitas Sumatera Utara
Partai yang mendapat kursi di DPRD Kota Medan No
Partai Politik Jumlah
1 Partai Demokrat
16 orang 2
Partai keadilan Sejahtera 7 orang
3 Partai Golkar
5 orang 4
Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan-perjuangan 5 orang
5 Partai Damai Sejahtera
4 orang 6
Partai Persatuan Pembangunan 2 orang
7 Partai Patriot
2 orang 8
Partai Indonesia Bersatu 2 orang
9 Partai Buruh
1 orang 10 Partai Keadilan Demokrasi Indonesia
1 orang 11
Partai Persatuan Republik Nasional 1 orang
Sumber: Sekretariat Dewan DPRD Kota Medan
2.2. Fraksi-fraksi
Berdasarkan jumlah partai yang ada maka disusunlah fraksi-fraksi yang mana mempunyai kuota suara minimal 4 kursi. Namun karena ada beberapa partai yang tidak
memenuhi kuota suara yang dimaksud maka dilakukanlah fusi partai dimana partai yang minim bergabung dengan partai lain seperti PPP dengan Partai Patriot. Kemudian karena
masih ada 5 kuota suara lain seperti PPIB, PKDI, PPRN, dan Partai Buruh maka partai-partai tersebut membentuk fraksi baru yang dinamakan fraksi medan bersatu. Fraksi-fraksi tersebut
ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Tabel.2 Fraksi DPRD Kota Medan
No Fraksi Jumlah
1 Fraksi Partai Demokrat
16 2
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 7
3 Fraksi Partai Golkar
5 4
Fraksi Partai Demokrasi Pembangunan 5
Universitas Sumatera Utara
5 Fraksi Partai Damai Sejahtera
4 6
Fraksi PPP dan Patriot 4
7 Fraksi Medan Bersatu PPIB, PKDI, PPRN dan Partai
Buruh 5
Sumber: Sekretariat Dewan DPRD Kota Medan
3. Keterwakilan Perempuan di Bidang Politik
Pada masa reformasi sekarang sudah banyak perempuan yang masuk dalam dunia politik meskipun jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah laki-laki yang terjun dalam
perpolitikan Indonesia. Namun, sebelum zaman reformasi perempuan sedikit bahkan tidak ada masuk ke dalam ranah politik. Kebanyakan dari mereka hanya bergelut ke dalam
organisasi yang bergerak dalam bidang ekonomi atau keagamaan. Mereka diperbolehkan masuk ke perkumpulan Dharma Wanita, PKK, Pengajian dan Arisan. Namun, mereka sangat
sulit untuk memasuki dunia politik. Tuntutan bagi peningkatan keterwakilan perempuan di Indonesia sudah dibicarakan sejak tahun 1998 setelah jatuhnya Soeharto dari
kepemimpinannya. Wacana itu berkembang pada tahun 1999 saat semua sedang mempersiapkan pemilu 1999. Dalam pemilu 1999, untuk pertama kalinya isu mengenai hak-
hak perempuan juga dikedepankan dalam kampanye yang berlangsung. Dari sisi keragaman isu dalam kampanye pemilu yang sedang berlangsung dinilai mengalami kemajuan karena
keikutsertaan perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses politik untuk membangun demokrasi di Indonesia.
Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat DPRDPRD, bukan tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat
pemenuhan kuota 30 bagi keterwakilan perempuan dalam politik dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu
kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan
waktu. Selain itu, perlu diakui kenyataan bahwa perempuan sudah terbiasa menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan,
seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok- kelompok pengajian. Alasan tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar
kepemimpinan dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perjalanan sejarah perpolitikan di Indonesia, jumlah perempuan dalam parlemen memang belum menunjukkan angka yang signifikan. Perempuan masih dalam
posisi yang lemah baik secara kualitas maupun kuantitas. Sebagai gambaran lemahnya partisipasi perempuan dalam politik keterlibatannya dalam parlemen, berikut disajikan tabel
jumlah perempuan dalam parlemen Indonesia sejak tahun 1950.
Tabel.3 Persentase Keterwakilan Laki-laki dan Perempuan di DPR RI
Periode Masa Bakti Perempuan
Laki-laki Jumlah Anggota
DPR RI 1950-1955
DPR Sementara 3.8
96.2 236
1955-1960 6.3
93.7 272
1956-1969 DPR Konstituante
5.1 94.9
488
1971-1977 7.8
92.2 460
1982-1987 6.3
93.7 460
1987-1992 8.5
91.5 500
1992-1997 12.5
87.5 500
1997-1999 10.8
89.2 500
1999-2004 9.0
91.0 500
2004-2009 11.82
88.18 550
Sumber: diolah dari dokumen di setjen DPR RI
Namun jumlah keterwakilan perempuan pada masing-masing provinsi di Indonesia juga masih sedikit jumlahnya seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Tabel.4 Keterwakilan perempuan di DPRD tingkat Provinsi
No Provinsi Jumlah Anggota
Perempuan Jumlah Anggota
Laki-laki Total
100 1
Aceh 4
5.80 65
94.20 69 2
Sumatera Utara 20
20.00 80
80.00 100
Universitas Sumatera Utara
3 Sumatera Barat
7 12.73
48 87.27 55
4 Riau
7 12.73
48 87.27 55
5 Jambi
4 8.89
41 91.11 45
6 Sumatera Selatan
8 10.67
67 89.33 75
7 Bengkulu
7 15.56
38 84.44 45
8 Lampung
12 16.00
63 84.00 75
9 Bangka Belitung
3 6.67
42 93.33 45
10 Kepulauan Riau
7 15.56
38 84.44 45
11 DKI Jakarta
20 21.28
74 78.72 94
12 Jawa Barat
26 26.00
74 74.00 100
13 Jawa Tengah
18 18.00
82 82.00 100
14 DI Yogyakarta
11 20.00
44 80.00 55
15 Jawa Timur
19 19.00
81 81.00 100
16 Banten
16 18.82
69 81.18 85
17 Bali
4 7.27
51 92.73 55
18 Nusa Tenggara Barat 3
5.45 52
94.55 55 19
Nusa Tenggara Timur
4 7.27
51 92.73 55
20 Maluku
8 17.78
37 82.22 45
21 Maluku Utara
3 6.67
42 93.33 45
22 Sulawesi Utara
9 20.00
36 80.00 45
23 Sulawesi Barat
5 11.11
40 88.89 45
24 Sulawesi Tengah
9 20.00
36 80.00 45
25 Sulawesi Tenggara
2 4.44
43 95.56 45
26 Sulawesi Selatan
9 12.00
66 88.00 75
27 Gorontalo
7 15.56
38 84.44 45
28 Kalimantan Timur
9 16.36
46 83.64 55
29 Kalimantan Tengah
7 15.56
38 84.44 45
30 Kalimantan Selatan
7 12.73
48 87.27 55
31 Kalimantan Barat
4 7.27
51 92.73 55
32 Papua
4 7.14
52 92.86 56
33 Papua Barat
5 11.36
39 88.64 44
Universitas Sumatera Utara
Total 288
1720 2008
Sumber: “ Rekapitulasi Anggota DPRD Provinsi Seluruh Indonesia berdasarkan jenis kelamin pada pemilu tahun 2009” Divisi Teknis Humas KPU
Tabel. 5 Keterwakilan perempuan di DPRD Kota Medan
No Tahun
Jumlah perempuan Jumlah laki-laki
Total 100
1 1992-1997
3 6.8
41 93.1
44 2
1997-1999 4
9.09 40
90.01 44
3 2004-2009
5 11.11
40 88.89
45 4
2009-2014 5
10. 45
90 50
Sumber: Sekwan DPRD Kota Medan
Menyimak UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan DPRD pada Pasal 65 ayat 1 menyebutkan bahwa “Setiap
Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30”. Sesuai amanat reformasi, Penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang
sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
Dalam Undang-Undang yang baru, yakni Undang-Undang Partai Politik Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan bahwa untuk pencalonan Peserta Pemilu paling tidak dari 3 tiga
bakal calon adalah sekurang-kurangnya 1 satu dari perempuan. Adanya UU No 10 Tahun 2008 ini memang menyejukkan nuansa bagi perempuan untuk masuk di dunia politik. Hanya
saja dalam UU tersebut tidak disebutkan sanksi administrasi bagi partai politik yang melanggar adanya sistem pencalonan yang mengikutsertakan perempuan dalam bursa
pencalonan anggota legislatif dengan kuota 2 laki-laki banding satu perempuan. Yang ada hanyalah suatu sangsi yang berupa pemberitahuan di media massa yang bersifat sanksi moril.
Lahirnya kuota perempuan melalui undang-undang tersebut sebenarnya menjadi berita baik bagi kaum perempuan. Secara tekstual, undang-undang tersebut memang baru
mengakui adanya kebutuhan untuk melibatkan perempuan dalam partai politik sebagai upaya
Universitas Sumatera Utara
agar perempuan dapat memperoleh akses yang lebih luas dalam pengambilan keputusan. Pesan semacam itu tidak terdapat dalam regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor
12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Apabila dicermati secara lebih mendalam, terutama dalam undang-undang partai politik, kebijakan kuota perempuan ini sebenarnya sangat
lemah. Hal itu tercermin dari tidak adanya penekanan secara eksplisit tentang keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan partai. Maka dari itu tidak ada jaminan bahwa
penyertaan 30 perempuan di dalam keanggotaan partai politik akan secara otomatis mengubah paradigma partai untuk berpihak kepada perempuan. Ketidaktegasan aturan dalam
undang-undang tersebut juga membuat menyebabkan angka 30 menjadi angka yang meragukan untuk dapat terwujud.
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia seperti yang telah dikemukakan di atas, jumlah perempuan dalam lembaga parlemen dari periode ke periode hanya berkisar 10.
Bahkan setelah diterapkannya kebijakan kuota untuk pertama kali pada pemilihan umum 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003, jumlah perempuan dalam
parlemen nasional belum signifikan. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 nyata-nayata tidak banyak berkontribusi pada peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dalam
parlemen. Melibatkan perempuan dalam ranah politik masih dianggap belum penting sehingga aturan tentang kuota dalam undang-undang tersebut belum ditetapkan sebagai
sebuah kewajiban. Akibat dari situasi tersebut adalah ruang bagi kaum perempuan untuk mempengaruhi
kebijakan partai masih tetap sangat sempit. Pesan yang dituangkan dalam pasal 27 undang- undang partai politik, yakni “pengambilan keputusan partai politik di setiap tingkatan
dilakukan secara demokratis”, berpotensi berakhir hanya sebagai harapan. Perempuan akhirnya tidak cukup memiliki kemampuan untuk menekan parpol partai politik agar
melibatkan sebanyak mungkin kaum perempuan dalam kompetisi pencalonan anggota parlemen. Dengan demikian, karena asumsi mengenai perempuan dalam undang-undang
parpol dan pemilu ternyata tidak terlalu berbeda dengan pendahulunya yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003, maka kaum perempuan akan tetap menghadapi kesulitan yang
berulang untuk dapat terlibat dalam badan perwakilan.
34
Masuknya perempuan dalam arena politik, khususnya dalam Pemilihan Umum Legisaltif 2009, menghadapi tantangan yang harus siap dihadapi. Menurut Ulfa Ilyas,
34
Alfirdaus, Laila Kholid, 2008. ”Kebijakan setengah hati kuota perempuan dalam partai politik dan parlemen”. Jurnal Konstitusi: membangun konstitusionalitas Indonesia, membangun budaya sadar berkonstitusi. Vol. 5 Nomor 2, November,
ISSN 1829-7706. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hal: 152
Universitas Sumatera Utara
setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi perempuan yang akan berlaga dalam Pemilihan Umum Legisaltif 2009. Pertama, mayoritas partai yang mengikuti kompetisi
pemilihan umum merupakan partai-partai lama. Kalaupun ada partai baru, tindakan politiknya mengikuti pola lama ataupun komposisi dewan pengurusnya berisikan orang-orang
lama. Hal ini merupakan jebakan politik jika perempuan tidak merumuskan bentuk politik berbeda dan program-program yang berisikan kepentingan konstituen.
Kedua, tingkat kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik; parlemen, partai-partai, maupun sistem pemilu semakin menciut. Persentase golongan putih atau golput
terus saja meningkat di berbagai pengalaman pemilihan kepala daerah. Ketiga, kemampuan dan keahlian kandidat perempuan untuk menempati posisinya. Posisi-posisi pencalonan
anggota legislatif dan pengusulan calon pada umumnya direbut oleh perempuan dari kelas menengah ke atas. Pada umumnya, meskipun lapisan sosial ini memiliki tingkat pengetahuan
dan pendidikan tinggi, akan tetapi biasanya kurang peka dan kurang terikat secara oraganik dengan massa perempuan di akar rumput.
35
35
Ilyas,Ulfa.“Perempuan dalam Pemilihan Umum 2009,
Dengan mengabaikan asumsi tentang perempuan dan meninggalkan analisis tentang relasi gender yang membentuk kondisi-kondisi khas perempuan di dalam membuat regulasi
kuota, maka hambatan bagi kaum perempuan untuk meniti karir di dunia politik akan tetap berlanjut. Terlebih lagi sanksi yang diterapkan bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota
sangat lemah, yakni hanya berupa revisi dokumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 58 Undang-undang Pemilu. Tanpa sanksi yang jelas, semisal membatalkan kesempatan partai
untuk ikut dalam pemilu, ketidakpatuhan partai dalam memenuhi kuota tetap saja akan terjadi. Konsekuensi lebih jauh dari masalah ini adalah masih tetap rendahnya representasi
perempuan di ranah lokal karena akses pendidikan bagi mereka kenyataannya masih lebih terbatas.
Di samping masih terbatasnya akses pendidikan, perempuan di daerah perdesaan dan pedalaman juga kekurangan informasi dan fasilitas infrastruktur. Hal ini mencakup
kurangnya informasi tentang pentingnya “duduk” di lembaga perwakilan, dari mana meraka dapat mengakses lembaga perwakilan tersebut, dan bagaimana mengaksesnya. Apalagi,
biasanya kepercayaan agama dan tradisi budaya di daerah pedesaan biasanya lebih ketat dibandingkan dengan daerah perkotaan. Hal itu menyebabkan hambatan bagi kaum
perempuan untuk berpartisipasi dalam kompetisi politik menjadi lebih besar.
Tersedia di http:mediabersama.comindex.php?option=com yang diakses pada tanggal 5 Juli 2012.2009.
Universitas Sumatera Utara
Proporsi perempuan dalam menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan juga masih bagitu rendah. Hal tersebut membuktikan bahwa birokrasi pemerintahan belum sensitif
gender karena masih menempatkan perempuan pada posisi marjinal. Seperti halnya tabel di bawah ini yang memperlihatkan ketimpangan dalam perolehan posisi penting dalam
pemerintahan Kota Medan:
Tabel.6 Posisi dan Kondisi perempuan Pemerintah Kota Medan
No Lembaga
Jumlah Perempuan
Jumlah Laki- laki
Jumlah Perempuan
1 DPRD Kota Medan
5 45
11 2
BupatiWalikota 28
3 WabupWakil
Walikota 28
4 Pejabat Walikota
3 22
13.6 5
Pegawai Walikota 20
34 59
6 Pegawai Dinas
Kebersihan 54
241 22.4
7 Pegawai Dinas
Pertamanan 116
411
Sumber: Biro Pemberdayaan Setda Kota Medan
Melihat posisi dan kondisi perempuan di Kota Medan terlihat bahwa keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan sebagai pengambil keputusan tidak terlihat.
Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan penyebab rendahnya sensitifitas gender dalam birokrasi publik. Pertama; rendahnya alokasi dana yang dianggarkan birokrasi publik untuk
pemberdayaan perempuan. Rendahnya prioritas anggaran untuk pemberdayaan perempuan tersebut pada gilirannya telah membatasi kapasitas pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan pengerusutamaan gender ke dalam program-program pembangunan yang relevan. Kedua, belum adanya kesadaran dari pembuat kebijakan ataupun pimpinan birokrasi
publik akan pentingnya pengarusutamaan gender dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Lebih parah lagi, ada reduksi pemaknaan gender sebagai urusan ekskutif perempuan dan
label “perempuan” kemudian dianalogkan sebagai “pinggir” atau “tidak sentral”. Pernyataan
Universitas Sumatera Utara
seorang birokrat dilingkungan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam upaya mengembangkan networking dengan instansi-instansi lain dalam penanganan
masalahpengarusutamaan gender.Ketiga, masalah koordinasi antar instansi terhadap program pemberdayaan perempuan seringkali tumpang tindih. Sampai saat ini, birokrasi publik belum
bersifat koordinatif terhadap instansi-instansi pemerintah lainnya, baik dalam bentuk perencanaan, implementasi, sampai pada evaluasi kebijakan dan program pemerintah,
terutama yang ada kaitannya dengan pemberdayaan perempuan. Keempat, terbatasnya kemampuan sumber daya manusia di bidang pemberdayaan
perempuan. Akibatnya, seringkali peletihan-pelatihan tentang pemberdayaan perempuan hanya diikuti olehorang-orang yang sama dan program-program yang dapat dilaksanakan di
daerah juga amat terbatas.Kelima, aparat birokrasi yang bekerja di bagian pemberdayaan perempuan seringkali merasa inferior karena mempunyai konotasi domestic. Laki-laki yang
bekerja dibagian tersebut sering dilecehkan oleh koleganya walaupun hany sekedar gurauan. Perasaan inferior tersebut secara individual tidak jarang ikut memicu ketidakberdayaan
bagian Pemberdayaan Perempuan secara institusional ketika harus menjalin hubungan kerja dengan pihak luar.
4. Nama-nama anggota DPRD Perempuan Kota Medan